Alisya memang jarang menghadiri pesta, apalagi sebagai pendamping Pandu.
Satu-satunya pesta yang dia hadiri bersama Pandu adalah pesta ulang tahunnya dulu yang berakhir dengan kecewa.Alisya bukannya tidak suka pesta dia hanya tak suka pandangan meremehkan dan penuh penghakiman dari yang hadir.Para orang-orang kaya yang hadir akan berlomba mempertontonkan betapa mahal pakaian yang melekat di tubuhnya atau betapa Wow dandanannya.“Kamu terlihat cantik malam ini. Jangan gugup.”“Terima kasih, tapi orang cantik juga berhak gugup,” kata Alisya datar menyembunyikan kegugupannya, gaun hitam dengan potongan sederhana tapi elegan yang dia pakai tadi terasa terlalu sederhana jika dibanding orang-orang yang ada di sini.“Ah ternyata kamu benar-benar gugup, pegang tanganku semuanya akan baik-baik saja.” Alisya menatap tangan yang terulur padanya lama.“Ah kamu kelamaan mikirnya.” Tiba-tiba saja tangan Alisya sudah ada dala“Kemana sih kamu mas, awas saja kalau berani tak mengajakku!” Wanita itu baru saja keluar dari salon mahal di salah satu kawasan mall terbesar di kota ini, suaminya punya banyak uang dan tugasnyalah untuk menghabiskan uang itu. Pakaian mahal koleksi butik ternama sudah dia beli dua hari yang lalu, dan rencananya dia juga akan menggunakan koleksi berliannya, suaminya tidak akan rugi membawanya ke pesta itu, dia sangat percaya diri akan menjadi pusat perhatian di sana. Undangan itu dia tahu tergeletak di meja kerja suaminya minggu lalu tapi dia belum sempat menanyakan lebih lanjut karena laki-laki itu terlihat sangat sibuk dan selalu pulang malam. “Ayo angkat teleponku,” gerutunya kesal. Berulang kali dia menghubungi nomer sang suami tapi sama sekali tidak ada jawaban dari ujung sana, wanita itu menggeram kesal dan melempar ponsel mahalnya ke dalam tas setelah mengirim pesan untuk menjemputnya nanti malam tepat waktu. Sekarang dia hanya perlu tidur sebentar untuk mengistirahatkan t
Ini sudah keterlaluan. Ibu Pandu memang nenek kandung Bisma, tapi bukan berarti bisa seenaknya mengambil Bisma di daycarenya. “Saya ini neneknya, saya berhak membawa Bisma bersama saya!” kata wanita paruh baya itu kukuh. Alisya memejamkan matanya sebentar, berusaha menahan kemarahan dalam hatinya bagaimanapun wanita itu pernah menjadi ibu mertuanya dan sudah sepatutnya dia hormati. “Bisma!” Alisya langsung mengambil.. ehm tepatnya merebut anaknya yang menangis kencang, saat nyonya Wardhana berusaha menggendong anak itu yang sedang sibuk bermain dengan pengasuhnya. “Apa yang nyonya lakukan?” tanya Alisya datar. Entah mengapa akhir-akhir ini banyak orang yang menguji kesabarannya, dia yang ceria dan penuh senyum kini berganti wanita yang suka berkata datar dan penuh ancaman. Alisya bukannya menyukai perubahan dirinya ini, dia merasa tidak menjadi dirinya sendiri, tapi mau bagaimana lagi keadaan menuntutnya
“Memangnya kenapa kalau mama pingin dekat dengan cucu mama, Bisma pasti akan lebih bahagia dan terjamin hidupnya bersama kita.” Ih gedeg rasanya Alisya mendengar ucapan mantan mertuanya ini, apa mereka pikir uang bisa menyelesaikan segalanya.“Ma, apa yang mama katakan Bisma masih minum ASI,” bantah Pandu yang terlihat tidak setuju dengan usul mamanya. “Alisya bisa tinggal bersama kita dan memberinya Asi setiap hari,” kata sang mama dengan pandangan tak bisa dibantah pada Alisya. Jika dulu Alisya hanya akan menunduk patuh pada apa yang dikatakan sang nyonya tapi tidak untuk sekarang, mama mertuanya juga bagian dari luka masa lalunya dan tidak ada kewajiban baginya untuk mematuhi wanita itu lagi. “Maaf, Nyonya saya dan anak saya punya kehidupan sendiri,” kata Alisya yang sama sekali tidak berusaha menutupi rasa tak nyamannya. “Sombong-“ “Nyonya?” Pandu memotong cepat ucapan ibunya, dia terkejut dengan panggilan Ali
