Share

MY SWEET CEO
MY SWEET CEO
Penulis: Sun flower

GATHERING

"SEPERTINYA aku ketinggalan acara pembukaan Gathering."

Sandara Loise menoleh dari pengamatan orang orang yang lumayan masih ada terhadap sisa-sisa gathering, terkejut karena semua orang sudah pergi. Indi sudah pergi satu jam lalu, penuh semangat dan rencana untuk pernikahannya sebulan lagi. Sedangkan karyawan-karyawan lain pergi setelahnya, meninggalkan beberapa meja penuh piring kotor serta gelas-gelas minuman kosong di ruang Aula kantor.

"David!" Nama itu meluncur dari bibir Sandara saat ia menatap terkejut pada pria yang bersandar di pintu. "Kamu sudah kembali!"

"Pesawatku mendarat satu jam lalu," Balas David membalas tatapan Sandara, memandang penuh sesal ke sekeliling ruangan yang berantakan tersebut. "Kupikir aku masih sempat ikut Gathering ini, tapi ternyata aku salah."

"Tepat waktu untuk bersih-bersih," sahut Sandara sedikit santai. Ia melintasi ruangan dan berjinjit mengecup pipi David. "Senang sekali melihatmu kembali." Kulit David terasa hangat dan Sandara menghirup aroma sakura jepang yang lembut, lebih lembut daripada yang akan ia asosiasikan dengan David si pendiam, pemuda yang selalu menjauhkannya dari masalah, pria yang meninggalkan kota masa kecilnya untuk karier gemilang di dunia teknik sipil. David adalah bos serta sahabat keluarga Sandara yang paling lama, meski apakah pria itu sahabatnya adalah hal yang sangat berbeda. Saat menatap ekspresi dingin pria itu, Sandara ingat David sepertinya terlihat selalu agak tidak menyukai kehadirannya.

Sandara menjauh dengan senyum cerah. David tidak bergerak, namun Sandara lega melihat lekuk kecil di bibir pria itu. Menakjubkan, tapi itu hampir terlihat seperti senyuman. "Aku tidak tahu kalau sudah saatnya kamu kembali ke Jakarta." Sebagai pendiri dan CEO Sahabat Technology, David bepergian hampir sepanjang tahun. Sandara bahkan tidak bisa mengingat terakhir kalinya melihat pria itu lebih dari sekelebat setelan gelap di lorong, atau di tengah keramaian pertemuan keluarga di Bandung. David jelas tak pernah mencarinya seperti ini.

Meskipun, sembari mulai mengumpulkan piring-piring bernoda dengan sisa sisa makanan, Sandara mengakui David tidak benar-benar mencarinya. Pria itu hanya ketinggalan acara gathering ini.

"Kupikir sudah saatnya aku pulang," kata David. Ia menatap meja-meja kosong. "Sepertinya acaranya sukses. Tapi tentu saja aku tidak akan mengharapkan kurang dari itu."

Sukses, pikir Sandara, bukan menyenangkan. Benar-benar ciri khas David. Sandara mengangkat sebelah alis mengkerutkan dahi. "Oh, dan kenapa begitu?"

"Kamu seorang wanita karir yang lumayan sibuk, San."

Sandara menegang, karena kata-kata itu tidak terdengar seperti pujian saat keluar dari mulut David. Hanya karena menyukai acara seperti ini, bukan berarti ia seorang yang suka bersosialisasi. Dan nama kecil itu membuatnya terkejut, meski tidak seharusnya. David satu-satunya orang yang memanggilnya seperti itu. San Kecil, goda pria itu, menarik kucir Sandara dan menyunggingkan senyum yang tak terlalu merendahkan. Lebih seperti... memahami. Namun David tidak bisa bilang mengenalnya sekarang; meski Sandara bekerja di perusahaan pria itu, dengan jadwal perjalanan bisnis ketat David, Sandara hampir tidak pernah melihat pria itu selama lima tahun bekerja di Sahabat technology. Dan ia tidak ingat kapan terakhir kali David memanggilnya San.

"Aku tidak sadar kamu memperhatikan aktivitas sosialku," kata Sandara setengah bercanda.

"Aku merasa terhormat melakukannya, mengingat pertemanan kita dulu. Lagi pula, kamu sering muncul di kolom-kolom gosip sehingga sulit untuk tidak menyadarinya."

