“Pak Fahri anda mau kemana?” Jika setiap hari seperti ini, Alisya yakin dia bisa terlihat lebih tua dari pada bulek Par. Fahri menghentikan langkahnya dan menatap Alisya dengan wajah cemberut. “Kamu bukan atasanku jadi aku tidak wajib lapor padamu,” katanya tak enak didengar telinga. Alisya menatap laki-laki yang seharusnya menjadi atasannya dengan datar, dia sangat beruntung terlahir sebagai kerabat pak Amin, jika tidak sudah lama dia jadi gelandangan karena sama sekali tidak becus dalam bekerja. Parahnya bukan karena Fahri bodoh, tapi karena terlalu malas dan meremehkan pekerjaan. Fahri pernah menjadikan hotel mereka sebagai tempat menginap rombongan keluarga kerajaan negri sebrang yang sedang berlibur di sini selama satu bulan dan juga berhasil menjadikan tempat ini pesta ulang tahun anak salah satu pejabat dan juga konglomerat di daerah sini dan Alisya tahu prestasi itu tanpa campur tangan Sasti ataupun pak Amin. Akan tetapi sifat angin-anginannya itu yang membuat semua o
“Sayang... kamu datang.” Alisya menatap dirinya sendiri, hari ini dia menggunakan blus sutra warna krem dipadukan dengan celana potongan lurus, terlihat rapi dan profesional dan sama sekali tidak ada jejak... penggoda. “Ehm... saya akan ke ruangan saya dulu saya tunggu dokumen itu sebelum makan siang, pak.” Alisya mengangguk dengan sopan Dia langsung pergi tanpa menunggu jawaban dua orang yang sedang berpelukan mesra itu. Alisya langsung menarik napas lega begitu menutup ruangan atasannya itu, bagaimanapun sebagai orang yang dibesarkan dengan adat ketimuran yang kental dia sangat malu melihat hal seperti itu, meski kedua pelaku sama sekali tidak merasa malu sama sekali. “Ibu seperti baru saja melihat setan,” tegur Dara, sekretaris Alisya saat melihat atasannya itu berjalan terbirit-birit dengan wajah pucat. “Memang, kamu hati-hati. Banyak-banyak baca doa,” jawab Alisya asal. “Emang di mana ibu melihatnya?” tanya
“Kamu kan yang sudah mengadu pada Sasti, kekanak-kanakan sekali sih begitu saja ngadu.” Tanpa permisi Fahri langsung masuk ke dalam ruang kerja Alisya dan menatap bawahannya itu dengan tajam, sedangkan Alisya hanya menatap laki-laki itu datar tanpa emosi. “Saya tadi heran, apa anda begitu baik hati mau mengantar laporan ke ruangan saya.” Sindiran itu membuat Fahri makin kesal. Alisya tahu banyak karyawan di sini yang menganggapnya bodoh. Dia mau saja menghandle pekerjaan Fahri yang secara strukture adalah atasannya sekaligus pimpinan tertinggi di hotel ini tanpa tambahan tunjangan atau bahkan ucapan terima kasih. Mereka salah, Alisya bukannya tidak menyadari kalau Fahri memanfaatkannya, sebelum dirinya bergabung di sini jika Fahri berulah dan membatalkan meeting penting, mereka hanya akan diam saja, bahkan meski banyak klien yang protes Fahri akan mengatakan. “Mereka bisa mencari tempat lain jika tidak puas dengan pelayanan di sini.” Akibatnya Sasti yang harus turun tangan unt
Alisya memang jarang menghadiri pesta, apalagi sebagai pendamping Pandu. Satu-satunya pesta yang dia hadiri bersama Pandu adalah pesta ulang tahunnya dulu yang berakhir dengan kecewa. Alisya bukannya tidak suka pesta dia hanya tak suka pandangan meremehkan dan penuh penghakiman dari yang hadir. Para orang-orang kaya yang hadir akan berlomba mempertontonkan betapa mahal pakaian yang melekat di tubuhnya atau betapa Wow dandanannya.“Kamu terlihat cantik malam ini. Jangan gugup.” “Terima kasih, tapi orang cantik juga berhak gugup,” kata Alisya datar menyembunyikan kegugupannya, gaun hitam dengan potongan sederhana tapi elegan yang dia pakai tadi terasa terlalu sederhana jika dibanding orang-orang yang ada di sini. “Ah ternyata kamu benar-benar gugup, pegang tanganku semuanya akan baik-baik saja.” Alisya menatap tangan yang terulur padanya lama. “Ah kamu kelamaan mikirnya.” Tiba-tiba saja tangan Alisya sudah ada dala