“Mama sudah membuka jalan untukmu tapi kamu mementahkan lagi usaha mama.” Pandu hanya diam menerima omelan mamanya, dia tahu sang mama sangat menyayanginya meski cara yang dia gunakan selalu tidak sama dengan para ibu di luar sana. Ibunya tak terlalu suka dengan anak kecil, bahkan meski itu anak kandungnya sendiri. Pandu tak mau masa kecil anaknya akan sama seperti dirinya dulu, kesepian dan merasa ditinggalkan. Jangankan menemaninya bermain dan belajar, bahkan saat acara kelulusan saja Pandu harus memohon pada ayah dan ibunya untuk mengosongkan jadwal mereka yang sudah sangat padat dengan acara di luar sana. Pandu sadar dirinya juga tak berbeda jauh dengan sang ayah yang memang gila kerja, karena itu dia sama sekali tak berharap memiliki istri seperti ibunya. Pandu menyayangi ibunya karena tanpa sang ibu dia tidak akan mungkin lahir ke dunia ini, tapi tentu saja baginya sebagai seorang anak mengandung dan melahirkan saja t
Sebenarnya ada apa dengan kedua orang tuanya, mengapa mereka begitu memaksanya. “Aku tidak tahu kalau di rumah akan ada acara makan bersama?” tanya Pandu langsung begitu panggilan pada ayahnya diangkat. “Bawalah Alisya dan Bisma bersamamu malam ini,” kata sang ayah tenang. “Papa bercanda, kami bukan keluarga utuh yang bisa pergi kalau aku mau.” “Papa tahu, karena itu kamu harus berjuang untuk mereka,” kata sang ayah dari seberang sana dengan yakin. Pandu terdiam sejenak, sampai suara sang ayah kembali terdengar dengan jelas. “Apa kamu merasa tak mampu membawa mereka kembali atau kamu memang tidak ingin melakukannya?” Pandu menghela napas berat. “Papa pasti tahu saat ini bersama mereka adalah hal yang paling aku inginkan.” “Syukurlah kalau begitu jadi tidak ada masalah bukan.” “Setelah apa yang dilakukan mama tadi siang peluangku untuk mewujudkan semuanya berjadi turun drastis.” “Kamu menyalahkan mamamu? Dia hanya ingin membantumu.” “Selain doa dari mama aku tak butuh bant
Alisya berusaha sebaik mungkin menjalani peran sebagai ibu dan juga ayah untuk Bisma.Bukannya dia tidak ingin memberikan keluarga lengkap untuk anaknya sebagai wanita keinginan itu pasti ada, tapi tentu saja dia harus berpikir dengan kepala dingin.Sanggupkan dia menggantungkan hidupnya dan putra pada laki-laki yang pernah mengkhianatinya dan membuangnya seperti sampah.“Kamu jadi ajak Rani juga, Lis?” tanya bulek Par yang pagi-pagi sudah datang ke rumahnya.“Iya bulek, kemarin aku sudah telepon dia dan katanya bisa tapi kok ini belum datang ya?” tanya Alisya sambil menengok ke halaman rumahnya.“Kamu sudah kasih tahu jam berapa biasanya berangkat?” tanya bulek Par yang kini sudah melangkah ke dalam rumah dan memperhatikan Bisma yang sednag ngoceh sendiri dengan bahasa bayinya.Hubungan
