“Hore pacarku datang, bawa oleh-oleh apa sayang.”
Pandu langsung mundur ketika tiba-tiba seorang wanita muda memeluknya dengan erat, wanita itu menangis kencang saat Pandu berusaha melepas pelukannya.
“Kamu jahat karena aku tidak cantik lagi makanya kamu meninggalkan aku.”
Laki-laki itu meringis merasa bersalah saat si wanita menangis lebih kencang. “Apa yang kamu lakukan!” cegahnya saat wanita itu membenturkan dahinya ke tembok.
Seorang suster berlari tergopoh-gopoh menghampiri mereka. “Maaf ya,” katanya pada Pandu. “Yuk cantik, kita dandan dulu biar tambah cantik,” bujuknya kali ini sang suster sudah memeluk tubuh wanita gila itu dan dengan lembut membawanya berdiri dan tanpa menoleh lagi mereka berdua pergi begitu saja meninggalkan Pandu yang hanya bisa melongo bodoh.
“Ada-ada saja,&rdquo
Manager serabutan, itulah julukan yang diberikan pada Alisya oleh anak buahnya. “Kemana lagi anak itu, Al?” tanya Sasti dengan berang. Alisya yang sedang tekun menyusuri angka-angka dalam sebuah kolom menoleh kaget. “Siapa yang ibu maksud?” tanya Alisya bingung. Sejak bergabung di hotel ini Alisya memang memutuskan memanggil Sasti yang merupakan direkture utama semua lini usaha milik keluarganya yang bergerak di bidang perhotelan dan restoran dengan sebutan ibu.“Siapa lagi ya tentu saja sepupuku tersayang, Fahri,” kata wanita itu ketus. Ini sudah kelima kalinya dalam satu bulan terakhir sejak Alisya bergabung di sini, tapi penyakit atasannya itu yang suka kabur dengan alasan tak jelas masih tetap saja tidak sembuh juga. Sebagai manager keuangan yang kadang merangkap wakil manager operasional tentu Alisya sering kalang kabut dibuatnya. Dia memang orang baru di sini tapi semua orang menganggapnya adalah bagian keluarga pak amin karena kedekatan mereka, juga karena saham dua pulu
Alisya tahu ada orang-orang yang terlahir dengan rasa tak bertanggung jawab dan brengsek dalam DNA nya dan sialnya orang itu adalah atasannya. Bodohnya lagi Alisya malah menyanggupi mengantikan laki-laki itu pada meeting penting kali ini. Tidak apa-apa sih kalau memang keadaan sedang memungkinkan dan dia sendiri tidak dalam posisi kesulitan seperti saat ini. Jarak praktek dokter anak dan daycare memang tak sampai sepuluh menit saat ditempuh dengan mobilnya, masalahnya tentu saja dia harus antri dengan pasien lain yang sudah dari tadi menunggu. “Pak Fahri anggkat teleponnya dong,” gerutu Alisya sambil mengayun bayinya. Bayi itu bahkan tak mau disentuh oleh pemilik daycare yang ikut bersama mereka. “Ibu sepertinya sibuk sekali,” kata sang pemilik daycare. Alisya yang tadi sedikit melupakan keberadaan wanita itu sedikit tak enak hati, wanita ini bermaksud baik untuk membantunya dan tentu saja bertanggug jawab karena Bisma tiba-tiba demam di tempatnya. Sungguh Alisya sama sekali
Alisya sudah tahu cepat atau lambat ini akan terjadi, tapi dia tidak mengantisipasi kalau pertemuan ini akan membuatnya kembali merasakan rasa sakit seperti dulu. Tiga bulan dia berusaha melupakan semua rasa yang telah lama bercongkol dalam hatinya, tapi usahanya itu seakan sia-sia saat penyebab semua rasa itu tiba-tiba sekarang muncul di depannya. “Mas mau kemana?” tanya Alisya kebingungan. Pasalnya lantai tiga hotel ini memang dijadikan kantor manageman, hanya para karyawan yang biasanya keluar masuk ke sana. Tamu? Tentu saja hanya menempati lantai satu dan dua. “Minta tolong saat kesusahan bukan berarti kamu lemah, Al.” Kalimat bernada teguran itu menghentikan langkah Alisya, dia yang sudah sedari tadi berjalan cepat sambil mendekap Bisma di dadanya menoleh dengan kesal. “Sebenarnya apa yang mas inginkan? Aku bekerja di sini, aku tidak mau Sekar melabrakku seperti dulu karena aku kedapatan bersama suaminya di hotel,” ka
