"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."
Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine. "Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?" "Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?" Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum." David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kening Sandara, jemarinya memijat pelipis gadis itu dengan ahli. Sandara menghirup aroma Sakura Jepang David, merasakan gesekan ibu jari pria itu di tulang pipinya. Sentuhan itu berhasil menenangkan sekaligus meningkatkan gairahnya, membuat tubuhnya merasa semakin bingung. David tidak pernah menyentuhnya seperti ini, pria itu tidak pernah benar-benar menyentuhnya. "Mungkin sebaiknya kamu memejamkan matamu," saran David. Sandara menurut, menyandarkan kepala ke kursi sembari menarik napas dalam, dan akhirnya perutnya mulai membaik. David membiarkan tangannya tetap di kening Sandara, tekanannya sejuk dan menenangkan. Sandara memiliki keinginan aneh dalam dirinya untuk meletakkan tangannya di atas tangan David, membiarkan telapak tangan pria itu di sana, bersentuhan dengan tangannya sendiri. "Maaf," katanya setelah sesaat, dan kemudian dengan jujur menambahkan, "dan di sinilah aku, berniat menunjukkan padamu betapa berpengalamannya diriku." "Berpengalaman?" Dengan terlambat, Sandara menyadari mungkin tidak seharusnya ia mengatakan hal itu. "Berpengalaman itu hal yang dinilai terlalu tinggi, San." "Seperti cinta?" Kata-kata itu meluncur dengan sendiri dari bibirnya. Sandara merasakan sekaligus mendengar keraguan David. "Ya," kata David akhirnya, menarik tangannya, dan Sandara pun membuka mata. David telah menghentikan mobil, dan Sandara melihat mereka berada di depan apartemennya. Mobil itu mendadak terasa sangat kecil dan gelap serta hening, satu-satunya suara adalah suara napas mereka. Sandara menggenggam pegangan pintu. "Baik, kalau begitu, selamat malam," katanya, suaranya hanya berupa bisikan dalam kegelapan, dan David meraih pegangan pintunya sendiri. "Aku akan mengantarmu sampai ke kamarmu." Sandara mencari-cari kunci dan kartu di dalam tasnya, menyadari David di sampingnya, menjulang bagaikan bayangan gelap. Ia tinggal di dalam blok apartemen, dengan kunci dan kartu terpisah untuk pintu depan serta pintu apartemennya sendiri. Saat ini, dalam kebingungan, ia memasukkan kunci yang keliru ke pintu, mendorong dengan susah payah. "Biar kubantu," kata David, jemarinya menggenggam jemari Sandara saat ia mengambil kunci dari gadis itu dan menukarnya dengan yang satu lagi, lalu memutar kunci dengan mudah serta membuka pintu. Ruang depan yang elegan itu hanya diterangi lampu meja kecil. Dalam cahaya temaram itu Sandara bisa melihat ekspresi wajah David, tatapan pria itu tenang namun serius sehingga membuatnya gelisah. Seluruh malam ini membuatnya gelisah karena meski hampir sepanjang waktu David bersikap persis seperti yang ia perkirakan, sok kuasa dan sedikit menyebalkan seperti David yang biasa, pria itu juga berbeda. Sepanjang malam ini terasa berbeda dan, saat ini, saat David masih menatapnya dengan tatapan serius dan tajam, Sandara tidak bisa menjelaskan alasannya bahkan pada dirinya sendiri. la tidak bisa berpikir sama sekali. "Kamu tidak perlu naik," katanya, dan kemudian tersipu karena terdengar seperti semacam ajakan halus. "Aku baik-baik saja." "Kalau begitu aku akan membiarkanmu naik sendiri," kata David. Setelah terdiam sejenak saat mereka hanya saling menatap, ia mengangkat tangan, jemarinya terhenti di udara, sangat dekat dengan wajah Sandara. Sandara menahan napas, tidak yakin dengan niat David atau kenapa ia merasakan sensasi aneh dalam perutnya, seakan ia salah melangkah, atau lantai runtuh. Lalu David membiarkan jemarinya membelai pipi Sandara, tidak lebih dari sentuhan ringan, ujung jemarinya mengelus ringan rahang Sandara saat senyuman melembutkan wajahnya. Namun bahkan sebelum Sandara sempat menyadari atau merasakan sentuhan jemari David di kulitnya, ekspresi David kembali mengeras, alisnya bertaut saat ia menjatuhkan tangan. "Selamat malam, San," katanya, dan