Jika saat bersama Pram Alisya diam saja seperti patung, kemungkinan ada dua sakit atau sedang ada masalah. Keduanya tentu saja bukan hal yang baik. “Kamu kenapa?” tanya Pram entah untuk yang keberapa kalinya. Sesekali laki-laki itu melirik penumpang di sampingnya, tapi Alisya masih terdiam seperti patung yang tak mau bergerak sama sekali. “Al! Woi! Ada topeng monyet!” teriak Pram yang membuat Alisya kaget dan spontan menatap keluar jendela mobil. “Mana?” “Ckk masih saja suka nonton topeng monyet, padahal tampangmu sekarang sudah mirip monyet,” kata Pram sambil tertawa terbahak-bahak. Sadar telah masuk jebakan laki-laki itu Alisya menggeplak bahu Pram tak terima. “Nggak lucu,” katanya kesal. “Siapa bilang itu nggak lucu, itu lucu sekali,” kata Pram tak terlihat berusaha sama sekali mengendalikan tawanya. Melihat Pram tertawa seperti itu mau tak mau Alisya ikut tertawa juga. “Nah gitu tertawa ja
Dia pulang kembali ke kampung halamannya.Ke rumah yang menjadi saksi masa kecilnya, saat mereka adalah keluarga kecil yang bahagia sebelum badai keserakahan datang menerpa.Dia pulang ke tempat di mana semua orang yang dia cintai sudah menjadi gundukan tanah merah. “Aku tidak tahu kamu bisa menyiapkan semua sendiri?” tanya Pram begitu mereka turun dari mobil di depan sebuah rumah sederhana bergaya klasik yang terlihat bersih dan asri. Dengan halaman yang luas ditumbuhi berbagai macam tanaman untuk keperluan dapur.Rumah yang sangat Alisya sekali. Masa kecil yang keras membuatnya tahu sekali apa arti kerja keras, dan kepahitan membuatnya harus selalu bersyukur meski hidup dalam kesederhanaan hal itu terbawa sampai dia dewasa bahkan setelah saldo rekeningnya menggelembung dan bisa membeli rumah mewah dengan sekali gesek. “Mbak Sasti membantuku,” kata Alisya sambil tersenyum pada Pram. Dan dia mengakui selera Sasti memang jempolan. Laki-laki itu menyipitkan matanya. Dia menatap tak
Apa ada kalimatnya yang menyinggung bulek Par? Alisya sudah menunggu hampir setengah jam tapi wanita paruh baya itu tak balik juga. Ini hari pertamanya datang ke desa ini, masak dia harus kehilangan orang terdekatnya karena alasan yang dia sendiri sama sekali tak tahu. “Nenek kenapa ya, Nak? Katanya mau jagain Bisma di sini?” tanya Alisya pada si kecil yang sudah bisa merespon dengan bahasa bayi saat diajak bicara. “Atau kita susul nenek ke rumahnya saja, dan mama minta maaf? Tapi apa salah mama?” tanya Alisya bingung dia tertawa kecil melihat reaksi si kecil yang seperti mengerti apa yang dia bicarakan bayi mungil itu mengoceh sambil mengangkat tangannya, seolah bilang mau ikut menyusul. Alisya menggendong Bisma dengan gendongan bayi yang dibelikan oleh Pandu. “Yuk kita ke rumah nenek,” katanya pada bayi mungil itu. Alisya bersiap mengambil payung untuk melindungi anaknya dari sengatan panas sinar matahari saat melihat bul
