Pagi itu Sandara menatap wanita yang duduk di seberang mejanya, menyadari jemari wanita itu dengan gugup meremas-remas kain celana putih murahan yang kusut, senyum hati-hati mencerahkan wajah cantik wanita itu. Anin Salsabiah gadis yang cantik, beberapa tahun lebih muda daripada Sandara, dengan rambut gelap bagaikan lingkaran halo lembut di wajahnya yang pucat.
"Jadi," Sandara tersenyum menyemangati saat membaca surat laamran kerja Anin yang seadanya. "Kaum pernah bekerja sebagai pelayan di Paparito..." "Aku juga sempat bekerja formal menjadi pegawai kontrak di sebuah kantor," Ani memberitahu dengan sukarela. Suaranya lembut dan mendayu, "Aku bertugas menjawab telepon. Menurut Tuan Wijaya, aku bisa melakukan hal yang sama di sini. Dia bilang salah seorang resepsionis kalian cuti melahirkan." Sandara bertanya-tanya-bukan untuk pertama kalinya,kira-kira apa hubungan David dengan Anin Salsabiah yang cantik ini. Apakah Anin ada hubungannya dengan urusan pribadi David yang misterius? "Ya, Nadine baru melahirkan bayi perempuan." Sandara mengembalikan Amplop berisi Cv kemeja, tidak banyak yang harus dilihat di sana. "Jadi, Tuan Wijaya benar," katanya sembari tersenyum. "Kami memang membuka lowongan." "Dia pria yang baik," bisik Anin, menunduk menatap pangkuannya. Rambutnya tergerai ke depan, menutupi wajahnya. Sandara kembali bertanya-tanya apakah dirinya pernah terlihat semuda dan... sebingung ini. Mungkin. Ia bersimpati pada Anin Salsabiah bahkan sembari menatap kuku jari Anin yang tidak rata karena digigiti serta Blazer-nya yang usang. Anin jelas membutuhkan peeawatan kuku dan sedikit berdandan. Mungkinkah David tertarik pada Anin? Anin memang cantik, meski dengan kuku dan pakaiannya, walau teman kencan David biasanya para sosialita dan bintang muda. Namun, pria itu tidak pernah serius dengan mereka. Mungkin wanita seperti Anin Salsabiah, cantik dan rapuh, akan menarik hati David. Lagi pula apa pedulinya memikirkan urusan pribadi David? Dengan kesal, Sabdara kembali memandang CV Anin. "Dia atasan yang sangat baik," katanya tegas, dan Anin mengangguk malu-malu. "Dia baik sekali karena mendengarkan cerita Roy tentang diriku." Sandara mengangkat alis, rasa penasaran dalam dirinya semakin menggebu. "Roy?" Anin tersipu, membuatnya terlihat semakin cantik, pipinya merah muda seperti mawar, kulitnya bagaikan boneka porselen. Sandara tidak pernah meragukan daya tariknya sendiri, namun saat ini ia menyadari pipinya yang sedikit tembam, penampilannya yang sehat, sedikit berbeda dengan kecantikan rapuh Anin. "Oh... baiklah, kurasa dia hanya temanku. Kami tumbuh besar bersama, di Bogor, dan..." Anin semakin tersipu dan menarik lengan Blazer usang itu hingga menutupi tangannya, persis seperti yang Sandara ingat ia lakukan kala bersedih semasa remaja. "Baiklah, aku sudah lebih dewasa sekarang," lanjut Anin ragu-ragu, "dan menurut Roy jika aku pindah ke Jakarta, kami akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama... " la terdiam, menggigit bibir. "Roy bilang mungkin pada saatnya kami akan mencoba," ia mengakhiri kata-katanya, hampir seperti meminta maaf. "Dia bilang begitu?" tanya Sandara sebelum sempat menahan diri. Kedengarannya sangat tidak romantis. Anin menatap Sandara dengan mata bulat lebarnya yang memantulkan berbagai emosi, termasuk keraguan yang menyedihkan. "Ya... kamu tahu, untuk melihat apakah kami cocok." Bagaikan sepasang sepatu. Sandara menahan gemetar. la tidak bisa membayangkan hal lain yang lebih menyedihkan. Namun, ia bukan orang yang tepat untuk menilai hal ini. Dua hubungan