Sandara tersenyum jail. "Kamu membaca kolom gosip?" "Aku tidak sabar menunggunya setiap pagi."

Tawa Sandara meledak. Bayangan David mengamati fofo-foto para sosialita separuh baya serta pria pria hidung belang nakal benar-benar menggelikan, meskipun ia hampir tidak nyangka David bercanda tentang hal itu atau bahkan tentang apa pun. Lebih dari sekali ia bertanya-tanya apakah David membuang selera humornya sepenuhnya.

"Sebenarnya," lanjut David, raut wajahnya berubah menjadi serius dan bahkan kembali galak, "asisten pribadiku memindai foto-foto itu untukku. Aku perlu tahu apa yang dilakukan para karyawanku."

Ah, itu dia. David yang asli, David yang dikenal dan diingat Sandara, selalu siap memarahi atau menatapnya dengan salah satu pandangan tegas pria itu. Sandara tersenyum cerah. "Baiklah, seperti yang kamu lihat sekarang, ini acara gathering kantor kita yang cukup gila-gilaan. Kue serta pita-pita, dan kurasa seseorang sepertinya membawa mesin karaoke. Memalukan."

"Jangan lupakan winenya."

Sandara menggapai beberapa gelas plastik kosong. "Bagaimana kamu bisa menebaknya?"

"Sebenarnya, akulah yang menyediakannya."

"Benarkah?" Sandara tidak bisa menahan kekagetan dalam suaranya, dan mulut David kembali melekuk dalam senyum tipis. Ia menyandarkan sebelah bahu di pintu.

"Sebenarnya, Sandara, aku bukan seorang bos yang terlalu galak. Dan aku benar-benar berusaha menghadiri acara gathering ini. Indi ketua panitia acara ini sudah bekerja di perusahaan ini lebih dari delapan tahun."

"Ah, jadi itu alasannya. Kamu mungkin berniat menyerahkan piagam penghargaan."

"Kamu baru mendapatkannya setelah mengabdi selama sepuluh tahun," kata David, dan mulut Sandara menganga tidak percaya. Pria itu pasti bercanda lalu ia melihat kilatan isyarat di mata David dan menyadari pria itu memang bercanda. Dua lelucon dalam sehari. Apa yang terjadi pada David di Belanda?

Sandara terkejut dan sedikit bingung dengan canda mereka, lalu menghentikan aksi bersih-bersih dan memandang David lekat-lekat; pria itu mengenakan setelan yang formal-tentu saja sutra hitam mahal, dasi ungu tua polos yang terpasang rapi di leher. Rambutnya hitam mengkilap, sewarna matanya, dan dipotong pendek. Dia terlihat dingin, bersih, serta rapi, menyendiri, serta tak tersentuh, dengan senyum simpul agak sombong yang tidak pernah terlalu disukai Sandara. Namun Sandara menerimanya sebagai bagian dari diri David, sang kakak ipar yang hebat, dengan usia terpaut dua belas tahun, terasing dan sedikit tidak suka dengan kelakuannya.

David yang ia kenal dulu tidak pernah ikut dalam permainan masa kecil mereka yang konyol. Sandara, kakaknya Agatha, dan adik David, Romeo, selalu terlibat dalam kenakalan paling menghebohkan. Davidlah yang menolong dan setelah itu mengomeli mereka. Sandara menerima dan pada akhirnya membenci hal itu, namun tidak pernah mempertanyakan sikap sok kuasa David. Itu hanya bagian dari diri pria itu, dan hubungannya dengan mereka semua. Tapi sudah berbulan-bulan Sandara tidak melihatnya, dan bertahun-tahun mereka tidak benar-benar mengobrol.

Lima tahun lalu, ketika Sandara tiba di Jakarta untuk mencari kerja, David mengarahkannya pada Indi, yang saat itu Kepala Divisi Personalia, dan kemudian tidak sempat melihat Sandara mulai bertugas sebagai sekretaris sebelum dia kembali pergi, memimpin proyek pembangunan di area timur. Sejak itu, saat-saat David bertemu dengannya adalah di kantor, tempat pria itu menjaga jarak dengan sikap dingin dan profesional, atau di Bandung dalam berbagai pertemuan keluarga, tempat pria itu tidak lebih dari dirinya yang biasa-David, kakak laki-laki yang baik, sok kuasa, dan mungkin sedikit membosankan tapi tetap saja... David. Bagian penting dalam kehidupan Sandara, stabil, kalem, dan selalu ada.

