Selama seminggu ini Sandara sudah tidak bertemu dengan David. Itu minggu yang penuh keresahan dan sedikit kemarahan. Ia tegang dan berbalik setiap kali seseorang muncul di pin-tunya, bertanya-tanya mengapa David membuat pengaku-an yang begitu mengejutkan dan kemudian menghilang tanpa jejak. Apakah David hanya berniat untuk menggodanya? Apakah pria itu berubah pikiran? Atau apakah dia serius, dan memberi Sandara wak-tu untuk memutuskan apa yang diinginkannya? Sandara tidak tahu mana yang lebih ia sukai. Setiap pilihan yang ada terkesan menakutkan. Sementara itu, ia sadar dirinya terlalu sering memeriksa e-mail atau pesan di ponselnya. Ia mengecek akun akun jejaring sosial di internet untuk melihat apakah ada berita tentang David, yang tentu saja itu sia sia. David bukan tipe pria yang suka membaharui status onlinenya. Jengkel dengan dirinya sendiri, Sandara menjauh dari ponsel serta laptop kecuali untuk bekerja, bertekad tidak memikirkan David sedikit pun. Sayangnya, itu mustahil.
"Kamulah yang sepertinya menganggap ada sesuatu diantara kami berdua," Stevan menyelanya. "Bukan Anin." Pernyataan itu memang benar hingga Sandara tidak mampu menyangkalnya. Ia memang mendorong Anin. Seandainya ia memperingatkan Anin, mungkin kekacauan ini bisa dihindari. Dan, Sandara terpaksa mengakui dengan amat menyesal, sebagian alasan ia mendorong Anin karena itu merupakan cara untuk membuktikan sesuatu pada David yang menurutnya salah. Menunjukkan pada David bahwa pria itu telah salah menilai. Kecuali sepertinya David tidak salah menilai. "Baiklah, sayangnya aku tidak punya waktu akhir pekan ini, Stev," kata Sandara, suaranya sangat dingin. "Aku akan menyudahi percakapan ini dulu." Sandara memutuskan hubungan dan sambil mengerang membenamkan wajah ke tangan. Rasa malu dan penyesalan bergolak dalam dirinya. Ia membayangkan ketika Anin bertanya padanya, Apakah menurutmu dia menyukaiku? Dan jawaban yakin...sombong!-nya,Aku yakin. Dan sekarang... sekarang ia harus mengatakan pad
Sandara melangkah hati-hati di lantai marmer yang berkilau yang sepertinya membentang tanpa batas ke berbagai arah. Apartemen ini memang menakjubkan seperti yang dikatakan Anggun, tapi juga hampa. Bahkan tanpa ciri khas. Jika ia berharap akan memperoleh petunjuk mengenai cara berpikir David atau bahkan perasaannya dari tempat pria itu tinggal, ia pasti kecewa. Apartemen itu tidak menunjukkan apa pun. Mungkin, pikir Sandara dengan ironis, itulah indikasi cara berpikir David. David bukan pria yang mudah menunjukkan emosi.Sandara memasuki ruang depan yang luas dengan jendela-jendela kaca besar menghadap danau. Persis seperti yang dikatakan Anggun, semuanya berwarna hitam atau putih. Atau hitam dan putih. Sandara mengamati beberapa sofa kulit berwarna krem yang terlihat sangat mahal, meja makan dari marmer putih yang terlihat bagaikan ukiran modern, lukisan tergantung di atas meja marmer hitam, tidak lebih dari bujur sangkar putih dengan bercak tinta hitam berantakan di sudut kanan bawah
"Sebenarnya, tidak," kata David dengan nada menggoda. "Lebih tepatnya belum."Dan bukan diriku. Pikiran itu seharusnya tidak mengusikku, Sandara memberitahu dirinya dengan sedikit panik. Ia jelas tidak ingin menjadi salah satu calon bagi peran membosankan itu. Dan apa pun yang mungkin atau bisa terjadi antara dirinya dan David, jelas bukan pernikahan. Atau cinta.Hanya ketertarikan mendasar.Jemari David bergerak turun. Jika David membuka kancing lain, pikir Sandara dengan panik, ia akan bisa melihat dada pria itu. "Tapi sebenarnya saat ini aku tidak sedang mencari," David menambahkan. Jemari pria itu berlama-lama di kancing dan Sandara menyadari dirinya sedang menatap. Lagi. Dan David menyadarinya. Meski sekujur tubuh Sandara terasa berat dan ganjil, seakan tubuhnya adalah tubuh orang lain, ia berhasil melangkah mendekati pintu."Baik kalau begitu, kurasa aku sebaiknya berganti pakaian dan bergegas ke ruanganku," kata Sandara, berusaha terdengar riang. Sebaliknya, suaranya terdengar
