"Kurasa kamu sudah tidak muda lagi untuk dinasihati, San. Kecuali, tentu saja, jika kamu masih nakal seperti dulu." Ada kesan jail dalam senyum David, matanya berkilat dalam cahaya lampu lampu kecil remang-remang ruangan itu, dan Sandara merasa perutnya kembali membuncah. David kembali mengalihkan pandangan ke menu dan Sandara memutuskan ia pasti hanya membayangkan senyum serta pandangan jail itu. Tidak ada yang jail tentang David Wijaya. Pria ini penduduk paling taat hukum yang pernah ia kenal.
"Aku janji tidak akan bersikap konyol lagi," balas Sandara, mengibaskan rambut, dan David memberikan isyarat pada pelayan supaya mendekat untuk mencatat pesanan mereka. Sandara memberitahukan pesanannya kemudian memandang sekeliling ruangan saat David memberitahukan pesanan pria itu sendiri, dengan suara pelan yang tidak terlalu didengarkan Sandara. Sebagian besar tamu adalah adalah kalangan atas yang sedang membuat kesepakatan, atau sosialita yang cukup berada. Tempat ini memang sedikit membosankan. "Udang? Benar-benar berani, Sandara," kata David, melemparkan pandangan geli pada Sandara ketika pelayan telah pergi. Sandara membalas pandangan David dengan gaya santai. la terkenal pemilih dalam hal makanan saat masih kanak- kanak, hal yang pasti diingat David. "Tumis hati angsanya tidak sesuai seleraku." "Masih pemilih?" "Aku lebih suka menggunakan kata berhati-hati. Dan tidak seburuk yang kamu ingat, David. Kamu harus tahu, aku sudah berubah." Tidak diragukan lagi." David terdiam, jemarinya yang panjang dan luwes memainkan kaki gelas air minumnya. "Kurasa," katanya dengan gaya merenung, "ada beberapa hal yang tidak kuketahui tentangmu sekarang. Aku pergi sangat lama, setidaknya hampir setiap saat." "Tapi sekarang kamu kembali untuk selamanya?" David mengangkat bahu. "Selama yang dibutuhkan." Sandara mengangguk maklum. "Untuk urusan pribadimu itu?" Kening David berkerut sebelum ekspresinya kembali cerah. Sekilas ia melemparkan senyum maklum ke arah Sandara: "Ya." Sandara hanya bisa tertawa: David tidak akan mau bercerita. Pria itu tidak pernah melakukannya, tapi ia sendiri memang tidak pernah menyangka David punya rahasia. Atau setidaknya rahasia yang perlu ia ketahui. "Sekarang kamu pria penuh misteri, ya?" "Bukan membosankan?" kata David, salah satu alisnya melengkung. "Kurasa aku melukai perasaanmu ketika mengatakan itu. "Hanya sedikit. Sebagai balasannya, aku memberitahu pelayan supaya membawakanmu hati angsanya bukannya udang. Mata Sandara membelalak karena ia baru menyadari dirinya tidak benar-benar mendengarkan apa yang dipesan David. "Tidak mungkin!" "Memang tidak. Tapi kamu percaya padaku, kan?" Untuk sesaat, senyum tipis David berubah menjadi seringai, dan efek senyuman itu kembali membuat Sandara resah. Ia sudah lupa betapa putih gigi David, bagaimana lesung pipinya semakin terlihat... David memang tampan, yang tentu saja menjadi alasan ia menggoda pria itu delapan tahun lalu. la tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. "Hanya karena kamu selalu mengatakan yang sebenarnya padaku, tidak peduli betapa janggalnya hal itu." David menelengkan kepala, matanya menyapu Sandara dengan pandangan menilai. "Apakah kamu lebih suka jika aku berbohong?" Sandara mengenang masa-masa ketika David memberitahukan kebenaran ketika tidak ada orang lain yang mau melakukan hal itu: ketika Sandara berusia tiga belas tahun, ada tahi lalat jelek di ujung hidungnya. la sangat malu dan dengan putus asa bertanya pada David apakah dia melihat bintik itu. Dengan wajah serius, David menjawab, San, bagaimana mungkin aku tidak melihatnya? Tapi aku tetap menyukaimu meski dengan tahi lalat itu. Dan ketika Sandara berusia empat belas tahun serta merindukan ibunya yang meninggal saat ia baru berusia lima tahun, ia bertanya pada David apakah ada orang yang bisa berhenti merindukan ibunya. Sandara sendiri tidak