"Andi? Dia tidak hadir dalam acara hari ini. Dia harus mengunjungi orangtuanya."
"Kamu tahu nama petugas kebersihan itu?" "Aku akan menjadi Kepala Divisi Personalia, kan?" Sandara mengingatkan David. "Ibunya baru saja sakit dan dia harus pulang ke Semarang pada akhir pekan untuk mengurus kepulangan ibunya ke rumah sakit. Tentu saja, ini adalah hal yang benar-benar sulit baginya,bekerja di tempat yang jauh dengan kondisi ibunya yang sakit, tapi kurasa itu akan berjalan lancar-" "Aku yakin begitu," gumam David, secara efektif kembali memotong perkataannya, dan Sandara menatap maklum pada pria itu. "Maaf karena membuatmu bosan dengan semua detailnya, tapi kusangka kamu mengikuti kehidupan karyawan-karyawanmu? Atau hanya yang masuk ke kolom gosip?" "Aku lebih peduli tentang bagaimana pengaruh skandal sosial terhadap Sahabat Technology," sahut David, "daripada bagaimana atau kenapa petugas bersih-bersih mengambil cuti untuk ibunya yang sedang sakit." Ia memberikan isyarat supaya Sandara melanjutkan. "Tapi teruskan. Menarik, bagaimana kamu begitu memperhatikan hidup orang lain." Sandara menyadari dirinya tersipu. Apakah itu kritik? Dan meski terkadang ia terlalu bersemangat, ia tidak pernah melibatkan diri dalam skandal. Walaupun ia menduga bersemangat dan skandal sama saja dalam pandangan David. "Kurasa," katanya pada David dengan tegas, "itu yang membuatku hebat di Divisiku." "Tentu, salah satunya." David tersenyum, benar-benar tersenyum, bukan hanya lekuk samar bibirnya, tapi menunjukkan lesung pipi di salah satu pipinya. Sandara sudah lupa pada lesung pipi itu, lupa ketika David benar-benar tersenyum mata pria itu berubah menjadi seperti bersinar. Mata itu biasanya hitam tajam, seperti rambut pria itu. Hitam dan membosankan. Kecuali ketika pria itu tersenyum. Dengan cepat, Sandara berbalik kembali ke meja. Ia bisa merasakan David mengawasinya, merasakan tatapan menilai pria itu. Aneh, bagaimana kamu bisa merasakan seseorang mengawasimu. "Apakah kamu juga merancang pernikahan Indi?" tanya David lagi. "Pernikahan besar-besaran?" Sandara berbalik, kembali menyeka rambut berantakan dari matanya. Pernikahan?" Itu tidak mungkin, tidak. Itu jauh melebihi kemampuanku. Dan Indi akan menikah di kota tempat dia dibesarkan." "Tapi kamu akan berada di sana, kan? Menjadi pengiring pengantin, apa benar?" "Sebenarnya, ya." Sandara menjawab dan tetap sambil melanjutkan aktifitasnya. Senyum David semakin dalam, begitu pula lesung pipinya. Sesuatu melintas di matanya, sesuatu yang kelam dan meresahkan. "Dan kamu akan menari bersama yang lain, kan? Di pesta pernikahan itu?" Suara David berubah menjadi bisikan parau, suara yang menurut Sandara belum pernah ia dengar digunakan David, suara yang menyapu indranya dengan getaran. Ia mengernyit, lalu terpaku saat menyadari apa maksud David lewat bisikan itu... pernikahan Romeo dan Agatha, ketika mereka menari bersama, saat ia berusia enam belas tahun dan amat sangat konyol. Selama delapan tahun sejak kejadian itu terjadi, David tidak pernah menyinggung hal itu. Begitu pula Sandara. Ia menganggap pria itu telah melupakannya seperti dirinya. Hampir... hingga sekarang. Sekarang kejadian itu tiba-tiba menempati ruang yang terlalu besar dalam benaknya. "Tentu saja," kata Sandara sesaat kemudian, suaranya ringan dan terdengar sedikit ragu. Ia memutuskan untuk mengabaikan implikasi apa pun yang mungkin David buat. Mereka tidak perlu membicarakan kejadian menyedihkan itu sekarang. "Aku suka menari." Ia melirik David lagi dan lagi, meski sekarang hampir berusia 25 tahun, ia tetap merasa seperti gadis canggung di pesta itu. Ia benar-benar mempermalukan dirinya, tapi setidaknya ia bisa menertawakan hal itu sekarang. Ia akan menertawakan hal itu. "Aku tahu," kata David, suaranya masih berupa bisikan. "Aku ingat bagaimana kita menari bersama." Sudut mulut David kembali berkedut, hanya sedetik, saat matanya menatap