Dulu Alisya berjuang untuk sedikit saja mendapat senyuman darinya, tapi semua berakhir dengan kesia-siaan belaka. Kini setelah Alisya lelah berjuang dan berusaha menghindar, dia malah datang memberi harapan. "Kamu terlihat kurang makan, apa di sini ada rumah makan enak?" Alisya yang sedang menepuk-nepuk pantat Bisma supaya cepat tidur langsung melotot tak terima.Sejak hamil dan melahirkan berat badannya naik hampir lima puluh kilogram, dan sampai sekarang belum kembali ke bentuk semula, meski banyak yang bilang kalau Alisya terlihat lebih segar dan seksi, bukan seperti ibu-ibu yang baru saja melahirkan, tapi karena yang sekarang mengatakan adalah Pandu yang lebih memilih Sekar yang cantik dengan bodinya yang langsing membuat Alisya tahu itu hanya bentuk basa-basi saja."Mas bisa cari rumah makan yang mas inginkan aku bisa naik taksi dari sini," katanya datar. Alisya bahkan tidak pernah menyangka kalau Trans Galery adalah salah satu anak perusahaan Wardhana Group, yang sebagian
Bisma sedang tertawa bahagia, sebagai ibu seharusnya Alisya juga bahagia melihat itu. Akan tetapi rasa itu tak juga muncul saat yang membuat bayi kecilnya tertawa bahagia adalah Pandu, ayah bayinya. Oh tentu saja bukan karena Alisya cemburu anaknya akan lebih dekat dengan bapaknya dari pada dirinya, tapi dia takut kehadiran Pandu akan menimbulkan masalah untuknya. Bukan hanya tentang istri laki-laki itu yang Alisya permasalahkan, tapi juga karena Pandu sudah terlalu lama di sini, sedangkan hari beranjak semakin malam. Yang lebih penting di sini adalah desa kecil yang jika salah satu warganya bernapas terlalu keras saja, semua orang akan tahu. "Mas tidak kembali ke kantor?" tanya Alisya, sebenarnya dia ingin langsung bilang untuk meminta Pandu pulang, tapi dia tahu itu akan sangat kasar kedengarannya. "Pekerjaan bisa menunggu, lagi pula tidak setiap hari aku bisa bermain dengan Bisma," kata Pandu tak peduli. Alisya menghela napas panjang, dengan alasan kangen dengan masakann
“Pak Fahri anda mau kemana?” Jika setiap hari seperti ini, Alisya yakin dia bisa terlihat lebih tua dari pada bulek Par. Fahri menghentikan langkahnya dan menatap Alisya dengan wajah cemberut. “Kamu bukan atasanku jadi aku tidak wajib lapor padamu,” katanya tak enak didengar telinga. Alisya menatap laki-laki yang seharusnya menjadi atasannya dengan datar, dia sangat beruntung terlahir sebagai kerabat pak Amin, jika tidak sudah lama dia jadi gelandangan karena sama sekali tidak becus dalam bekerja. Parahnya bukan karena Fahri bodoh, tapi karena terlalu malas dan meremehkan pekerjaan. Fahri pernah menjadikan hotel mereka sebagai tempat menginap rombongan keluarga kerajaan negri sebrang yang sedang berlibur di sini selama satu bulan dan juga berhasil menjadikan tempat ini pesta ulang tahun anak salah satu pejabat dan juga konglomerat di daerah sini dan Alisya tahu prestasi itu tanpa campur tangan Sasti ataupun pak Amin. Akan tetapi sifat angin-anginannya itu yang membuat semua o