“Dia pergi. Alisya pergi dengan membawa putraku. Aku harus bagaimana?” Pada akhirnya memang ayah dan ibunyalah tempat dia berkeluh kesah dan meminta bantuan, dia menyesal dulu mengabaikan peringatan ayahnya untuk memutuskan semua hubungannya dengan Sekar dan memulai semuanya dengan Alisya. Sang ayah kadang memang kejam dan diluar perkiraannya, tapi Pandu tahu itu untuk kebaikan mereka berdua. Saat Pandu tiba dikediaman utama, ayah dan ibunya sedang duduk di ruang tengah, sang ibu sedang membaca majalah fashion kesukaannya dan sang ayah sedang menonton berita di televisi. Meski tak saling berinteraksi satu sama lain, tapi kedekatan keduanya bisa dilihat olehnya. Ibunya memang bukan ibu terbaik, tapi Pandu tahu ibunya menyayanginya dan akan melakukan apa saja untuk mendukung semua keputusannya. Rasa bersalah yang mengabaikan Pandu saat kecil membuat wanita itu membelanya secara membabi buta, termasuk saat dia mengatakan Alisya yang merencanakan kecelakaan yang melibatkan wanita i
“Hore pacarku datang, bawa oleh-oleh apa sayang.”Pandu langsung mundur ketika tiba-tiba seorang wanita muda memeluknya dengan erat, wanita itu menangis kencang saat Pandu berusaha melepas pelukannya.“Kamu jahat karena aku tidak cantik lagi makanya kamu meninggalkan aku.”Laki-laki itu meringis merasa bersalah saat si wanita menangis lebih kencang. “Apa yang kamu lakukan!” cegahnya saat wanita itu membenturkan dahinya ke tembok.Seorang suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. “Maaf ya,” katanya pada Pandu. “Yuk cantik, kita dandan dulu biar tambah cantik,” bujuknya kali ini sang suster sudah memeluk tubuh wanita gila itu dan dengan lembut membawanya berdiri dan tanpa menoleh lagi mereka berdua pergi begitu saja meninggalkan Pandu yang hanya bisa melongo bodoh.“Ada-ada saja,&rdquo
Manager serabutan, itulah julukan yang diberikan pada Alisya oleh anak buahnya. “Kemana lagi anak itu, Al?” tanya Sasti dengan berang. Alisya yang sedang tekun menyusuri angka-angka dalam sebuah kolom menoleh kaget. “Siapa yang ibu maksud?” tanya Alisya bingung. Sejak bergabung di hotel ini Alisya memang memutuskan memanggil Sasti yang merupakan direkture utama semua lini usaha milik keluarganya yang bergerak di bidang perhotelan dan restoran dengan sebutan ibu.“Siapa lagi ya tentu saja sepupuku tersayang, Fahri,” kata wanita itu ketus. Ini sudah kelima kalinya dalam satu bulan terakhir sejak Alisya bergabung di sini, tapi penyakit atasannya itu yang suka kabur dengan alasan tak jelas masih tetap saja tidak sembuh juga. Sebagai manager keuangan yang kadang merangkap wakil manager operasional tentu Alisya sering kalang kabut dibuatnya. Dia memang orang baru di sini tapi semua orang menganggapnya adalah bagian keluarga pak amin karena kedekatan mereka, juga karena saham dua pulu
Alisya tahu ada orang-orang yang terlahir dengan rasa tak bertanggung jawab dan brengsek dalam DNA nya dan sialnya orang itu adalah atasannya. Bodohnya lagi Alisya malah menyanggupi mengantikan laki-laki itu pada meeting penting kali ini. Tidak apa-apa sih kalau memang keadaan sedang memungkinkan dan dia sendiri tidak dalam posisi kesulitan seperti saat ini. Jarak praktek dokter anak dan daycare memang tak sampai sepuluh menit saat ditempuh dengan mobilnya, masalahnya tentu saja dia harus antri dengan pasien lain yang sudah dari tadi menunggu. “Pak Fahri anggkat teleponnya dong,” gerutu Alisya sambil mengayun bayinya. Bayi itu bahkan tak mau disentuh oleh pemilik daycare yang ikut bersama mereka. “Ibu sepertinya sibuk sekali,” kata sang pemilik daycare. Alisya yang tadi sedikit melupakan keberadaan wanita itu sedikit tak enak hati, wanita ini bermaksud baik untuk membantunya dan tentu saja bertanggug jawab karena Bisma tiba-tiba demam di tempatnya. Sungguh Alisya sama sekali
