Share

MATI LAMPU

David tidak ingin mengingat kejadian memalukan itu sedikit pun, namun ia tetap masih merasakan tusukan gairah kuat tersebut. Ketika Sandara mencondongkan tubuh ke depan, rambut gadis itu tergerai di wajahnya dan David mencium aroma sampo. Lavender.

Sandara menengadah menatap David lewat bulu mata, matanya menari geli. "Jujur saja,David, kamu benar-benar terlihat ketakutan! Kuyakinkan kamu, aku tidak seburuk yang kamu pikirkan."

Entah bagaimana David berhasil tersenyum. "Dan apa pun yang kuminta kamu lakukan-kurasa kamu ingin digaji untuk itu?"

Sejenak Sandara terlihat bingung dengan perkataan David, ekspresinya polos serta rapuh. Dengan tusukan rasa benci pada diri sendiri David kembali menyadari betapa belia dan tidak berpengalamannya Sandara-dalam segala hal. Lalu gadis itu tertawa, tawa dalam dan serak yang membuat David memasukkan tangannya semakin dalam ke saku, kernyit timbul di wajahnya. Sandara memiliki tawa wanita berpengalaman, tawa seksi serta sensual, dan tawa itu menimbulkan berbagai hal padanya. Sejak kapan Sandara mulai tertawa seperti itu? Sejak kapan dia mulai benar-benar tumbuh dewasa?

"Baiklah, ya, memang itu maksudku," kata Sandara, tersenyum dengan kejujuran polos yang menjengkelkan sekaligus memikat kesadaran David.

Jadi, David pun memberikan posisi itu pada Sandara, sebagaimana yang Sandara tahu pasti akan ia lakukan, kemudian ia menjaga jarak. Ia tidak berniat melibatkan diri dengan gadis polos seperti Sandara, terutama mempertimbangkan bagaimana keluarga mereka berhubungan. Dan ia berhasil... sampai sekarang. Sekarang, ketika ia melihat Sandara di ruang Aula ini, mengenakan setelan kerja krem dengan paduan syal di lehernya yang sangat pendek sehingga hampir memperlihatkan bokongnya ketika gadis itu membungkuk untuk memungut sampah dari lantai. David menatapnya, menyadari kaki putih Sandara, cara rok pendek itu membentuk lekuk-lekuk tubuh gadis itu.

la seharusnya menjauh sebelum Sandara melihatnya. Tuhan tahu ia pernah melakukan hal itu. Namun sesuatu memaksanya memasuki ruangan, dan ia berbicara. Tinggal. Melihat Sandara setelah sekian lama bagaikan menemukan air di padang pasir. Kehangatan serta keceriaan Sandara menggapainya, menyelubunginya, dan membuatnya menginginkan lebih banyak. Dan ia pun tinggal, bercanda dan menggoda, dan yang paling buruk serta membahayakan dari semuanya, ia menyinggung tentang bagaimana mereka hampir berciuman delapan tahun lalu. David tidak bisa memahami mengapa ia melakukan hal itu, ketika ia telah begitu senang karena tidak pernah lagi memikirkan hal itu, apalagi membicarakannya. Dan Sandara tentu merasakan hal yang sama... kecuali ia masih merasakan sisa-sisa cinta monyet itu? Pikiran itu seharusnya membuat David cemas, namun hal itu malah menimbulkan hal lain. Ia ingin kembali menyaksikan mata Emily menggelap menjadi cokelat tua dan melihat lidahnya menyapu mulut sensual itu.

Perasaan kesal kembali menyerbu diri David. Ia harus menguasai diri. Ini Sandara. Sandara. Gadis yang tidak cocok, tidak sesuai, dan tidak terjangkau. Titik.

"Anin Salsabiah," ulang Sandara, dan David bisa melihat gadis itu telah menemukan kembali ketenangannya. "Aku akan menantikan CV-nya-

"Sekretaris pribadiku telah mengirimkannya lewat e-mail padamu siang tadi."

"Begitu, ya.Aku akan mengeceknya nanti." Sandara melemparkan sekelebat tatapan penasaran lewat bulu matanya ke arah David dan kemudian berbalik. "Aku akan membuat catatan di CV itu."

"Bagus." David bertekad mempertahankan sisa percakapan mereka secara profesional, bahkan saat pandangannya tertuju pada gelung rambut hitam memesona Sandara yang terurai, sehelai rambut yang tergerai di lekuk payudaranya. Dengan susah payah ia mengalihkan pandangan, mulutnya membentuk garis muram, namun sesuatu masih memaksanya menambahkan, "Sebenarnya, aku belum pernah bertemu dengannya. Dia teman dari temanku, dan aku ingin membantunya. Dia sepertinya cocok untuk posisi pemula." Mengapa David menjelaskan dirinya sendiri? Itu benar-benar tidak perlu.