"Jadi, apa kali ini kamu di sini untuk waktu lama?" tanya Sandara, kembali berbalik ke meja yang dipenuhi piring-piring kotor.

"Beberapa bulan, kuharap. Ada yang harus kuurus di sini." David berbicara dengan santai, namun Sandara merasakan keseriusan di baliknya yang memicu rasa penasarannya, dan ia kembali melirik pria itu. Wajah tenang David tidak menunjukkan apa pun.

"Urusan di sini?" ulang Sandara sembari kembali menyusun piring-piring kotor itu dan membuang sisa sisa makanan ke tempat sampah. "Aku tidak tahu Sahabat sedang mengerjakan proyek di Jakarta." Sebagai insinyur sipil, keahlian David adalah manajemen perminyakan dan pertambangan di negara-negara Dunia Ketiga. Keahlian cukup mengesankan yang diketahui Sandara ketika menjalani wawancara, meski saat itu ia belum benar-benar memahami implikasinya. Setahunya, David belum pernah menangani proyek di Jakarta.

"Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," jawab David, suaranya tenang.

"Urusan pribadi?" tanya Sandara. "Maksudmu keluarga?" la mengingat ayah David yang sangat tertutup, adiknya yang Dinamis yang sekarang menikah dengan kakak Sandara sendiri. Apa ada yang sedang bermasalah atau ada yang sedang sakit? Keningnya berkerut, dan David kembali tersenyum maklum sembari menggeleng.

"Kamu selalu bertanya, ya? Bukan, sebenarnya, ini tidak ada hubungannya dengan keluarga. Tapi pribadi." David menekankan kata itu dengan ringan namun tegas, membuat Sandara merasa bagaikan gadis kecil nakal yang dulu tidak sebanding dengan David, remaja yang sangat dingin. Atau pemuda dua puluh tahunan. David selalu terlihat sangat hebat dalam kedewasaan serta pengalamannya. Ketika Sandara masih menghabiskan waktu bersama teman teman remajanya untuk membeli tiket idol, David sudah merintis perusahaannya sendiri dan menghasilkan keuntungannya yang pertama.

"Maaf. Aku akan berhenti." Sandara balas tersenyum menggoda, bertekad mempertahankan suasana santai, meski kini ia semakin penasaran. Urusan pribadi macam apa yang dimiliki David Wijaya? Selalu ada sedikit spekulasi di kantor tentang kehidupan pribadi sang bos, karena jika sedang berada di Jakara David selalu menggandeng wanita-wanita berbeda dalam berbagai acara sosial, biasanya seseorang yang sedikit dewasa dan glamor serta dangkal, yang menurut pendapat Sandara sangat tidak sesuai untuk pria itu. Namun ia belum pernah melihat David dengan kekasih serius dan, meski orang-orang kantor sesekali berspekulasi mengenai aspek tersebut dalam diri atasan mereka, Sandara tidak terlalu memikirkan kehidupan pribadi David. Tentu saja, ia hampir tidak pernah melihat David. Dan meski keluarga mereka berhubungan lewat pernikahan kakaknya dengan adik David, pria itu hampir tidak pernah kembali ke Subang, desa di Bandung tempat mereka tumbuh. Lagi pula David sudah bilang ini bukan masalah keluarga, jadi apa?

Setelah menduga-duga selama beberapa saat, Sandara mengabaikan hal itu. Bisnis David jelas tak berhubungan dengan dirinya. Itu mungkin hal yang sangat membosankan, seperti mengurus utang lama atau kuku kaki yang tumbuh tidak normal. Ia membayangkan David duduk di ranjang periksa, dan bayangan tiba-tiba serta aneh tentang David yang mengenakan tidak lebih dari jubah tipis jelek melintas dalam benaknya. Bayangan itu menggelikan namun anehnya juga menggiurkan, karena imajinasi Sandara yang terlalu aktif sepertinya memiliki ide bagus mengenai bagaimana ia bisa melihat dada telanjang David.

Tawa tak terduga Sandara meledak lalu ia membekap mulut. David meliriknya, menggeleng dan jelas memandangnya gadis yang aneh. "Kamu selalu bisa melihat sisi cerah kehidupan, ya kan?" tanya David getir. Sandara melepaskan tangan dari mulutnya untuk memukau David dengan senyum yang paling memesona.

