Sandara menarik korset sutra ketat gaun pengiring pengantinnya dan meringis di depan cermin. Warna kuning muda lembut itu membuatnya terlihat bagaikan bunga mawar, sementara roknya mengembang di bagian lutut sehingga ia seperti mengenakan rok balet. Sementara Indi tergila-gila pada apa yang dianggapnya sebagai gaun di kisah dongeng, dan berkeras Sandara terlihat sangat cantik mengenakannya. Dalam hati, Sandara sebenarnya tidak setuju dengan penilaian Indi, tapi tidak membantah. Ini hari istimewa Indi, bukan dirinya.Pesta pernikahan itu akan menjadi pesta yang sederhana dan intim, upacaranya dilaksanakan di gereja sebuah kota kecil tempat Indi tumbuh besar, dan setelah itu resepsi makan malam di hotel setempat. Sandara tiba kemarin malam, tepat waktu untuk mengikuti geladi bersih, dan kemudian terlelap keletihan serta sedikit kewalahan dengan hiruk pikuk yang menyerupai histeria akibat pernikahan yang mendekat. Pengaturan tempat duduk. Karangan bunga. Penyesuaian gaun Indi di menit-me
David terdengar sangat tidak percaya sehingga Sandara paham pria itu benar-benar tidak tahu. Tidak melihat bagaimana Sandara kabur dari lantai dansa dengan berurai air mata. Meskipun Sandara takjub karena pria itu tidak menyadarinya,ia merasa sangat terekspos. "Itu sudah lama sekali, aku tahu itu," katanya kaku. "Dan tentu saja sudah tidak penting lagi sekarang-""Tentu saja penting," David menyela, "karena kita sedang membicarakannya.""Aku hanya merasa benar-benar ditolak," sahut Sandara, kata-katanya formal dan kaku, setiap kata terlontar dengan sangat enggan. la ingin menyingkirkan kenangan itu, meyakinkan diri bahwa ia telah melakukannya. Namun, melihat David lagi mendengar pria itu menyinggung masalah itu setelah bertahun-tahun mengembalikan kenangan tersebut, membuatnya kembali menyadari betapa menyakitkan kejadian itu. Ia tidak mampu menertawakannya sekarang, mungkin ia memang tidak pernah mampu melakukannya.Dan sekarang ia merasa bagai memberi David lebih banyak amunisi untu
Selama seminggu ini Sandara sudah tidak bertemu dengan David. Itu minggu yang penuh keresahan dan sedikit kemarahan. Ia tegang dan berbalik setiap kali seseorang muncul di pin-tunya, bertanya-tanya mengapa David membuat pengaku-an yang begitu mengejutkan dan kemudian menghilang tanpa jejak. Apakah David hanya berniat untuk menggodanya? Apakah pria itu berubah pikiran? Atau apakah dia serius, dan memberi Sandara wak-tu untuk memutuskan apa yang diinginkannya? Sandara tidak tahu mana yang lebih ia sukai. Setiap pilihan yang ada terkesan menakutkan. Sementara itu, ia sadar dirinya terlalu sering memeriksa e-mail atau pesan di ponselnya. Ia mengecek akun akun jejaring sosial di internet untuk melihat apakah ada berita tentang David, yang tentu saja itu sia sia. David bukan tipe pria yang suka membaharui status onlinenya. Jengkel dengan dirinya sendiri, Sandara menjauh dari ponsel serta laptop kecuali untuk bekerja, bertekad tidak memikirkan David sedikit pun. Sayangnya, itu mustahil.
