Ini sudah keterlaluan.
Ibu Pandu memang nenek kandung Bisma, tapi bukan berarti bisa seenaknya mengambil Bisma di daycarenya.“Saya ini neneknya, saya berhak membawa Bisma bersama saya!” kata wanita paruh baya itu kukuh.Alisya memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan kemarahan dalam hatinya bagaimanapun wanita itu pernah menjadi ibu mertuanya dan sudah sepatutnya dia hormati.“Bisma!”Alisya langsung mengambil.. ehm tepatnya merebut anaknya yang menangis kencang, saat nyonya Wardhana berusaha menggendong anak itu yang sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya.“Apa yang nyonya lakukan?” tanya Alisya datar.Entah mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang menguji kesabarannya, dia yang ceria dan penuh senyum kini berganti wanita yang suka berkata datar dan penuh ancaman.Alisya bukannya menyukai perubahan dirinya ini, dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri, tapi mau bagaimana lagi keadaan menuntutnya“Memangnya kenapa kalau mama pingin dekat dengan cucu mama, Bisma pasti akan lebih bahagia dan terjamin hidupnya bersama kita.” Ih gedeg rasanya Alisya mendengar ucapan mantan mertuanya ini, apa mereka pikir uang bisa menyelesaikan segalanya.“Ma, apa yang mama katakan Bisma masih minum ASI,” bantah Pandu yang terlihat tidak setuju dengan usul mamanya. “Alisya bisa tinggal bersama kita dan memberinya Asi setiap hari,” kata sang mama dengan pandangan tak bisa dibantah pada Alisya. Jika dulu Alisya hanya akan menunduk patuh pada apa yang dikatakan sang nyonya tapi tidak untuk sekarang, mama mertuanya juga bagian dari luka masa lalunya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mematuhi wanita itu lagi. “Maaf, Nyonya saya dan anak saya punya kehidupan sendiri,” kata Alisya yang sama sekali tidak berusaha menutupi rasa tak nyamannya. “Sombong-“ “Nyonya?” Pandu memotong cepat ucapan ibunya, dia terkejut dengan panggilan Ali
“Mama sudah membuka jalan untukmu tapi kamu mementahkan lagi usaha mama.” Pandu hanya diam menerima omelan mamanya, dia tahu sang mama sangat menyayanginya meski cara yang dia gunakan selalu tidak sama dengan para ibu di luar sana. Ibunya tak terlalu suka dengan anak kecil, bahkan meski itu anak kandungnya sendiri. Pandu tak mau masa kecil anaknya akan sama seperti dirinya dulu, kesepian dan merasa ditinggalkan. Jangankan menemaninya bermain dan belajar, bahkan saat acara kelulusan saja Pandu harus memohon pada ayah dan ibunya untuk mengosongkan jadwal mereka yang sudah sangat padat dengan acara di luar sana. Pandu sadar dirinya juga tak berbeda jauh dengan sang ayah yang memang gila kerja, karena itu dia sama sekali tak berharap memiliki istri seperti ibunya. Pandu menyayangi ibunya karena tanpa sang ibu dia tidak akan mungkin lahir ke dunia ini, tapi tentu saja baginya sebagai seorang anak mengandung dan melahirkan saja t
Sebenarnya ada apa dengan kedua orang tuanya, mengapa mereka begitu memaksanya. “Aku tidak tahu kalau di rumah akan ada acara makan bersama?” tanya Pandu langsung begitu panggilan pada ayahnya diangkat. “Bawalah Alisya dan Bisma bersamamu malam ini,” kata sang ayah tenang. “Papa bercanda, kami bukan keluarga utuh yang bisa pergi kalau aku mau.” “Papa tahu, karena itu kamu harus berjuang untuk mereka,” kata sang ayah dari seberang sana dengan yakin. Pandu terdiam sejenak, sampai suara sang ayah kembali terdengar dengan jelas. “Apa kamu merasa tak mampu membawa mereka kembali atau kamu memang tidak ingin melakukannya?” Pandu menghela napas berat. “Papa pasti tahu saat ini bersama mereka adalah hal yang paling aku inginkan.” “Syukurlah kalau begitu jadi tidak ada masalah bukan.” “Setelah apa yang dilakukan mama tadi siang peluangku untuk mewujudkan semuanya berjadi turun drastis.” “Kamu menyalahkan mamamu? Dia hanya ingin membantumu.” “Selain doa dari mama aku tak butuh bant