yang ia jalin dengan sikap optimis, jika bukan membawa bencana, bisa dipastikan mengecewakan. la jelas tidak sedang mengupayakan hubungan ketiga. Tapi, jika ingin menjalin hubungan, seseorang pasti menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang ditawarkan Roy. "Kedengarannya sangat sederhana," kata Sandara. Terlalu sederhana. Mana percintaannya? Mana cintanya? Sejauh yang Sandara ketahui, tidak ada yang praktis dengan kedua hal itu, meski ia sendiri belum pernah mengalaminya. Ia belum pernah jatuh cinta, mendekati pun tidak, dan ia ragu hal itu akan terjadi. Pasangan cinta sejati seperti ibu dan ayahnya tidak banyak, itulah mengapa Sandara senang membantu Indi dan Randy. la sendiri sudah hampir menyerah menemukan cinta bagi dirinya. "Apakah Roy juga bekerja di Sahabat Technology?" tanyanya, membayangkan beberapa ratus karyawan yang dipekerjakan David. Memang ada beberapa yang bernama Roy. "Ya, dia mengerjakan proyek bersama Tuan Wijaya di daerah Timur," sahut Anin. "Dia baru saja kembali." Sandara mengangguk mengerti, sekarang ia tahu Roy yang dimaksud Anin. Roy Julio, salah seorang dari sedikit asisten David, Ahli geologi tegap dengan ekspresi serius, pria penggugup dan hampir tidak pernah tersenyum. Tentu saja dia akan mengusulkan hal seperti itu. Sandara bisa membayangkan pria itu menyuruh Anin duduk di sofa dan menguraikan rencana lima tahunnya bagi hubungan mereka, disertai presentasi PowerPoint. Sepertinya cukup mengerikan. "Baiklah," kata Sandara diplomatis, "tentu menyenangkan bagimu jika bisa menghabiskan waktu bersamanya." "Ya... " Anin terdengar ragu, dan meski Sandara tidak menyalahkannya sama sekali, ia memutuskan mereka sudah cukup lama berbincang-bincang tentang ma- salah pribadi. Salah satu kunci kesuksesannya di bagian personalia adalah tahu kapan memanfaatkan dan membatasi aspek pribadi posisinya. "Baiklah, karena Tuan Wijaya bisa menjaminmu, aku jelas bersedia merekrutmu. Kita hanya perlu mengisi beberapa formulir dan kemudian aku akan mengantarmu ke ruang resepsionis." Wajah Anin terlihat bahagia dan berseri-seri. "Terima kasih, Nona Loise." "tolong, panggil aku Sandara. Kami di sini semuanya akrab." Sandara mengawasi saat Anin menundukkan kepalanya yang berambut gelap untuk mengisi formulir-formulir tersebut, sikap protektif mendadak menguasai dirinya. Gadis ini sepertinya terlalu polos. Dia pasti akan membutuhkan seseorang untuk mengawasinya, menjelaskan tentang pekerjaan ini. Dan yang lebih penting lagi, sedikit bersenang-senang. Roy jelas tidak akan melakukan hal itu. "Kalau begitu, ayo," katanya ketika Anin selesai mengisi formulir-formulir tersebut. "Kita bisa minum kopi sebelum aku mengantarmu berkeliling. Kamu bisa berkenalan dengan orang-orang." Orang-orang selain Roy Julio,kekasihmu, tambah Sandara dalam hati. Sisa hari pertamanya sebagai Kepala Divisi Personalia telewati tanpa kejadian berarti, hanya keluhan-keluhan serta berkas-berkas biasa untuk melengkapi perekrutan Anin pagi itu. Sandara terkejut ketika menyadari sudah pukul empat lewat dan hampir semua orang di bagiannya telah pulang ketika akhirnya ia menyelesaikan e-mail terakhir serta mengirimnya. "Sepertinya hari pertama yang sukses." Sandara menengadah untuk melihat David sudah berdiri di ambang pintu, bertanya-tanya bagaimana ia bisa tidak mendengar kedatangan pria itu. Jantungnya jelas melonjak kaget sekarang. "David, kamu membuatku kaget." Sandara tersenyum pada David, menyadari lekuk dalam dari mulut sampai hidung pria itu, kerut samar di sudut-sudut matanya. Terlalu lama di Belanda