"Kamulah yang sepertinya menganggap ada sesuatu diantara kami berdua," Stevan menyelanya. "Bukan Anin." Pernyataan itu memang benar hingga Sandara tidak mampu menyangkalnya. Ia memang mendorong Anin. Seandainya ia memperingatkan Anin, mungkin kekacauan ini bisa dihindari. Dan, Sandara terpaksa mengakui dengan amat menyesal, sebagian alasan ia mendorong Anin karena itu merupakan cara untuk membuktikan sesuatu pada David yang menurutnya salah. Menunjukkan pada David bahwa pria itu telah salah menilai. Kecuali sepertinya David tidak salah menilai. "Baiklah, sayangnya aku tidak punya waktu akhir pekan ini, Stev," kata Sandara, suaranya sangat dingin. "Aku akan menyudahi percakapan ini dulu." Sandara memutuskan hubungan dan sambil mengerang membenamkan wajah ke tangan. Rasa malu dan penyesalan bergolak dalam dirinya. Ia membayangkan ketika Anin bertanya padanya, Apakah menurutmu dia menyukaiku? Dan jawaban yakin...sombong!-nya,Aku yakin. Dan sekarang... sekarang ia harus mengatakan pad
Sandara melangkah hati-hati di lantai marmer yang berkilau yang sepertinya membentang tanpa batas ke berbagai arah. Apartemen ini memang menakjubkan seperti yang dikatakan Anggun, tapi juga hampa. Bahkan tanpa ciri khas. Jika ia berharap akan memperoleh petunjuk mengenai cara berpikir David atau bahkan perasaannya dari tempat pria itu tinggal, ia pasti kecewa. Apartemen itu tidak menunjukkan apa pun. Mungkin, pikir Sandara dengan ironis, itulah indikasi cara berpikir David. David bukan pria yang mudah menunjukkan emosi.Sandara memasuki ruang depan yang luas dengan jendela-jendela kaca besar menghadap danau. Persis seperti yang dikatakan Anggun, semuanya berwarna hitam atau putih. Atau hitam dan putih. Sandara mengamati beberapa sofa kulit berwarna krem yang terlihat sangat mahal, meja makan dari marmer putih yang terlihat bagaikan ukiran modern, lukisan tergantung di atas meja marmer hitam, tidak lebih dari bujur sangkar putih dengan bercak tinta hitam berantakan di sudut kanan bawah
"Sebenarnya, tidak," kata David dengan nada menggoda. "Lebih tepatnya belum."Dan bukan diriku. Pikiran itu seharusnya tidak mengusikku, Sandara memberitahu dirinya dengan sedikit panik. Ia jelas tidak ingin menjadi salah satu calon bagi peran membosankan itu. Dan apa pun yang mungkin atau bisa terjadi antara dirinya dan David, jelas bukan pernikahan. Atau cinta.Hanya ketertarikan mendasar.Jemari David bergerak turun. Jika David membuka kancing lain, pikir Sandara dengan panik, ia akan bisa melihat dada pria itu. "Tapi sebenarnya saat ini aku tidak sedang mencari," David menambahkan. Jemari pria itu berlama-lama di kancing dan Sandara menyadari dirinya sedang menatap. Lagi. Dan David menyadarinya. Meski sekujur tubuh Sandara terasa berat dan ganjil, seakan tubuhnya adalah tubuh orang lain, ia berhasil melangkah mendekati pintu."Baik kalau begitu, kurasa aku sebaiknya berganti pakaian dan bergegas ke ruanganku," kata Sandara, berusaha terdengar riang. Sebaliknya, suaranya terdengar
"Ya," Sandara mengakui. Ia kembali melirik Anin, yang masih berdiri sendirian. Indi otomatis mengikuti tatapan matanya. "Dia terlihat sedikit bingung, ya?" bisiknya. "Ya." Sandara bergerak gelisah. Mungkin mengundang Anin ke acara seperti ini merupakan kesalahan. Persahabatannya dengan Anin agak meregang sejak perubahan sikap Stevan, ia tidak tahu apa itu karena rasa bersalahnya sendiri atau perasaan Anin yang terluka. Mungkin keduanya." Sebaiknya aku ke sana dan bertanya padanya," ujar Sandara, dan meminta diri, mulai melangkah ke arah Anin, hanya untuk dicegat oleh Anggun. "Kita kehabisan gelas anggur," desis Anggun. "Petugas katering bodoh itu tidak membawa cukup banyak. Aku tidak bisa meminta David..." "Aku akan mengurusnya," Sandara menenangkan. Anggun sudah tegang sejak tiba, dan Sandara menduga itu ada hubungannya dengan kunjungan putra wanita itu. "Aku yakin kita bisa meminjam beberapa." Ia kembali melirik Anin yang semakin terlihat sedih dan kesepian. "Orang-orang m
Sandara menegakkan pundak, matanya membara. "Apakah aku terlihat ketakutan,David?" "Apakah kamu benar-benar mau tahu jawaban pertanyaan itu?" Sandara melontarkan tawa bimbang, mengakui maksud David. la merasa sikapnya memang terlihat cukup jelas. "Mungkin tidak." "Menurutku kita perlu mengubah cara kita memandang satu sama lain," lanjut David terlihat tenang, suaranya bernada merenung, tatapannya kembali menyapu Sandara, berlama-lama, lambat. Sandara tahu ia tidak mungkin salah mengartikan atau membayangkan tatapan itu. Tatapan David bagaikan belaian, mata pria itu menyentuh sukma di dalam tubuhnya. "Tentu saja, kita mungkin membutuhkan bantuan praktis dalam hal itu." Hanya David yang akan menggunakan kata praktis dalam suasana seperti ini. Sandara tidak merasa praktis sama sekali. Seluruh tubuhnya bergolak dengan kesadaran, nyeri dengan kebutuhan. "Praktis...?" ulangnya dengan berbisik. "Ya," David membenarkan, dan ia mengangkat tangan untuk menyelipkan sehelai rambut ke bal