"Kamulah yang sepertinya menganggap ada sesuatu diantara kami berdua," Stevan menyelanya. "Bukan Anin." Pernyataan itu memang benar hingga Sandara tidak mampu menyangkalnya. Ia memang mendorong Anin. Seandainya ia memperingatkan Anin, mungkin kekacauan ini bisa dihindari. Dan, Sandara terpaksa mengakui dengan amat menyesal, sebagian alasan ia mendorong Anin karena itu merupakan cara untuk membuktikan sesuatu pada David yang menurutnya salah. Menunjukkan pada David bahwa pria itu telah salah menilai. Kecuali sepertinya David tidak salah menilai. "Baiklah, sayangnya aku tidak punya waktu akhir pekan ini, Stev," kata Sandara, suaranya sangat dingin. "Aku akan menyudahi percakapan ini dulu." Sandara memutuskan hubungan dan sambil mengerang membenamkan wajah ke tangan. Rasa malu dan penyesalan bergolak dalam dirinya. Ia membayangkan ketika Anin bertanya padanya, Apakah menurutmu dia menyukaiku? Dan jawaban yakin...sombong!-nya,Aku yakin. Dan sekarang... sekarang ia harus mengatakan pad
Sandara melangkah hati-hati di lantai marmer yang berkilau yang sepertinya membentang tanpa batas ke berbagai arah. Apartemen ini memang menakjubkan seperti yang dikatakan Anggun, tapi juga hampa. Bahkan tanpa ciri khas. Jika ia berharap akan memperoleh petunjuk mengenai cara berpikir David atau bahkan perasaannya dari tempat pria itu tinggal, ia pasti kecewa. Apartemen itu tidak menunjukkan apa pun. Mungkin, pikir Sandara dengan ironis, itulah indikasi cara berpikir David. David bukan pria yang mudah menunjukkan emosi.Sandara memasuki ruang depan yang luas dengan jendela-jendela kaca besar menghadap danau. Persis seperti yang dikatakan Anggun, semuanya berwarna hitam atau putih. Atau hitam dan putih. Sandara mengamati beberapa sofa kulit berwarna krem yang terlihat sangat mahal, meja makan dari marmer putih yang terlihat bagaikan ukiran modern, lukisan tergantung di atas meja marmer hitam, tidak lebih dari bujur sangkar putih dengan bercak tinta hitam berantakan di sudut kanan bawah
"Sebenarnya, tidak," kata David dengan nada menggoda. "Lebih tepatnya belum."Dan bukan diriku. Pikiran itu seharusnya tidak mengusikku, Sandara memberitahu dirinya dengan sedikit panik. Ia jelas tidak ingin menjadi salah satu calon bagi peran membosankan itu. Dan apa pun yang mungkin atau bisa terjadi antara dirinya dan David, jelas bukan pernikahan. Atau cinta.Hanya ketertarikan mendasar.Jemari David bergerak turun. Jika David membuka kancing lain, pikir Sandara dengan panik, ia akan bisa melihat dada pria itu. "Tapi sebenarnya saat ini aku tidak sedang mencari," David menambahkan. Jemari pria itu berlama-lama di kancing dan Sandara menyadari dirinya sedang menatap. Lagi. Dan David menyadarinya. Meski sekujur tubuh Sandara terasa berat dan ganjil, seakan tubuhnya adalah tubuh orang lain, ia berhasil melangkah mendekati pintu."Baik kalau begitu, kurasa aku sebaiknya berganti pakaian dan bergegas ke ruanganku," kata Sandara, berusaha terdengar riang. Sebaliknya, suaranya terdengar
"Ya," Sandara mengakui. Ia kembali melirik Anin, yang masih berdiri sendirian. Indi otomatis mengikuti tatapan matanya. "Dia terlihat sedikit bingung, ya?" bisiknya. "Ya." Sandara bergerak gelisah. Mungkin mengundang Anin ke acara seperti ini merupakan kesalahan. Persahabatannya dengan Anin agak meregang sejak perubahan sikap Stevan, ia tidak tahu apa itu karena rasa bersalahnya sendiri atau perasaan Anin yang terluka. Mungkin keduanya." Sebaiknya aku ke sana dan bertanya padanya," ujar Sandara, dan meminta diri, mulai melangkah ke arah Anin, hanya untuk dicegat oleh Anggun. "Kita kehabisan gelas anggur," desis Anggun. "Petugas katering bodoh itu tidak membawa cukup banyak. Aku tidak bisa meminta David..." "Aku akan mengurusnya," Sandara menenangkan. Anggun sudah tegang sejak tiba, dan Sandara menduga itu ada hubungannya dengan kunjungan putra wanita itu. "Aku yakin kita bisa meminjam beberapa." Ia kembali melirik Anin yang semakin terlihat sedih dan kesepian. "Orang-orang m