Alisya berusaha sebaik mungkin menjalani peran sebagai ibu dan juga ayah untuk Bisma.Bukannya dia tidak ingin memberikan keluarga lengkap untuk anaknya sebagai wanita keinginan itu pasti ada, tapi tentu saja dia harus berpikir dengan kepala dingin.Sanggupkan dia menggantungkan hidupnya dan putra pada laki-laki yang pernah mengkhianatinya dan membuangnya seperti sampah.“Kamu jadi ajak Rani juga, Lis?” tanya bulek Par yang pagi-pagi sudah datang ke rumahnya.“Iya bulek, kemarin aku sudah telepon dia dan katanya bisa tapi kok ini belum datang ya?” tanya Alisya sambil menengok ke halaman rumahnya.“Kamu sudah kasih tahu jam berapa biasanya berangkat?” tanya bulek Par yang kini sudah melangkah ke dalam rumah dan memperhatikan Bisma yang sednag ngoceh sendiri dengan bahasa bayinya.Hubungan
Hari pertama mengajak anaknya bekerja memang membuat Alisya lebih tenang, dia bhkan lebih konsentrasi dalam bekerja.Suara sang anak yang terkadang mengoceh dengan bahasa bayinya sama sekali bukan gangguan untuknya. Bersama mainan dan juga Rani yang menjadi teman bermain menyenangkan untuk Bisma, membuat bayi itu tenang dan tidak merajuk pada sang ibu. Akan tetapi yang jadi masalah adalah saat Alisya harus meeting di luar kantor bersama sekretarisnya."Kenapa mereka nggak diajak saja bu?" tanya Dara saat Alisya terlihat begitu bimbang. "Tempatnya lumayan jauh, lagi pula apa kata klien nanti kalau aku membawa anak," bantah Alisya. "Memang kamu berani Ran, di sini sendiri?" Tanya Dara yang juga ikut bingung sekarang. "Berani sih, mbak kan di sini banyak orang." Meeting kali ini dijadwalkan mulai jam sepuluh sampai nanti jam dua siang. Tentu saja waktu yang mepet membuat Alisya tak bisa kembali untuk makan siang bersama putranya. "Apa kamu di sini saja, Dar. biar aku sendiri yang
"Itu Mereka"Fahri langsung berdiri, Alisya yang duduk di samping laki-laki itu juga ikut berdiri dan menyambut klien mereka.Entah mengapa dia seperti familiar dengan wajah laki-laki bule di depannya. "Al, dia tuan Bastian, dirutnya ternyata yang datang, jangan ada kesalahan ya," bisik Fahri.Alisya hanya mengangguk, seingatnya yang tanda tangan dokumen kemarin bukan Bastian ini, lalu untuk apa dia datang?"Pak Fahri senang bertemu dengan anda di sini, saya sedang jenuh di kantor jadi ikut datang ke sini, ah dan saya juga merasa terhormat bertemu dengan..." "Alisya," jawab Alisya singkat saat pandangan laki-laki itu mengarah padanya. "Ah begitu, senang bertemu anda.""Kami juga senang bertemu dengan nada, saya tidak menyangka tuan muda Smith sendiri yang akan turun gunung," canda Fahri yang disambut tawa renyah laki-laki di depannya ini. Akan tetapi satu nama yang mengangguk Alisya. Smith, dia tidak mungkin melupakan nama itu.Memang sih bisa saja hanya nama mereka yang sama tapi