kemudian ia pun pergi. Sandara bersandar ke tangga, kepalanya terasa lebih pusing daripada yang sebelumnya, dan kali ini tidak ada hubungannya dengan wine. David kembali masuk ke mobil mewahnya, mengumpati diri sendiri karena hampir mencium Sandara. Atau mungkin karena tidak mencium gadis itu. Tubuh serta benaknya jelas sedang bertentangan, masing-masing bergolak dengan gairah tidak terpuaskan. Malam ini benar-benar menyenangkan, dan karena itulah malam ini juga merupakan kesalahan besar. Kenapa ia menghabiskan waktunya bersama Sandara? Hal itu jelas tidak bisa mengarah pada apa pun. Ia tidak akan membiarkannya. Namun di sinilah dia, ingin bersama Sandara karena benar-benar menyenangkan mendengar gadis itu bercanda, mendengar tawa kecilnya, menyaksikan cahaya lampu menyinari rambut hitamnya yang berkilau. Bersama Sandara ia merasa hidup dan bersemangat, dan ketika Sandara mendekat padanya ia tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh gadis itu. Kulit Sandara terasa bagaikan sutra hangat. Kali ini David mengumpat keras.Sadarlah. Ini Sandara. Sandara Loise, tetangga terdekatnya, adik iparnya, gadis yang kepangnya ia tarik dan air matanya ia hapus. Ya, Sandara sekarang seorang wanita, namun Sandara juga seenaknya,konyol serta sedikit ceroboh, dan benar-benar pilihan yang tidak cocok sebagai istri. Sementara untuk hal lain... itu, jika bukannya tidak terbayangkan, maka mustahil. David tidak bisa menjalin hubungan murahan atau hubungan singkat dengan Sandara Loise. Ia memikirkan seluruh alasan mengapa menjalin hubungan dengan Sandara adalah ide yang sangat buruk,keluarga mereka berhubungan, Sandara masih muda, lebih polos daripada yang gadis itu ingin David percayai dan yang paling penting, paling mengerikan, Sandara menginginkan cinta. Keromantisan. Sandara mungkin tidak mencari cinta atau pernikahan sekarang, tapi pantas dan logis jelas tidak ada dalam kamusnya. David melihat harapan di mata gadis itu. Persis seperti ia melihat harapan dalam mata ibunya. perlahan-lahan lenyap. la hidup dengan akibatnya, dan itu membuatnya semakin bertekad untuk menemukan tipe istri yang seharusnya dimiliki ayahnya, tipe istri yang ia butuhkan: pantas, logis, praktis. Bukan percintaan. Bukan cinta. Bukan Sandara. Namun bayangan Sandara tetap menyelinap dalam benaknya lewat bisikan menggoda yang nakal. Davjd menyadari ia bisa dengan mudah membayangkan dirinya menjalin hubungan percintaan dengan Sandara Loise. la bisa dengan mudah membayangkan gerakan mulus bibir Sandara di bibirnya, helaian rambut gadis itu di tangannya. Dan lebih... jauh lebih banyak daripada itu. Tubuh Sandara menempel di tubuhnya, kedua kaki gadis itu membelit kakinya... David mengenyahkan bayangan tersebut, berapapun nikmatnya. Tidak peduli berapa usianya sekarang. Sandara tetap tidak terjangkau.David memberitahukan kenyataan itu pada Sandara ketika ia mengatakan gadis itu tidak termasuk dalam daftar calon istrinya. la kembali ke Jakarta untuk urusan yang sangat pribadi, yaitu mencari seseorang wanita untuk dinikahi. Ia telah berusia 37 tahun dan kesehatan ayahnya sudah mulai menurun. Ia membutuhkan pewaris. Sandara mungkin menganggap hal itu mengerikan dan kolot, tapi David memilih untuk memandangnya sebagai hal yang praktis. Praktis dan tanpa harapan-harapan emosional yang menyengsarakan ibunya sendiri, dan membuat ayahnya menjadi duda. Cinta bukan hanya dinilai terlalu tinggi, itu juga hal yang tidak disarankan. Dipenuhi kekecewaan dan bahaya, itulah alasan mengapa David memilih menghindari cinta... begitu pula istrinya nanti. Tidak ada kata- kata tanpa makna, ekspresi-ekspresi tidak berguna, kekecewaan-kekecewaan tidak terkatakan. Hanya perasaan saling menghormati dan kasih sayang, dasar paling kuat untuk pernikahan yang bertahan lama. Hal yang tidak perlu sekarang adalah membayangkan Sandara Loise dalam peran itu. Sandara Loise yang seenaknya, konyol, dan suka menggoda. Tokoh kesayangan kolom- kolom gosip, apalagi ayah gadis itu. Mencari cinta, bahkan jika gadis itu sendiri tidak menyadarinya. Sialan, Sandara bahkan mengaturnya untuk orang