Share

AJAKAN MAKAN MALAM

Pagi itu Sandara menatap wanita yang duduk di seberang mejanya, menyadari jemari wanita itu dengan gugup meremas-remas kain celana putih murahan yang kusut, senyum hati-hati mencerahkan wajah cantik wanita itu. Anin Salsabiah gadis yang cantik, beberapa tahun lebih muda daripada Sandara, dengan rambut gelap bagaikan lingkaran halo lembut di wajahnya yang pucat.

"Jadi," Sandara tersenyum menyemangati saat membaca surat laamran kerja Anin yang seadanya. "Kaum pernah bekerja sebagai pelayan di Paparito..."

"Aku juga sempat bekerja formal menjadi pegawai kontrak di sebuah kantor," Ani memberitahu dengan sukarela. Suaranya lembut dan mendayu, "Aku bertugas menjawab telepon. Menurut Tuan Wijaya, aku bisa melakukan hal yang sama di sini. Dia bilang salah seorang resepsionis kalian cuti melahirkan."

Sandara bertanya-tanya-bukan untuk pertama kalinya,kira-kira apa hubungan David dengan Anin Salsabiah yang cantik ini. Apakah Anin ada hubungannya dengan urusan pribadi David yang misterius? "Ya, Nadine baru melahirkan bayi perempuan." Sandara mengembalikan Amplop berisi Cv kemeja, tidak banyak yang harus dilihat di sana. "Jadi, Tuan Wijaya benar," katanya sembari tersenyum. "Kami memang membuka lowongan."

"Dia pria yang baik," bisik Anin, menunduk menatap pangkuannya. Rambutnya tergerai ke depan, menutupi wajahnya. Sandara kembali bertanya-tanya apakah dirinya pernah terlihat semuda dan... sebingung ini. Mungkin. Ia bersimpati pada Anin Salsabiah bahkan sembari menatap kuku jari Anin yang tidak rata karena digigiti serta Blazer-nya yang usang. Anin jelas membutuhkan peeawatan kuku dan sedikit berdandan.

Mungkinkah David tertarik pada Anin? Anin memang cantik, meski dengan kuku dan pakaiannya, walau teman kencan David biasanya para sosialita dan bintang muda. Namun, pria itu tidak pernah serius dengan mereka. Mungkin wanita seperti Anin Salsabiah, cantik dan rapuh, akan menarik hati David. Lagi pula apa pedulinya memikirkan urusan pribadi David? Dengan kesal, Sabdara kembali memandang CV Anin. "Dia atasan yang sangat baik," katanya tegas, dan Anin mengangguk malu-malu.

"Dia baik sekali karena mendengarkan cerita Roy tentang diriku."

Sandara mengangkat alis, rasa penasaran dalam dirinya semakin menggebu. "Roy?"

Anin tersipu, membuatnya terlihat semakin cantik, pipinya merah muda seperti mawar, kulitnya bagaikan boneka porselen. Sandara tidak pernah meragukan daya tariknya sendiri, namun saat ini ia menyadari pipinya yang sedikit tembam, penampilannya yang sehat, sedikit berbeda dengan kecantikan rapuh Anin. "Oh... baiklah,

kurasa dia hanya temanku. Kami tumbuh besar bersama, di Bogor, dan..." Anin semakin tersipu dan menarik lengan Blazer usang itu hingga menutupi tangannya, persis seperti yang Sandara ingat ia lakukan kala bersedih semasa remaja. "Baiklah, aku sudah lebih dewasa sekarang," lanjut Anin ragu-ragu, "dan menurut Roy jika aku pindah ke Jakarta, kami akan menghabiskan lebih banyak waktu bersama-sama... " la terdiam, menggigit bibir. "Roy bilang mungkin pada saatnya kami akan mencoba," ia mengakhiri kata-katanya, hampir seperti meminta maaf.

"Dia bilang begitu?" tanya Sandara sebelum sempat menahan diri. Kedengarannya sangat tidak romantis.

Anin menatap Sandara dengan mata bulat lebarnya yang memantulkan berbagai emosi, termasuk keraguan yang menyedihkan. "Ya... kamu tahu, untuk melihat apakah kami cocok."

Bagaikan sepasang sepatu. Sandara menahan gemetar. la tidak bisa membayangkan hal lain yang lebih menyedihkan. Namun, ia bukan orang yang tepat untuk menilai hal ini. Dua hubungan yang ia jalin dengan sikap optimis, jika bukan membawa bencana, bisa dipastikan mengecewakan. la jelas tidak sedang mengupayakan hubungan ketiga. Tapi, jika ingin menjalin hubungan, seseorang pasti menginginkan sesuatu yang lebih daripada yang ditawarkan Roy.