Alisya menggigit bibirnya berusaha menahan resah dalam hati.Bagaimanapun juga darah lebih kental dari pada air.“Acnya kurang dingin Al?” tanya Fahri yang dari tadi terus melirik Alisya yang terlihat duduk tak nyaman di sebelahnya.“Eh... enggak pak, sudah cukup,” kata Alisya kagok.Ini karena Pandu, tapi tentu saja Alisya tak bisa mengatakannya pada Fahri.Tanpa dia sangka mantan suaminya itu juga berada di tempat itu dan meminta waktu untuk bicara sebentar semula Alisya pikir Pandu akan membicarakan tentang Bisma dan juga keinginan mamanya, tapi siapa sangka.“Bastian berbeda dengan Regan, Al. Dia lebih beretika dalam berbisnis,” kata laki-laki itu setelah mereka duduk agak jauh dari Fahri yang terlihat sedang menikmati minuman yang dia pesan.Rupanya Pandu tahu dia baru saja meeting dengan Bastian Smith, dan entah bagaimana melihat ketidaknyamanan Alisya saat berhadapan dengan laki-laki itu.“Mas yakin, bagaimanapun mereka saudara, aku memang tidak pernah memiliki saudara kandung
Bulek Par berlari tergopoh-gopoh saat mobil Alisya memasuki halaman.“Lis, kok kamu tidak jawab telepon bulek,” kata wanita itu, bahkan Alisya belum juga membuka pintu mobil.“Ada apa, bulek?” tanya Alisya berusaha tetap tenang, dia meminta bulek Par mundur sejenak agar dia bisa membuka pintu mobil dan turun dari dalamnya sebelum membantu Rani yang sedang memangku Bisma keluar dari sana juga.“Eleh... eleh si ganteng, senang ya ikut mama kerja,” kata bulek Par seolah lupa dengan apa yang akan dia katakan pada Alisya dan beralih pada si kecil digendongan Rani.“Ada apa, bulek?” tanya Alisya sabar begitu wanita paruh baya itu menyerahkan Bisma pada Rani lagi.“Oh itu ada yang mengantar banyak makanan kemari tadi, alamatnya memang di sini tapi namanya bukan namamu atau ayahmu.”“Makanan? kok nama ayah sih?” tanya Alisya bingung, ayahnya sudah meninggal bertahun-tahun yang l
"Mas pelan-pelan, kamu tidak bisa seperti ini!" Alisya mencengkeram besi pegangan dengan kuat sampai tanganya mati rasa. Dia ingin memejamkan matanya, tapi dia tahu itu akan membuatnya tidak bisa merasakan apa yang terjadi saat ini. Tidak ini tidak benar, Pandu tak bisa melakukan ini padanya, mereka memang telah menjadi suami istri kembali tapi bukan berarti laki-laki itu berhak melakukan ini padanya. Nyawanya dan putranya bukan milik Pandu. Mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi sambil meliuk-liuk menyalip semua kendaraan yang ada di depannya jelas akan membahayakan nyawa mereka bertiga, meski mobil Pandu berharga milyaran tidak akan mampu melindungi mereka saat terjadi kecelakaan fatal. "Mas jika kamu tidak peduli denganku, tolong peduli sedikit pada anakmu, dia ketakutan!" sentak Alisya keras.Tangan kanan Alisya yang tidak mencengkeram besi pegangan, memeluk Bisma dengan erat. Anak itu seperti tahu akan adanya bahaya disekitarnya, dia yang biasanya berceloteh riang sekara
Alisya mempelajari ini dari sang ibu yang memang memiliki bakat yang tak perlu diragukan dalam hal urusan perdapuran, termasuk dalam membuat kopi yang merupakan minuman kesukaan sang suami. Dan bakat itu bukan hanya diwarisi begitu saja, tapi dia juga dia pelajari langsung saat membantu sang ibu menyiapkan dagangannya. Demi membantu perekonomian keluarga sang ibu memang berjualan berbagai masakan di depan kontrakan mereka dulu dan menjadi satu-satunya sumber penghasilan uang mereka begitu sang ayah meninggal. Sekarang saat kakek dari Pandu memintanya membuatkan kopi alih-alih asisten rumah tangga yang berseliweran di rumah ini, Alisya dengan senang hati melakukannya. Akan tetapi masalah sebenarnya baru muncul saat dia diantar oleh salah satu asisten rumah tangga itu ke dapur, seseorang tiba-tiba muncul dan membuatnya ingin sekali menyiram muka cantik itu dengan kopi panas. "Aku nggak nyangka Pandu bakalan bawa kamu ke rumah ini, kemarin dia sudah dekat dengan Silvia setelah berce