Hari pertama mengajak anaknya bekerja memang membuat Alisya lebih tenang, dia bhkan lebih konsentrasi dalam bekerja.Suara sang anak yang terkadang mengoceh dengan bahasa bayinya sama sekali bukan gangguan untuknya. Bersama mainan dan juga Rani yang menjadi teman bermain menyenangkan untuk Bisma, membuat bayi itu tenang dan tidak merajuk pada sang ibu. Akan tetapi yang jadi masalah adalah saat Alisya harus meeting di luar kantor bersama sekretarisnya."Kenapa mereka nggak diajak saja bu?" tanya Dara saat Alisya terlihat begitu bimbang. "Tempatnya lumayan jauh, lagi pula apa kata klien nanti kalau aku membawa anak," bantah Alisya. "Memang kamu berani Ran, di sini sendiri?" Tanya Dara yang juga ikut bingung sekarang. "Berani sih, mbak kan di sini banyak orang." Meeting kali ini dijadwalkan mulai jam sepuluh sampai nanti jam dua siang. Tentu saja waktu yang mepet membuat Alisya tak bisa kembali untuk makan siang bersama putranya. "Apa kamu di sini saja, Dar. biar aku sendiri yang
"Itu Mereka"Fahri langsung berdiri, Alisya yang duduk di samping laki-laki itu juga ikut berdiri dan menyambut klien mereka.Entah mengapa dia seperti familiar dengan wajah laki-laki bule di depannya. "Al, dia tuan Bastian, dirutnya ternyata yang datang, jangan ada kesalahan ya," bisik Fahri.Alisya hanya mengangguk, seingatnya yang tanda tangan dokumen kemarin bukan Bastian ini, lalu untuk apa dia datang?"Pak Fahri senang bertemu dengan anda di sini, saya sedang jenuh di kantor jadi ikut datang ke sini, ah dan saya juga merasa terhormat bertemu dengan..." "Alisya," jawab Alisya singkat saat pandangan laki-laki itu mengarah padanya. "Ah begitu, senang bertemu anda.""Kami juga senang bertemu dengan nada, saya tidak menyangka tuan muda Smith sendiri yang akan turun gunung," canda Fahri yang disambut tawa renyah laki-laki di depannya ini. Akan tetapi satu nama yang mengangguk Alisya. Smith, dia tidak mungkin melupakan nama itu.Memang sih bisa saja hanya nama mereka yang sama tapi
“Kenapa sih mas tantemu itu suka sekali bikin gara-gara dengan kita,” keluh Alisya tak habis pikir. Untuk mewujudkan sebuah keinginan kita memang harus bekerja dengan keras. Alisya sangat paham akan hal itu karena selama hidupnya dia berusaha keras untuk mencapai apa yang dia inginkan. Meski Alisya juga diajarkan untuk berusaha dengan jalan yang baik dalam artian tidak merugikan orang lain di sekitarnya, dan juga harus siap untuk menerima jika usaha keras kita mungkin saja gagal dan tak sesuai harapan. Sekarang saat dihadapkan pada kenyataan kalau ada orang yang melakukan apa saja supaya mendapat bantuan dari orang lain, bahkan tak peduli jika orang yang dia mintai bantuan akan hancur tentu membuatnya sangat geram. Apalagi sang tante yang mengaku berhak atas harta keluarganya karena merasa dialah anak pertama. “Mau bagaimana lagi, jelek-jelek begitu dia juga bagian dari keluarga kita,” kata Pandu dengan wajah kesal. “Kok dia kepikiran sih membuat isu seperti itu atau..” “Jang
Sesiang ini Alisya masih santai nonton televisi di kamarnya dan Pandu. "Kamu nggak kerja?" tanya Pandu yang baru saja keluar dari kamar mandi. Laki-laki itu menatap jam di dinding lalu pada sang istri lagi yang masih sibuk memencet-mencet remote televisi dengan gemas. "Sayang," panggil Pandu lagi mungkin saja kan istrinya itu tidak mendengar pertanyaannya tadi karena sibuk dengan televisinya. "Mas kok ngusir sih," jawab Alisya menbuat laki-laki itu sedikit terkejut, padahal sebelum dia masuk kamar mandi istrinya masih baik-baik saja, tapi sekarang berubah seperti singa."Kok ngusir sih. Kan mas tanya," jawab Pandu lembut. Pandu sudah pernah bersama Sekar selama hampir sepuluh tahun, dia tahu kalau Sekar bukan orang yang mudah berkompromi meski dengan dirinya yang saat itu berstatus pacarnya. Sekar egois dan mau menang sendiri membuat Pandu harus banyak mengalah karena dia sangat berharap kalau Sekar adalah satu-satunya wanita dalam hidupnya sampai maut memisahkan mereka. Saat it