pernah bertemu ibu David, wanita itu meninggal ketika David berusia enam tahun. Tidak, kata David, kamu tidak akan pernah bisa. Tapi akan menjadi lebih mudah. Kadang kala. Kata-kata David menghibur Sandara karena ia tahu kata- kata itu merupakan kebenaran, bukan sekadar simpati. "Tidak," kata Sandara sekarang, dengan kejujurannya sendiri yang mengejutkan, "aku tidak akan mau kamu berbohong. Kurasa kita membutuhkan seseorang dalam hidup yang akan memberitahukan kebenaran pada kita." "Aku akan selalu melakukan itu." Tatapan David tertuju padanya sedikit lebih lama daripada yang diharapkan Sandara, kehangatan tidak terduga menyebar ke seluruh tubuhnya, kesadaran meresahkan baru yang hampir tidak ia kenali. Ini David. Ia lega ketika pelayan datang membawa. Minuman. Sandara mengawasi saat David,dengan kepercayaan diri yang sama,menggoyang-goyangkan gelas berisi cairan berwarna merah pekat itu dengan pelan sebelum menyesap dan kemudian mengangguk tanda setuju. Ketika si pelayan pergi, David mengangkat gelasnya dengan gaya bersulang, warna merah tua minuman memantul dalam cahaya lampu. "Untuk teman masa kecilku dan awal yang baru," katanya, tatapannya masih tertuju pada Sandara. Sandara pun mengangkat gelasnya. "Setuju." "Jadi," kata David setelah mereka menyesap minuman masing-masing, "bagaimana perkembangan Anin?" "Ah, aku tahu pasti ada maksud tersembunyi di balik makan malam ini." "Sama sekali tidak ada," sahut David datar. "Tapi karena kamu mewawancarainya pagi ini, kupikir aku langsung menanyakannya saja." "Ok, aku merekrutnya seperti yang kamu minta. Kurasa dia akan bekerja dengan baik. Tapi dia sama sekali tidak punya pengalaman." "Aku memang tidak mengharapkan itu." Sandara mengangkat alis. "Kamu kasihan padanya?" "Hanya membantu," jawab David ringan. Sandara kembali meraih gelas minumannya, menahan tusukan tajam sesuatu. Apa pun perasaan tidak nyaman yang menguasai dirinya bukanlah hal yang ingin ia kenali. "Kamu tahu, dia cukup cantik." "Sebenarnya aku tidak tahu. Jika kamu ingat, aku sudah memberitahumu aku belum pernah bertemu dengannya." "Ah, ya." Sandara mengatupkan bibir. "Sekarang aku ingat. Kamu ingin mempekerjakannya sebagai bantuan untuk Roy Julio." David menelengkan kepala. "Kurasa aku tidak menyebutkan nama Roy, tapi itu benar." "Karena," Sandara melanjutkan dengan nada masam, namun mengurangi ketajaman kata-katanya, "Anin dan Roy akan mencoba." David terdiam, gelas ditangannya terhenti separuh jalan menuju bibir. Kedengarannya kamu tidak setuju." "Memangnya apa hakku untuk setuju atau tidak?" balas Sandara, alisnya melengkung dengan gaya tidak bersalah. "Menurutku itu sangat praktis," kata David dengan nada logis tajam yang tak disukai Sandara. "Oh ya, sangat praktis, ia setuju. "Tapi, sama sekali tidak romantis." "Romantis?" David mengernyit. "Apa itu seharusnya romantis?" David terdengar sangat heran sehingga Sandara hampir tertawa, namun ada sesuatu dalam dirinya perasaan mendalam serta tersembunyi yang menahan tawanya. la malah merasa sedikit terluka, yang sama sekali tidak masuk akal sehingga membuatnya menyingkirkan pikiran tersebut. "Baiklah, secara umum, David," ia berkata, seakan menjelaskan aritmetika dasar pada anak yang sedikit terbelakang, "tipe hubungan yang dibicarakan Anin dengan Roy seharusnya romantis bukannya praktis. Kamu tidak bisa memilih kekasih atau bahkan istri seperti memilih.... sepatu. "Aku sangat menyukai sepatu yang praktis." Sandara menyipitkan mata, tidak bisa menebak apakah David bercanda atau tidak. Menurutnya tidak. "Kamu tahu, seorang gadis senang jika merasa sedikit mabuk kepayang "Kedengarannya berbahaya," balas David dengan wajah serius. "Jika mabuk, kamu bisa kehilangan keseimbanganmu. Kamu bahkan bisa jatuh." "Tepat sekali," balas Sandara. "Kamu mungkin akan jatuh cinta, dan itulah intinya, ya kan? Lebih baik daripada sekadar