“Kemana sih kamu mas, awas saja kalau berani tak mengajakku!” Wanita itu baru saja keluar dari salon mahal di salah satu kawasan mall terbesar di kota ini, suaminya punya banyak uang dan tugasnyalah untuk menghabiskan uang itu. Pakaian mahal koleksi butik ternama sudah dia beli dua hari yang lalu, dan rencananya dia juga akan menggunakan koleksi berliannya, suaminya tidak akan rugi membawanya ke pesta itu, dia sangat percaya diri akan menjadi pusat perhatian di sana. Undangan itu dia tahu tergeletak di meja kerja suaminya minggu lalu tapi dia belum sempat menanyakan lebih lanjut karena laki-laki itu terlihat sangat sibuk dan selalu pulang malam. “Ayo angkat teleponku,” gerutunya kesal. Berulang kali dia menghubungi nomer sang suami tapi sama sekali tidak ada jawaban dari ujung sana, wanita itu menggeram kesal dan melempar ponsel mahalnya ke dalam tas setelah mengirim pesan untuk menjemputnya nanti malam tepat waktu. Sekarang dia hanya perlu tidur sebentar untuk mengistirahatkan t
Ini sudah keterlaluan. Ibu Pandu memang nenek kandung Bisma, tapi bukan berarti bisa seenaknya mengambil Bisma di daycarenya. “Saya ini neneknya, saya berhak membawa Bisma bersama saya!” kata wanita paruh baya itu kukuh. Alisya memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan kemarahan dalam hatinya bagaimanapun wanita itu pernah menjadi ibu mertuanya dan sudah sepatutnya dia hormati. “Bisma!” Alisya langsung mengambil.. ehm tepatnya merebut anaknya yang menangis kencang, saat nyonya Wardhana berusaha menggendong anak itu yang sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. “Apa yang nyonya lakukan?” tanya Alisya datar. Entah mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang menguji kesabarannya, dia yang ceria dan penuh senyum kini berganti wanita yang suka berkata datar dan penuh ancaman. Alisya bukannya menyukai perubahan dirinya ini, dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri, tapi mau bagaimana lagi keadaan menuntutnya
“Memangnya kenapa kalau mama pingin dekat dengan cucu mama, Bisma pasti akan lebih bahagia dan terjamin hidupnya bersama kita.” Ih gedeg rasanya Alisya mendengar ucapan mantan mertuanya ini, apa mereka pikir uang bisa menyelesaikan segalanya.“Ma, apa yang mama katakan Bisma masih minum ASI,” bantah Pandu yang terlihat tidak setuju dengan usul mamanya. “Alisya bisa tinggal bersama kita dan memberinya Asi setiap hari,” kata sang mama dengan pandangan tak bisa dibantah pada Alisya. Jika dulu Alisya hanya akan menunduk patuh pada apa yang dikatakan sang nyonya tapi tidak untuk sekarang, mama mertuanya juga bagian dari luka masa lalunya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mematuhi wanita itu lagi. “Maaf, Nyonya saya dan anak saya punya kehidupan sendiri,” kata Alisya yang sama sekali tidak berusaha menutupi rasa tak nyamannya. “Sombong-“ “Nyonya?” Pandu memotong cepat ucapan ibunya, dia terkejut dengan panggilan Ali
“Mama sudah membuka jalan untukmu tapi kamu mementahkan lagi usaha mama.” Pandu hanya diam menerima omelan mamanya, dia tahu sang mama sangat menyayanginya meski cara yang dia gunakan selalu tidak sama dengan para ibu di luar sana. Ibunya tak terlalu suka dengan anak kecil, bahkan meski itu anak kandungnya sendiri. Pandu tak mau masa kecil anaknya akan sama seperti dirinya dulu, kesepian dan merasa ditinggalkan. Jangankan menemaninya bermain dan belajar, bahkan saat acara kelulusan saja Pandu harus memohon pada ayah dan ibunya untuk mengosongkan jadwal mereka yang sudah sangat padat dengan acara di luar sana. Pandu sadar dirinya juga tak berbeda jauh dengan sang ayah yang memang gila kerja, karena itu dia sama sekali tak berharap memiliki istri seperti ibunya. Pandu menyayangi ibunya karena tanpa sang ibu dia tidak akan mungkin lahir ke dunia ini, tapi tentu saja baginya sebagai seorang anak mengandung dan melahirkan saja t
Sesiang ini Alisya masih santai nonton televisi di kamarnya dan Pandu. "Kamu nggak kerja?" tanya Pandu yang baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu menatap jam di dinding lalu pada sang istri lagi yang masih sibuk memencet-mencet remote televisi dengan gemas. "Sayang," panggil Pandu lagi mungkin saja kan istrinya itu tidak mendengar pertanyaannya tadi karena sibuk dengan televisinya. "Mas kok ngusir sih," jawab Alisya menbuat laki-laki itu sedikit terkejut, padahal sebelum dia masuk kamar mandi istrinya masih baik-baik saja, tapi sekarang berubah seperti singa."Kok ngusir sih. Kan mas tanya," jawab Pandu lembut. Pandu sudah pernah bersama Sekar selama hampir sepuluh tahun, dia tahu kalau Sekar bukan orang yang mudah berkompromi meski dengan dirinya yang saat itu berstatus pacarnya. Sekar egois dan mau menang sendiri membuat Pandu harus banyak mengalah karena dia sangat berharap kalau Sekar adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya sampai maut memisahkan mereka. Saat it