Sejak ayah dan ibunya meninggal Alisya sering merasa sendiri tapi sekarang dia tidak merasa begitu lagi terutama setelah bertemu wanita paruh baya baik hati yang sekarang sedang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Oalah, Nduk. Kamu baik-baik saja kan?" Bulek Par langsung memeluk Alisya dengan erat wanita itu bahkan membolak-balik tubuh Alisya untuk memastikan wanita muda di depannya ini baik-baik saja. Alisya tersenyum, hatinya menjadi gerimis bukan karena peristiwa yang baru saja menimpanya tapi karena wanita paruh baya di depannya ini yang begitu tulus mengkawatirkannya seperti seorang ibu.Sejak ibunya meninggal Alisya pikir dia tidak akan lagi mendapatkan pelukan sehangat ini lagi, tanpa sadar air matanya menggenang, dia bahkan tak peduli, suami, anak juga para pegawai di rumah ini melihat semuanya, dia hanya ingin menikmati sekali lagi pelukan hangat seorang ibu yang begitu sangat dia rindukan.
Dua hari di rawat di rumah sakit kondisi Pandu sudah mulai membaik, dia sudah bisa tidur dengan telentang dan menggendong Bisma, meski masih selalu manja pada Alisya mengalahkan putranya. "Mau kita apakan bunga sebanyak ini, mas," kata Alisya dengan pandangan putus asa pada deretan bunga yang memenuhi ruang rawat Pandu. Alisya bukan orang romantis, sejak kecil dia terbiasa berhemat dan hanya membeli apa yang memang penting saja untuk dibeli dan tentu saja bunga bukan item yang akan dia beli apalagi jika tujuannya hanya untuk pajangan saja. Lagi pula dia tidak terlalu suka bunga, satu-satunya bunga yang dia suka adalah bunga deposito. Ayah mertuanya yang menempatkan penjaga di luar untuk mengantisipasi kejadian yang tidak diinginkan membuat rekan dan juga kerabat Pandu tidak bisa bebas menjenguk, jadi mereka hanya mengirimkan ucapan semoga lekas sembuh dengan bunga beraneka ragam, membuat ruangan ini berubah menjadi toko bunga. "Buang saja," kata Pandu gampang. Alisya m
Ini adalah mimpinya sejak dulu. Dia akan menjadi orang nomer satu di kota ini, dia sangat yakin meski pemilihan belum berlangsung. Kekuatan nama besar keluarganya juga koneksi yang dia miliki tentu akan membuatnya bisa melenggang dengan tenang menduduki posisi itu. Sayang... Dia tidak memperhatikan satu kerikil kecil yang membuatnya tergelincir seperti ini. Tidak... Dia belum kalah, dia akan membuktikan kalau dia tidak bersalah dalam hal ini, dia akan menemui laki-laki tua itu, kalau perlu dia akan bersujud di kakinya untuk mendapatkan fasilitas dan dukungannya. Sudah saatnya bukan dia mendapatkan apa yang menjadi haknya selama ini, dia sudah banyak mengalah sejak usianya remaja. Panji yang diberi hak istimewa baik pendidikan bahkan kedudukan dalam keluarga, seharusnya pewaris adalah anak pertama, tidak peduli dia laki-laki atau perempuan, laki-laki tua kolot itu pasti akan menyesali keputusannya ini. Dia pasti akan membuatnya membuka mata dan melihat kenyataan yang sebenarny
"Kenapa mas ngomong seram begitu." "Mas akan meminta beberapa orang untuk mengawalmu mulai sekarang." "Untuk apa?""Tentu saja untuk berjaga-jaga, apalagi Silvia pasti lebih nekad sekarang tadi saja dia berani datang kemari." Alisya terdiam dia menatap suaminya dalam, entah bagaimana reaksi Pandu mendengar berita kematian Silvia."Silvia tak akan bisa mencelakakan siapapun lagi, karena dia sudah meninggal," kata Alisya pelan tanpa memalingkan muka dari sang suami."Oh?" "Kenapa?" "Mas tidak penasaran kenapa dia bisa meninggal?" Pandu menghela napas panjang lalu menatap sang istri sambil tersenyum. "Dia bukan orang yang penting untukku, jadi tidak penting juga apa yang terjadi padanya," katanya ringan. "Mas yakin tidak punya perasaan lebih padanya, rasa simpati atau bela sungkawa seperti itu bagaimanapun kalian sudah lama saling kenal?" Alisya tahu pertanyaannya ini sangat konyol, dia bukan ingin meyakiti diri dengan mendengar suaminya perduli pada wanita lain sih, bukan sepert