"Kedengarannya sangat sederhana," kata Sandara. Terlalu sederhana. Mana percintaannya? Mana cintanya? Sejauh yang Sandara ketahui, tidak ada yang praktis dengan kedua hal itu, meski ia sendiri belum pernah mengalaminya. Ia belum pernah jatuh cinta, mendekati pun tidak, dan ia ragu hal itu akan terjadi. Pasangan cinta sejati seperti ibu dan ayahnya tidak banyak, itulah mengapa Sandara senang membantu Indi dan Randy. la sendiri sudah hampir menyerah menemukan cinta bagi dirinya. "Apakah Roy juga bekerja di Sahabat Technology?" tanyanya, membayangkan beberapa ratus karyawan yang dipekerjakan David. Memang ada beberapa yang bernama Roy.

"Ya, dia mengerjakan proyek bersama Tuan Wijaya di daerah Timur," sahut Anin. "Dia baru saja kembali."

Sandara mengangguk mengerti, sekarang ia tahu Roy yang dimaksud Anin. Roy Julio, salah seorang dari sedikit asisten David, Ahli geologi tegap dengan ekspresi serius, pria penggugup dan hampir tidak pernah tersenyum. Tentu saja dia akan mengusulkan hal seperti itu. Sandara bisa membayangkan pria itu menyuruh Anin duduk di sofa dan menguraikan rencana lima tahunnya bagi hubungan mereka, disertai presentasi PowerPoint. Sepertinya cukup mengerikan. "Baiklah," kata Sandara diplomatis, "tentu menyenangkan bagimu jika bisa menghabiskan waktu bersamanya."

"Ya... " Anin terdengar ragu, dan meski Sandara tidak menyalahkannya sama sekali, ia memutuskan mereka sudah cukup lama berbincang-bincang tentang ma- salah pribadi. Salah satu kunci kesuksesannya di bagian personalia adalah tahu kapan memanfaatkan dan membatasi aspek pribadi posisinya. "Baiklah, karena Tuan Wijaya bisa menjaminmu, aku jelas bersedia merekrutmu. Kita hanya perlu mengisi beberapa formulir dan kemudian aku akan mengantarmu ke ruang resepsionis."

Wajah Anin terlihat bahagia dan berseri-seri. "Terima kasih, Nona Loise."

"tolong, panggil aku Sandara. Kami di sini semuanya akrab."

Sandara mengawasi saat Anin menundukkan kepalanya yang berambut gelap untuk mengisi formulir-formulir tersebut, sikap protektif mendadak menguasai dirinya.

Gadis ini sepertinya terlalu polos. Dia pasti akan membutuhkan seseorang untuk mengawasinya, menjelaskan tentang pekerjaan ini. Dan yang lebih penting lagi, sedikit bersenang-senang. Roy jelas tidak akan melakukan hal itu.

"Kalau begitu, ayo," katanya ketika Anin selesai mengisi formulir-formulir tersebut. "Kita bisa minum kopi sebelum aku mengantarmu berkeliling. Kamu bisa berkenalan dengan orang-orang." Orang-orang selain Roy Julio,kekasihmu, tambah Sandara dalam hati.

Sisa hari pertamanya sebagai Kepala Divisi Personalia telewati tanpa kejadian berarti, hanya keluhan-keluhan serta berkas-berkas biasa untuk melengkapi perekrutan Anin pagi itu. Sandara terkejut ketika menyadari sudah pukul empat lewat dan hampir semua orang di bagiannya telah pulang ketika akhirnya ia menyelesaikan e-mail terakhir serta mengirimnya.

"Sepertinya hari pertama yang sukses."

Sandara menengadah untuk melihat David sudah berdiri di ambang pintu, bertanya-tanya bagaimana ia bisa tidak mendengar kedatangan pria itu. Jantungnya jelas melonjak kaget sekarang.

"David, kamu membuatku kaget." Sandara tersenyum

pada David, menyadari lekuk dalam dari mulut sampai hidung pria itu, kerut samar di sudut-sudut matanya. Terlalu lama di Belanda dengan udara yang cukup dingin membuat David sedikit menua, tapi bukannya kurang menarik. David terlihat cukup berwibawa. Dan dia sedikit lebih tua... mendekati empat puluh. Mungkin sudah saatnya memikirkan pernikahan. Pemikiran itu membuat Sandara resah, hanya karena ia tidak bisa membayangkan David bersama seorang istri. Pria itu mungkin akan memilih seseorang yang cocok seperti Roy dengan Anin. Ia bisa membayangkan David menyusun semacam daftar. Harus bisa menggunakan setrika, stik golf,menyalakan kompor dan yoga..