"Itu bakatku yang paling menonjol, meskipun membutuhkan upaya keras untuk orang tertentu." Mata David menyipit dan senyum Sandara semakin lebar. Sandara tahu David tidak suka dengan kelakuannya yang santai. Ia masih mengingat betapa simetrisnya wajah David ketika ia datang ke Jakarta dan meminta pekerjaan pada pria itu. Jika diingat-ingat lagi, ia memang sedikit konyol. Dengan yakin ia menyangka David punya sesuatu untuk dilakukannya, dan juga menggajinya untuk melakukan hal itu, namun jelas terlihat betapa David meragukan kemampuannya.

Kamu di sini untuk bekerja, Sandara, bukan bersenang- senang...

Baiklah, Sandara berharap ia telah membuktikan diri setidaknya selama lima tahun terakhir. Ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi Kepala Divisi Personalia termuda yang pernah dimiliki perusahaan ini memang, baru ada dua orang sebelum dirinya dan menurut Indi, David sendirilah yang mengusulkan kenaikan jabatan tersebut.

Meski demikian, saat kembali melihat David mengawasinya dengan senyum maklum dan sudut-sudut mata yang berkedut, Sandara tidak sanggup menahan diri untuk tetap merasa bagaikan gadis muda konyol yang dulu. Dan, meski dengan kenaikan jabatan, David agaknya masih menganggapnya seperti itu.

"Jadi, Indi akan menikah sebulan lagi," ucap David sedikit pelan. "Randy ini,apa dia pria yang baik?"

"Dia hebat," kata Sandara tegas. "Sebenarnya, aku yang telah menjodohkan mereka berdua."

David mengangkat sebelah alis, skeptis seperti biasa. "Benarkah?"

"Ya, benar," sahut Sandara, sedikit sebal. "Randy temannya teman Putri, dan Putri memberitahuku bahwa Susan mengatakan padanya "Kedengarannya terlalu rumit."

"Untukmu, mungkin," balas Sandara. "Bagiku cukup sederhana. Jadi, Susan mengatakan...."

"Ceritakan versi singkatnya," potong David, dan Sandara memutar bola mata.

"Oh, baiklah. Aku mengundang mereka berdua ke suatu acara-"

"Nah, bagian itu sama sekali tidak sulit kumengerti."

"Sebenarnya, itu acara pengumpulan dana donasi," Sandara memberitahu. "Untuk anak-anak yang sakit kanker. Nah, mereka bertemu di sana dan"

"Dan itu cinta pada pandangan pertama, kan?" David menambahkan dengan nada mengejek, dan Sandara mengatupkan bibirnya jengkel.

"Bukan, tentu saja bukan. Tapi mereka bahkan tidak akan bertemu jika aku tidak mengaturnya, dan sebenarnya Randy agak introvet setelah istrinya meninggal, dan Indi punya pengalaman buruk dengan kencan buta, jadi-"

"Jadi dibutuhkan sedikit berpegangan tangan?"

"Atau membantu mereka untuk berpegangan tangan. Tentu saja, kamu tidak bisa memaksa seseorang mencintaimu"

"Kurasa tidak."

Sandara melirik penasaran pada David karena tiba-tiba ada nada kelam dalam suara pria itu yang tidak ia duga maupun pahami. Ia mengabaikan hal itu. "Nah, mereka akan menikah sebulan lagi, jadi semuanya berjalan lancar."

"Memang sangat lancar." David berjalan mendekat menutup jarak di antara mereka sehingga Sandara kembali menghirup aroma sakura jepang yang lembut dari pria itu, merasakan tubuhnya tiba- tiba memanas, dan kesadaran baru yang ganjil merayap di lengannya yang telanjang dan naik ke tulang belakangnya. Jason berada sangat dekat dengannya.

"Ada kotoran di rambutmu," kata David, menggapai untuk menyeka rambut lengket dari pipi Sandara. Jemarinya dingin, sentuhannya seringan bisikan, namun Sandara tetap menegang karena terkejut. Ia menyadari penampilannya pasti berantakan, dengan rambut tergerai dan noda kopi di roknya. Jelas bukan penampilan terbaiknya.

Sandara tertawa ringan dan menyelipkan rambut berantakan itu ke belakang telinga. "Aku memang agak berantakan, ya? Aku cuma perlu menyelesaikan bersih-bersih."

"Kamu bisa meninggalkannya untuk petugas kebersihan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status