mata Sandara. Warna matanya benar-benar memesona... bagaikan wine, atau Hitam, tapi dengan sinar tajamnya... "Kamu juga, kan?" desaknya, nada menantang terdengar dalam suaranya. Jadi, David akan menyinggung hal itu dan membuat Sandara melakukan hal yang sama. Dari sinar pemahaman di mata David, pria itu bermaksud menggodanya, meski kenapa pria itu menunggu delapan tahun untuk melakukannya, Sandara tidak tahu. Ia tersenyum masam, bertekad untuk bertahan terhadap godaan untuk apapun itu. "Ah, ya. Bagaimana aku bisa lupa?" David tidak mengatakan apa pun, dan Sandara menggeleng, memutar bola matanya seakan itu tidak lebih dari anekdot menggelikan. Kejadian itu memang cukup konyol, Delapan tahun lalu, dan jelas tidak berpengaruh untuk membuatnya malu sekarang, bahkan meski saat itu ia benar-benar malu.Hanya saja, Sandara berkata dalam hati, mereka tidak pernah membicarakan kejadian itu, tidak ketika David merekrutnya, ketika pria itu mencium pipinya saat pembaptisan keponakan perempuan mereka, atau ketika pria itu duduk di ujung meja saat makan malam acara keluarga. Dalam seluruh acara tersebut David tetap terkesan menyendiri, dan baru sekarang Sandaramenyadari betapa senang dirinya karena sedikit menjaga jarak. Namun di sinilah David sekarang, berdiri begitu dekat, mengingat kembali kenangan-kenangan itu, dan bertingkah tidak seperti biasa. Hal itu mengusik pikiran Sandara. Sandara tertawa kecil dan melemparkan senyum meledek diri sendiri. "Aku mempermalukan diriku di hadapanmu." David mengangkat sebelah alis. "Begitukah kamu mengingatnya?" Tentu saja David tidak akan membuat hal ini mudah bagi Sandara. Pria itu David tidak pernah melakukan itu. Tidak ketika Sandara tujuh tahun, ketika ia enam belas tahun, dan bahkan sekarang ketika ia hampir dua puluh lima tahun. Sandara seharusnya terbiasa dengan senyum mengejek David, lekuk mulus sebelah alis pria itu, tapi entah bagaimana dengan jarak dalam hubungan pekerjaan di antara mereka, ia melupakan hal itu. Ia lupa seberapa besar pengaruh David pada dirinya. "Kamu tidak ingat?" tanyanya, berpura-pura menggigil. "Kurasa itu melegakan." Sesaat David tidak mengucapkan apa pun, dan Sandara menyibukkan diri menata peralatan makan kotor menjadi tumpukan rapi. "Aku ingat," akhirnya David bicara, perlahan, tanpa humor sedikit pun. Sandara merasakan hawa dingin yang aneh merayapi punggungnya. Dan mendadak, tanpa seorang pun dari mereka mengatakan apa-apa lagi, Sandara merasa seakan kenangan itu ada di sana, hidup dan bernapas serta menghirup seluruh udara. Ia jelas mengingatnya, bahkan sekarang ia bisa merasakan betapa belia dan bahagia dirinya dulu dan sangat konyol. David mengajaknya menari bersama, hal paling nyata dan sopan untuk dilakukan karena dia kakak sang pengantin pria dan Sandara adalah adik sang pengantin wanita. Saat itu Jason pria 28 tahun yang berpengalaman dibandingkan dirinya yang masih menjadi gadis enam belas tahun yang polos. la sedang limbung serta pusing akibat kelelahan menjalani berbagai ritual pernikahan yang di jalani keluarganya ketika David memeluk dan memandunya dalam musik yang lembut dan tidak berbahaya. Itu tarian wajib, dan Sandara tahu itu sedari awal ia bahkan tidak ingin menari dengan David Wijaya yang membosankan. Satu- satunya yang pernah David lakukan hanya menggoda serta memarahinya. Namun entah mengapa, ketika David memeluknya, menjaganya sejauh lima belas sentimeter dari tubuh pria itu, Sandara merasakan hal lain. Hal yang baru dan menggelenyar dan cukup menyenangkan, dalam cara yang menggelisahkan. Ia dulu gadis enam belas tahun yang polos, dan belum pernah merasakan getar manis itu. Jadi, meski ekspresi David dingin dan musik itu membosankan, Sandara mendongak dan tersenyum pada pria itu dengan sebanyak mungkin pesona menggoda yang ia pikir ia miliki dan berkata, "Tahu tidak, kamu cukup tampan." David menatapnya, wajah pria itu sangat