Alisya sudah tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, tapi dia tidak mengantisipasi kalau pertemuan ini akan membuatnya kembali merasakan rasa sakit seperti dulu. Tiga bulan dia berusaha melupakan semua rasa yang telah lama bercongkol dalam hatinya, tapi usahanya itu seakan sia-sia saat penyebab semua rasa itu tiba-tiba sekarang muncul di depannya. “Mas mau kemana?” tanya Alisya kebingungan. Pasalnya lantai tiga hotel ini memang dijadikan kantor manageman, hanya para karyawan yang biasanya keluar masuk ke sana. Tamu? Tentu saja hanya menempati lantai satu dan dua. “Minta tolong saat kesusahan bukan berarti kamu lemah, Al.” Kalimat bernada teguran itu menghentikan langkah Alisya, dia yang sudah sedari tadi berjalan cepat sambil mendekap Bisma di dadanya menoleh dengan kesal. “Sebenarnya apa yang mas inginkan? Aku bekerja di sini, aku tidak mau Sekar melabrakku seperti dulu karena aku kedapatan bersama suaminya di hotel,” ka
Ini sudah keterlaluan. Ibu Pandu memang nenek kandung Bisma, tapi bukan berarti bisa seenaknya mengambil Bisma di daycarenya. “Saya ini neneknya, saya berhak membawa Bisma bersama saya!” kata wanita paruh baya itu kukuh. Alisya memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan kemarahan dalam hatinya bagaimanapun wanita itu pernah menjadi ibu mertuanya dan sudah sepatutnya dia hormati. “Bisma!” Alisya langsung mengambil.. ehm tepatnya merebut anaknya yang menangis kencang, saat nyonya Wardhana berusaha menggendong anak itu yang sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. “Apa yang nyonya lakukan?” tanya Alisya datar. Entah mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang menguji kesabarannya, dia yang ceria dan penuh senyum kini berganti wanita yang suka berkata datar dan penuh ancaman. Alisya bukannya menyukai perubahan dirinya ini, dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri, tapi mau bagaimana lagi keadaan menuntutnya
“Kemana sih kamu mas, awas saja kalau berani tak mengajakku!” Wanita itu baru saja keluar dari salon mahal di salah satu kawasan mall terbesar di kota ini, suaminya punya banyak uang dan tugasnyalah untuk menghabiskan uang itu. Pakaian mahal koleksi butik ternama sudah dia beli dua hari yang lalu, dan rencananya dia juga akan menggunakan koleksi berliannya, suaminya tidak akan rugi membawanya ke pesta itu, dia sangat percaya diri akan menjadi pusat perhatian di sana. Undangan itu dia tahu tergeletak di meja kerja suaminya minggu lalu tapi dia belum sempat menanyakan lebih lanjut karena laki-laki itu terlihat sangat sibuk dan selalu pulang malam. “Ayo angkat teleponku,” gerutunya kesal. Berulang kali dia menghubungi nomer sang suami tapi sama sekali tidak ada jawaban dari ujung sana, wanita itu menggeram kesal dan melempar ponsel mahalnya ke dalam tas setelah mengirim pesan untuk menjemputnya nanti malam tepat waktu. Sekarang dia hanya perlu tidur sebentar untuk mengistirahatkan t
