"SEPERTINYA aku ketinggalan acara pembukaan Gathering."
Sandara Loise menoleh dari pengamatan orang orang yang lumayan masih ada terhadap sisa-sisa gathering, terkejut karena semua orang sudah pergi. Indi sudah pergi satu jam lalu, penuh semangat dan rencana untuk pernikahannya sebulan lagi. Sedangkan karyawan-karyawan lain pergi setelahnya, meninggalkan beberapa meja penuh piring kotor serta gelas-gelas minuman kosong di ruang Aula kantor. "David!" Nama itu meluncur dari bibir Sandara saat ia menatap terkejut pada pria yang bersandar di pintu. "Kamu sudah kembali!" "Pesawatku mendarat satu jam lalu," Balas David membalas tatapan Sandara, memandang penuh sesal ke sekeliling ruangan yang berantakan tersebut. "Kupikir aku masih sempat ikut Gathering ini, tapi ternyata aku salah." "Tepat waktu untuk bersih-bersih," sahut Sandara sedikit santai. Ia melintasi ruangan dan berjinjit mengecup pipi David. "Senang sekali melihatmu kembali." Kulit David terasa hangat dan Sandara menghirup aroma sakura jepang yang lembut, lebih lembut daripada yang akan ia asosiasikan dengan David si pendiam, pemuda yang selalu menjauhkannya dari masalah, pria yang meninggalkan kota masa kecilnya untuk karier gemilang di dunia teknik sipil. David adalah bos serta sahabat keluarga Sandara yang paling lama, meski apakah pria itu sahabatnya adalah hal yang sangat berbeda. Saat menatap ekspresi dingin pria itu, Sandara ingat David sepertinya terlihat selalu agak tidak menyukai kehadirannya. Sandara menjauh dengan senyum cerah. David tidak bergerak, namun Sandara lega melihat lekuk kecil di bibir pria itu. Menakjubkan, tapi itu hampir terlihat seperti senyuman. "Aku tidak tahu kalau sudah saatnya kamu kembali ke Jakarta." Sebagai pendiri dan CEO Sahabat Technology, David bepergian hampir sepanjang tahun. Sandara bahkan tidak bisa mengingat terakhir kalinya melihat pria itu lebih dari sekelebat setelan gelap di lorong, atau di tengah keramaian pertemuan keluarga di Bandung. David jelas tak pernah mencarinya seperti ini. Meskipun, sembari mulai mengumpulkan piring-piring bernoda dengan sisa sisa makanan, Sandara mengakui David tidak benar-benar mencarinya. Pria itu hanya ketinggalan acara gathering ini. "Kupikir sudah saatnya aku pulang," kata David. Ia menatap meja-meja kosong. "Sepertinya acaranya sukses. Tapi tentu saja aku tidak akan mengharapkan kurang dari itu." Sukses, pikir Sandara, bukan menyenangkan. Benar-benar ciri khas David. Sandara mengangkat sebelah alis mengkerutkan dahi. "Oh, dan kenapa begitu?" "Kamu seorang wanita karir yang lumayan sibuk, San." Sandara menegang, karena kata-kata itu tidak terdengar seperti pujian saat keluar dari mulut David. Hanya karena menyukai acara seperti ini, bukan berarti ia seorang yang suka bersosialisasi. Dan nama kecil itu membuatnya terkejut, meski tidak seharusnya. David satu-satunya orang yang memanggilnya seperti itu. San Kecil, goda pria itu, menarik kucir Sandara dan menyunggingkan senyum yang tak terlalu merendahkan. Lebih seperti... memahami. Namun David tidak bisa bilang mengenalnya sekarang; meski Sandara bekerja di perusahaan pria itu, dengan jadwal perjalanan bisnis ketat David, Sandara hampir tidak pernah melihat pria itu selama lima tahun bekerja di Sahabat technology. Dan ia tidak ingat kapan terakhir kali David memanggilnya