"Ya," Sandara mengakui. Ia kembali melirik Anin, yang masih berdiri sendirian. Indi otomatis mengikuti tatapan matanya. "Dia terlihat sedikit bingung, ya?" bisiknya. "Ya." Sandara bergerak gelisah. Mungkin mengundang Anin ke acara seperti ini merupakan kesalahan. Persahabatannya dengan Anin agak meregang sejak perubahan sikap Stevan, ia tidak tahu apa itu karena rasa bersalahnya sendiri atau perasaan Anin yang terluka. Mungkin keduanya." Sebaiknya aku ke sana dan bertanya padanya," ujar Sandara, dan meminta diri, mulai melangkah ke arah Anin, hanya untuk dicegat oleh Anggun. "Kita kehabisan gelas anggur," desis Anggun. "Petugas katering bodoh itu tidak membawa cukup banyak. Aku tidak bisa meminta David..." "Aku akan mengurusnya," Sandara menenangkan. Anggun sudah tegang sejak tiba, dan Sandara menduga itu ada hubungannya dengan kunjungan putra wanita itu. "Aku yakin kita bisa meminjam beberapa." Ia kembali melirik Anin yang semakin terlihat sedih dan kesepian. "Orang-orang m
Sandara menegakkan pundak, matanya membara. "Apakah aku terlihat ketakutan,David?" "Apakah kamu benar-benar mau tahu jawaban pertanyaan itu?" Sandara melontarkan tawa bimbang, mengakui maksud David. la merasa sikapnya memang terlihat cukup jelas. "Mungkin tidak." "Menurutku kita perlu mengubah cara kita memandang satu sama lain," lanjut David terlihat tenang, suaranya bernada merenung, tatapannya kembali menyapu Sandara, berlama-lama, lambat. Sandara tahu ia tidak mungkin salah mengartikan atau membayangkan tatapan itu. Tatapan David bagaikan belaian, mata pria itu menyentuh sukma di dalam tubuhnya. "Tentu saja, kita mungkin membutuhkan bantuan praktis dalam hal itu." Hanya David yang akan menggunakan kata praktis dalam suasana seperti ini. Sandara tidak merasa praktis sama sekali. Seluruh tubuhnya bergolak dengan kesadaran, nyeri dengan kebutuhan. "Praktis...?" ulangnya dengan berbisik. "Ya," David membenarkan, dan ia mengangkat tangan untuk menyelipkan sehelai rambut ke bal
Saat itu Sandara mulai merasakan kakinya yang telanjang, gaunnya yang menumpuk hampir ke pinggang. Perlahan David meluncurkan tangan di sepanjang kaki telanjang Sandara. Pergelangan kaki, betis, lutut. Sandara tidak tahu betapa erotis sentuhan di kaki. Dan ketika tangan David tiba di pahanya dan diam di sana dengan posesif, jemari pria itu melebar, seolah menyatakan hak milik, Sandara merasa dirinya goyah. Tangan David kokoh dan yakin, menenangkannya. "David" kata Sandara lagi, karena ia ingin tangan David tetap meluncur ke atas. Ia sangat menginginkannya. David tersenyum. Ia tahu apa yang diinginkan Sandara. "Tidak perlu buru-buru," ia mengingatkan gadis itu, dan masih tersenyum, meluncurkan tangan ke atas dan membiarkan ibu jarinya mengelus pakaian dalam Sandara yang halus. Lutut gadis itu langsung lemas. David hampir tidak menyentuhnya, namun itu sudah cukup. Lebih dari cukup, tapi Sandara masih menginginkan lebih. David berlutut di hadapannya, tangan pria itu masih diletakkan
"Aku menginginkanmu Sandara," bisik David saat tubuhnya menyatu dengan Sandara, dan Sandara merasa tubuhnya terbuka di bawah David dan menerima pria itu. Ia takjub karena terasa begitu menyenangkan, begitu mengejutkan begitu tepat. Tidak ada yang aneh dengan momen ini. Tidak ada yang memalukan atau canggung. Menyenangkan. Luar biasa. Dan kemudian Sandara kembali berhenti berpikir, setidaknya secara koheren. Benaknya mengabur bagaikan warna-warni dan ia merasa tubuhnya melengkung dalam penerimaan dan kebutuhan mendalam sembari menarik David mendekat. Ia mengimbangi pria itu dalam setiap dorongan, wajahnya dibenamkan ke lekuk leher David hingga warna-warni memancar dalam pelangi sensasi. Keduanya kembali jatuh ke bantal-bantal licin seakan mereka bintang-bintang yang jatuh ke bumi, dan malam meledak di sekeliling mereka. Tidak seorang pun dari mereka bicara. Sandara memejamkan mata, tubuhnya puas, hatinya lega. Kelegaan itu membuatnya bertindak, lengannya memeluk David, mendekatkan