Sandara menegakkan pundak, matanya membara. "Apakah aku terlihat ketakutan,David?" "Apakah kamu benar-benar mau tahu jawaban pertanyaan itu?" Sandara melontarkan tawa bimbang, mengakui maksud David. la merasa sikapnya memang terlihat cukup jelas. "Mungkin tidak." "Menurutku kita perlu mengubah cara kita memandang satu sama lain," lanjut David terlihat tenang, suaranya bernada merenung, tatapannya kembali menyapu Sandara, berlama-lama, lambat. Sandara tahu ia tidak mungkin salah mengartikan atau membayangkan tatapan itu. Tatapan David bagaikan belaian, mata pria itu menyentuh sukma di dalam tubuhnya. "Tentu saja, kita mungkin membutuhkan bantuan praktis dalam hal itu." Hanya David yang akan menggunakan kata praktis dalam suasana seperti ini. Sandara tidak merasa praktis sama sekali. Seluruh tubuhnya bergolak dengan kesadaran, nyeri dengan kebutuhan. "Praktis...?" ulangnya dengan berbisik. "Ya," David membenarkan, dan ia mengangkat tangan untuk menyelipkan sehelai rambut ke bal
Saat itu Sandara mulai merasakan kakinya yang telanjang, gaunnya yang menumpuk hampir ke pinggang. Perlahan David meluncurkan tangan di sepanjang kaki telanjang Sandara. Pergelangan kaki, betis, lutut. Sandara tidak tahu betapa erotis sentuhan di kaki. Dan ketika tangan David tiba di pahanya dan diam di sana dengan posesif, jemari pria itu melebar, seolah menyatakan hak milik, Sandara merasa dirinya goyah. Tangan David kokoh dan yakin, menenangkannya. "David" kata Sandara lagi, karena ia ingin tangan David tetap meluncur ke atas. Ia sangat menginginkannya. David tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Sandara. "Tidak perlu buru-buru," ia mengingatkan gadis itu, dan masih tersenyum, meluncurkan tangan ke atas dan membiarkan ibu jarinya mengelus pakaian dalam Sandara yang halus. Lutut gadis itu langsung lemas. David hampir tidak menyentuhnya, namun itu sudah cukup. Lebih dari cukup, tapi Sandara masih menginginkan lebih. David berlutut di hadapannya, tangan pria itu masih diletakkan
"Aku menginginkanmu Sandara," bisik David saat tubuhnya menyatu dengan Sandara, dan Sandara merasa tubuhnya terbuka di bawah David dan menerima pria itu. Ia takjub karena terasa begitu menyenangkan, begitu mengejutkan begitu tepat. Tidak ada yang aneh dengan momen ini. Tidak ada yang memalukan atau canggung. Menyenangkan. Luar biasa. Dan kemudian Sandara kembali berhenti berpikir, setidaknya secara koheren. Benaknya mengabur bagaikan warna-warni dan ia merasa tubuhnya melengkung dalam penerimaan dan kebutuhan mendalam sembari menarik David mendekat. Ia mengimbangi pria itu dalam setiap dorongan, wajahnya dibenamkan ke lekuk leher David hingga warna-warni memancar dalam pelangi sensasi. Keduanya kembali jatuh ke bantal-bantal licin seakan mereka bintang-bintang yang jatuh ke bumi, dan malam meledak di sekeliling mereka. Tidak seorang pun dari mereka bicara. Sandara memejamkan mata, tubuhnya puas, hatinya lega. Kelegaan itu membuatnya bertindak, lengannya memeluk David, mendekatkan
Syukurlah aku tidak benar-benar mencintai David, pikir Sandara dengan perasaan lega. Perasaan seperti ini saja sudah cukup buruk baginya. "Aku tidak merasa kamu tidak bisa berubah," kata David akhirnya, dan menurut Sandara pria itu terdengar sedikit kesal. "Kalau begitu, aku kekanak kanakan." "Sandara...." David mengembuskan napas keras, dan Sandara bisa membayangkan betapa menjengkelkan percakapan mengenai perasaan ini bagi David. Ini bukan bagian dari kesepakatan mereka. "Biar kubuatkan kamu sarapan," kata David, dan Sandara tahu lebih baik tidak memaksanya. Ia tidak ingin mendengar David mengatakan padanya bahwa pria itu setuju dengan segala sesuatu yang baru saja ia katakan dan kemudian mengakhirinya dengan pertanyaan "lantas kenapa?" "Baiklah," kata Sandara, dan kemudian mengoreksi jawaban yang agak ketus itu dengan "Thank you. Biasanya aku sarapan roti panggang dan telur rebus pada pagi hari." "Itulah kenapa kamu makan banyak saat makan malam," kata David, melirik geli
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b