"Baiklah," kata Sandara tajam. "Akan kulihat apa yang bisa kulakukan."

"Bagus." David membalas nada tajam Sandara lalu memandang ruangan yang telah bersih itu sekali lagi. Ia masih harus membalas beberapa panggilan telepon dan beberapa e-mail serta menghadiri acara pencarian dana. Seluruhnya bagian dari urusan pribadi yang membuat Sandara begitu penasaran... dan yang tidak berniat untuk diberitahukannya pada gadis itu.

Sandara akan segera mengetahuinya, pikir David sembari mengerucutkan mulutnya dengan muram.

Bagus, David kembali terlihat muram, putus Sandara. Selama beberapa saat pria itu terlihat bagaikan orang yang sama sekali berbeda, dan pikiran itu membuatnya gelisah. Reaksinya sendiri membuat ia semakin gelisah, karena ketika David memelankan suara menjadi bisikan parau itu dan mengatakan bahwa pria itu kecewa...

Dengan cepat, Sandara menyingkirkan pikiran itu. Itu bukan hal yang perlu ia pikirkan. Sama sekali. Ia menatap ruangan kosong tersebut dengan puas, memastikan tatapannya tidak tertuju pada Sandara, kemudian memadamkan lampu.

Ia tidak menyadari hari telah gelap, senja perlahan menyelubungi kota, hingga ruangan tersebut mendadak gelap gulita ketika ia memadamkan lampu.

"Ups..." Sandara tertawa pelan saat berdiri di tengah kegelapan, menyadari bahwa ketiadaan cahaya membuat berbagai hal hampir terasa... intim. la bisa mendengar suara pelan napas David, dan ketika kembali meraba-raba mencari tombol lampu ia malah menyentuh dada David, otot-otot sekeras tembok yang menegang di bawah telapak tangannya. Ia tidak sadar David begitu dekat. Ia menarik tangannya secara spontan, meski sentuhan otot-otot sekeras tembok itu sepertinya tercetak di telapak tangannya. Hal terakhir yang ia inginkan adalah David menganggap ia melemparkan diri pada pria itu... lagi.

"Maaf," gumam Sandara, namun ia masih belum bergerak. Benak dan tubuhnya bagaikan membeku, hingga ia tidak sanggup berpikir atau bertindak. Tangannya menggelenyar. "Aku... aku hanya perlu menemukan tombol lampunya..." akhirnya ia berbicara dengan sedikit terbata-bata.

Kenapa David selalu bisa membuatnya menjadi gadis paling canggung?

"Di sini." David menggapai melewatinya dan menekan tombol lampu. Sandara langsung mundur lagi saat ruangan itu diterangi cahaya.

Ia merasa wajahnya memanas dan berwarna merah, yang tidak masuk akal karena tentu saja tidak ada yang perlu membuatnya malu. Anehnya, ia tetap merasa seperti yang ia rasakan delapantahun lalu, ketika ia menawarkan diri pada David dengan polos, hanya untuk ditolak.

Dan sekarang David kembali memelototinya, persis seperti waktu itu. Pria itu benar-benar terlihat marah. Sandara merasa sedikit jengkel dan perasaan itu membuatnya lega. Setidaknya itu hal yang biasa dan pernah ia rasakan sebelumnya. Ia kembali mundur selangkah. "Terima kasih," katanya tajam, menyelipkan rambut ke belakang telinganya. "Kurasa aku akan bertemu lagi denganmu jika kau tinggal di Jakarta untuk sementara waktu."

"Tentu saja." Wajah David tidak menunjukkan ekspresi apa pun namun tatapannya tertuju pada Sandara, tenang dan pasti. benar-benar tidak mengenalnya lagi, Sandara mengingatkan diri sendiri. Ia telah berubah dan jauh lebih berpengalaman sekarang daripada saat berusia enam belas tahun. Setidaknya, sedikit lebih berpengalaman. Dan mudah-mudahan tidak terlalu konyol.

"Aku yakin kamu punya banyak hal untuk dilakukan," kata Sandara dengan nada tajam serta dingin yang sama. "Dan aku harus pulang. Selamat malam, David." Tanpa menoleh ke belakang, ia bergegas melintasi lorong menuju ruang kerjanya yang aman, merasa aneh dan sangat kesal karena ia masih merasa gugup, hampir seperti gadis enam belas tahun yang berlari meninggalkan Aula pesta dengan berurai air mata dan rambut yang berantakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status