David membuka pintu mobil, menghirup aroma lavender rambut Sandara dan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan feminin, yang kembali menimbulkan hasrat gairah dalam dirinya. Hanya makan malam. "Sepertinya begitu," ucap nya, dan Sandara memutar bola mata sembari memasuki interior mobil dari kulit mewah mobil keluaran terbaru itu.
"Aku tidak menyangka kamu menyukai mobil sport. Aku kira kamu tipe pria yang hanya mengutamakan fungsi di atas segalanya." "Oh?" David menyelinap ke kursi pengemudi. "Aku tidak tahu kamu punya dugaan seperti itu mengenai mobilku. "Ya, tapi ternyata aku salah?" kata Sandara sambil tertawa. Ia mengibaskan rambut ke balik bahu hingga tergerai sempurna. "Mobilmu. Aku menduga sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tentu saja. membosankan untukmu, hanya mobil yang membawamu dari tempat A ke tempat B. Tentu saja," goda Sandara, "warnanya pun akan sedikit mencolok. Sayangnya, kuning muda tidak cocok untukku." David menatap Sandara sesaat, benar-benar bingung dengan penilaian tajam gadis itu terhadapnya. Membosankan? Padahal tadi ia menduga Sandara masih sedikit menyukainya. Baik, ternyata cuma sebegitu nilainya. "Membosankan," ulang David saat menyalakan mobil. "Dan tajam. Apakah aku seharusnya tersinggung?" "Kamu tidak mungkin tersinggung hanya karena itu. David!" Sekarang, David benar-benar tersinggung. Sebagian besar wanita tidak menganggapnya membosankan sama sekali. Sebagian besar antusias untuk menghabiskan malam bersamanya. Namun di sinilah Sandara, duduk di kursi sebelahnya, dengan rok terangkat di paha yang langsing, memandangnya seakan ia orang tua Sandara yang sudah lansia, yang harus dihibur gadis itu. Namun Sandara tidak memandangnya seperti itu kemarin malam. David masih mengingat sentuhan singkat dan memikat tangan Sandara di dadanya. Gadis itu kaget oleh aliran listrik yang mendadak menyentak mereka, David tahu Sandara juga merasakannya. la jelas merasakannya. Sekarang ia melirik Sandara sembari menginjak gas, membuat gadis itu tertawa kecil sembari otomatis mencengkeram pegangan pintu. "Tidak mungkin, ya?" gumam David. "Baik, jujur saja," kata Sandara ketika David keluar dari lokasi parkir bawah tanah kantor dan mulai mengemudi melewati jalanan Jakarta dengan kecepatan sedang. "Kamu biasanya "Membosankan?" David mendengar sedikit nada tajam dalam suaranya dan berupaya menahannya. Bukan ini yang ia bayangkan untuk memulai malam ini. "Tepatnya bukan membosankan," balas Sandara. "Tapi... mudah ditebak. Berhati-hati. Kalem." David menjaga wajahnya tanpa ekspresi meski ia merasa alisnya. mulai bertaut membentuk kernyit. Sandara benar-benar meremehkannya. "Kamu tidak pernah ikut dalam berbagai permainan dan kenakalan yang kita lakukan saat kita masih belia" "Kurasa kita yang kamu maksud itu dirimu, Agatha dan Romeo, balas David masam. Melihat anggukan Sandara, ia melanjutkan, "Kamu pasti ingat, San, kamu dua belas tahun lebih muda daripada diriku. Ketika kamu sibuk dengan 'kenakalan' ini, aku sudah kuliah dan melakukan hal hal yang lebih baik." Kedua tangan David mencengkeram kemudi saat perbedaan usia mereka menghantamnya. Sandara mungkin sudah 25 tahun, tapi gadis itu masih muda. Dan naif dalam berbagai hal. Polos, meski tidak terlalu, bahkan bersikap seenaknya, konyol, dan terlalu impulsif. Gadis ini benar-benar tidak cocok untuknya. Tidak cocok untuk apa yang ia inginkan. Tidak cocok sebagai istri. "Tentu saja aku mengerti tentang itu," kata Sandara. "Tapi, meski begitu... kamu selalu sedikit tidak setuju, David. Bahkan dengan Romeo" "Kamu tidak tinggal bersamanya," balas David, menjaga suaranya tetap tenang. Tentu saja semua orang menyukai Romeo. Romeo pria yang menyenangkan, kecuali ketika David menjemputnya dari sekolah SMAnya setelah dia dikeluarkan, atau dari klub malam ketika dia dan teman temannya memalsukan tanda pengenal. Untunglah, Romeo sudah lebih kalem sejak menikah, namun David masih mengingat masa- masa remaja adiknya yang bergejolak. la membantu Romeo karena ayah mereka tidak pernah bisa melakukannya, dan Romeo sama sekali tidak ingat pada ibu mereka. David sendiri hanya punya sedikit kenangan berharga... dan terkadang ia lebih memilih melupakan kenangan-kenangan tersebut. "Tetap saja." Sandara berkeras dengan nada menggoda yang sama, "aku ingat nasihat-nasihatmu padaku. Ketika aku memetik beberapa tangkai bunga dari tamanmu, kamu jelas melotot. Kamu membuatku takut. "Maksudmu semua