21+!!! "I love you to, Ed." Senyuman merekah dari bibir Edward, tidak ada yang lebih membahagiakan ketika Jenifer juga memiliki perasaan yang sama. Kedua tangan yang menggenggam jemari Jenifer beralih menangkup kedua pipi chubynya Jenifer, Edward langsung memagut bibir séksi Jenifer dengan sangat lembut. Walaupun agak sedikit kaku, Jenifer membalas ciumannya tanpa ragu. Edward dapat merasakan Jenifer kurang berpengalaman, terasa dari ciuman Jenifer yang kaku dan tidak natural. Dengan telaten ia membimbing lidah Jenifer untuk menari bersama dan saling bertukar saliva. Setelah sama-sama kehabisan napas, Edward melepaskan tautan bibir mereka. Napas mereka terengah, Edward menyatukan dahi mereka. Kedua hidung mancung mereka bersentuhan, berakhir dengan senyuman yang mengembang di bibir mereka berdua. Edward meraih dua gelas yang berisikan wine favoritnya, ia lalu membimbing Jenifer untuk berpindah ke bangku panjang yang ada di salah satu sudut ruangan. Setelah mereka duduk, Edward mera
"Belum selesai?" Jenifer menyembulkan kepalanya dari balik pintu ketika baru saja menerima pesan dari Edward untuk menyusulnya di kantor pusat Williams corp. "Tunggu sebentar, tinggal sedikit lagi." Edward masih sibuk membaca setumpuk dokumen yang ada di meja kerjanya. "Santai saja Ed, aku akan menunggumu." Jenifer memijit lembut pelipisnya Edward. "Jangan tergesa-gesa, teliti dulu dengan baik baru kau tanda tangani." "Terimakasih, sayang." Edward mengelus punggung tangan Jenifer lalu melanjutkan kembali untuk membaca beberapa dokumen yang ada di hadapannya. Setelah kurang lebih setengah jam, Edward sudah menyelesaikan semua pekerjaanya. Ia tersenyum ketika melihat Jenifer yang sedang tertidur pulas di atas sofa. Edward berjalan mendekati Jenifer lalu menundukkan kepalanya. Edward mencium singkat bibir Jenifer yang setengah terbuka. "Engkhhhhh Ed, sudah selesai?" Dengan mata yang setengah menyipit Je
"Ed, sudah siang, kau harus ke kantor." Edward masih memeluk erat Jenifer sambil memejamkan matanya. "Aku tidak ingin ke kantor hari ini." "Baiklah, sebaiknya kau tidur lagi, aku ingin cuci muka lalu membuat sarapan untukmu." "Jangan sayang, temani aku tidur, sebentar saja." "Hmmm kau ini, seperti anak kecil yang merengek kepada ibunya." "Nyatanya, aku seperti anakmu, sayang, semalaman kau menyusuiku." Edward mulai meraba payudàra Jenifer dari balik piyamanya. "Mulai lagi." Jenifer bangkit meninggalkan Edward yang mulai melancarkan aksi mésumnya. "Jeny sayang." Edward menyusul Jenifer lalu memeluknya dari belakang. "Kenapa Ed, bukankah tadi kau bilang, ingin tidur lagi, hum?" "Aku ingin tidur ditemani olehmu, sayang." Edward mulai mengendus tengkuk Jenifer dari belakang. Jenifer yang sedang menggosok giginya hanya bisa menah
"Mantan?" Edward menoleh kepada Cecil. "Ya, dia mantan dari suamiku." Cecil tersenyum mengejek. "Jen, dia mantan kamu?" "Permisi, aku lelah, aku ingin pulang." Jenifer berlari keluar dari pesta disusul oleh Edward. "Jen, Jeny, tunggu." Edward mengejar Jenifer yang lari menjauhinya. "Sayang, ada apa denganmu, hum?" Edward memeluk Jenifer dari belakang setelah berhasil mengejarnya. "Aku ingin pulang, Ed. Pleaseee." Mata Jenifer mulai berkaca- kaca. "Baiklah, aku juga ingin pulang." Edward menggenggam erat tangan Jenifer. "Ayo kita pulang." Edward membuka pintu mobil untuk Jenifer. "Aku ingin pulang ke apartemenku." "Hah?" Edward terkejut dengan permintaan Jenifer, biasanya Jenifer selalu mengikuti Edward, yang memintanya untuk tidur di apartemennya. "Oke, ayo kita pulang ke apartemenmu." Edward menyetujui permintaan Jen