Sejak ayah dan ibunya meninggal Alisya sering merasa sendiri tapi sekarang dia tidak merasa begitu lagi terutama setelah bertemu wanita paruh baya baik hati yang sekarang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Oalah, Nduk. Kamu baik-baik saja kan?" Bulek Par langsung memeluk Alisya dengan erat wanita itu bahkan membolak-balik tubuh Alisya untuk memastikan wanita muda di depannya ini baik-baik saja. Alisya tersenyum, hatinya menjadi gerimis bukan karena peristiwa yang baru saja menimpanya tapi karena wanita paruh baya di depannya ini yang begitu tulus mengkawatirkannya seperti seorang ibu.Sejak ibunya meninggal Alisya pikir dia tidak akan lagi mendapatkan pelukan sehangat ini lagi, tanpa sadar air matanya menggenang, dia bahkan tak peduli, suami, anak juga para pegawai di rumah ini melihat semuanya, dia hanya ingin menikmati sekali lagi pelukan hangat seorang ibu yang begitu sangat dia rindukan.
Dua hari di rawat di rumah sakit kondisi Pandu sudah mulai membaik, dia sudah bisa tidur dengan telentang dan menggendong Bisma, meski masih selalu manja pada Alisya mengalahkan putranya. "Mau kita apakan bunga sebanyak ini, mas," kata Alisya dengan pandangan putus asa pada deretan bunga yang memenuhi ruang rawat Pandu. Alisya bukan orang romantis, sejak kecil dia terbiasa berhemat dan hanya membeli apa yang memang penting saja untuk dibeli dan tentu saja bunga bukan item yang akan dia beli apalagi jika tujuannya hanya untuk pajangan saja. Lagi pula dia tidak terlalu suka bunga, satu-satunya bunga yang dia suka adalah bunga deposito. Ayah mertuanya yang menempatkan penjaga di luar untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan membuat rekan dan juga kerabat Pandu tidak bisa bebas menjenguk, jadi mereka hanya mengirimkan ucapan semoga lekas sembuh dengan bunga beraneka ragam, membuat ruangan ini berubah menjadi toko bunga. "Buang saja," kata Pandu gampang. Alisya m
Ini adalah mimpinya sejak dulu. Dia akan menjadi orang nomer satu di kota ini, dia sangat yakin meski pemilihan belum berlangsung. Kekuatan nama besar keluarganya juga koneksi yang dia miliki tentu akan membuatnya bisa melenggang dengan tenang menduduki posisi itu. Sayang... Dia tidak memperhatikan satu kerikil kecil yang membuatnya tergelincir seperti ini. Tidak... Dia belum kalah, dia akan membuktikan kalau dia tidak bersalah dalam hal ini, dia akan menemui laki-laki tua itu, kalau perlu dia akan bersujud di kakinya untuk mendapatkan fasilitas dan dukungannya. Sudah saatnya bukan dia mendapatkan apa yang menjadi haknya selama ini, dia sudah banyak mengalah sejak usianya remaja. Panji yang diberi hak istimewa baik pendidikan bahkan kedudukan dalam keluarga, seharusnya pewaris adalah anak pertama, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, laki-laki tua kolot itu pasti akan menyesali keputusannya ini. Dia pasti akan membuatnya membuka mata dan melihat kenyataan yang sebenarny
"Kenapa mas ngomong seram begitu." "Mas akan meminta beberapa orang untuk mengawalmu mulai sekarang." "Untuk apa?""Tentu saja untuk berjaga-jaga, apalagi Silvia pasti lebih nekad sekarang tadi saja dia berani datang kemari." Alisya terdiam dia menatap suaminya dalam, entah bagaimana reaksi Pandu mendengar berita kematian Silvia."Silvia tak akan bisa mencelakakan siapapun lagi, karena dia sudah meninggal," kata Alisya pelan tanpa memalingkan muka dari sang suami."Oh?" "Kenapa?" "Mas tidak penasaran kenapa dia bisa meninggal?" Pandu menghela napas panjang lalu menatap sang istri sambil tersenyum. "Dia bukan orang yang penting untukku, jadi tidak penting juga apa yang terjadi padanya," katanya ringan. "Mas yakin tidak punya perasaan lebih padanya, rasa simpati atau bela sungkawa seperti itu bagaimanapun kalian sudah lama saling kenal?" Alisya tahu pertanyaannya ini sangat konyol, dia bukan ingin meyakiti diri dengan mendengar suaminya perduli pada wanita lain sih, bukan sepert
