Kesalahan kakak laki-lakinya karena menyakiti dan mempermainkan adik Samudra, membuat Naya harus berada diposisi sulit. Banyak hal yang harus Naya relakan termasuk meninggalkan kekasihnya. "Kakakmu itu tidak hanya merenggut kehormatan adik saya, dia juga sudah menyakiti hati keduanya." Tragedi itu terjadi karena sebuah balas dendam. Nyawa dibalas dengan nyawa, mata dibalas dengan mata—katanya. "Kak Nathan sudah menikah, aku memutuskan untuk tidak menikah seumur hidup, dan... apa ... menikah—" Naya memberanikan diri untuk mendongak menatap tepat di manik mata lelaki itu. "Kenapa? Supaya dokter Sam lebi mudah menghancurkan hidupku?" lanjutnya. Wajah Samudra berubah mengeras setelah mendengar perkataan Naya, menatap Naya dengan kilat marah. "Iya! Jika kamu menikah dengan saya, saya akan lebih mudah untuk membunuhmu dengan perlahan-lahan!" Tidak! Naya tidak ingin menikah dengan laki-laki yang jelas-jelas sudah menghancurkan hidupnya. Namun, takdir tidak selalu menuruti apa yang kita inginkan. Pernikahan itu terjadi—tanpa cinta, bahkan restu dari beberapa orang. ***
Lihat lebih banyakNaya datang ke klub untuk menghadiri acara ulang tahun temannya. Tadinya Naya tidak berniat datang, namun salah satu temannya terus membujuk. Bahkan temannya itu merengek, mengatakan jika Naya sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya, banyak yang merindukannya. Mengingat sudah sekitar tiga tahun Naya meninggalkan kota ini. Lagipula, ini acara pertemuan dikhususkan untuk Naya, ulang tahun Stevani hanyalah kedok semata. Naya adalah bintang utamanya malam itu. "Masih tidak bisa minum?" tanya salah seorang lelaki yang langsung duduk di samping Naya, menyodorkan segelas minuman alkohol tepat di depan wajah Naya. Naya menggeleng, menampilkan senyum kecil, menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. "Oh! Come on, Nay!" Lelaki itu mendesah kecewa. "Sorry...." cicit Naya. Lelaki itu mengangkat bahunya acuh, memberikan segelas minuman yang dibawanya kepada salah satu temannya yang juga duduk di meja itu. "Tadinya kita mau main Thurt O
Naya menundukkan wajahnya dalam, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan, kedua tangannya saling menggenggam erat."Diminum dulu," seorang perempuan memakai jas dokter membawakan segelas air hangat untuk Naya.Naya menerimannya, dan dengan segera meneguknya. "Te—terima kasih...."Perempuan di sebelahnya mengangguk. "Kami belum bisa menghubungi keluarganya, karena gadis itu tidak membawa dompet, atau handphone sama sekali, kita juga belum mengetahui identitasnya. Kita akan menunggu gadis itu siuman"Naya mengangguk, kembali meneguk air hangat yang tadi diberikan kepadanya, walaupun tidak terlalu berpengaruh untuk meredakan perasaan ketakutannya."Hey... tenanglah," ucap si dokter menggenggam tangan Naya lembut."A—aku... aku ingin peluk..." Perempuan itu segera membawa Naya ke dalam dekapannya, mengusap punggung Naya lembut berharap ketakutannya sedikit mereda."Apa dia akan baik? Dia—""Kamu coba tenangkan diri kamu dulu, ya...."Naya mengangguk dalam dekapann
"Kenapa Nenek ngga minta gue buat jadi suami lo ya, Rai?" dumel Widi di sela menikmati makanannya. Membuat beberapa orang di meja makan terkekeh mendengar ucapan lelaki itu kecuali—Samudra. "Nenek mau cucu menantu seorang dokter bukan artis seperti kamu, Wid!" jawab Didi asal yang semakin membuat Widi mendengus sebal. "Padahal aku lebih keren dari Samudra," ucap Widi sembari menyisir rambutnya sok keren. "Ih! Jijik!" Raina memandang Widi dengan geli, melempar kue sus yang sudah dibungkus rapih ke arah Widi, makanan itu beruntungnya bisa dengan sigap Widi tangkap. "Rai, ngga baik lempar-lempar makanan!" kata Eni memperingati. Widi menjulurkan lidahnya meledek Raina yang kena omel Tantenya. "Maaf, hehehe...." Raina terkekeh pelan. "Jadi kapan, kalian menikah?" tanya Widi menatap Samudra dan Raina bergantian. "Kita mau tunggu rumah kita bisa ditempati seratus persen, rencana kita kan setelah menikah mau langsung tinggal di Bandung." Raina menjelaskan, kedua tangannya sibuk member