serius. Ekspresinya tak berubah sedikit pun. "Terima kasih." Entah bagaimana, menurut Sandara bukan itu yang seharusnya diucapkan David. la tidak yakin dengan skenarionya, ia tahu dirinya tidak menyukai dialog tersebut. Tapi David memang pria tampan, dengan rambut serta mata gelap, gigi putih serta lengan kuat saat pria itu memeluknya dalam jarak yang pantas. Sandara masih bisa merasakan kehangatan serta kekuatan pria itu dan, dipengaruhi musik lembut yang bergolak dalam pembuluh darahnya, ia menambahkan, "Mungkin kamu ingin menciumku." la semakin mendongakkan dagu mungilnya, dan bahkan dengan konyol berani memonyongkan bibir serta menanti. Ia membiarkan kelopak matanya menutup, mendadak begitu mendambakan David menciumnya. Itu akan menjadi ciuman pertamanya, dan pada saat itu ia sangat menginginkannya. la menginginkan David, menggelikan karena belum pernah ia memikirkan David dengan cara itu,bahkan tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan tersebut-sampai David mengajaknya menari. Momen itu berlangsung terlalu lama, beberapa detik yang menimbulkan kesadaran menyiksa serta menghukum. Ia membuka mata dan melihat David menunduk dengan tatapan yang tampak marah. Mata pria itu menyipit, mulutnya menegang, dan dia sama sekali tidak terlihat bersahabat atau membosankan. Seluruh sikap menggoda Sandara lenyap, membuatnya merasa hampa serta dingin. Ia hampir merasa takut. Lalu ekspresi David berubah, pandangan marah tersebut terhapus, dan dia tersenyum tipis serta berkata, "Aku sebenarnya ingin. Tapi aku tidak akan melakukannya." Dan dengan itu, sebelum acara menari tersebut berakhir atau bahkan benar-benar dimulai, David menjauhkannya dengan lembut serta tegas lalu meninggalkan aula tengah. Sandara tetap berdiri di sana beberapa detik, terpaku tidak percaya. Penghinaan publik dengan ditinggalkan di tengah aula sudah cukup buruk, tapi yang jauh lebih buruk lagi adalah penghinaan pribadi karena ditolak secara langsung oleh David Wijaya. Saat itu ia cukup yakin David benar-benar tidak ingin menciumnya. Dan karena ia baru berusia enam belas tahun, sedikit lelah, dan itu akan menjadi ciuman pertamanya, ia tidak sanggup mengangkat dagu dan menegakkan bahu serta melangkah santai meninggalkan lantai Aula seperti yang ia inginkan. Sebaliknya ia melangkah tersandung-sandung di lantai kayu, larut dalam air mata lelah bahkan sebelum meninggalkan ruang pesta. Benar-benar bodoh. Sekarang ia berbalik untuk tersenyum cerah pada David, memaksa kenangan itu serta rasa malu yang menyertainya kembali ke bagian terjauh benaknya. "Baiklah, aku tidak akan mengajakmu menari bersama lagi, aku janji," ia meyakinkan David. "Jangan takut." Senyuman melintas di wajah David bagaikan gelombang air. Tatapan merenung pria itu tertuju pada Sandara, seakan menilainya. "Tapi, San, aku berharap kamu mengajakku menari." Sandara sedikit terkejut, lalu tertawa dan menjawab, "Kalau begitu, aku pasti tidak akan memintamu menciumku lagi." "Kalau begitu, aku akan sangat kecewa," balas David, suaranya lembut. Sandara kaget, hampir tidak mampu bicara, sampai ia menyadari David pasti menggodanya seperti biasa. Kecuali pria itu belum pernah menggodanya seperti ini sebelumnya. David mengamati saat kekagetan membuat mata cokelat Sandara membelalak dan wanita itu menjilat bibir bawah. Ia mendadak merasakan sentakan gairah saat memandang gerakan sederhana itu, membuatnya terkejut sekaligus terganggu. la tak punya hak untuk merasa seperti itu tentang Sandara... lagi. Ia tidak bermaksud mencari Sandara malam ini. Ia hanya punya waktu beberapa bulan di Jakarta, dan menghabiskan waktu bersama Sandara Loise berada jauh di dasar daftar prioritasnya. Bahkan, tidak menghabiskan waktu bersama Sandara adalah prioritas. Ada wanita-wanita yang lebih pantas untuk ia buru. Wanita-wanita yang simple, cerdas dan serius, sempurna untuk tujuannya. Sandara, dengan mata tajam, senyum menggoda, dan