bunga mawar itu." Bunga-bunga itu kesukaan ibu David, dan seingatnya ia marah besar pada Sandara karena memetik semuanya. "Apakah memang semuanya?" Alis Sandara melengkung kaget. "Ya ampun. Aku memang anak nakal, ya?" "Aku tidak bilang begitu." gumam David, dan dibalas dengan tawa serak yang membuatnya merasa seakan ia baru saja menusukkan jari ke steker listrik. Sekujur tubuhnya terasa tegang, hidup, dan berdenyut dengan gairah murni. Malam ini benar-benar kesalahan. la bermain api dan meski ia bisa menangani sedikit luka bakar, Sandara jelas tidak bisa. Itulah mengapa ia selalu menjauh, dan mengapa ia seharusnya tetap seperti itu. Sekarang ia bisa saja sedang makan malam bersama Andine Mayangsari, aktris muda yang baru naik daun dan sikap membosankan,anggota dewan dalam tiga yayasan sosial. Singkatnya, tipe wanita yang ingin dinikahinya. Sandara menatap ke luar jendela ke arah lalu lintas remang-remang, jalanan Jakarta yang sedikit licin karena hujan. Lampu-lampu warna warni telah terpasang di sepanjang jalan Sudirman dan cahayanya memantul di trotoar. "Kita mau ke mana?" tanya Sandara saat David berbelok ke sebelah kanan setelah lampu merah. "Amus Gourmet." sahur David dan Sandara tertawa kecil. "Seharusnya aku sudah tahu. Tempat mewah dan terhormat serta sedikit membosankan." "Seperti aku?" David sembari menepi ke pinggir gedung. Sandara manis, la memang menyinggung David dengan kata-katanya yang spontan. "Kamu yang bilang, bukan aku." "Kamu tidak perlu mengatakannya. Selain itu, Amus sudah direnovasi selama beberapa tahun ini. Kamu mungkin akan menyadari hal yang sama denganku." David memberikan kunci pada petugas valet dan membantu Sandara keluar dari mobil. Tangannya kuat dan kokoh saat membantu Sandara keluar dari mobil mewah yang beratap rendah,hal yang tidak mudah dilakukan dengan sepatu tumit tinggi serta rok pendek Sandara dan tetap menggenggam tangan Sandara saat memandu gadis itu memasuki restoran. Sandara tidak memprotes, meski ia seharusnya melakukan hal itu. Ada sesuatu yang menenangkan serta sangat menyenangkan dalam cara jemari David bertaut dengan jemarinya, genggaman pria itu mantap dan kuat.. Hal itu mengingatkan Sandara pada saat-saat ia masih remaja, dan tidak peduli apa yang ia lakukan serta ke mana ia pergi, ia selalu percaya David akan ada di sana untuk menyelamatkannya. Memarahinya juga, tidak perlu diragukan lagi, tapi ia selalu tahu dirinya aman bersama David. Namun saat David menatapnya, mata pria itu berkilau, mengubahnya menjadi sewarna tajam yang gelap, Sandara harus mengakui ada sesuatu tentang menggenggam tangan David yang tidak terasa seperti saat ia masih remaja. Sebenarnya bahkan terasa cukup berbeda,cukup berbeda sehingga kegelisahan baru yang aneh mengguncang dirinya. la tersenyum serta menarik tangannya dari genggaman David saat pelayan memandu mereka menuju meja tersembunyi di sudut restoran ikonis tersebut. "Jadi, apa tepatnya yang kita rayakan?" tanya Sandara sembari membuka menu dan mulai mengamati. "Rayakan?" "Aku tidak ingat kapan terakhir kali kamu mengajakku makan malam, jika memang pernah."Bibir David berkedut. "Selalu ada yang pertama untuk segalanya." "Kurasa begitu, tapi..." Sandara terdiam, menelengkan kepala sembari menatap David. Rambut pria itu sedikit lembap dan berantakan karena hujan, wajahnya menunjukkan ekspresi serius yang menggemaskan saat mengamati daftar menu makanan. Sandara bisa melihat bayangan samar janggut di rahang David, dan itu membuat David terlihat sangat menarik. Bahkan seksi, hal yang menggelikan karena ia tidak pernah memandang David dengan cara itu Kecuali saat itu, dan itu tidak akan terulang kembali. "Apa kamu mengawasiku?" tanya Sandara, dan David mengalihkan pandangan dari daftar menu makanan. "Mengawasimu? Kedengarannya kamu merasa bersalah. San. Terlalu banyak bergaul?" "Bukan, hanya saja..." Sandara terdiam, tidak yakin bagaimana mengatakan betapa anehnya berada di sini bersama David, rasanya seperti mereka berkencan. Hal yang menggelikan, karena ia tahu David tidak menganggapnya seperti itu bukankah pria itu telah membuktikannya di lantai dansa delapantahun lalu? Sandara cukup yakin tidak ada yang berubah tentang itu. Tentu saja, dirinya sudah berubah. la tumbuh dewasa dan melupakan momen cinta monyet konyol bersama David yang kalem dan kaku. Meski ia senang bisa makan malam bersama teman lama keluarganya, ia tidak yakin dirinya menginginkan semacam nasihat. Apakah ayahnya