San. "Aku tidak sadar kamu memperhatikan aktivitas sosialku," kata Sandara setengah bercanda. "Aku merasa terhormat melakukannya, mengingat pertemanan kita dulu. Lagi pula, kamu sering muncul di kolom-kolom gosip sehingga sulit untuk tidak menyadarinya." Sandara tersenyum jail. "Kamu membaca kolom gosip?" "Aku tidak sabar menunggunya setiap pagi." Tawa Sandara meledak. Bayangan David mengamati fofo-foto para sosialita separuh baya serta pria pria hidung belang nakal benar-benar menggelikan, meskipun ia hampir tidak nyangka David bercanda tentang hal itu atau bahkan tentang apa pun. Lebih dari sekali ia bertanya-tanya apakah David membuang selera humornya sepenuhnya. "Sebenarnya," lanjut David, raut wajahnya berubah menjadi serius dan bahkan kembali galak, "asisten pribadiku memindai foto-foto itu untukku. Aku perlu tahu apa yang dilakukan para karyawanku." Ah, itu dia. David yang asli, David yang dikenal dan diingat Sandara, selalu siap memarahi atau menatapnya dengan salah satu pandangan tegas pria itu. Sandara tersenyum cerah. "Baiklah, seperti yang kamu lihat sekarang, ini acara gathering kantor kita yang cukup gila-gilaan. Kue serta pita-pita, dan kurasa seseorang sepertinya membawa mesin karaoke. Memalukan." "Jangan lupakan winenya." Sandara menggapai beberapa gelas plastik kosong. "Bagaimana kamu bisa menebaknya?" "Sebenarnya, akulah yang menyediakannya." "Benarkah?" Sandara tidak bisa menahan kekagetan dalam suaranya, dan mulut David kembali melekuk dalam senyum tipis. Ia menyandarkan sebelah bahu di pintu. "Sebenarnya, Sandara, aku bukan seorang bos yang terlalu galak. Dan aku benar-benar berusaha menghadiri acara gathering ini. Indi ketua panitia acara ini sudah bekerja di perusahaan ini lebih dari delapan tahun." "Ah, jadi itu alasannya. Kamu mungkin berniat menyerahkan piagam penghargaan." "Kamu baru mendapatkannya setelah mengabdi selama sepuluh tahun," kata David, dan mulut Sandara menganga tidak percaya. Pria itu pasti bercanda lalu ia melihat kilatan isyarat di mata David dan menyadari pria itu memang bercanda. Dua lelucon dalam sehari. Apa yang terjadi pada David di Belanda? Sandara terkejut dan sedikit bingung dengan canda mereka, lalu menghentikan aksi bersih-bersih dan memandang David lekat-lekat; pria itu mengenakan setelan yang formal-tentu saja sutra hitam mahal, dasi ungu tua polos yang terpasang rapi di leher. Rambutnya hitam mengkilap, sewarna matanya, dan dipotong pendek. Dia terlihat dingin, bersih, serta rapi, menyendiri, serta tak tersentuh, dengan senyum simpul agak sombong yang tidak pernah terlalu disukai Sandara. Namun Sandara menerimanya sebagai bagian dari diri David, sang kakak ipar yang hebat, dengan usia terpaut dua belas tahun, terasing dan sedikit tidak suka dengan kelakuannya. David yang ia kenal dulu tidak pernah ikut dalam permainan masa kecil mereka yang konyol. Sandara, kakaknya Agatha, dan adik David, Romeo, selalu terlibat dalam kenakalan paling menghebohkan. Davidlah yang menolong dan setelah itu mengomeli mereka. Sandara menerima dan pada akhirnya membenci hal itu, namun tidak pernah mempertanyakan sikap sok kuasa David. Itu hanya bagian dari diri pria itu, dan hubungannya dengan mereka semua. Tapi sudah berbulan-bulan Sandara tidak melihatnya, dan bertahun-tahun mereka tidak benar-benar mengobrol. Lima