kaki panjang, jelas bukan salah satu dari wanita-wanita itu. Yang lebih penting lagi, Sandara di luar jangkauannya. Gadis itu di luar jangkauannya delapan tahun lalu, dan masih di luar jangkauannya sekarang untuk banyak alasan. "Bagaimana rasanya menjadi Kepala divisi Personalia?" tanya David, bertekad mengembalikan percakapan tersebut ke hal pekerjaan. "Yang termuda di posisi itu." "Aneh," Sandara mengakui. "Kuharap aku sanggup memikul tugas itu." "Aku yakin kamu sanggup." David telah menyaksikan Sandara berkembang dalam posisinya di Divisi Personalia dari jauh. Ia terkejut sekaligus bersemangat dengan cara Sandara melaksanakan perannya. Kenaikan jabatan Sandara adalah langkah bisnis yang cerdas, meski sebagian orang-termasuk Sandara sendiri-mungkin menganggapnya nepotisme. David tidak pernah membiarkan perasaan menghalangi bisnis. Atau apa pun. "Sebagai tugas pertamamu," ia memberitahu gadis itu, "ada wanita yang aku ingin kamu wawancarai hari Senin, untuk posisi resepsionis." Sandara melirik David agak tajam. "Oh?" tanyanya, suaranya sedikit tidak yakin. "Anin Salsabiah. Dia baru saja datang ke Jakarta dan membutuhkan bantuan." "Temanmu?" tanya Sandara, suaranya sedikit menajam, dan David menahan senyuman. Terkadang Sandara sangat mudah dibaca. Apakah dia benar-benar cemburu? Apakah gadis itu masih merasakan cinta monyet yang ditunjukkannya pada David delapan tahun lalu? Kemungkinan itu menggugah rasa penasaran David... dan berbahaya. la masih mengingat momen ketika Sandara menengadahkan wajah cantik padanya dan berkata, "Mungkin kamu ingin menciumku." Dan ia memang menginginkannya, lebih daripada yang bersedia ia akui, bahkan pada dirinya sendiri. Sentakan gairah yang tiba-tiba serta kuat hampir membuat David limbung dan terjatuh. Sandara baru enam belas tahun, masih kecil, benar-benar polos, dan sangat naif. Kekuatan reaksinya sendiri mengguncang dan membuat David malu; setelah itu ia langsung meninggalkan pesta pernikahan tersebut, hampir gemetar dengan guncangan dari gairah yang mengejutkan serta tertahan, bertekad menyingkirkan Sandara dari benaknya. Dan ia berhasil melakukannya, hampir melupakan Sandara sama sekali, hingga tiga tahun kemudian ketika Sandara datang dengan gembira ke Jakarta tanpa rencana atau pekerjaan dan ia dengan enggan menawarkan posisi pemula pada gadis itu. Ia ingat bagaimana Sandara duduk seenaknya di kursi seberang mejanya. Rambut hitam gelombang Sandara tergerai melewati bahu, mata cokelat gadis itu yang besar bersinar nakal. Sabdara mengenakan rok yang sangat pendek serta atasan pink muda sewarna matanya; David menduga Sandara menganggap pakaian itu busana kerja. Ia tak sangup mengalihkan pandangan dari kaki putih panjang Sandara, atau cara salah satu kakinya berayun-ayun, sandal tumit tinggi bergoyang-goyang di atas jemari kaki yang kukunya dicat merah manyala. Saat itu David berdiri di belakang meja, tangannya dimasukkan ke saku, berupaya keras terlihat tegas dan tidak setuju. Saat itu Sandara baru berusia sembilan belas tahun dan terlihat polos, cantik, serta sangat belia. Meski David berhasil melupakan bagaimana Sandara memengaruhinya tiga tahun lalu, hal itu kembali menyerbunya lewat berbagai kenangan serta perasaan yang muncul. "Kamu bisa menyuruhku melakukan apa saja," kata Sandara. "Aku tidak akan cerewet." David berdiri, terlihat muram, berusaha supaya apa yang bisa ia bayangkan dilakukan Sandara tidak terlihat di wajahnya. Sudah tiga tahun sejak mereka menari di pesta pernikahan itu, tiga tahun sejak ia hampir tak pernah melihat atau membayangkan kejadian itu lagi.David tidak ingin mengingat kejadian memalukan itu sedikit pun, namun ia tetap masih merasakan tusukan gairah kuat tersebut. Ketika Sandara mencondongkan tubuh ke depan, rambut gadis itu tergerai di wajahnya dan David mencium aroma sampo. Lavender. Sandara menengadah menatap David lewat bulu mata, matanya menari