"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?
"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?" David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengartikan arti cinta... dan apa yang membuatnya mengernyit seperti itu. "Meski begitu," kata Sandara, "sedikit berkhayal bukanlah hal yang salah." "Tapi sepertinya kamu menghapus bagian tentang pernikahan dan cinta, kan?" Menghapus terkesan terlalu berlebihan, tapi Sandara tidak berniat berdebat dengan David tentang hal itu. Sejauh yang menyangkut David, menghapus memang sangat cocok. "Sudah kukatakan padamu, aku suka seperti ini." "Suka bersenang-senang." "Ya." Sandara menatap David dengan gaya menantang. David membuat kata bersenang-senang terdengar nakal. Sandara tahu David menganggapnya bersikap agak seenaknya, mungkin bahkan sedikit liar, dan ia benar-benar menikmati saat menegaskan pendapat pria itu. Bahkan meski ia masih merasakan perasaan terluka yang aneh ini. "Tapi kamu sepertinya tertarik menemukan cinta dan pernikahan bagi orang lain," kata David dengam raut tidak suka. "Contohnya, Indi dan Randy." "Hanya karena aku tidak menginginkannya untuk diriku tidak berarti itu bukan hal yang tepat bagi orang lain," jawab Sandara santai sambil mengangkat gelasnya. "Aku sangat memercayai cinta. Namun bukan untukku. Setidaknya, bukan sekarang." Sandara menyesap minumannya, mengalihkan pandangan. la tidak mengatakan yang sebenarnya pada David, tapi tidak berniat mengakui bahwa dirinya tidak mencari cinta karena tidak ingin kecewa jika cinta itu terbukti mustahil ditemukan, atau tidak sesuai harapannya. la telah menyaksikan pernikahan berlandaskan cinta secara langsung atau hampir. Meski ibunya meninggal sebelum ia memiliki kenangan nyata tentang wanita itu, Sandara mendengar berbagai cerita tentang Linda sutami ia mengetahui hal itu dari ayahnya dan kesedihan pria itu bahwa mereka saling mencintai dengan cinta yang mendalam. serta abadi. Cinta seperti itu tidak menghampiri setiap orang. Sandara takut cinta seperti itu tidak akan pernah mendatanginya. Lebih mudah meyakinkan diri sendiri dan David bahwa sejak awal ia memang tak menginginkannya. "Lagi pula." ia melanjutkan dalam upaya mengalihkan percakapan dari hal-hal pribadi, "kita sedang membicarakan Roy dan Anin. Kurasa dengan yakin bisa kukatakan bahwa aku tahu sedikit lebih banyak tentang hal-hal ini daripadamu." "Hal-hal ini?" "Apa yang diinginkan wanita jika menyangkut romantisme. Bahkan, cinta. Aku mungkin tidak sedang mencarinya, tapi bukan berarti aku tidak tahu apa yang diinginkan sebagian besar wanita." Sandara cukup sering bergosip tengah malam dengan teman-temannya sambil menonton drama korea, atau hanya obrolan ringan dekat mesin pembuat kopi di kantor untuk menjadi ahli dalam hal perjodohan. "Benarkah?" David terdengar geli, membuat Sandara sebal. Pada kenyataannya, ia memang tahu apa yang ia bicarakan, lebih daripada yang diketahui David. la bisa membayangkan David mendudukkan seorang wanita malang dan memintanya untuk mencoba, persis seperti Roy Julio. Mengenal David, pria itu tidak akan meminta,dia akan memaksa. David mungkin mengajukan lamaran lewat kontrak bisnis di saku kemejanya. Bayangan itu menimbulkan gejolak kemarahan tidak masuk akal di dalam diri Sandara. "Ya, memang," kata Sandara tegas. "Wanita menginginkan pria yang bersedia mendekati mereka, David. Merayu mereka dengan bunga dan gombalan serta