dengan udara yang cukup dingin membuat David sedikit menua, tapi bukannya kurang menarik. David terlihat cukup berwibawa. Dan dia sedikit lebih tua... mendekati empat puluh. Mungkin sudah saatnya memikirkan pernikahan. Pemikiran itu membuat Sandara resah, hanya karena ia tidak bisa membayangkan David bersama seorang istri. Pria itu mungkin akan memilih seseorang yang cocok seperti Roy dengan Anin. Ia bisa membayangkan David menyusun semacam daftar. Harus bisa menggunakan setrika, stik golf,menyalakan kompor dan yoga.. "Ya,kamu benar, memang sukses," kata Sandara, menekankan kata itu dengan ringan. "Tentu saja, tidak kurang dari yang kamu perkirakan." "Tentu." David memasuki ruangan kerja Sandara. Seperti biasa, pria itu mengenakan setelan gelap dengan kemeja licin dan dasi sutra biru, tas tangan di salah satu lengannya. Dia terlihat sangat rapi dan seperti biasanya, sedikit menyendiri, namun juga terkesan berbeda. Atau mungkin Sandaralah yang berbeda, karena ia hampir tidak sanggup mengalihkan pandangan dari David saat aroma Sakura Jepang pria itu menyerbu hidungnya. Sandara bangkit dari kursi, senang karena ia memilih setelan merah ceri dengan blazer serta rok pendek ketat untuk hari pertamanya sebagai Kepala Divisi Personalia. Harus diakui, roknya memang agak pendek, dan ia melihat pandangan David beralih ke kaki telanjangnya sebelum mulut pria itu terkatup membentuk garis tanda tidak setuju yang samar namun familier. Merasa sedikit nakal, Sandara menjulurkan salah satu kaki ke arah David untuk diperiksa. "Oh, kamu suka sepatuku?" tanyanya, membelalakkan mata dengan gaya polos. Hari ini ia mengenakan sepatu tumit tinggi hitam yang serasi dengan tali-tali berkilauan. Biasanya ia tidak terlalu tergila-gila pada sepatu, tapi sepatu ini benar-benar sulit ditolak. Dan sangat serasi dengan setelannya. David menatap kaki Sandara yang terjulur, terlihat sangat tidak terkesan. "Cantik sekali," katanya setelah sesaat. "Meski tidak bisa dibilang sepatu kerja." "Baik," kata Sandara, tidak mampu melewatkan kesempatan untuk memancing David sedikit lagi, "bagaimanapun, aku harus menghidupkan setelan ini." Sesaat David terlihat marah, dan Sandara bertanya-tanya apakah pria itu memang marah. Lalu David meliriknya, tersenyum, mata pria itu bersinar sewarna malam seperti yang dilihat Sandara kemarin malam, dan berkata, "Percayalah padaku, Sandara, busanamu tidak perlu dihidupkan lagi. Nah, bagaimana jika kita makan malam dan kamu menceritakan hari pertamamu?" Sandara mengerjap kaget. Ia memang sudah menduga David akan memeriksanya karena ini hari pertamanya dalam posisi baru, tapi ini? "Makan malam?" ulangnya konyol, membuat senyum David melebar. "Begitulah. Biasanya, sekitar pukul enam, orang-orang suka makan dan minum. Kamu tahu, untuk bertahan hidup sekaligus kebiasaan sosial." Sandara tersenyum. la lupa akan selera humor sarkastis David. Dan, meski terkejut dengan ajakan itu, ia menyadari dirinya ingin makan malam bersama David. Ia penasaran dengan perubahan David selama ini, dan bahkan tentang urusan pribadi pria itu. Dan ada sesuatu tentang David, sesuatu yang anehnya berbeda-yang ingin ia pahami. Atau setidaknya ia selidiki. "Sebenarnya, aku memang kelaparan," katanya pada David sembari menggapai Tasnya. "Aku melewatkan makan siang. Jadi ya, kamu bisa mentraktirku makan malam." David mengamati saat Sandara merapikan pakaiannya pas badan. David menyadari dirinya mengernyit, menyesali ajakannya yang impulsif. Ia bahkan tidak bermaksud singgah di ruang kerja Sabdar; ia sudah punya rencana malam ini, dan