geli. "Jujur saja,David, kamu benar-benar terlihat ketakutan! Kuyakinkan kamu, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan." Entah bagaimana David berhasil tersenyum. "Dan apa pun yang kuminta kamu lakukan-kurasa kamu ingin digaji untuk itu?" Sejenak Sandara terlihat bingung dengan perkataan David, ekspresinya polos serta rapuh. Dengan tusukan rasa benci pada diri sendiri David kembali menyadari betapa belia dan tidak berpengalamannya Sandara-dalam segala hal. Lalu gadis itu tertawa, tawa dalam dan serak yang membuat David memasukkan tangannya semakin dalam ke saku, kernyit timbul di wajahnya. Sandara memiliki tawa wanita berpengalaman, tawa seksi serta sensual, dan tawa itu menim
Pagi itu Sandara menatap wanita yang duduk di seberang mejanya, menyadari jemari wanita itu dengan gugup meremas-remas kain celana putih murahan yang kusut, senyum hati-hati mencerahkan wajah cantik wanita itu. Anin Salsabiah gadis yang cantik, beberapa tahun lebih muda daripada Sandara, dengan rambut gelap bagaikan lingkaran halo lembut di wajahnya yang pucat."Jadi," Sandara tersenyum menyemangati saat membaca surat laamran kerja Anin yang seadanya. "Kaum pernah bekerja sebagai pelayan di Paparito...""Aku juga sempat bekerja formal menjadi pegawai kontrak di sebuah kantor," Ani memberitahu dengan sukarela. Suaranya lembut dan mendayu, "Aku bertugas menjawab telepon. Menurut Tuan Wijaya, aku bisa melakukan hal yang sama di sini. Dia bilang salah seorang resepsionis kalian cuti melahirkan."Sandara bertanya-tanya-bukan untuk pertama kalinya,kira-kira apa hubungan David dengan Anin Salsabiah yang cantik ini. Apakah Anin ada hubungannya dengan urusan pribadi David yang misterius? "Ya,
David membuka pintu mobil, menghirup aroma lavender rambut Sandara dan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan feminin, yang kembali menimbulkan hasrat gairah dalam dirinya. Hanya makan malam. "Sepertinya begitu," ucap nya, dan Sandara memutar bola mata sembari memasuki interior mobil dari kulit mewah mobil keluaran terbaru itu."Aku tidak menyangka kamu menyukai mobil sport. Aku kira kamu tipe pria yang hanya mengutamakan fungsi di atas segalanya.""Oh?" David menyelinap ke kursi pengemudi. "Aku tidak tahu kamu punya dugaan seperti itu mengenai mobilku."Ya, tapi ternyata aku salah?" kata Sandara sambil tertawa. Ia mengibaskan rambut ke balik bahu hingga tergerai sempurna. "Mobilmu. Aku menduga sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tentu saja. membosankan untukmu, hanya mobil yang membawamu dari tempat A ke tempat B. Tentu saja," goda Sandara, "warnanya pun akan sedikit mencolok. Sayangnya, kuning muda tidak cocok untukku."David menatap Sandara sesaat, benar-benar bingung dengan pen
"Kurasa kamu sudah tidak muda lagi untuk dinasihati, San. Kecuali, tentu saja, jika kamu masih nakal seperti dulu." Ada kesan jail dalam senyum David, matanya berkilat dalam cahaya lampu lampu kecil remang-remang ruangan itu, dan Sandara merasa perutnya kembali membuncah. David kembali mengalihkan pandangan ke menu dan Sandara memutuskan ia pasti hanya membayangkan senyum serta pandangan jail itu. Tidak ada yang jail tentang David Wijaya. Pria ini penduduk paling taat hukum yang pernah ia kenal."Aku janji tidak akan bersikap konyol lagi," balas Sandara, mengibaskan rambut, dan David memberikan isyarat pada pelayan supaya mendekat untuk mencatat pesanan mereka.Sandara memberitahukan pesanannya kemudian memandang sekeliling ruangan saat David memberitahukan pesanan pria itu sendiri, dengan suara pelan yang tidak terlalu didengarkan Sandara. Sebagian besar tamu adalah adalah kalangan atas yang sedang membuat kesepakatan, atau sosialita yang cukup berada. Tempat ini memang sedikit membo
"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?"David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengar
Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b