keseriusan dan.... dan banyak hal lain." Sandara mengakhiri dengan agak tak yakin. Makanan itu benar-benar telah membuat perutnya terasa penuh,benaknya terasa sedikit kabur. "Dan apa yang tidak mereka inginkan adalah seseorang yang mendudukkan serta memberitahu bahwa mereka berdua mungkin cocok, tapi sebelumnya mereka membutuhkan masa percobaan." "Aku ragu Roy mengatakannya dengan cara seperti itu." "Hampir sama. Artinya sudah jelas."David menelengkan kepala. "Dan menurutmu Anin Salsabiah tidak bisa menolak Roy jika dia tidak menyukai ide pria itu?" Sandara tertawa enggan. "Mungkin,jika dia sedikit lebih berani. Dia masih muda dan sedikit labil. Lagi pula, pria lain pasti akan datang dan membuatnya mabuk kepayang saat Roy mempertimbangkan apakah mereka bisa mencoba atau tidak. Anin sangat cantik." "Seperti yang sudah kamu katakan." Mulut David kembali melekuk ke atas. "Tapi jika kamu bertanya padaku, yang sangat kupahami tidak kamu lakukan, pendapat Roy itu sangat sederhana. Dan, dalam jangka panjang, jauh lebih romantis daripada setumpuk karangan bunga dibungkus plastik dan gombalan yang tidak ada artinya. Kurasa dia pria yang tepat untuk Anin." "Kamu membuatnya terdengar seakan Anin demam dan Roy adalah dua butir parasetamol," protes Sandara, benaknya berputar marah karena ketidakpedulian David terhadap segala hal yang baru saja ia katakan. Karangan bunga dibungkus plastik dan gombalan tidak ada arti! Semoga Tuhan menolong wanita malang yang David putuskan untuk didekati dengan rencananya yang sederhana. "Bukan itu yang diinginkan wanita dari cinta atau pernikahan, David." David mencondongkan tubuh ke depan, matanya bersinar. Matanya terkadang memang berubah menjadi warna yang menakjubkan, pikir Sandara dengan sedikit terpesona. Hampir sewarna langit malam. Sandara menelan ludah, sadar bahwa ia seharusnya tidak memakan hati angsa yang kedua. Dan di mana makanan penutup mereka? "Tapi kamu bilang dirimu tidak tertarik pada cinta atau pernikahan." David mengingatkan dengan lembut. Sandara kembali menelan ludah. Tenggorokannya terasa sangat kering. Bagaimana percakapan ini bisa menjadi sangat pribadi dan... intim? "Sudah kukatakan padamu, aku suka seperti ini." "Tanpa keinginan untuk pernah jatuh cinta?" Tanpa keinginan untuk memberitahu David lagi tentang kehidupan cintanya sendiri, atau ketiadaan cinta,Sandara mengoreksi dalam hati. "Mungkin cinta memang dinilai terlalu tinggi," katanya, mengembalikan kata-kata David. "Aku pernah menjalin dua hubungan romantis dan meski aku tidak mencintai satu pun dari pria-pria yang terlibat, mereka tetap mengecewakan. Aku tidak tertarik untuk mencari sesuatu yang mungkin tidak akan pernah terwujud atau bahkan ada." Atau terluka ketika sesuatu itu tidak bisa ditemukan atau berjalan lancar. Sandara memikirkan kesedihan ayahnya selama hampir dua puluh tahun kepergian ibunya. Tidak, cinta tidak dinilai terlalu tinggi. Tapi akibatnya mungkin disepelekan. David bersandar, tampak puas. "Kata-kata yang bijaksana. Aku setuju." "Jadi tidak ada cinta atau pernikahan untukmu?" tanya Sandara, bermaksud menggoda, namun pertanyaan itu terlontar sedikit serius. "Aku tidak bilang begitu," kata David, matanya yang gelap menatap Sandara disertai kerutan dahi. "Aku harus menikah suatu saat nanti. Bagaimanapun, aku membutuhkan pewaris untuk Perusahaanku." Nah, itu benar-benar terdengar kolot. Sandara bisa membayangkan David