tahun lalu, ketika Sandara tiba di Jakarta untuk mencari kerja, David mengarahkannya pada Indi, yang saat itu Kepala Divisi Personalia, dan kemudian tidak sempat melihat Sandara mulai bertugas sebagai sekretaris sebelum dia kembali pergi, memimpin proyek pembangunan di area timur. Sejak itu, saat-saat David bertemu dengannya adalah di kantor, tempat pria itu menjaga jarak dengan sikap dingin dan profesional, atau di Bandung dalam berbagai pertemuan keluarga, tempat pria itu tidak lebih dari dirinya yang biasa-David, kakak laki-laki yang baik, sok kuasa, dan mungkin sedikit membosankan tapi tetap saja... David. Bagian penting dalam kehidupan Sandara, stabil, kalem, dan selalu ada. "Jadi, apa kali ini kamu di sini untuk waktu lama?" tanya Sandara, kembali berbalik ke meja yang dipenuhi piring-piring kotor. "Beberapa bulan, kuharap. Ada yang harus kuurus di sini." David berbicara dengan santai, namun Sandara merasakan keseriusan di baliknya yang memicu rasa penasarannya, dan ia kembali melirik pria itu. Wajah tenang David tidak menunjukkan apa pun. "Urusan di sini?" ulang Sandara sembari kembali menyusun piring-piring kotor itu dan membuang sisa sisa makanan ke tempat sampah. "Aku tidak tahu Sahabat sedang mengerjakan proyek di Jakarta." Sebagai insinyur sipil, keahlian David adalah manajemen perminyakan dan pertambangan di negara-negara Dunia Ketiga. Keahlian cukup mengesankan yang diketahui Sandara ketika menjalani wawancara, meski saat itu ia belum benar-benar memahami implikasinya. Setahunya, David belum pernah menangani proyek di Jakarta. "Ini tidak ada hubungannya dengan perusahaan," jawab David, suaranya tenang. "Urusan pribadi?" tanya Sandara. "Maksudmu keluarga?" la mengingat ayah David yang sangat tertutup, adiknya yang Dinamis yang sekarang menikah dengan kakak Sandara sendiri. Apa ada yang sedang bermasalah atau ada yang sedang sakit? Keningnya berkerut, dan David kembali tersenyum maklum sembari menggeleng. "Kamu selalu bertanya, ya? Bukan, sebenarnya, ini tidak ada hubungannya dengan keluarga. Tapi pribadi." David menekankan kata itu dengan ringan namun tegas, membuat Sandara merasa bagaikan gadis kecil nakal yang dulu tidak sebanding dengan David, remaja yang sangat dingin. Atau pemuda dua puluh tahunan. David selalu terlihat sangat hebat dalam kedewasaan serta pengalamannya. Ketika Sandara masih menghabiskan waktu bersama teman teman remajanya untuk membeli tiket idol, David sudah merintis perusahaannya sendiri dan menghasilkan keuntungannya yang pertama. "Maaf. Aku akan berhenti." Sandara balas tersenyum menggoda, bertekad mempertahankan suasana santai, meski kini ia semakin penasaran. Urusan pribadi macam apa yang dimiliki David Wijaya? Selalu ada sedikit spekulasi di kantor tentang kehidupan pribadi sang bos, karena jika sedang berada di Jakara David selalu menggandeng wanita-wanita berbeda dalam berbagai acara sosial, biasanya seseorang yang sedikit dewasa dan glamor serta dangkal, yang menurut pendapat Sandara sangat tidak sesuai untuk pria itu. Namun ia belum pernah melihat David dengan kekasih serius dan, meski orang-orang kantor sesekali berspekulasi mengenai aspek tersebut dalam diri atasan mereka, Sandara tidak terlalu memikirkan kehidupan pribadi David. Tentu saja, ia hampir tidak pernah melihat David. Dan meski keluarga mereka