tadinya berniat langsung ke mobilnya. Tapi entah bagaimana ia berbelok, dan begitu melihat Sandara menjulurkan satu kakinya yang putih, mata wanita itu bersinar dengan tawa, seluruh tekad David langsung hancur. Ia menghindari Sadara selama delapan tahun, gadis itu sudah hampir 25 tahun sekarang. Sandara berpengalaman, jika merujuk pada kolom-kolom gosip, dan tentu saja satu malam,sedikit godaan tidak akan membahayakan siapa pun. Ini hanya gatal yang perlu digaruk, kata David dalam hati. Ini tidak akan berlanjut pada apa pun. Tidak boleh. Ia bahkan tidak akan mencium Sandara. Namun ia telah meraih Handphonenya, dengan cepat mengirimkan pesan singkat untuk membatalkan sisa rencananya malam ini. Ia menekan tombol untuk membuka kunci mobil, dan Sandara tersentak kaget. "Kamu punya Ferrari?" Tanyanya,jelas dengan raut wajah terkejut.David membuka pintu mobil, menghirup aroma lavender rambut Sandara dan sesuatu yang lain, sesuatu yang hangat dan feminin, yang kembali menimbulkan hasrat gairah dalam dirinya. Hanya makan malam. "Sepertinya begitu," ucap nya, dan Sandara memutar bola mata sembari memasuki interior mobil dari kulit mewah mobil keluaran terbaru itu."Aku tidak menyangka kamu menyukai mobil sport. Aku kira kamu tipe pria yang hanya mengutamakan fungsi di atas segalanya.""Oh?" David menyelinap ke kursi pengemudi. "Aku tidak tahu kamu punya dugaan seperti itu mengenai mobilku."Ya, tapi ternyata aku salah?" kata Sandara sambil tertawa. Ia mengibaskan rambut ke balik bahu hingga tergerai sempurna. "Mobilmu. Aku menduga sesuatu yang biasa-biasa saja, dan tentu saja. membosankan untukmu, hanya mobil yang membawamu dari tempat A ke tempat B. Tentu saja," goda Sandara, "warnanya pun akan sedikit mencolok. Sayangnya, kuning muda tidak cocok untukku."David menatap Sandara sesaat, benar-benar bingung dengan pen
"Kurasa kamu sudah tidak muda lagi untuk dinasihati, San. Kecuali, tentu saja, jika kamu masih nakal seperti dulu." Ada kesan jail dalam senyum David, matanya berkilat dalam cahaya lampu lampu kecil remang-remang ruangan itu, dan Sandara merasa perutnya kembali membuncah. David kembali mengalihkan pandangan ke menu dan Sandara memutuskan ia pasti hanya membayangkan senyum serta pandangan jail itu. Tidak ada yang jail tentang David Wijaya. Pria ini penduduk paling taat hukum yang pernah ia kenal."Aku janji tidak akan bersikap konyol lagi," balas Sandara, mengibaskan rambut, dan David memberikan isyarat pada pelayan supaya mendekat untuk mencatat pesanan mereka.Sandara memberitahukan pesanannya kemudian memandang sekeliling ruangan saat David memberitahukan pesanan pria itu sendiri, dengan suara pelan yang tidak terlalu didengarkan Sandara. Sebagian besar tamu adalah adalah kalangan atas yang sedang membuat kesepakatan, atau sosialita yang cukup berada. Tempat ini memang sedikit membo
"Itu sebuah pandangan yang cukup sinis," balas Sandara sesaat kemudian. la kembali merasakan sedikit kekecewaan dan menahannya. Apa pedulinya tentang pandangan David mengenai cinta atau pernikahan?"Apa yang membuatmu memandang cinta seperti itu?"David mengangkat sebelah bahu. "Pengalaman, mungkin. Siapa saja bisa berkata mereka mencintai seseorang. Itu hanya kata-kata yang bisa kamu percayai atau tidak. Pada akhirnya, kata-kata itu tak membuat banyak perbedaan." David mendadak terdiam, mengernyit, seakan kata-katanya sendiri memicu pemikiran atau kenangan yang tidak menyenangkan. Kemudian ekspresinya berubah, seolah dipaksakan, dan ia melirik Sandara sembari tersenyum. "Menurutku, jauh lebih baik menikah dan ya, bahkan mencoba daripada membicarakan tentang cinta atau berkhayal, seperti yang terjadi sekarang." Matanya berkilat dengan kelakar penuh pemahaman, dan Sandara mengakui artinya dengan tertawa kecil meski ia bertanya-tanya pengalaman apa yang membuat David begitu sinis mengar