Alisya memang jarang menghadiri pesta, apalagi sebagai pendamping Pandu. Satu-satunya pesta yang dia hadiri bersama Pandu adalah pesta ulang tahunnya dulu yang berakhir dengan kecewa. Alisya bukannya tidak suka pesta dia hanya tak suka pandangan meremehkan dan penuh penghakiman dari yang hadir. Para orang-orang kaya yang hadir akan berlomba mempertontonkan betapa mahal pakaian yang melekat di tubuhnya atau betapa Wow dandanannya.“Kamu terlihat cantik malam ini. Jangan gugup.” “Terima kasih, tapi orang cantik juga berhak gugup,” kata Alisya datar menyembunyikan kegugupannya, gaun hitam dengan potongan sederhana tapi elegan yang dia pakai tadi terasa terlalu sederhana jika dibanding orang-orang yang ada di sini. “Ah ternyata kamu benar-benar gugup, pegang tanganku semuanya akan baik-baik saja.” Alisya menatap tangan yang terulur padanya lama. “Ah kamu kelamaan mikirnya.” Tiba-tiba saja tangan Alisya sudah ada dala
“Kamu kan yang sudah mengadu pada Sasti, kekanak-kanakan sekali sih begitu saja ngadu.” Tanpa permisi Fahri langsung masuk ke dalam ruang kerja Alisya dan menatap bawahannya itu dengan tajam, sedangkan Alisya hanya menatap laki-laki itu datar tanpa emosi. “Saya tadi heran, apa anda begitu baik hati mau mengantar laporan ke ruangan saya.” Sindiran itu membuat Fahri makin kesal. Alisya tahu banyak karyawan di sini yang menganggapnya bodoh. Dia mau saja menghandle pekerjaan Fahri yang secara strukture adalah atasannya sekaligus pimpinan tertinggi di hotel ini tanpa tambahan tunjangan atau bahkan ucapan terima kasih. Mereka salah, Alisya bukannya tidak menyadari kalau Fahri memanfaatkannya, sebelum dirinya bergabung di sini jika Fahri berulah dan membatalkan meeting penting, mereka hanya akan diam saja, bahkan meski banyak klien yang protes Fahri akan mengatakan. “Mereka bisa mencari tempat lain jika tidak puas dengan pelayanan di sini.” Akibatnya Sasti yang harus turun tangan unt
“Sayang... kamu datang.” Alisya menatap dirinya sendiri, hari ini dia menggunakan blus sutra warna krem dipadukan dengan celana potongan lurus, terlihat rapi dan profesional dan sama sekali tidak ada jejak... penggoda. “Ehm... saya akan ke ruangan saya dulu saya tunggu dokumen itu sebelum makan siang, pak.” Alisya mengangguk dengan sopan Dia langsung pergi tanpa menunggu jawaban dua orang yang sedang berpelukan mesra itu. Alisya langsung menarik napas lega begitu menutup ruangan atasannya itu, bagaimanapun sebagai orang yang dibesarkan dengan adat ketimuran yang kental dia sangat malu melihat hal seperti itu, meski kedua pelaku sama sekali tidak merasa malu sama sekali. “Ibu seperti baru saja melihat setan,” tegur Dara, sekretaris Alisya saat melihat atasannya itu berjalan terbirit-birit dengan wajah pucat. “Memang, kamu hati-hati. Banyak-banyak baca doa,” jawab Alisya asal. “Emang di mana ibu melihatnya?” tanya
“Pak Fahri anda mau kemana?” Jika setiap hari seperti ini, Alisya yakin dia bisa terlihat lebih tua dari pada bulek Par. Fahri menghentikan langkahnya dan menatap Alisya dengan wajah cemberut. “Kamu bukan atasanku jadi aku tidak wajib lapor padamu,” katanya tak enak didengar telinga. Alisya menatap laki-laki yang seharusnya menjadi atasannya dengan datar, dia sangat beruntung terlahir sebagai kerabat pak Amin, jika tidak sudah lama dia jadi gelandangan karena sama sekali tidak becus dalam bekerja. Parahnya bukan karena Fahri bodoh, tapi karena terlalu malas dan meremehkan pekerjaan. Fahri pernah menjadikan hotel mereka sebagai tempat menginap rombongan keluarga kerajaan negri sebrang yang sedang berlibur di sini selama satu bulan dan juga berhasil menjadikan tempat ini pesta ulang tahun anak salah satu pejabat dan juga konglomerat di daerah sini dan Alisya tahu prestasi itu tanpa campur tangan Sasti ataupun pak Amin. Akan tetapi sifat angin-anginannya itu yang membuat semua o