“Sayang... kamu datang.” Alisya menatap dirinya sendiri, hari ini dia menggunakan blus sutra warna krem dipadukan dengan celana potongan lurus, terlihat rapi dan profesional dan sama sekali tidak ada jejak... penggoda. “Ehm... saya akan ke ruangan saya dulu saya tunggu dokumen itu sebelum makan siang, pak.” Alisya mengangguk dengan sopan Dia langsung pergi tanpa menunggu jawaban dua orang yang sedang berpelukan mesra itu. Alisya langsung menarik napas lega begitu menutup ruangan atasannya itu, bagaimanapun sebagai orang yang dibesarkan dengan adat ketimuran yang kental dia sangat malu melihat hal seperti itu, meski kedua pelaku sama sekali tidak merasa malu sama sekali. “Ibu seperti baru saja melihat setan,” tegur Dara, sekretaris Alisya saat melihat atasannya itu berjalan terbirit-birit dengan wajah pucat. “Memang, kamu hati-hati. Banyak-banyak baca doa,” jawab Alisya asal. “Emang di mana ibu melihatnya?” tanya
“Kamu kan yang sudah mengadu pada Sasti, kekanak-kanakan sekali sih begitu saja ngadu.” Tanpa permisi Fahri langsung masuk ke dalam ruang kerja Alisya dan menatap bawahannya itu dengan tajam, sedangkan Alisya hanya menatap laki-laki itu datar tanpa emosi. “Saya tadi heran, apa anda begitu baik hati mau mengantar laporan ke ruangan saya.” Sindiran itu membuat Fahri makin kesal. Alisya tahu banyak karyawan di sini yang menganggapnya bodoh. Dia mau saja menghandle pekerjaan Fahri yang secara strukture adalah atasannya sekaligus pimpinan tertinggi di hotel ini tanpa tambahan tunjangan atau bahkan ucapan terima kasih. Mereka salah, Alisya bukannya tidak menyadari kalau Fahri memanfaatkannya, sebelum dirinya bergabung di sini jika Fahri berulah dan membatalkan meeting penting, mereka hanya akan diam saja, bahkan meski banyak klien yang protes Fahri akan mengatakan. “Mereka bisa mencari tempat lain jika tidak puas dengan pelayanan di sini.” Akibatnya Sasti yang harus turun tangan unt
Laki-laki di depannya memang bukan yang terbaik yang bisa membantunya, tapi setidaknya dia yang terbaik yang bisa temui untuk saat ini, tapi dia tidak suka mata sehitam jelaga itu menatapnya dengan penuh misteri.Entah mengapa firasatnya menjadi buruk, terutama karena ada orang lain dipertemuan kecil itu.Kasus yang membelitnya lumayan menjengkelkan.Dia tidak bersalah tentu saja dan semua orang juga tahu akan hal itu, tapi apalah arti segenggam kebenaran jika dihadapan orang yang berkuasa, apalagi Panji sialan itu sama sekali tidak sudi memberi uang pelicin untuknya bisa bebas dari jerat setan itu, padahal sebagai anak sulung dia berhak menggunakan uang itu.“Asisten saya sudah memesankan ayam tim dan juga salad buah, ibu tidak perlu repot memesan lagi,” kata sang petinggi dengan tenang begitu Nyonya Agnes ingin meraih buku menu untuk memesan.Perasaan nyonya Agnes makin tak enak, tidak semua orang tahu makanan kesukaannya itu, saat makan siang bersama orang lain seperti ini dia cend
“Kenapa sih mas tantemu itu suka sekali bikin gara-gara dengan kita,” keluh Alisya tak habis pikir. Untuk mewujudkan sebuah keinginan kita memang harus bekerja dengan keras. Alisya sangat paham akan hal itu karena selama hidupnya dia berusaha keras untuk mencapai apa yang dia inginkan. Meski Alisya juga diajarkan untuk berusaha dengan jalan yang baik dalam artian tidak merugikan orang lain di sekitarnya, dan juga harus siap untuk menerima jika usaha keras kita mungkin saja gagal dan tak sesuai harapan. Sekarang saat dihadapkan pada kenyataan kalau ada orang yang melakukan apa saja supaya mendapat bantuan dari orang lain, bahkan tak peduli jika orang yang dia mintai bantuan akan hancur tentu membuatnya sangat geram. Apalagi sang tante yang mengaku berhak atas harta keluarganya karena merasa dialah anak pertama. “Mau bagaimana lagi, jelek-jelek begitu dia juga bagian dari keluarga kita,” kata Pandu dengan wajah kesal. “Kok dia kepikiran sih membuat isu seperti itu atau..” “Jang