Texas, tujuh tahun lalu. "Saudara Anthony Gonzalez, bersediakah kamu, menjadikan saudari Jenifer Watson sebagai istrimu untuk saling memiliki dan menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya, pada waktu susah maupun senang, pada waktu kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit untuk saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan." "Ya, saya bersedia." "Saudari Jenifer Watson-------------" "Ya, saya bersedia." "May the groom to kiss the bride." Suara riuh tepuk tangan, menggema di gereja. Pesta pernikahan telah berakhir, Jenifer dan Anthony adalah teman bermain sejak kecil, mereka hidup bertetangga. Kedua belah pihak orang tua mereka bersahabat baik dan sangat dekat. Jenifer sudah menyukai Anthony sejak kecil, Anthony dengan garis keturunan dari Spanyol tumbuh menjadi pemuda yang tampan, rambut hitam legam, rahang yang tegas, m
21+!!! Sudah satu minggu, sejak pertemuan dengan Anthony di pesta, Jenifer menjadi pribadi yang pendiam dan murung, bahkan ia mulai jarang mengunjungi Edward di jam istirahatnya, biasanya ia rajin berkunjung terutama ketika jadwal Edward sangat padat, ia akan datang membawa makan siang dan kopi kesukaanya Edward. Jenifer akan memberikan perhatian kecil seperti memijat kepala atau menerima tuntutan Edward untuk bermanja-manja di sela jam istirahat. Edward butuh mendinginkan otaknya di kala ia benar-benar sibuk. Ia adalah orang yang workaholic dan sangat disiplin dalam bekerja. Selama ia mengenal Jenifer, Jenifer'lah tempat merefresh pikirannya. Edward mendesah kesal karena Jenifer tidak kunjung datang atau menelpon duluan, menanyakan khabarnya. Ketika jam kantor usaipun Edward bertambah kesal karena Jenifer selalu termenung ketika ia menjemputnya, terlebih lagi bagaimana ia bisa bermanja tidur di pangkuaanya jika mood Jenif
21+!!! Edward membaringkan Jenifer di atas ranjang, ia melumat bibir Jenifer dengan lembut. Bibirnya turun, menyusuri dagu Jenifer, bagaikan seorang vampir, Edward menghisap leher Jenifer meninggalkan beberapa tanda kissmark. "Engkhhhh." Lenguhan keluar dari bibir Jenifer ketika Edward mulai mengulum pucuk dada Jenifer, bulatan yang berwarna soft pink itu Edward mainkan dengan bibir dan lidahnya, sebelah tangannya tidak tinggal diam, meremas dan memijat buah dada yang ukurannya sangat di sukai oleh sebagian besar laki-laki. "Edddd." Jenifer memekik saat Edward sedikit menggigit pucuk dadanya. Edward hanya terkekeh pelan, melihat Jenifer memejamkan matanya dengan mulut yang terbuka. Puas bermain-main dengan kedua benda kenyal tersebut, Edward menggerakkan bibirnya mencium perut J