Rasanya seperti sedang menikmati pemandangan indah di puncak gunung tiba-tiba didorong ke dasar jurang.Itulah yang Alisya rasakan sekarang.Seharusnya Alisya tidak menaruh harap, apalagi pada manusia Agar dia selalu terlindung dari rasa kecewa. Tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur tak akan bisa kembali lagi. "Silvia." Nama itu seperti penyakit yang menggerogotinya. Orangnya memang sudah meninggal tapi masih mampu memberikan rasa sakit untuknya. Kemarin saat melihat suaminya berlumuran darah Alisya bahkan tak mampu untuk mengeluarkan air mata, dia terlalu terkejut dengan ini semua, sangat berharap kalau sang suami segera bangun tapi begitu harapannya terkabul kenapa rasanya begitu sakit saat mendengar sang suami menyebut nama itu.Andaikan bisa Alisya ingin menghapus ingatan sang suami pada nama itu, sayangnya itu tak mungkin dia lakukan.Bersamaan dengan bibi yang datang bersama dokter jaga, kaki Alisya melangkah mundur, dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Bahkan
Alisya menghela napas lelah, dia menatap dua orang polisi di depannya dengan seksama. "Saya tidak tahu apa Silvia kecelakaan atau ada orang yang sengaja mensabotase mobilnya," kata Alisya tegas entah untuk yang ke berapa kalinya.Entah bukti apa yang sudah didapat oleh para polisi ini sampai mereka mencerca Alisya dengan berbagai pertanyaan yang nyudutkan, padahal bisa dibilang dia adalah korban dari keegoisan Silvia, meski wanita itu sudah meninggal sekarang, tapi sejak tadi tak ada pertanyaan kenapa suaminya bisa berakhir di rumah sakit seperti ini. "Apa ibu yakin tidak tahu akan hal itu?" tanya sang polisi lagi. Alisya tahu sih mereka hanya melakukan pekekerjaan mereka, tapi kok dia jadi kesal ya, kenapa seolah dia yang dijadikan tersangka, sedikit sesal di hati Alisya karena tidak menuruti saran bibi untuk menghubungi ayah mertuanya dan mendapatkan bantuan pengacara.Alisya pikir dia hanya perlu menceritakan kronologi kejadiannya saja, tapi ternyata... "Saat Silvia melajukan m
"Dasar pembawa sial!" Teriakan itu langsung menggema di ruang vip tempat Pandu dirawat saat Alisya baru saja membuka pintu. Dia tidak menyangka ada orang yang cukup gila berteriak di rumah sakit seperti ini, meski ruangan ini agak terpisah dengan ruangan lain tapi teriakan keras itu bahkan bisa membangunkan orang mati. Alisya menoleh ke belakang, dia sedikit berharap Pandu terganggu dengan teriakan itu dan membuka mata, dia tidak keberatan dimaki atau diomeli asal suaminya bisa bangun lagi, tapi nyatanya Pandu masih tetap anteng dalam tidurnya. "Jangan berisik tante ini rumah sakit," tegur Alisya pelan. Alisya pasti sudah gila kalau berpikir wanita di depannya ini akan menurut dengan kalimatnya, sang tante langsung meringsek masuk dan menatap Pandu dengan tatapan... Kesal. Sungguh manusia ajaib memang. "Semua ini gara-gara kamu, kalau kamu mau menerima Silvia semuanya tidak akan seperti ini!" "Ini tempat umum, anda pasti tahu apa yang akan terjadi jika saya memanggil satp