meminta David mengawasinya, ketika sekarang pria itu kembali sebentar ke Jakarta? Mungkin saja. "Tolong jangan menasihatiku tentang kehidupanku saat ini," katanya, menggoyangkan jari ke arah David. David menggeleng. Memandang Sandara tak acuh."Kurasa kamu sudah tidak muda lagi untuk dinasihati, San. Kecuali, tentu saja, jika kamu masih nakal seperti dulu." Ada kesan jail dalam senyum David, matanya berkilat dalam cahaya lampu lampu kecil remang-remang ruangan itu, dan Sandara merasa perutnya kembali membuncah. David kembali mengalihkan pandangan ke menu dan Sandara memutuskan ia pasti hanya membayangkan senyum serta pandangan jail itu. Tidak ada yang jail tentang David Wijaya. Pria ini penduduk paling taat hukum yang pernah ia kenal."Aku janji tidak akan bersikap konyol lagi," balas Sandara, mengibaskan rambut, dan David memberikan isyarat pada pelayan supaya mendekat untuk mencatat pesanan mereka.Sandara memberitahukan pesanannya kemudian memandang sekeliling ruangan saat David memberitahukan pesanan pria itu sendiri, dengan suara pelan yang tidak terlalu didengarkan Sandara. Sebagian besar tamu adalah adalah kalangan atas yang sedang membuat kesepakatan, atau sosialita yang cukup berada. Tempat ini memang sedikit membo
"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?"David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengar
Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
"Ikut campur atau menjodohkan seseorang?""Sama saja.""Itu hanya menurut pendapatmu,David." Sandara meletakkan tangan di dada David, telapak tangannya menempel di bahan kemeja biru langit pria itu, jemarinya secara naluriah mencari kehangatan David di balik kain tersebut. la merasakan jantung David berdetak stabil di bawah telapak tangannya. Ia berniat membuat sentuhan ringan, bahkan tidak ada artinya, tidak lebih dari sentuhan main-main di dada, namun seolah didorong kebutuhan lebih mendalam dan mendasar, Sandara menyadari bukan itu yang terjadi,tangannya bergerak sendiri, jemarinya meregang, mencari, sementara akal sehat terbang dari benaknya."Kamu tidak perlu cemas tentang Anin atau aku," akhirnya ia bicara, mencari kata-kata yang sepertinya tersembunyi jauh dalam benaknya. Ia mendongak menatap David, melihat bintik-bintik sinar tajam di mata pria itu. Mata itu tidak terlihat cokelat sama sekali. Tidak terlihat membosankan sama sekali. Ia menelan ludah. "Kamu tidak perlu mengawas
"Kamu sama denganku,Anin," aku Sandara riang."Kamu harus tahu aku sudah bekerja di sini selama lima tahun." Ia tertarik pada orang, bukan pekerjaannya atau proyek proyek yang sedang di kerjakannya sekarang."Tapi, dia sering datang menemuimu, kan?" tanyanya, dan Anin mengangkat bahu."Kadang-kadang," sahut Anin pelan. Ia bimbang, lalu dengan bersemangat mengakui, "Kurasa kenyataannya memang tidak akan sama dengan yang kubayangkan, ya? Kami sudah lama berteman, dan tentu saja awalnya akan terasa sulit.."Sulit? Sandara mulai jengkel. Anin jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar sulit, lebih dari sekadar duduk di rumah menunggu Roy meneleponnya. "Begini saja," katanya tiba-tiba, ide muncul dalam benak Sandara dan membuatnya bersemangat, "aku mendapat undangan ke pesta malam ini,kalau tidak salah, acara pembukaan butik baru."Sebenarnya, Sandara tidak yakin acara apa itu,ia menerima belasan undangan setiap minggu, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Namun acara yang mana pun akan
Sandara merasa pikiran serta tubuhnya seakan membeku, begitu kaget dengan cara David menyentuhnya. Meski bukan itu yang sebenarnya terjadi, yang dilakukan David hanyalah mengembalikan tali bahu gaunnya. Bukan, Sandara terkejut oleh reaksinya sendiri, gairah yang berpacu dalam dirinya bagaikan escream cair yang tidak ia duga dan belum pernah alami sebelumnya. Ia tidak bisa bergerak atau berpikir bahkan bernapas. Kerumunan orang bergerak serta melewati mereka, dan Sandara merasa seakan dirinya dan David terpaku di tempat. Ibu jari David kembali membelai tulang selangkanya, pria itu menatap matanya tajam dan penuh emosi.Entah bagaimana, perlahan, seakan dirinya berada dalam pusaran angin, Sandara bergerak. Ia melangkah mundur dengan goyah, menggeleng lebih kuat daripada yang dibutuhkan atau niatkan, winenya memercik dan rambutnya tergerai. "Perdebatan ini tidak berguna," katanya."Anin seorang wanita dewasa dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Begitu pula Roy dan Stevan dan jug