Acara makan malam itu berjalan menyenangkan, dan Sandara lega karena percakapan berubah pada hal-hal yang lebih ringan. Hati angsanya enak, meski tidak ada yang spesial, dan Sandara menyadari dirinya menikmati mengobrol ringan dengan David mengenai hal-hal yang tampaknya tidak penting seperti politik atau film terbaru. Ia lupa betapa sedikitnya selera humor David, jadi terkadang butuh waktu beberapa detik untuk menyadari pria itu bercanda."Apakah kamu rindu berlibur?" tanyanya ketika pelayan mengambil piring-piring mereka. "Karena kamu berencana tinggal di Jakarta sementara waktu.""Akan ada hal-hal lain yang membuatku sibuk," sahut David santai.Sandara mengatupkan bibir. "Urusan pribadi itu.""Kamu agak penasaran dengan hal itu.""Hanya karena aku tidak bisa membayangkan apa itu. Kamu selalu terbuka, David. Tidak ada rahasia. Tidak ada kejutan ataupun hal lain yang membuatku untuk penasaran."David mengetukkan jemari ke meja. Pria itu punya jemari yang cukup bagus, pikir Sandara sa
"Sepertinya kita harus lebih saling mengenal lagi, San."Sebelum Sandara bisa menjawab, atau bahkan mencerna maksud perkataan David, petugas valet telah mengantarkan Ferrari milik David. Ia menyelinap ke dalam interior kulit tersebut, kepalanya disandarkan ke kursi saat dunia berputar di sekelilingnya. Jelas terlalu banyak minum wine."Sandara yang malang," bisik David sembari menjauhi trotoar. "Apakah kamu makan sesuatu hari ini?""Beberapa potong kue cokelat saat makan siang," jawab Sandara sambil mendesah. "Aku menjaga berat badanku dengan ketat, tapi bahkan ini sudah sedikit berlebihan untukku." Ia merasa perutnya bergolak dan meringis. "Kuharap," kata David, "kamu tidak berniat muntah di mobilku,kan?"Sandara berusaha tertawa, meski itu benar-benar mungkin terjadi. "Jika memang begitu," katanya, "itu karena ayamnya tidak enak, bukan karena aku terlalu banyak minum."David tertawa pelan. "Mungkin kamu seharusnya memesan steak sapi." la mengulurkan tangan dan meletakkannya di kenin
Sandara terjaga dari tidurnya yang seperti orang mati dengan sakit kepala parah yang membuatnya kebal pada siapa pun, termasuk David. la masih sedikit gelisah dan khawatir karena makan malam kemarin, meski tidak bisa menjelaskan alasannya. David baik sekali karena mengajaknya keluar dan, karena Sandara bisa bersikap lebih rasional terhadap berbagai hal pada pagi hari, ia cukup jujur untuk mengakui David berhak mengawasinya. Ia sudah menduganya bertahun-tahun lalu, dan terkejut bahkan sedikit terluka ketika pria itu pergi begitu tiba- tiba setelah menerimanya bekerja di perusahaannya. Jadi, kenapa sekarang hal itu mengusiknya? Ia mengakui, bagian percakapan mereka yang itu tidak mengusiknya. Bagian yang lainlah yang mengusiknya. Bagian yang tersembunyi, cara mata David bersinar penuh pemahaman dan sudut-sudut mulut pria itu naik, serta bisikan pelan yang membuat Sandara merasa dirinya seperti bukan bersama David, setidaknya bukan David yang pernah ia kenal dulu serta yang bisa ia andal