"Sini." Edward melambaikan tangan kepada Jenifer, menepuk sofa panjang yang sedang di dudukinya.Mereka benar-benar dimanjakan oleh pelayanan hotel. Pantas saja di sebut presidental suit, segala di dalam kamar ini terlihat sempurna dan sangat memanjakan penghuninya, bagaikan seorang raja.Jenifer melihat Edward hanya mengenakan kimono handuk, bulu- bulu di dagunya yang tidak di cukur terlihat manly, rambut coklatnya masih setengah basah. Edward tersenyum manis kepada Jenifer, setiap detik, rasa cinta Jenifer kepadanya semakin bertambah dalam. Edward tidak hanya tampan, sikap manisnya tidak pernah ia dapatkan dari Anthony maupun Gustav, dua mantan yang menyebalkan, memandang rendah dirinya karena berat badan berlebih. Kebalikan dari sikap Edward yang selalu menyanjungnya, bahkan Edward sangat memanjakannya dengan menyentuhnya tanpa rasa ji
Tiga tahun kemudian."Edric, kembalikan bando, Kakak!" pekik Jasmine yang kesal karena Edric mengambil bando warna merah muda miliknya.Edric hanya tersenyum tipis lalu berlari menuruni tangga."Edric, berhenti!" Jasmine mengejar Edric yang sudah naik ke atas sofa.Jennifer hanya menggeleng melihat Jasmine dan Edric dari dapur. Ia sedang memeriksa para pelayan yang sedang menyiapkan makan malam. Sebentar lagi Edward pulang dari kantor dan Jennifer hanya memastikan makanan yang akan disantap oleh anggota keluarganya. Menyiapkan makan malamnya Edward masih menjadi rutinitas kesehariannya Jennifer. Ia tidak ingin Edward hanya menyantap sedikit makanannya karena tidak cocok dengan lidahnya. Edward masih tetap pemilih soal makanan. Dan Jennifer dengan senang hati memperhatikan kebutuhan perut suaminya saat di rumah."Eric, cucumu yang satu itu sangat berbeda." Cassandra dan Eric menatap keempat cucunya dari lantai dua. Mereka akan turun ke bawah menjelang kepulangan Edward dari kantor untuk
Edward merasa ingin meledak karena setelah tujuh bulan berlalu kejantanannya bisa merasakan hangatnya kewanitaan Jennifer. Pijatan lembut yang berasal dari dinding kewanitaannya Jennifer itu membuat Edward melayang."Ed," begitu pula dengan Jennifer. Ia bersorak dalam hatinya karena rasa rindu akan kehangatan sentuhan Edward terlampiaskan sudah. Rasanya nikmat dan raganya seperti melayang."I love you, Jen." Napas Edward mulai memburu. Nafsunya menggelora. Dengan pelan ia menggerakkan pinggulnya ke depan dan belakang. Gerakan lambat yang lamat-lamat menimbulkan sensasi aneh tapi memabukkan. Hampir saja Edward kelepasan dan ingin menghujam kewanitaannya Jennifer dengan keras dan cepat.'Hah, hampir saja. Maafkan Daddy, sons." Edward kembali ke mode awal. Melakukannya dengan halus dan penuh ke hati-hatian. Besarnya cinta kepada istri dan anak-anaknya meampu membuat Edward yang maniak seks bisa mengontrol nafsu yang sering membakar jiwanya."Ed, terus, lebih dalam." rancu Jennifer sambil
Jennifer tengkurap dengan Edward yang berada di atasnya. Tubuh kekar itu menindih tubuh Jennifer. Napas mereka terengah-engah dan tubuh mereka basah dengan keringat. Edward benar-benar merealisasikan ucapannya tadi. Perjalanan panjang dari kota New York tidak menjadikan stamina Edward berkurang. Laki-laki itu seperti tidak mengenal kata lelah. Memasuki kewanitaan Jennifer dari depan dan belakang dalam berbagai gaya."Ed, berat." keluh Jennifer."Hehehe, maaf," Edward mengecup punggung polos Jennifer lalu berguling di sampingnya. Ia menengadah ke atas menatap langit-langit gazebo. Rasa puas membuat wajahnya berseri-seri. Mereka sudah empat tahun menikah. Tapi Edward merasa masih bergelora saat bercinta dengan Jennifer. Tidak merasa bosan dan semakin mencintai wanita itu.Edward teringat dengan ucapan Cassandra. Ibunya mengatakan jika benar-benar mencintai seseorang. Tidak akan membuat kita berpaling, semakin lama semakin besar cintanya untuk seseorang yang dicintainya. Dan Edward meras