mempersiapkan pernikahan menyedihkan dengan seorang Aktris atau model berwajah masam hanya karena wanita itu bisa menghasilkan keturunan yang bagus. la gemetar. "Praktis sekali kamu," katanya pada David. "Kuharap aku tidak termasuk dalam daftar calon istrimu." Ekspresi David menggelap, alisnya bertaut cukup menyeramkan. "Jangan takut, San. Kamu jelas tidak termasuk." David tidak perlu terdengar sangat yakin menjelaskan hal itu padanya, pikir Sandara, merasa agak tersinggung dengan janji cepat pria itu. Tentu saja, mereka akan menjadi pasangan yang mengerikan mereka terlalu berbeda-tapi apakah ide menikahinya harus membuat David terlihat benar-benar enggan? "Benar-benar melegakan, kalau begitu," kata Sandara ringan. "Jadi, tipe wanita seperti apa yang kamu cari?" "Seseorang yang sependapat denganku mengenai cinta dan pernikahan." "Kalau begitu, orang yang praktis." "Tepat." Sandara menyeringai. Kedengarannya benar-benar mengerikan. "Bukan salah seorang Aktris muda atau model yang biasanya kamu kencani?" tanyanya, berusaha menggoda meskipun ia masih merasa sedikit tersinggung, bahkan mungkin terluka. David mengernyit. "Mereka hanya teman kencan." katanya. "Bukan calon istri." Sandara bergidik dengan gaya dibuat-dibuat. David terdengar seperti sedang membicarakan tanah liat, dibentuk sesuai bentuk yang pria itu inginkan. "Baiklah, semoga beruntung mendapatkan istri seperti yang kamu inginkan." katanya, suaranya menajam meski ia berniat untuk tetap terdengar acuh tak acuh. David mengangguk setuju. "Terima kasih." Sandara balas tersenyum, tapi diam-diam menyadari dirinya sama sekali tidak suka memikirkan David dan calon istrinya yang praktis,siapa pun wanita itu.Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
"Ikut campur atau menjodohkan seseorang?""Sama saja.""Itu hanya menurut pendapatmu,David." Sandara meletakkan tangan di dada David, telapak tangannya menempel di bahan kemeja biru langit pria itu, jemarinya secara naluriah mencari kehangatan David di balik kain tersebut. la merasakan jantung David berdetak stabil di bawah telapak tangannya. Ia berniat membuat sentuhan ringan, bahkan tidak ada artinya, tidak lebih dari sentuhan main-main di dada, namun seolah didorong kebutuhan lebih mendalam dan mendasar, Sandara menyadari bukan itu yang terjadi,tangannya bergerak sendiri, jemarinya meregang, mencari, sementara akal sehat terbang dari benaknya."Kamu tidak perlu cemas tentang Anin atau aku," akhirnya ia bicara, mencari kata-kata yang sepertinya tersembunyi jauh dalam benaknya. Ia mendongak menatap David, melihat bintik-bintik sinar tajam di mata pria itu. Mata itu tidak terlihat cokelat sama sekali. Tidak terlihat membosankan sama sekali. Ia menelan ludah. "Kamu tidak perlu mengawas
"Kamu sama denganku,Anin," aku Sandara riang."Kamu harus tahu aku sudah bekerja di sini selama lima tahun." Ia tertarik pada orang, bukan pekerjaannya atau proyek proyek yang sedang di kerjakannya sekarang."Tapi, dia sering datang menemuimu, kan?" tanyanya, dan Anin mengangkat bahu."Kadang-kadang," sahut Anin pelan. Ia bimbang, lalu dengan bersemangat mengakui, "Kurasa kenyataannya memang tidak akan sama dengan yang kubayangkan, ya? Kami sudah lama berteman, dan tentu saja awalnya akan terasa sulit.."Sulit? Sandara mulai jengkel. Anin jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar sulit, lebih dari sekadar duduk di rumah menunggu Roy meneleponnya. "Begini saja," katanya tiba-tiba, ide muncul dalam benak Sandara dan membuatnya bersemangat, "aku mendapat undangan ke pesta malam ini,kalau tidak salah, acara pembukaan butik baru."Sebenarnya, Sandara tidak yakin acara apa itu,ia menerima belasan undangan setiap minggu, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Namun acara yang mana pun akan