"Ikut campur atau menjodohkan seseorang?""Sama saja.""Itu hanya menurut pendapatmu,David." Sandara meletakkan tangan di dada David, telapak tangannya menempel di bahan kemeja biru langit pria itu, jemarinya secara naluriah mencari kehangatan David di balik kain tersebut. la merasakan jantung David berdetak stabil di bawah telapak tangannya. Ia berniat membuat sentuhan ringan, bahkan tidak ada artinya, tidak lebih dari sentuhan main-main di dada, namun seolah didorong kebutuhan lebih mendalam dan mendasar, Sandara menyadari bukan itu yang terjadi,tangannya bergerak sendiri, jemarinya meregang, mencari, sementara akal sehat terbang dari benaknya."Kamu tidak perlu cemas tentang Anin atau aku," akhirnya ia bicara, mencari kata-kata yang sepertinya tersembunyi jauh dalam benaknya. Ia mendongak menatap David, melihat bintik-bintik sinar tajam di mata pria itu. Mata itu tidak terlihat cokelat sama sekali. Tidak terlihat membosankan sama sekali. Ia menelan ludah. "Kamu tidak perlu mengawas
"Kamu sama denganku,Anin," aku Sandara riang."Kamu harus tahu aku sudah bekerja di sini selama lima tahun." Ia tertarik pada orang, bukan pekerjaannya atau proyek proyek yang sedang di kerjakannya sekarang."Tapi, dia sering datang menemuimu, kan?" tanyanya, dan Anin mengangkat bahu."Kadang-kadang," sahut Anin pelan. Ia bimbang, lalu dengan bersemangat mengakui, "Kurasa kenyataannya memang tidak akan sama dengan yang kubayangkan, ya? Kami sudah lama berteman, dan tentu saja awalnya akan terasa sulit.."Sulit? Sandara mulai jengkel. Anin jelas layak mendapatkan lebih dari sekadar sulit, lebih dari sekadar duduk di rumah menunggu Roy meneleponnya. "Begini saja," katanya tiba-tiba, ide muncul dalam benak Sandara dan membuatnya bersemangat, "aku mendapat undangan ke pesta malam ini,kalau tidak salah, acara pembukaan butik baru."Sebenarnya, Sandara tidak yakin acara apa itu,ia menerima belasan undangan setiap minggu, semuanya bercampur aduk dalam benaknya. Namun acara yang mana pun akan
David mencium kening Sandara dengan lembut,"Bagus. Bersiaplah pukul tujuh. Aku akan menjemputmu dari apartemenmu," kata David."Baiklah. Aku akan bersiap." Jawab Sandara lega.Hari ini berlalu secepat yang ia inginkan. Sandara meninggalkan kantor sedikit lebih awal setelah meminta ijin pada David. Sandara merada sangat bahagia tetapi pada saat yang sama dia tidak bisa berhenti memikirkan tentang ranjang bersama David. Dan lagi pula jika mereka benar-benar akan melakukannya lagi, seperti apa jadinya nanti. Sandara benar-benar takut sekarang. Baiklah, jangan pikirkan sesuatu yang mungkin tidak terjadi malam ini. Dan pikirkan tentang apa yang akan terjadi. Kami akan makan malam yang enak dan biarkan sisanya menjadi misteri.Sandara sampai di apartemennya pukul enam dan segera bersiap-siap. Karena dia tahu Davif sangat tepat waktu. Sandara mengenakan gaun berwarna anggur di atas lingerie barunya. Karena gaun ini tanpa tali, Sandara memutuskan untuk memadukannya dengan kalung berwarna nude
Saat David berjalan menuju kantor, David melihat Sandara berbicara dengan seorang pria yang mungkin salah satu dari pegawainya di kantornya. Pria itu berbicara dengan Sandara tentang sesuatu dan yang ingin David lakukan saat ini hanyalah menendangnya. David pergi mendekati mereka berdua dan memanggil Sandara ke ruangannya dengan nada yang sedikit kasar. Nada kasar yang di keluarkannya itu hanya untuk menakut- nakuti pria yang bersama Sandara agar mereka segera mengakhiri pembicaraan itu. Pria itu tidak bisa menatap gadis miliknya dengan tatapan menginginkan. David berjalan kembali ke ruangannya dan menunggu Sandara. David merasakan sesuatu yang aneh. Sikap posesif ini baru saja di rasakannya. Hal seperti ini belum pernah dirasakannya. Dorongan untuk melindungi, memperjuangkan, dan menyelamatkan Sandara hanya untuk dirinya sendiri. Sandara membuatnya kuat, tetapi di saat yang sama Sandara adalah kelemahannya. David merasa rentan di dekat Sandara. Bagaimana mungkin satu wanita mungil