mencoba." David menatapnya serius. "Kamu sepertinya tidak suka dengan ungkapan itu." "Memang," Sandara membenarkan dengan agak lebih bersemangat daripada yang ingin ia tunjukkan. Segelas minuman tadi pasti sudah memengaruhi kepalanya; ia hampir tidak makan apa pun sejak sarapan. "Aku lebih memilih melajang seumur hidup daripada bersama seseorang yang memintaku untuk mencoba," ia mengakhiri, suaranya masih terdengar sedikit terlalu nyaring. "Aku mengerti. Kalau begitu, kamu berencana untuk tetap melajang?" "Sebenarnya, ya," kata Sandara, senang ketika melihat perasaan kaget muncul di wajah David. "Aku tidak punya alasan untuk menikah." "Tidak punya alasan?" "Aku tidak kesepian atau tidak bahagia atau mati-matian ingin punya anak, sahut Sandara sambil mengangkat bahu dengan lebih banyak keyakinan daripada yang sebenarnya ia rasakan. la tidak mau mengaku pada David bahwa dirinya tidak punya alasan untuk menikah karena belum bertemu orang yang layak dijadikan suami. Layak untuk mengambil risiko itu. "Aku tidak akan menunggu Pangeran Tampan datang dan menyelamatkanku, cetusnya, suaranya mulai terdengar nyaring. David mengangkat alis, senyum tipis tersungging di bibirnya, jelas terlihat geli. "Aku ingin bersenang-senang." "Nah, itu tidak perlu kuragukan lagi." Sandara menyeringai. "Apa salahnya? Masih banyak waktu untuk berkeluarga." "Untukmu, mungkin." "Oh, aku lupa betapa tuanya dirimu. Satu kaki sudah berada dalam kubur." Ia tersenyum pada David, bertekad tetap santai dan menggoda meski entah bagaimana ia semakin merasa sebaliknya. "Lagi pula," katanya acuh tak acuh, "aku punya teman-teman, pekerjaan yang kucintai, keponakan-keponakan untuk disayangi, dan pria yang memujaku." David terpaku. "Pria yang memujamu?" ia bertanya dengan nada ingin tahu yang tidak terlalu kentara. Sandara tidak mampu menahan tawa saat melihat tatapan curiga David. Pria itu terlihat seakan menyangka Sandara menyembunyikan kekasih gelap. "Ayahku, tentu saja." la menatap David jail. "Apa kamu pikir aku sedang membicarakan orang lain?" "Kupikir begitu," aku David datar. "Tapi karena kamu sudah mengoceh tentang tekadmu untuk tetap melajang. aku seharusnya sudah menduga kita tidak sedang membicarakan kekasih." "Aku tidak mengoceh," kata Sandara sedikit jengkel, membuat David menaikkan alis. "Maaf. Kamu sedang berpuisi. Sandara cemberut. "Itu kedengarannya lebih parah." la terkejut saat menyadari dirinya menikmati olok-olok mereka ini. la mencondongkan tubuh ke depan, rasa penasaran mendadak membuatnya bertanya, "Dan bagaimana denganmu, David? Ada rencana untuk mabuk kepayang?" Mulut David melengkung ke atas, menunjukkan lesung pipinya. "Kupikir akulah yang seharusnya melakukan itu." Sandara tertawa membenarkan. "Kita terdengar seperti sedang bicara tentang membersihkan rumah. Apa kamu berniat untuk menikah? Jatuh cinta?" la bicara dengan santai, namun pertanyaan itu mendadak terasa menyerang, intim. la sedikit menyesal karena menanyakannya meski ia ingin tahu jawabannya. Sangat ingin. David memutar-mutar gelas anggur dengan jemari kuatnya yang kecokelatan, gerakan sederhana itu anehnya begitu memikat. "Pernikahan tidak selalu membutuhkan cinta, ia akhirnya berkata, dan Sandara merasakan kekecewaan yang aneh. "Dan mana yang kamu pilih?" tanya Sandara, mempertahankan suaranya tetap ringan dan menggoda. "Cinta tanpa pernikahan, atau pernikahan tanpa cinta?" David menyesap minumannya, menatap mata Sandara lewat tepi gelas, tatapannya datar dan menakutkan. "Menurut- ku, cinta dinilai terlalu tinggi.""Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?"David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengar
Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