"Puaskan aku, Jen." Edward melepas kimono handuknya Jennifer."Aku ….""Kalau begitu, biarkan aku yang akan memuaskanmu." Edward menarik tangannya Jennifer lalu mendorong tubuhnya ke atas ranjang."Jangan membuatku tersiksa dengan menolakku." Edward membuka kancing kemejanya lalu melucuti satu-persatu baju yang menempel di tubuhnya.Jujur saja Jennifer merasa tergoda oleh tubuh polos Edward yang begitu memanjakan matanya. Dada bidang, lengat berotot dan bisepnya yang mempunyai lekukan beberapa ruas. Suami tampannya itu rajin gym dan menjaga pola makannya sehingga seiring bertambahnya umur, Edward semakin memesona."Kau tidak tergoda dengan ini?" Edward sedikit narsis sambil menyentuh otot-otot di perutnya."Atau … kau sudah bosan dengan ini?" Edward yang berdiri menjulang di hadapan Jennifer sengaja menggerak-gerakkan kejantanannya yang sudah tegak mengacung.Jennifer yang berada di atas ranjang, hanya mampu menggigit bibir bawahnya dengan wajah yang sudah memerah. Bohong jika dirinya
Mereka memang sepakat untuk tidak melakukan USG untuk mengetahui jenis gender bayi. Edward dan Jennifer ingin jenis kelamin bayinya menjadi kejutan karena bayi mereka adalah cucu pertama dari keluarga Williams dan Watson. Edward yang merupakan anak tunggal dan kakak laki-laki nya Jennifer yang belum menikah.Suster jaga yang berada di ruangan itu pun menggeleng sambil tersenyum mendengar perdebatan suami istri itu. "Pasti mirip denganmu, Ed." "Oh, ya?" Senyum Edward mengembang. "Ya, karena saat mengandung aku sangat terobsesi padamu." "Benarkah?" Mata Edward berbinar karena tersanjung. "Ya, aku … aduh, Ed, panggil dokter ke mari. Rasanya sakit sekali." Jennifer mencengkram tangan Edward karena rasa sakit yang berlebih itu tiba-tiba datang. "Suster, istri saya." "Sebentar saya periksa dulu, Tuan." Sebelum memeriksa Jennifer, suster itu menghubungi Dokter terlebih dahulu." "Sepertinya sudah siap dan saat ini adalah waktu yang tepat." Suster itu menyiapkan alat-alat bantu melahirk
Jessica tidak menyangka jika hari di mana ia meminta izin mengunjungi Alex akan berakhir seperti ini. Bukan benihnya Alex, tapi benih laki-laki yang tidak dikenalnya. Jessica yang merasa bersalah karena menyebabkan Alex harus mendekam di penjara selama sepuluh tahun. Karena rasa bersalah, ia mencari hiburan dengan minum-minum di klub. Dirinya yang mabuk berat tidak sadar telah dibawa seseorang ke hotel dan berakhir bercinta dengan laki-laki yang tidak dikenal itu. Ia bahkan sudah lupa akan kejadian itu. Tapi kini benih tersebut sudah menjadi nyawa baru di rahimnya.'Bagaimana ini? Aku hamil, bagaimana kalau Alex tahu aku hamil anak laki-laki lain?'***Dua bulan kemudian."Ed," Jennifer sudah muncul di kantornya Edward. Padahal mereka baru saja bepisah selama dua jam."Sayang," Edward hanya bisa menghela napasnya saat Jennifer datang ke kantor hanya menggunakan daster tidur dan sandal rumahan. Tanpa make up dan rambutnya acak-acakan. "Kau tidak menyukai kehadiranku?" mata Jennifer