Ini adalah minggu yang sangat panjang dan melelahkan. Sandara menggenggam cangkir kopinya di dapur rumahnya , keletihan membuat seluruh tubuhnya nyeri. Namun bahkan di tengah keletihan ia merasakan kelegaan yang manis, semalam ayahnya sadar. Ini akan menjadi jalan yang panjang serta sulit, dan ayahnya tidak akan pernah sembuh total. Sandara tahu itu, ia mendengar para spesialis membahas kemampuan bicara dan bergerak yang terbatas, penggunaan kruk atau kursi roda. Sulit untuk menerima itu, tapi itu masih lebih baik daripada pilihan yang satu lagi. Itu sesuatu. Dan sesuatu itu sudah cukup. David datang mengunjungi Tuan Wijaya setiap hari selama seminggu ini, pulang-pergi dari Jakarta, dan Sandara menyambut serta menghargai kehadiran pria itu lebih daripada yang bisa ia katakan. Sandara tidak mengatakannya, karena sebagian dirinya ingin mengatakan pada David betapa berarti pria itu baginya, betapa ia mencintai David. Namun tentu saja itu tidak ada gunanya saat ini. David datang seba
Bulan berganti bulan dan Sandara mengingat kembali percakapannya dengan Agatha, serta hampir setiap momen yang ia lewatkan bersama David. la ingat hal-hal kecil, hal-hal yang diabaikan atau dilupakannya yang mendadak terasa penting sekarang. Cara David tersenyum, dan betapa manis sentuhan pria itu. Godaan-godaan lembut David, yang selalu dinikmati Sandara sampai hatinya terjerat dalam godaan itu. la ingat bagaimana dirinya selalu memercayai David, selalu tahu pria itu akan menjaganya tetap aman. Kenangan-kenangan tersebut terus melintas dalam benaknya dan membuatnya gelisah serta merindu, berharap setidaknya bisa bertemu David lagi. Menanyakan padanya... apa? Apa yang bisa ia katakan? Aku tidak peduli jika kamu hanya mencintaiku sedikit. Aku tidak butuh ekspresi hebat apa pun... Tapi ia bahkan tidak tahu apakah David memang mencintainya. Ia cukup yakin tidak, dan tidak ada ekspresi yang bisa menyatakan hal itu. Mereka tidak punya hubungan. Tidak punya masa depan. Tidak ada apa p
Meski tubuh Sandara mendambakan David dan benaknya berkeras bahwa ini sudah cukup, hatinya lebih tahu. Dan ketika David melepasnya dengan tiba-tiba hingga ia mundur selangkah, Sandara tidak mengatakan apa pun. Davidlah yang berbicara. "Selamat tinggal," katanya dan membelakangi Sandara. Sandara berdiri di sana sesaat, kehilangan, malu, pedih saat air mata muncul serta menyengat matanya. Ia mengerjap-ngerjap, menelan gejolak emosi yang ditimbulkan ciuman David dan meninggalkan ruang kerja pria itu tanpa sepatah kata pun. Seharusnya tidak terasa semenyakitkan ini. David tetap mengarahkan pandangan ke jendela saat mendengar pintu ditutup pelan. Ia berharap mengucapkan selamat tinggal pada Sandara akan memacu tubuh serta benaknya melupakan gadis itu. Lupakan itu. Seluruh tubuhnya nyeri, nyeri dengan pemahaman bahwa ia kehilangan Sandara, ia mencintai Sandara. Tidak. Ia tidak mencintai Sandara Loise. Ia tidak akan menenggelamkan diri dalam perasaan tak berguna itu, resep bagi kesediha