berhubungan lewat pernikahan kakaknya dengan adik David, pria itu hampir tidak pernah kembali ke Subang, desa di Bandung tempat mereka tumbuh. Lagi pula David sudah bilang ini bukan masalah keluarga, jadi apa? Setelah menduga-duga selama beberapa saat, Sandara mengabaikan hal itu. Bisnis David jelas tak berhubungan dengan dirinya. Itu mungkin hal yang sangat membosankan, seperti mengurus utang lama atau kuku kaki yang tumbuh tidak normal. Ia membayangkan David duduk di ranjang periksa, dan bayangan tiba-tiba serta aneh tentang David yang mengenakan tidak lebih dari jubah tipis jelek melintas dalam benaknya. Bayangan itu menggelikan namun anehnya juga menggiurkan, karena imajinasi Sandara yang terlalu aktif sepertinya memiliki ide bagus mengenai bagaimana ia bisa melihat dada telanjang David. Tawa tak terduga Sandara meledak lalu ia membekap mulut. David meliriknya, menggeleng dan jelas memandangnya gadis yang aneh. "Kamu selalu bisa melihat sisi cerah kehidupan, ya kan?" tanya David getir. Sandara melepaskan tangan dari mulutnya untuk memukau David dengan senyum yang paling memesona. "Itu bakatku yang paling menonjol, meskipun membutuhkan upaya keras untuk orang tertentu." Mata David menyipit dan senyum Sandara semakin lebar. Sandara tahu David tidak suka dengan kelakuannya yang santai. Ia masih mengingat betapa simetrisnya wajah David ketika ia datang ke Jakarta dan meminta pekerjaan pada pria itu. Jika diingat-ingat lagi, ia memang sedikit konyol. Dengan yakin ia menyangka David punya sesuatu untuk dilakukannya, dan juga menggajinya untuk melakukan hal itu, namun jelas terlihat betapa David meragukan kemampuannya. Kamu di sini untuk bekerja, Sandara, bukan bersenang- senang... Baiklah, Sandara berharap ia telah membuktikan diri setidaknya selama lima tahun terakhir. Ia sedang mempersiapkan diri untuk menjadi Kepala Divisi Personalia termuda yang pernah dimiliki perusahaan ini memang, baru ada dua orang sebelum dirinya dan menurut Indi, David sendirilah yang mengusulkan kenaikan jabatan tersebut. Meski demikian, saat kembali melihat David mengawasinya dengan senyum maklum dan sudut-sudut mata yang berkedut, Sandara tidak sanggup menahan diri untuk tetap merasa bagaikan gadis muda konyol yang dulu. Dan, meski dengan kenaikan jabatan, David agaknya masih menganggapnya seperti itu. "Jadi, Indi akan menikah sebulan lagi," ucap David sedikit pelan. "Randy ini,apa dia pria yang baik?" "Dia hebat," kata Sandara tegas. "Sebenarnya, aku yang telah menjodohkan mereka berdua." David mengangkat sebelah alis, skeptis seperti biasa. "Benarkah?" "Ya, benar," sahut Sandara, sedikit sebal. "Randy temannya teman Putri, dan Putri memberitahuku bahwa Susan mengatakan padanya "Kedengarannya terlalu rumit." "Untukmu, mungkin," balas Sandara. "Bagiku cukup sederhana. Jadi, Susan mengatakan...." "Ceritakan versi singkatnya," potong David, dan Sandara memutar bola mata. "Oh, baiklah. Aku mengundang mereka berdua ke suatu acara-" "Nah, bagian itu sama sekali tidak sulit kumengerti." "Sebenarnya, itu acara pengumpulan dana donasi," Sandara memberitahu. "Untuk anak-anak yang sakit kanker. Nah, mereka bertemu di sana dan" "Dan itu cinta pada pandangan pertama, kan?" David menambahkan dengan nada mengejek, dan Sandara mengatupkan bibirnya jengkel. "Bukan, tentu saja bukan. Tapi mereka