"Ikut campur atau menjodohkan seseorang?""Sama saja.""Itu hanya menurut pendapatmu,David." Sandara meletakkan tangan di dada David, telapak tangannya menempel di bahan kemeja biru langit pria itu, jemarinya secara naluriah mencari kehangatan David di balik kain tersebut. la merasakan jantung David berdetak stabil di bawah telapak tangannya. Ia berniat membuat sentuhan ringan, bahkan tidak ada artinya, tidak lebih dari sentuhan main-main di dada, namun seolah didorong kebutuhan lebih mendalam dan mendasar, Sandara menyadari bukan itu yang terjadi,tangannya bergerak sendiri, jemarinya meregang, mencari, sementara akal sehat terbang dari benaknya."Kamu tidak perlu cemas tentang Anin atau aku," akhirnya ia bicara, mencari kata-kata yang sepertinya tersembunyi jauh dalam benaknya. Ia mendongak menatap David, melihat bintik-bintik sinar tajam di mata pria itu. Mata itu tidak terlihat cokelat sama sekali. Tidak terlihat membosankan sama sekali. Ia menelan ludah. "Kamu tidak perlu mengawas
"Kamu sama denganku,Anin," aku Sandara riang."Kamu harus tahu aku sudah bekerja di sini selama lima tahun." Ia tertarik pada orang, bukan pekerjaannya atau proyek proyek yang sedang di kerjakannya sekarang."Tapi, dia sering datang menemuimu, kan?" tanyanya, dan Anin mengangkat bahu."Kadang-kadang," sahut Anin pelan. Ia bimbang, lalu dengan bersemangat mengakui, "Kurasa kenyataannya memang tidak akan sama dengan yang kubayangkan, ya? Kami sudah lama berteman, dan tentu saja awalnya akan terasa sulit.."Sulit? Sandara mulai jengkel. Anin jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar sulit, lebih dari sekadar duduk di rumah menunggu Roy meneleponnya. "Begini saja," katanya tiba-tiba, ide muncul dalam benak Sandara dan membuatnya bersemangat, "aku mendapat undangan ke pesta malam ini,kalau tidak salah, acara pembukaan butik baru."Sebenarnya, Sandara tidak yakin acara apa itu,ia menerima belasan undangan setiap minggu, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Namun acara yang mana pun akan
Sandara merasa pikiran serta tubuhnya seakan membeku, begitu kaget dengan cara David menyentuhnya. Meski bukan itu yang sebenarnya terjadi, yang dilakukan David hanyalah mengembalikan tali bahu gaunnya. Bukan, Sandara terkejut oleh reaksinya sendiri, gairah yang berpacu dalam dirinya bagaikan escream cair yang tidak ia duga dan belum pernah alami sebelumnya. Ia tidak bisa bergerak atau berpikir bahkan bernapas. Kerumunan orang bergerak serta melewati mereka, dan Sandara merasa seakan dirinya dan David terpaku di tempat. Ibu jari David kembali membelai tulang selangkanya, pria itu menatap matanya tajam dan penuh emosi.Entah bagaimana, perlahan, seakan dirinya berada dalam pusaran angin, Sandara bergerak. Ia melangkah mundur dengan goyah, menggeleng lebih kuat daripada yang dibutuhkan atau niatkan, winenya memercik dan rambutnya tergerai. "Perdebatan ini tidak berguna," katanya."Anin seorang wanita dewasa dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Begitu pula Roy dan Stevan dan jug
David menatap kolom gosip dalam berita online yang ada di akun pribadinya. Rambut hitam bergelombang yang tergerai, gaun warna keemasan ketat. Tiga foto berbeda, setiap foto lebih meresahkan daripada sebelumnya. David membaca komentar-komentarnya. Sandara Loise memukau acara pencarian dana dengan gaun yang dirancang eksklusif... Sandara Loise dan seorang tamu tidak dikenal bersulang untuk malam mereka... Sandara Loise dan Stevan Smith bergandengan tangan dalam acara pencarian dana tadi malam.Sembari meringis muak, David menutup komputernya. Ia tidak perlu melihat lebih banyak foto lagi. Ia yakin bahwa meski dirinya tahu betapa memesona dan memikatnya Sandara, gadis itu juga konyol, seenaknya dan sangat tidak sesuai baginya. Ia tidak berhak menunjukkan ketertarikan pada gadis itu. Tidak berhak mencium Sandara.Sandara bukan calon istri yang tepat. Mendekati pun tidak.Jadi mengapa ia tidak sanggup melupakan gadis itu? Mengapa ia tidak bisa melupakan ciuman itu? Mengapa ia menginginkan