Sandara merasa pikiran serta tubuhnya seakan membeku, begitu kaget dengan cara David menyentuhnya. Meski bukan itu yang sebenarnya terjadi, yang dilakukan David hanyalah mengembalikan tali bahu gaunnya. Bukan, Sandara terkejut oleh reaksinya sendiri, gairah yang berpacu dalam dirinya bagaikan escream cair yang tidak ia duga dan belum pernah alami sebelumnya. Ia tidak bisa bergerak atau berpikir bahkan bernapas. Kerumunan orang bergerak serta melewati mereka, dan Sandara merasa seakan dirinya dan David terpaku di tempat. Ibu jari David kembali membelai tulang selangkanya, pria itu menatap matanya tajam dan penuh emosi.Entah bagaimana, perlahan, seakan dirinya berada dalam pusaran angin, Sandara bergerak. Ia melangkah mundur dengan goyah, menggeleng lebih kuat daripada yang dibutuhkan atau niatkan, winenya memercik dan rambutnya tergerai. "Perdebatan ini tidak berguna," katanya."Anin seorang wanita dewasa dan bisa melakukan apa pun yang dia inginkan. Begitu pula Roy dan Stevan dan jug
David menatap kolom gosip dalam berita online yang ada di akun pribadinya. Rambut hitam bergelombang yang tergerai, gaun warna keemasan ketat. Tiga foto berbeda, setiap foto lebih meresahkan daripada sebelumnya. David membaca komentar-komentarnya. Sandara Loise memukau acara pencarian dana dengan gaun yang dirancang eksklusif... Sandara Loise dan seorang tamu tidak dikenal bersulang untuk malam mereka... Sandara Loise dan Stevan Smith bergandengan tangan dalam acara pencarian dana tadi malam.Sembari meringis muak, David menutup komputernya. Ia tidak perlu melihat lebih banyak foto lagi. Ia yakin bahwa meski dirinya tahu betapa memesona dan memikatnya Sandara, gadis itu juga konyol, seenaknya dan sangat tidak sesuai baginya. Ia tidak berhak menunjukkan ketertarikan pada gadis itu. Tidak berhak mencium Sandara.Sandara bukan calon istri yang tepat. Mendekati pun tidak.Jadi mengapa ia tidak sanggup melupakan gadis itu? Mengapa ia tidak bisa melupakan ciuman itu? Mengapa ia menginginkan
Sandara menarik korset sutra ketat gaun pengiring pengantinnya dan meringis di depan cermin. Warna kuning muda lembut itu membuatnya terlihat bagaikan bunga mawar, sementara roknya mengembang di bagian lutut sehingga ia seperti mengenakan rok balet. Sementara Indi tergila-gila pada apa yang dianggapnya sebagai gaun di kisah dongeng, dan berkeras Sandara terlihat sangat cantik mengenakannya. Dalam hati, Sandara sebenarnya tidak setuju dengan penilaian Indi, tapi tidak membantah. Ini hari istimewa Indi, bukan dirinya.Pesta pernikahan itu akan menjadi pesta yang sederhana dan intim, upacaranya dilaksanakan di gereja sebuah kota kecil tempat Indi tumbuh besar, dan setelah itu resepsi makan malam di hotel setempat. Sandara tiba kemarin malam, tepat waktu untuk mengikuti geladi bersih, dan kemudian terlelap keletihan serta sedikit kewalahan dengan hiruk pikuk yang menyerupai histeria akibat pernikahan yang mendekat. Pengaturan tempat duduk. Karangan bunga. Penyesuaian gaun Indi di menit-me
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b