bahkan tidak akan bertemu jika aku tidak mengaturnya, dan sebenarnya Randy agak introvet setelah istrinya meninggal, dan Indi punya pengalaman buruk dengan kencan buta, jadi-" "Jadi dibutuhkan sedikit berpegangan tangan?" "Atau membantu mereka untuk berpegangan tangan. Tentu saja, kamu tidak bisa memaksa seseorang mencintaimu" "Kurasa tidak." Sandara melirik penasaran pada David karena tiba-tiba ada nada kelam dalam suara pria itu yang tidak ia duga maupun pahami. Ia mengabaikan hal itu. "Nah, mereka akan menikah sebulan lagi, jadi semuanya berjalan lancar." "Memang sangat lancar." David berjalan mendekat menutup jarak di antara mereka sehingga Sandara kembali menghirup aroma sakura jepang yang lembut dari pria itu, merasakan tubuhnya tiba- tiba memanas, dan kesadaran baru yang ganjil merayap di lengannya yang telanjang dan naik ke tulang belakangnya. Jason berada sangat dekat dengannya. "Ada kotoran di rambutmu," kata David, menggapai untuk menyeka rambut lengket dari pipi Sandara. Jemarinya dingin, sentuhannya seringan bisikan, namun Sandara tetap menegang karena terkejut. Ia menyadari penampilannya pasti berantakan, dengan rambut tergerai dan noda kopi di roknya. Jelas bukan penampilan terbaiknya. Sandara tertawa ringan dan menyelipkan rambut berantakan itu ke belakang telinga. "Aku memang agak berantakan, ya? Aku cuma perlu menyelesaikan bersih-bersih." "Kamu bisa meninggalkannya untuk petugas kebersihan.""Andi? Dia tidak hadir dalam acara hari ini. Dia harus mengunjungi orangtuanya." "Kamu tahu nama petugas kebersihan itu?" "Aku akan menjadi Kepala Divisi Personalia, kan?" Sandara mengingatkan David. "Ibunya baru saja sakit dan dia harus pulang ke Semarang pada akhir pekan untuk mengurus kepulangan ibunya ke rumah sakit. Tentu saja, ini adalah hal yang benar-benar sulit baginya,bekerja di tempat yang jauh dengan kondisi ibunya yang sakit, tapi kurasa itu akan berjalan lancar-" "Aku yakin begitu," gumam David, secara efektif kembali memotong perkataannya, dan Sandara menatap maklum pada pria itu. "Maaf karena membuatmu bosan dengan semua detailnya, tapi kusangka kamu mengikuti kehidupan karyawan-karyawanmu? Atau hanya yang masuk ke kolom gosip?" "Aku lebih peduli tentang bagaimana pengaruh skandal sosial terhadap Sahabat Technology," sahut David, "daripada bagaimana atau kenapa petugas bersih-bersih mengambil cuti untuk ibunya yang sedang sakit." Ia memberikan isyarat supaya
David tidak ingin mengingat kejadian memalukan itu sedikit pun, namun ia tetap masih merasakan tusukan gairah kuat tersebut. Ketika Sandara mencondongkan tubuh ke depan, rambut gadis itu tergerai di wajahnya dan David mencium aroma sampo. Lavender. Sandara menengadah menatap David lewat bulu mata, matanya menari geli. "Jujur saja,David, kamu benar-benar terlihat ketakutan! Kuyakinkan kamu, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan." Entah bagaimana David berhasil tersenyum. "Dan apa pun yang kuminta kamu lakukan-kurasa kamu ingin digaji untuk itu?" Sejenak Sandara terlihat bingung dengan perkataan David, ekspresinya polos serta rapuh. Dengan tusukan rasa benci pada diri sendiri David kembali menyadari betapa belia dan tidak berpengalamannya Sandara-dalam segala hal. Lalu gadis itu tertawa, tawa dalam dan serak yang membuat David memasukkan tangannya semakin dalam ke saku, kernyit timbul di wajahnya. Sandara memiliki tawa wanita berpengalaman, tawa seksi serta sensual, dan tawa itu menim