Bisma sedang tertawa bahagia, sebagai ibu seharusnya Alisya juga bahagia melihat itu. Akan tetapi rasa itu tak juga muncul saat yang membuat bayi kecilnya tertawa bahagia adalah Pandu, ayah bayinya. Oh tentu saja bukan karena Alisya cemburu anaknya akan lebih dekat dengan bapaknya dari pada dirinya, tapi dia takut kehadiran Pandu akan menimbulkan masalah untuknya. Bukan hanya tentang istri laki-laki itu yang Alisya permasalahkan, tapi juga karena Pandu sudah terlalu lama di sini, sedangkan hari beranjak semakin malam. Yang lebih penting di sini adalah desa kecil yang jika salah satu warganya bernapas terlalu keras saja, semua orang akan tahu. "Mas tidak kembali ke kantor?" tanya Alisya, sebenarnya dia ingin langsung bilang untuk meminta Pandu pulang, tapi dia tahu itu akan sangat kasar kedengarannya. "Pekerjaan bisa menunggu, lagi pula tidak setiap hari aku bisa bermain dengan Bisma," kata Pandu tak peduli. Alisya menghela napas panjang, dengan alasan kangen dengan masakann
Dulu Alisya berjuang untuk sedikit saja mendapat senyuman darinya, tapi semua berakhir dengan kesia-siaan belaka. Kini setelah Alisya lelah berjuang dan berusaha menghindar, dia malah datang memberi harapan. "Kamu terlihat kurang makan, apa di sini ada rumah makan enak?" Alisya yang sedang menepuk-nepuk pantat Bisma supaya cepat tidur langsung melotot tak terima.Sejak hamil dan melahirkan berat badannya naik hampir lima puluh kilogram, dan sampai sekarang belum kembali ke bentuk semula, meski banyak yang bilang kalau Alisya terlihat lebih segar dan seksi, bukan seperti ibu-ibu yang baru saja melahirkan, tapi karena yang sekarang mengatakan adalah Pandu yang lebih memilih Sekar yang cantik dengan bodinya yang langsing membuat Alisya tahu itu hanya bentuk basa-basi saja."Mas bisa cari rumah makan yang mas inginkan aku bisa naik taksi dari sini," katanya datar. Alisya bahkan tidak pernah menyangka kalau Trans Galery adalah salah satu anak perusahaan Wardhana Group, yang sebagian
Alisya sudah tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, tapi dia tidak mengantisipasi kalau pertemuan ini akan membuatnya kembali merasakan rasa sakit seperti dulu. Tiga bulan dia berusaha melupakan semua rasa yang telah lama bercongkol dalam hatinya, tapi usahanya itu seakan sia-sia saat penyebab semua rasa itu tiba-tiba sekarang muncul di depannya. “Mas mau kemana?” tanya Alisya kebingungan. Pasalnya lantai tiga hotel ini memang dijadikan kantor manageman, hanya para karyawan yang biasanya keluar masuk ke sana. Tamu? Tentu saja hanya menempati lantai satu dan dua. “Minta tolong saat kesusahan bukan berarti kamu lemah, Al.” Kalimat bernada teguran itu menghentikan langkah Alisya, dia yang sudah sedari tadi berjalan cepat sambil mendekap Bisma di dadanya menoleh dengan kesal. “Sebenarnya apa yang mas inginkan? Aku bekerja di sini, aku tidak mau Sekar melabrakku seperti dulu karena aku kedapatan bersama suaminya di hotel,” ka