lain. Sandara sama sekali tidak sesuai untuk menjadi istri yang pantas dan David pilih dengan hati-hati. Dan Sandara menganggapnya membosankan. David tertawa keras, penuh penyesalan, saat ia mengakui bagaimana pernyataan ceroboh Sandara mengusik pikirannya. Tadinya ia benar-benar menganggap Sandara masih sedikit menyukainya, dan fakta yang sebaliknya membuat David menyadari keangkuhan konyolnya sendiri. Meski Sandara tidak membosankan ketika ia menyentuh gadis itu. David mendengar tarikan napas samar Sandara, merasakan ketegangan di antara mereka.Sandara jelas tidak sedang bosan saat itu. Dan ia hampir tidak mampu menahan diri untuk menangkup wajah Sandara dan menarik bibir menggiurkan itu ke bibirnya untuk ciuman yang telah lama ia sangkal. Dan akan terus ia sangkal, meski ia sangat ingin membuktikan pada Sandara dirinya bisa menjadi seseorang yang menggairahkan. la berupaya mencari istri, bukan kekasih. Dan meski dengan hasrat ingin memilikinya yang masih bergejolak dalam dirinya, ia tahu Sandara tidak akan pernah bisa menjadi istrinya.Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
"Ikut campur atau menjodohkan seseorang?""Sama saja.""Itu hanya menurut pendapatmu,David." Sandara meletakkan tangan di dada David, telapak tangannya menempel di bahan kemeja biru langit pria itu, jemarinya secara naluriah mencari kehangatan David di balik kain tersebut. la merasakan jantung David berdetak stabil di bawah telapak tangannya. Ia berniat membuat sentuhan ringan, bahkan tidak ada artinya, tidak lebih dari sentuhan main-main di dada, namun seolah didorong kebutuhan lebih mendalam dan mendasar, Sandara menyadari bukan itu yang terjadi,tangannya bergerak sendiri, jemarinya meregang, mencari, sementara akal sehat terbang dari benaknya."Kamu tidak perlu cemas tentang Anin atau aku," akhirnya ia bicara, mencari kata-kata yang sepertinya tersembunyi jauh dalam benaknya. Ia mendongak menatap David, melihat bintik-bintik sinar tajam di mata pria itu. Mata itu tidak terlihat cokelat sama sekali. Tidak terlihat membosankan sama sekali. Ia menelan ludah. "Kamu tidak perlu mengawas
"Kamu sama denganku,Anin," aku Sandara riang."Kamu harus tahu aku sudah bekerja di sini selama lima tahun." Ia tertarik pada orang, bukan pekerjaannya atau proyek proyek yang sedang di kerjakannya sekarang."Tapi, dia sering datang menemuimu, kan?" tanyanya, dan Anin mengangkat bahu."Kadang-kadang," sahut Anin pelan. Ia bimbang, lalu dengan bersemangat mengakui, "Kurasa kenyataannya memang tidak akan sama dengan yang kubayangkan, ya? Kami sudah lama berteman, dan tentu saja awalnya akan terasa sulit.."Sulit? Sandara mulai jengkel. Anin jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar sulit, lebih dari sekadar duduk di rumah menunggu Roy meneleponnya. "Begini saja," katanya tiba-tiba, ide muncul dalam benak Sandara dan membuatnya bersemangat, "aku mendapat undangan ke pesta malam ini,kalau tidak salah, acara pembukaan butik baru."Sebenarnya, Sandara tidak yakin acara apa itu,ia menerima belasan undangan setiap minggu, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Namun acara yang mana pun akan
Sandara merasa pikiran serta tubuhnya seakan membeku, begitu kaget dengan cara David menyentuhnya. Meski bukan itu yang sebenarnya terjadi, yang dilakukan David hanyalah mengembalikan tali bahu gaunnya. Bukan, Sandara terkejut oleh reaksinya sendiri, gairah yang berpacu dalam dirinya bagaikan escream cair yang tidak ia duga dan belum pernah alami sebelumnya. Ia tidak bisa bergerak atau berpikir bahkan bernapas. Kerumunan orang bergerak serta melewati mereka, dan Sandara merasa seakan dirinya dan David terpaku di tempat. Ibu jari David kembali membelai tulang selangkanya, pria itu menatap matanya tajam dan penuh emosi.Entah bagaimana, perlahan, seakan dirinya berada dalam pusaran angin, Sandara bergerak. Ia melangkah mundur dengan goyah, menggeleng lebih kuat daripada yang dibutuhkan atau niatkan, winenya memercik dan rambutnya tergerai. "Perdebatan ini tidak berguna," katanya."Anin seorang wanita dewasa dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Begitu pula Roy dan Stevan dan jug