Alisya membawa anaknya ke ruang televisi diikuti asisten rumah tangga sang kakek. Setelah memberi tahu film kartun kesukaan Bisma, juga menenangkan sang anak saat tak mau turun. "Anak mama nonton tivi dulu ya, mama mau bicara sama buyut dulu," kata Alisya pada sang anak. Seolah mengerti dengan omongan sang mama, anak itu meraba wajah sang mama sebentar lalu menonton menunjuk televisi sambil tertawa. "Titip anak saya sebentar ya, Bu. Saya mau menemui kakek dulu," kata Alisya lalu menjelaskan beberapa kebiasaan Bisma juga menyerahkan tas Asip yang memang sengaja dia bawa. Tanpa Alisya ketahui sang kakek dari luar memperhatikan dengan seksama apa yang dia lakukan. "Dia istri pertama saya, yang dulu tidak saya akui," kata Pandu membuat sang kakek menatap padanya."Kenapa sekarang kamu membawanya kemari? karena dia sudah melahirkan anakmu?" tanya sang kakek tajam. Pandu menghela napas. dia menatap Alisya yang masih berbicara dengan asisten rumah tangga kakeknya. "Salah satunya." "L
Seorang wanita tua dengan wajah ramah membukakan pintu untuk mereka. "Tuan muda, selamat datang. Tuan besar sudah menunggu," kata wanita itu sambil melempar senyum pada Alisya. "Terima kasih, Mbok. Apa kabar?" "Baik, Tuan. Apalagi saat lihat tuan muda simbok malah lima puluh tahun lebih muda," kata wanita itu dengan jenaka. "Simbok salah satu wanita tercantik menurut saya," kata Pandu menanggapi guyonan wanita itu. "Tapi tidak lebih cantik dari wanita di samping tuan kan, saya mbok Iroh, Nya," kata wanita itu sambil mengulurkan tangan. Alisya tersenyum dan menyambut uluran tangan itu. "Saya Alisya, mbok." "Ah nama yang cantik secantik orangnya, lalu?" tanya wanita itu yang pandangannya tertuju pada Bisma yang asik dengan empengnya. "Ini Bisma putra kami." "Putra!" tanya wanita itu terkejut dan menatap Alisya dengan seksama lalu Bisma, tapi secepat mungkin wanita itu menutupi keterkejutannya dan mempersilahkan mereka masuk. "Tuan besar ada di halaman samping, silahkan. Simb
Selama tiga puluh menit, Pandu hanya bengong menatap rumah Alisya yang kini juga menjadi rumahnya dari dalam mobil. Pikirannya begitu kusut. Sesungguhnya dia malu pada Alisya. Dulu saat menjadi istrinya Alisya bahkan tidak dia perkenalkan pada keluarganya, wanita itu hanya tahu mama dan papanya, pun saat pesta di hari ulang tahun Alisya, dia hanya mengundang kolega bisnis, keluarganya memang sempat protes, tapi sang kakek hanya diam, karena bagi laki-laki itu orang yang tidak diperkenalkan padanya bukan anggota keluarganya, hanya benalu yang nantinya akan dibuang.Sejujurnya Pandu memang menganggap Alisya seperti itu juga, Sekarang keadaan memang sudah berubah tapi dia bingung harus mengatakan apa pada Alisya. Ketukan di pintu mobil membuat Pandu mengerjapkan matanya dan buru-buru dia keluar saat meihat Alisya yang sedang menggendong Bisma. "Mas baik-baik saja? betah banget dalam mobil padahal sudah ditungguin," kata Alisya sambil tersenyum. Pandu membiarkan punggung tangannya di