"Ya,kamu benar, memang sukses," kata Sandara, menekankan kata itu dengan ringan. "Tentu saja, tidak kurang dari yang kamu perkirakan."

"Tentu." David memasuki ruangan kerja Sandara. Seperti biasa, pria itu mengenakan setelan gelap dengan kemeja licin dan dasi sutra biru, tas tangan di salah satu lengannya. Dia terlihat sangat rapi dan seperti biasanya, sedikit menyendiri, namun juga terkesan berbeda. Atau mungkin Sandaralah yang berbeda, karena ia hampir tidak sanggup mengalihkan pandangan dari David saat aroma Sakura Jepang pria itu menyerbu hidungnya.

Sandara bangkit dari kursi, senang karena ia memilih setelan merah ceri dengan blazer serta rok pendek ketat untuk hari pertamanya sebagai Kepala Divisi Personalia. Harus diakui, roknya memang agak pendek, dan ia melihat pandangan David beralih ke kaki telanjangnya sebelum mulut pria itu terkatup membentuk garis tanda tidak setuju yang samar namun familier.

Merasa sedikit nakal, Sandara menjulurkan salah satu

kaki ke arah David untuk diperiksa. "Oh, kamu suka sepatuku?" tanyanya, membelalakkan mata dengan gaya polos. Hari ini ia mengenakan sepatu tumit tinggi hitam yang serasi dengan tali-tali berkilauan. Biasanya ia tidak terlalu tergila-gila pada sepatu, tapi sepatu ini benar-benar sulit ditolak. Dan sangat serasi dengan setelannya.

David menatap kaki Sandara yang terjulur, terlihat sangat tidak terkesan. "Cantik sekali," katanya setelah sesaat. "Meski tidak bisa dibilang sepatu kerja."

"Baik," kata Sandara, tidak mampu melewatkan kesempatan untuk memancing David sedikit lagi, "bagaimanapun, aku harus menghidupkan setelan ini."

Sesaat David terlihat marah, dan Sandara bertanya-tanya apakah pria itu memang marah. Lalu David meliriknya, tersenyum, mata pria itu bersinar sewarna malam seperti yang dilihat Sandara kemarin malam, dan berkata, "Percayalah padaku, Sandara, busanamu tidak perlu dihidupkan lagi. Nah, bagaimana jika kita makan malam dan kamu menceritakan hari pertamamu?"

Sandara mengerjap kaget. Ia memang sudah menduga David akan memeriksanya karena ini hari pertamanya dalam posisi baru, tapi ini? "Makan malam?" ulangnya konyol, membuat senyum David melebar.

"Begitulah. Biasanya, sekitar pukul enam, orang-orang suka makan dan minum. Kamu tahu, untuk bertahan hidup sekaligus kebiasaan sosial."

Sandara tersenyum. la lupa akan selera humor sarkastis David. Dan, meski terkejut dengan ajakan itu, ia menyadari dirinya ingin makan malam bersama David. Ia penasaran dengan perubahan David selama ini, dan bahkan tentang urusan pribadi pria itu. Dan ada sesuatu tentang David, sesuatu yang anehnya berbeda-yang ingin ia pahami. Atau setidaknya ia selidiki. "Sebenarnya, aku memang kelaparan," katanya pada David sembari menggapai Tasnya. "Aku melewatkan makan siang. Jadi ya, kamu bisa mentraktirku makan malam."

David mengamati saat Sandara merapikan pakaiannya pas badan. David menyadari dirinya mengernyit, menyesali ajakannya yang impulsif. Ia bahkan tidak bermaksud singgah di ruang kerja Sabdar; ia sudah punya rencana malam ini, dan tadinya berniat langsung ke mobilnya. Tapi entah bagaimana ia berbelok, dan begitu melihat Sandara menjulurkan satu kakinya yang putih, mata wanita itu bersinar dengan tawa, seluruh tekad David langsung hancur.

Ia menghindari Sadara selama delapan tahun, gadis itu sudah hampir 25 tahun sekarang. Sandara berpengalaman, jika merujuk pada kolom-kolom gosip, dan tentu saja satu malam,sedikit godaan tidak akan membahayakan siapa pun. Ini hanya gatal yang perlu digaruk, kata David dalam hati. Ini tidak akan berlanjut pada apa pun. Tidak boleh. Ia bahkan tidak akan mencium Sandara.

Namun ia telah meraih Handphonenya, dengan cepat mengirimkan pesan singkat untuk membatalkan sisa rencananya malam ini. Ia menekan tombol untuk membuka kunci mobil, dan Sandara tersentak kaget.

"Kamu punya Ferrari?" Tanyanya,jelas dengan raut wajah terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status