David menatap kolom gosip dalam berita online yang ada di akun pribadinya. Rambut hitam bergelombang yang tergerai, gaun warna keemasan ketat. Tiga foto berbeda, setiap foto lebih meresahkan daripada sebelumnya. David membaca komentar-komentarnya. Sandara Loise memukau acara pencarian dana dengan gaun yang dirancang eksklusif... Sandara Loise dan seorang tamu tidak dikenal bersulang untuk malam mereka... Sandara Loise dan Stevan Smith bergandengan tangan dalam acara pencarian dana tadi malam.Sembari meringis muak, David menutup komputernya. Ia tidak perlu melihat lebih banyak foto lagi. Ia yakin bahwa meski dirinya tahu betapa memesona dan memikatnya Sandara, gadis itu juga konyol, seenaknya dan sangat tidak sesuai baginya. Ia tidak berhak menunjukkan ketertarikan pada gadis itu. Tidak berhak mencium Sandara.Sandara bukan calon istri yang tepat. Mendekati pun tidak.Jadi mengapa ia tidak sanggup melupakan gadis itu? Mengapa ia tidak bisa melupakan ciuman itu? Mengapa ia menginginkan
Sandara menarik korset sutra ketat gaun pengiring pengantinnya dan meringis di depan cermin. Warna kuning muda lembut itu membuatnya terlihat bagaikan bunga mawar, sementara roknya mengembang di bagian lutut sehingga ia seperti mengenakan rok balet. Sementara Indi tergila-gila pada apa yang dianggapnya sebagai gaun di kisah dongeng, dan berkeras Sandara terlihat sangat cantik mengenakannya. Dalam hati, Sandara sebenarnya tidak setuju dengan penilaian Indi, tapi tidak membantah. Ini hari istimewa Indi, bukan dirinya.Pesta pernikahan itu akan menjadi pesta yang sederhana dan intim, upacaranya dilaksanakan di gereja sebuah kota kecil tempat Indi tumbuh besar, dan setelah itu resepsi makan malam di hotel setempat. Sandara tiba kemarin malam, tepat waktu untuk mengikuti geladi bersih, dan kemudian terlelap keletihan serta sedikit kewalahan dengan hiruk pikuk yang menyerupai histeria akibat pernikahan yang mendekat. Pengaturan tempat duduk. Karangan bunga. Penyesuaian gaun Indi di menit-me
David terdengar sangat tidak percaya sehingga Sandara paham pria itu benar-benar tidak tahu. Tidak melihat bagaimana Sandara kabur dari lantai dansa dengan berurai air mata. Meskipun Sandara takjub karena pria itu tidak menyadarinya,ia merasa sangat terekspos. "Itu sudah lama sekali, aku tahu itu," katanya kaku. "Dan tentu saja sudah tidak penting lagi sekarang-""Tentu saja penting," David menyela, "karena kita sedang membicarakannya.""Aku hanya merasa benar-benar ditolak," sahut Sandara, kata-katanya formal dan kaku, setiap kata terlontar dengan sangat enggan. la ingin menyingkirkan kenangan itu, meyakinkan diri bahwa ia telah melakukannya. Namun, melihat David lagi mendengar pria itu menyinggung masalah itu setelah bertahun-tahun mengembalikan kenangan tersebut, membuatnya kembali menyadari betapa menyakitkan kejadian itu. Ia tidak mampu menertawakannya sekarang, mungkin ia memang tidak pernah mampu melakukannya.Dan sekarang ia merasa bagai memberi David lebih banyak amunisi untu
Selama seminggu ini Sandara sudah tidak bertemu dengan David. Itu minggu yang penuh keresahan dan sedikit kemarahan. Ia tegang dan berbalik setiap kali seseorang muncul di pin-tunya, bertanya-tanya mengapa David membuat pengaku-an yang begitu mengejutkan dan kemudian menghilang tanpa jejak. Apakah David hanya berniat untuk menggodanya? Apakah pria itu berubah pikiran? Atau apakah dia serius, dan memberi Sandara wak-tu untuk memutuskan apa yang diinginkannya? Sandara tidak tahu mana yang lebih ia sukai. Setiap pilihan yang ada terkesan menakutkan. Sementara itu, ia sadar dirinya terlalu sering memeriksa e-mail atau pesan di ponselnya. Ia mengecek akun akun jejaring sosial di internet untuk melihat apakah ada berita tentang David, yang tentu saja itu sia sia. David bukan tipe pria yang suka membaharui status onlinenya. Jengkel dengan dirinya sendiri, Sandara menjauh dari ponsel serta laptop kecuali untuk bekerja, bertekad tidak memikirkan David sedikit pun. Sayangnya, itu mustahil.
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b