"Jen, bertahanlah." Edward langsung mengambil pakaian di lemari lalu mengenakannya. Ia lalu membantu Jennifer mengenakan piyama handuk untuk mempercepat waktu.Jantung Edward berdebar saat Jennifer pingsan dalam gendongannya. Ia berteriak saat melihat beberapa orang sedang berdiri di depan lift apartemennya."Minggir, minggir, istriku pingsan dan kami butuh lift secepatnya."Beruntung beberapa orang itu mengerti dengan keadaan gawat yang sedang dialami oleh Edward dan Jennifer."Terima kasih," ucap Edward saat seseorang menekan tombol open untuknya."Sayang, jangan tidur. Bangunlah, Jen." Edward menjejakkan kakinya beberapa kali. Waktu terasa sangat lambat agar lift yang mereka tumpangi sampai ke lantai dasar.Beruntung mobil Edward terparkir persis di depan pintu lift, sehingga ia tidak usah berjalan jauh untuk mencarinya."Sayang, bertahanlah." Edward membaringkan Jennifer di jok belakang mobilnya. Ia tidak menghubungi sopir pribadinya karena akan memakan waktu lebih lama jika menun
"Itu tidak ada hubungannya, kita berdua sudah periksa ke dokter ahli kandungan dan hasilnya kita sehat-sehat saja. Rahimmu bagus, sel telurmu dan spermaku juga normal.""Tapi kenapa aku belum hamil juga." Jennifer menggigit bibirnya.Edward sangat gemas. Ingin ia menjelaskan dengan suara yang lebih lantang tapi takut membuat Jennifer semakin sedih."Anggap saja, Tuhan ingin kita mempunyai banyak waktu untuk bermesraan. Sebelum menikah kau tidak mengizinkanku untuk menyentuhmu. Aku sangat tersiksa selama hampir setahun lamanya. Mungkin ini balasan dari Tuhan agar aku bisa memanjakan nafsuku untuk menyalurkannya padamu, Sayang.""Tapi ….""Mari manfaatkan waktu yang ada agar hubungan kita semakin erat. Setelah kita punya anak nanti, pasti aku tidak bisa menguasaimu sepenuhnya. Kasih sayangmu akan terbagi. Dan pasti mereka berdua menjadi milik anak kita." Edward mencubit puncak dadanya Jennifer yang hanya tertutup oleh selimut."Ed, jangan mulai.""Aku serius, Jen. Aku yakin kau pasti in
"Tunggu, aku panggil, Dokter." Jennifer ingin memencet tombol yang berada di atas ranjangnya Edward."Tidak perlu, Jen. Hanya sedikit sakit.""Tapi aku khawatir lukamu akan memburuk.""Tidak, Sayang. Hanya tersenggol tanganmu dan sedikit nyeri. Itu saja.""Tapi," wajah Jennifer terlihat khawatir."Cium aku.""Apa?""Aku tidak perlu Dokter, cium saja aku untuk meredakan rasa nyeri di perutku."Jennifer tersenyum lalu dengan senang hati melumat bibir Edward dengan sepenuh hati. "Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu, Ed. Jangan pernah tinggalkan aku." ucap Jennifer tulus."Aku menagih janjimu, Jen.""Janji yang mana?" "Kau bilang akan mengabulkan apapun permintaanku padamu.""Oh itu," pipi Jennifer bersemu merah. "Kau belum mengiyakan permintaanku." Jennifer balik menagih."Yang mana?""Ed ….""Hahaha, aduh, aduh." Edward memegang perutnya. Karena tertawa membuat jahitan di perut Edward bergerak dan itu menimbulkan rasa nyeri."Ed, kau baik-baik saja?""Aku baik-baik saja, Say