Pagi itu Sandara menatap wanita yang duduk di seberang mejanya, menyadari jemari wanita itu dengan gugup meremas-remas kain celana putih murahan yang kusut, senyum hati-hati mencerahkan wajah cantik wanita itu. Anin Salsabiah gadis yang cantik, beberapa tahun lebih muda daripada Sandara, dengan rambut gelap bagaikan lingkaran halo lembut di wajahnya yang pucat."Jadi," Sandara tersenyum menyemangati saat membaca surat laamran kerja Anin yang seadanya. "Kaum pernah bekerja sebagai pelayan di Paparito...""Aku juga sempat bekerja formal menjadi pegawai kontrak di sebuah kantor," Ani memberitahu dengan sukarela. Suaranya lembut dan mendayu, "Aku bertugas menjawab telepon. Menurut Tuan Wijaya, aku bisa melakukan hal yang sama di sini. Dia bilang salah seorang resepsionis kalian cuti melahirkan."Sandara bertanya-tanya-bukan untuk pertama kalinya,kira-kira apa hubungan David dengan Anin Salsabiah yang cantik ini. Apakah Anin ada hubungannya dengan urusan pribadi David yang misterius? "Ya,
David membuka pintu mobil, menghirup aroma lavender rambut Sandara dan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan feminin, yang kembali menimbulkan hasrat gairah dalam dirinya. Hanya makan malam. "Sepertinya begitu," ucap nya, dan Sandara memutar bola mata sembari memasuki interior mobil dari kulit mewah mobil keluaran terbaru itu."Aku tidak menyangka kamu menyukai mobil sport. Aku kira kamu tipe pria yang hanya mengutamakan fungsi di atas segalanya.""Oh?" David menyelinap ke kursi pengemudi. "Aku tidak tahu kamu punya dugaan seperti itu mengenai mobilku."Ya, tapi ternyata aku salah?" kata Sandara sambil tertawa. Ia mengibaskan rambut ke balik bahu hingga tergerai sempurna. "Mobilmu. Aku menduga sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tentu saja. membosankan untukmu, hanya mobil yang membawamu dari tempat A ke tempat B. Tentu saja," goda Sandara, "warnanya pun akan sedikit mencolok. Sayangnya, kuning muda tidak cocok untukku."David menatap Sandara sesaat, benar-benar bingung dengan pen
"Kurasa kamu sudah tidak muda lagi untuk dinasihati, San. Kecuali, tentu saja, jika kamu masih nakal seperti dulu." Ada kesan jail dalam senyum David, matanya berkilat dalam cahaya lampu lampu kecil remang-remang ruangan itu, dan Sandara merasa perutnya kembali membuncah. David kembali mengalihkan pandangan ke menu dan Sandara memutuskan ia pasti hanya membayangkan senyum serta pandangan jail itu. Tidak ada yang jail tentang David Wijaya. Pria ini penduduk paling taat hukum yang pernah ia kenal."Aku janji tidak akan bersikap konyol lagi," balas Sandara, mengibaskan rambut, dan David memberikan isyarat pada pelayan supaya mendekat untuk mencatat pesanan mereka.Sandara memberitahukan pesanannya kemudian memandang sekeliling ruangan saat David memberitahukan pesanan pria itu sendiri, dengan suara pelan yang tidak terlalu didengarkan Sandara. Sebagian besar tamu adalah adalah kalangan atas yang sedang membuat kesepakatan, atau sosialita yang cukup berada. Tempat ini memang sedikit membo
"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?"David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengar
Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b