Sesiang ini Alisya masih santai nonton televisi di kamarnya dan Pandu. "Kamu nggak kerja?" tanya Pandu yang baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu menatap jam di dinding lalu pada sang istri lagi yang masih sibuk memencet-mencet remote televisi dengan gemas. "Sayang," panggil Pandu lagi mungkin saja kan istrinya itu tidak mendengar pertanyaannya tadi karena sibuk dengan televisinya. "Mas kok ngusir sih," jawab Alisya menbuat laki-laki itu sedikit terkejut, padahal sebelum dia masuk kamar mandi istrinya masih baik-baik saja, tapi sekarang berubah seperti singa."Kok ngusir sih. Kan mas tanya," jawab Pandu lembut. Pandu sudah pernah bersama Sekar selama hampir sepuluh tahun, dia tahu kalau Sekar bukan orang yang mudah berkompromi meski dengan dirinya yang saat itu berstatus pacarnya. Sekar egois dan mau menang sendiri membuat Pandu harus banyak mengalah karena dia sangat berharap kalau Sekar adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya sampai maut memisahkan mereka. Saat it
Sejak ayah dan ibunya meninggal Alisya sering merasa sendiri tapi sekarang dia tidak merasa begitu lagi terutama setelah bertemu wanita paruh baya baik hati yang sekarang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Oalah, Nduk. Kamu baik-baik saja kan?" Bulek Par langsung memeluk Alisya dengan erat wanita itu bahkan membolak-balik tubuh Alisya untuk memastikan wanita muda di depannya ini baik-baik saja. Alisya tersenyum, hatinya menjadi gerimis bukan karena peristiwa yang baru saja menimpanya tapi karena wanita paruh baya di depannya ini yang begitu tulus mengkawatirkannya seperti seorang ibu.Sejak ibunya meninggal Alisya pikir dia tidak akan lagi mendapatkan pelukan sehangat ini lagi, tanpa sadar air matanya menggenang, dia bahkan tak peduli, suami, anak juga para pegawai di rumah ini melihat semuanya, dia hanya ingin menikmati sekali lagi pelukan hangat seorang ibu yang begitu sangat dia rindukan.
Dua hari di rawat di rumah sakit kondisi Pandu sudah mulai membaik, dia sudah bisa tidur dengan telentang dan menggendong Bisma, meski masih selalu manja pada Alisya mengalahkan putranya. "Mau kita apakan bunga sebanyak ini, mas," kata Alisya dengan pandangan putus asa pada deretan bunga yang memenuhi ruang rawat Pandu. Alisya bukan orang romantis, sejak kecil dia terbiasa berhemat dan hanya membeli apa yang memang penting saja untuk dibeli dan tentu saja bunga bukan item yang akan dia beli apalagi jika tujuannya hanya untuk pajangan saja. Lagi pula dia tidak terlalu suka bunga, satu-satunya bunga yang dia suka adalah bunga deposito. Ayah mertuanya yang menempatkan penjaga di luar untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan membuat rekan dan juga kerabat Pandu tidak bisa bebas menjenguk, jadi mereka hanya mengirimkan ucapan semoga lekas sembuh dengan bunga beraneka ragam, membuat ruangan ini berubah menjadi toko bunga. "Buang saja," kata Pandu gampang. Alisya m