Rasanya seperti sedang menikmati pemandangan indah di puncak gunung tiba-tiba didorong ke dasar jurang.Itulah yang Alisya rasakan sekarang.Seharusnya Alisya tidak menaruh harap, apalagi pada manusia Agar dia selalu terlindung dari rasa kecewa. Tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa kembali lagi. "Silvia." Nama itu seperti penyakit yang menggerogotinya. Orangnya memang sudah meninggal tapi masih mampu memberikan rasa sakit untuknya. Kemarin saat melihat suaminya berlumuran darah Alisya bahkan tak mampu untuk mengeluarkan air mata, dia terlalu terkejut dengan ini semua, sangat berharap kalau sang suami segera bangun tapi begitu harapannya terkabul kenapa rasanya begitu sakit saat mendengar sang suami menyebut nama itu.Andaikan bisa Alisya ingin menghapus ingatan sang suami pada nama itu, sayangnya itu tak mungkin dia lakukan.Bersamaan dengan bibi yang datang bersama dokter jaga, kaki Alisya melangkah mundur, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Bahkan
Alisya menghela napas lelah, dia menatap dua orang polisi di depannya dengan seksama. "Saya tidak tahu apa Silvia kecelakaan atau ada orang yang sengaja mensabotase mobilnya," kata Alisya tegas entah untuk yang ke berapa kalinya.Entah bukti apa yang sudah didapat oleh para polisi ini sampai mereka mencerca Alisya dengan berbagai pertanyaan yang nyudutkan, padahal bisa dibilang dia adalah korban dari keegoisan Silvia, meski wanita itu sudah meninggal sekarang, tapi sejak tadi tak ada pertanyaan kenapa suaminya bisa berakhir di rumah sakit seperti ini. "Apa ibu yakin tidak tahu akan hal itu?" tanya sang polisi lagi. Alisya tahu sih mereka hanya melakukan pekekerjaan mereka, tapi kok dia jadi kesal ya, kenapa seolah dia yang dijadikan tersangka, sedikit sesal di hati Alisya karena tidak menuruti saran bibi untuk menghubungi ayah mertuanya dan mendapatkan bantuan pengacara.Alisya pikir dia hanya perlu menceritakan kronologi kejadiannya saja, tapi ternyata... "Saat Silvia melajukan m
"Dasar pembawa sial!" Teriakan itu langsung menggema di ruang vip tempat Pandu dirawat saat Alisya baru saja membuka pintu. Dia tidak menyangka ada orang yang cukup gila berteriak di rumah sakit seperti ini, meski ruangan ini agak terpisah dengan ruangan lain tapi teriakan keras itu bahkan bisa membangunkan orang mati. Alisya menoleh ke belakang, dia sedikit berharap Pandu terganggu dengan teriakan itu dan membuka mata, dia tidak keberatan dimaki atau diomeli asal suaminya bisa bangun lagi, tapi nyatanya Pandu masih tetap anteng dalam tidurnya. "Jangan berisik tante ini rumah sakit," tegur Alisya pelan. Alisya pasti sudah gila kalau berpikir wanita di depannya ini akan menurut dengan kalimatnya, sang tante langsung meringsek masuk dan menatap Pandu dengan tatapan... Kesal. Sungguh manusia ajaib memang. "Semua ini gara-gara kamu, kalau kamu mau menerima Silvia semuanya tidak akan seperti ini!" "Ini tempat umum, anda pasti tahu apa yang akan terjadi jika saya memanggil satp
Jika diberi pilihan hidup sekali lagi apa orang-orang itu akan memilih pilihan yang berbeda atau masih keras kepala kalau pilihannya sudah tepat. Meski pilihan itu mengorbankan orang lain atau bahkan dirinya sendiri?"Seharusnya saya tadi tidak bicara dengannya," kata Alisya lirih penuh penyesalan. Sungguh Alisya menyesal dengan apa yang terjadi pagi ini, wanita itu menunduk dengan kedua tangan saling menggenggam erat. Saat ini dia ada di ruang tunggu ruang perawatan Pandu, bersama sang ibu mertua tentu saja karena ayah mertuanya harus mengurus insiden yang terjadi pagi ini. "Seharusnya memang begitu." Alisya langsung mendongak mendengar suara dingin ibu mertuanya, suara yang sejak kemarin tidak dia dengar lagi. "Kamu memang bodoh, bukankah aku sudah bilang untuk menjauhinya tapi kamu sok baik dengan meladeninya bicara." Kalimat itu memang menyakitkan tapi Alisya tak bisa menyangkal kebenaran kalimat itu. "Maaf." Hanya itu yang bisa dia katakan, andaikan waktu bisa diputar lag