Hujan sudah mulai reda saat Sandara kembali ke kantor setelah libur akhir tahun. Suasana hatinya serupa dengan cuaca suram tersebut, yang ia rasakan sejak percakapan menyakitkan terakhir dengan David. Ia belum bertemu David sejak Hari terakhir mereka makan bersama, David meninggalkan rumah sore itu untuk kembali ke Jakarta dan bekerja. Sekarang, saat menyeret dirinya kembali ke kantor, Sandara bertanya-tanya apakah ia akan bertemu David. Apa yang akan dikatakan pria itu. Apa yang akan dirinya sendiri katakan. Benaknya terasa hampa dari kata-kata, bahkan pikiran. Ia merasa kebas, walau hal itu masih membiarkan dirinya menyadari kesedihan menganga yang mengaburkan sudut-sudut benaknya, ia merasa seolah sedang berseluncur di atas es yang sangat tipis dan bisa jatuh serta tenggelam dalam pusaran emosi kapan saja. Anin menyambutnya di ruang tunggu, terlihat berseri-seri dan gembira. Sepertinya, pikir Sandara dengan lega sekaligus getir, Anin telah pulih dari perlakuan buruk Stevan. "S
Kata-kata yang keluar dari bibir David bergema di benak Sandara, namun itu tidak masuk akal baginya. David jelas tidak mengatakan tidak bermaksud akan melamarnya saat ini juga. "Kamu bilang apa?" kata Sandara, suaranya tidak lebih dari bisikan gemetar. "Aku mau kamu menikah denganku, Sandara. Aku telah memikirkannya sepanjang minggu dan kusadari itu masuk akal." "Masuk akal," ulang Sandara kaku. David terdengar begitu logis. "Sudah kukatakan padamu aku mencari istri..." "Dan kamu juga mengatakan padaku aku tidak termasuk dalam daftar," Sandara mengingatkan. Ia mendengar luka dalam suaranya namun tidak peduli. Ia merasa begitu kewalahan, sangat kesal, terlalu marah untuk menyembunyikan perasaannya.David terlihat agak bingung dengan pernyataan Sandara, namun kemudian ia tersenyum lepas dan membentangkan tangan lebar-lebar. "Aku berubah pikiran." "Oh, begitukah?" Sandara tertawa, singkat dan tajam, bagaikan tembakan senjata. "Jadi, apakah ini sebuah lamaran?" Sandara kembali melih
Sandara keluar dari mobil ayahnya dan mendongak menatap Rumah bergaya klasik dan mewah dengan ngeri serta merasakan firasat yang buruk. David berada di dalam rumah itu. Hanya bayangan akan melihat pria itu lagi saja sudah mengusik benaknya, membuat tangannya berkeringat dan jantungnya berdebar terlalu kencang. "Siap, Sayang?" Ayahnya tersenyum menatapnya yang tampak ragu, dan Sandara kembali diserbu perasaan betapa tua ayahnya terlihat sekarang. Ayahnya tidak terlihat lemah, tapi pria itu melangkah dengan hati- hati di permukaan berbatu yang sedikit menanjak. Sandara menggandeng ayahnya, memantapkan pria itu tanpa terlihat disengaja. "Sepertinya bakal menyenangkan," kata Sandara, berusaha santai. "Pertemuan keluarga yang menyenangkan." Seandainya demikian. Telunjuk ayahnya menunjuk Land Rover yang diparkir di jalan masuk. "Sepertinya Agatha dan Romeo sudah tiba." Untunglah Agatha yang membuka pintu. Saat Sandara diam-diam melirik sekeliling ruang depan yang besar dan luas terse
David berdiri di ruang depan, memilah percakapan selama beberapa menit terakhir tadi. Ia merasa gelisah serta jengkel dan, anehnya, sedikit terluka. Perasaan terakhir itu menggelikan, karena Sandara jelas bertindak seperti biasanya, seperti yang ia ingin gadis itu lakukan. Lagi pula, ini hanya afair. Sandara... bersikap acuh tak acuh.Jadi, kenapa ia tidak menyukainya?Mengapa ia merasa seakan dirinya baru saja diputuskan? Dengan sengaja?Dialah yang biasanya menjauh, yang pergi setelah kencan satu malam. Satu malam. Namun Sandara baru saja meninggalkannya. Pemikiran itu membuatnya merasa jengkel. Terhina. Terluka. Ia berbalik dari lift, bertekad untuk tidak memikirkan hal itu, atau mengapa Sandara pergi begitu mendadak. Tidak peduli. Banyak hal yang perlu ia lakukan hari ini, termasuk menyusun daftar calon istri yang disinggung Sandara. Lagi pula, ia memang perlu mencari istri.Meski sekarang pemikiran itu memenuhinya dengan perasaan gelisah, ketidakpuasan yang menyakitkan.Sandara b