Ini adalah mimpinya sejak dulu. Dia akan menjadi orang nomer satu di kota ini, dia sangat yakin meski pemilihan belum berlangsung. Kekuatan nama besar keluarganya juga koneksi yang dia miliki tentu akan membuatnya bisa melenggang dengan tenang menduduki posisi itu. Sayang... Dia tidak memperhatikan satu kerikil kecil yang membuatnya tergelincir seperti ini. Tidak... Dia belum kalah, dia akan membuktikan kalau dia tidak bersalah dalam hal ini, dia akan menemui laki-laki tua itu, kalau perlu dia akan bersujud di kakinya untuk mendapatkan fasilitas dan dukungannya. Sudah saatnya bukan dia mendapatkan apa yang menjadi haknya selama ini, dia sudah banyak mengalah sejak usianya remaja. Panji yang diberi hak istimewa baik pendidikan bahkan kedudukan dalam keluarga, seharusnya pewaris adalah anak pertama, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, laki-laki tua kolot itu pasti akan menyesali keputusannya ini. Dia pasti akan membuatnya membuka mata dan melihat kenyataan yang sebenarny
"Kenapa mas ngomong seram begitu." "Mas akan meminta beberapa orang untuk mengawalmu mulai sekarang." "Untuk apa?""Tentu saja untuk berjaga-jaga, apalagi Silvia pasti lebih nekad sekarang tadi saja dia berani datang kemari." Alisya terdiam dia menatap suaminya dalam, entah bagaimana reaksi Pandu mendengar berita kematian Silvia."Silvia tak akan bisa mencelakakan siapapun lagi, karena dia sudah meninggal," kata Alisya pelan tanpa memalingkan muka dari sang suami."Oh?" "Kenapa?" "Mas tidak penasaran kenapa dia bisa meninggal?" Pandu menghela napas panjang lalu menatap sang istri sambil tersenyum. "Dia bukan orang yang penting untukku, jadi tidak penting juga apa yang terjadi padanya," katanya ringan. "Mas yakin tidak punya perasaan lebih padanya, rasa simpati atau bela sungkawa seperti itu bagaimanapun kalian sudah lama saling kenal?" Alisya tahu pertanyaannya ini sangat konyol, dia bukan ingin meyakiti diri dengan mendengar suaminya perduli pada wanita lain sih, bukan sepert
Rasanya seperti sedang menikmati pemandangan indah di puncak gunung tiba-tiba didorong ke dasar jurang.Itulah yang Alisya rasakan sekarang.Seharusnya Alisya tidak menaruh harap, apalagi pada manusia Agar dia selalu terlindung dari rasa kecewa. Tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa kembali lagi. "Silvia." Nama itu seperti penyakit yang menggerogotinya. Orangnya memang sudah meninggal tapi masih mampu memberikan rasa sakit untuknya. Kemarin saat melihat suaminya berlumuran darah Alisya bahkan tak mampu untuk mengeluarkan air mata, dia terlalu terkejut dengan ini semua, sangat berharap kalau sang suami segera bangun tapi begitu harapannya terkabul kenapa rasanya begitu sakit saat mendengar sang suami menyebut nama itu.Andaikan bisa Alisya ingin menghapus ingatan sang suami pada nama itu, sayangnya itu tak mungkin dia lakukan.Bersamaan dengan bibi yang datang bersama dokter jaga, kaki Alisya melangkah mundur, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Bahkan
Alisya menghela napas lelah, dia menatap dua orang polisi di depannya dengan seksama. "Saya tidak tahu apa Silvia kecelakaan atau ada orang yang sengaja mensabotase mobilnya," kata Alisya tegas entah untuk yang ke berapa kalinya.Entah bukti apa yang sudah didapat oleh para polisi ini sampai mereka mencerca Alisya dengan berbagai pertanyaan yang nyudutkan, padahal bisa dibilang dia adalah korban dari keegoisan Silvia, meski wanita itu sudah meninggal sekarang, tapi sejak tadi tak ada pertanyaan kenapa suaminya bisa berakhir di rumah sakit seperti ini. "Apa ibu yakin tidak tahu akan hal itu?" tanya sang polisi lagi. Alisya tahu sih mereka hanya melakukan pekekerjaan mereka, tapi kok dia jadi kesal ya, kenapa seolah dia yang dijadikan tersangka, sedikit sesal di hati Alisya karena tidak menuruti saran bibi untuk menghubungi ayah mertuanya dan mendapatkan bantuan pengacara.Alisya pikir dia hanya perlu menceritakan kronologi kejadiannya saja, tapi ternyata... "Saat Silvia melajukan m