"Aku akan pura-pura tidak mendengar ucapan papa barusan," kata Pandu sambil membuka kotak yang dikirim Alisya. Bau harum masakan langsung menyeruak saat Pandu membuka penutupnya, dia tahu Alisya tidak pernah membawakan hanya satu porsi untuknya, bukan karena makannya banyak tapi karena wanita itu yakin kalau Pandu akan mengajak orang lain untuk makan bersama, entah itu asistennya, sopir atau karyawan yang kebetulan bersamanya saat makan siang. Sebagai pimpinan puncak di kantor ini, Pandu bukan sosok yang sok bossy, dia cenderung ingin berbaur dengan semua orang, hal itu juga yang membuatnya tidak sulit untuk berbaur dengan warga di desa yang kini mereka tempati. Dan Alisya tahu betul akan hal itu. "Sangat menyenangkan menerima kiriman makan siang setiap hari dari istri," kata sang papa dan Pandu bisa menangkap nada iri dalam suaranya. Pandu tak menjawab, dia juga tak tahu harus menjawab apa. Ibunya bukan sosok yang akan mau repot di dapur untuk menyiapkan makanan untuk suaminya,
"Masih marah?" tanya Pandu saat Alisya menyiapkan makan siang untuknya. Setelah insiden kerja bakti yang membuat Alisya menyeret suaminya pulang ke rumah, wanita itu bahkan tidak mau bicara sedikitpun. Bahkan Pandu sudah mengeluarkan semua stock gombalan yang dia tahu bahkan dia harus repot-repot mencari cara untuk membuat istri yang cemberut senyum lagi, tapi hasilnya tetap saja zonk. Mungkin istrinya tidak sama dengan model istri-istri yang ada di media sosial, Alisya terlalu realistis dan logis memang, jadi karena semua jurusnya mental. Pandu hanya diam sambil sesekali mencuri pandang pada sang istri. "Sayang, masih marah? aku nggak maksud lho tebar pesona, aku cuma mau angkut sampah tadi, maaf ya," kata Pandu saat Alisya duduk di depannya siap makan siang bersama. Alisya menghela napas kalau dipikir-pikir memang bukan salah Pandu juga, dia hanya ingin membaur dengan warga di sini, bukan salahnya bukan kalau dia punya wajah ganteng diatas rata-rata dan aura mahal yang tet
Minggu pagi Pandu sudah rapi, dengan kaos oblong dan celana pendek yang terlihat sederhana, tapi Alisya tahu harga pakaian itu bahkan lebih mahal dari harga motor keluaran terbaru. "Mas mau kemana?" tanya Alisya yang buru-buru meletakkan barang belanjaan yang baru saja dia beli. Dengan Bisma yang ada di gendongan sang suami, membuat laki-laki itu terlihat semakin mempesona.Alisya tidak ingat Pandu mengajaknya pergi ke suatu tempat, jadi dia berencana hari ini akan membuat camilan untuk orang-orang desa yang akan melakukan kerja bakti membersihkan parit di sepanjang jalan di depan rumahnya dan tidak mungkin meminta Pandu untuk ikut kerja bakti bukan, jadi Alisya memutuskan menyediakan makanan saja untuk bapak-bapak yang bekerja. "Mau kerja bakti kan?" tanya Pandu balik dengan tampang polos yang membuat Alisya bingung harus menjawab apa. "Mas mau ikut?" Pandu mengangguk. "Mas yakin?" "Kan kemarin pak Rt suruh datang, nggak enak kalau nggak datang, aku kan sudah jadi warga kampun
Alisya tahu bagaimana Sekar juga mama mertuanya, mereka tipe wanita yang gemar bermewah-mewah tak peduli bagaimana sulitnya mencari uang, dia bahkan dulu pernah tak sengaja mendengar kalau biaya salon Sekar dalam satu bulan mencapai seratus juta, belum lagi dengan keperluan gaya hidupnya yang Alisya yakin lebih dari itu. Sedangkan untuk Alisya Pandu hanya memberi uang bulanan separuh dari biaya salon Sekar. Dia tidak pernah iri karena tahu Pandu juga menanggung biaya pengobatan sang ibu yang tidak sedikit, tapi saat dulu Pandu meminta Alisya mengembalikan uang perawatan untuk ibunya, dia benar-benar sakit hati. Sekarang mereka kembali bersama, Pandu memang mempercayakan hartanya pada Alisya dan membebaskan dia untuk menggunakannya, tapi Alisya yang tahu sekali bagaimana susahnya mencari uang tentu saja tidak akan pernah menggunakan uang itu jika tidak benar-benar membutuhkannya. Gaya hedon dan mewah sangat bukan Alisya sama sekali dan tentu saja dia tidak mau hidup dengan menj