Samudra menghembuskan napanya kasar, lelaki itu tidak sedang dalam kondisi baik, memukul samsak boxing dengan membabi buta, meluapkan segala emosi yang mengganjal di dalam hatinya. "Bang Sam...." Seorang perempuan memanggilnya, membuat atensi Samudra teralihkan, memandang perempuan yang memanggilnya sambil tersenyum lebar. "Iya? Ada apa, Sya?" Disya yang sedari tadi menyembulkan kepalanya dibalik pintu masuk, ikut menampilkan senyumnya, memperlihatkan sebuah nampan yang terdapat segelas minuman dingin untuk Abangnya. "Boleh Disya masuk?" Samudra tentu saja mengangguk, menghampiri Disya dan mengambil alih nampan yang masih dipegang oleh adiknya, mengajak Disya untuk duduk di salah satu sofa yang memang ada di ruangan itu. "Terima kasih," kata Samudra yang langsung meneguk minuman itu hingga habis setengahnya. Disya mengangguk sebagai balasan. "Abang lagi ada masalah ya, hm?" tanya Disya yang membuat Samudra mengernyitkan dahinya bingung. "Kata Mamah Gina, kalau Abang lagi ada ma
Menatap beberapa lelaki remaja yang sedang asyik bertanding basket, sesekali gelak tawa juga sorak kemenangan terdengar dari mereka saat salah satu rekan timnya berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. "Ayo sayang, semangat!" teriak remaja perempuan yang sedang duduk di bangku penonton, mengangkat kepalan tangannya ke udara menyemangati kekasihnya yang sudah pasti lelaki yang baru saja beberapa detik lalu memasukkan bola basket ke dalam ring. Si lelaki menatap kekasihnya, memberikan flying kiss, seketika sorak ricuh terdengar dari teman-teman mereka. Bukan pertandingan basket serius sepertinya, hanya beberapa remaja sekitaran perumahan yang sedang bertanding, dan hadiahnya mungkin hanya yang kalah mentraktir yang menang, atau yang lainnya... Naya tidak tahu persis. Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya, menunduk menatap sandal yang dipakainya, dan kembali menyusuri jalanan komplek perumahan. Kurang lebih tiga tahun Naya meninggalkan rumahnya, hari ini ia memutuskan untu
Naya mengusap air mata di kedua pipinya dengan kasar, menarik selimut dengan tujuan untuk menutup foto polaroid yang bertebaran di atas kasur, turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja rias, mengambil bedak lalu memakaikan di wajahnya. "Nay, buka pintunya dulu, sayang." Naya menatap ke arah pintu kamarnya yang sedari tadi diketuk. Menatap cermin, lalu meletakkan kembali bedak yang baru saja ia gunakan. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sebelum membuka pintu kamarnya. Maya, dan Nathan. "Kenapa?" Nathan langsung menatapnya dengan tatapan sendu. "Bilang sama Kakak, kalau kamu cuman bercanda, Nay..." Nathan mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Naya. "Aku nggak bercanda," kata Naya tegas, menepis tangan Nathan. Nathan menggeleng, kedua matanya kembali berkaca-kaca. "Bilang sama Kakak, kalau Kakak ada salah sama Nay. Kakak ngelakuin kesalahan yang bikin kamu marah, hm?" "Kakak nggak salah, aku aja yang udah bosen." Nathan terperangah, begit
"Aku lebih milih wedding venue indoor, Kak! Coba bayangin kalau kita pilih wedding venue outdoor, tiba-tiba hujan deres gimana? Nggak mungkin kan kita nyari pawang hujan?" Nathan tidak mampu menahan gelak tawanya mendengar perkataan calon istrinya saat itu. Berbeda dengan Nathan, Naya memasang wajah serius, dengan sengaja perempuan itu memukul lengan berotot calon suaminya. "Aku serius, Kak! Kok malah ketawa sih?!" Naya memanyunkan bibirnya. "Hahaha... iya-iya kita nikahnya indoor aja," ucap Nathan masih tidak berhenti untuk tertawa, beruntungnya kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Naya mengagguk pelan. Tangan kanan Nathan bergerak untuk mengelus rambut perempuan yang duduk di sampingnya dengan lembut. "Nanti, kamu ngga bakalan berubah pikiran lagi, nih?" Naya menatap Nathan lalu menggelengkan kepalanya. "Ini keputusan aku yang terakhir, aku.... janji," kata Naya dengan nada suara sangat pelan diakhir kalimatnya, seolah dirinya juga tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya beberap
"Aku lebih milih wedding venue indoor, Kak! Coba bayangin kalau kita pilih wedding venue outdoor, tiba-tiba hujan deres gimana? Nggak mungkin kan kita nyari pawang hujan?" Nathan tidak mampu menahan gelak tawanya mendengar perkataan calon istrinya saat itu. Berbeda dengan Nathan, Naya memasang wajah serius, dengan sengaja perempuan itu memukul lengan berotot calon suaminya. "Aku serius, Kak! Kok malah ketawa sih?!" Naya memanyunkan bibirnya. "Hahaha... iya-iya kita nikahnya indoor aja," ucap Nathan masih tidak berhenti untuk tertawa, beruntungnya kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Naya mengagguk pelan. Tangan kanan Nathan bergerak untuk mengelus rambut perempuan yang duduk di sampingnya dengan lembut. "Nanti, kamu ngga bakalan berubah pikiran lagi, nih?" Naya menatap Nathan lalu menggelengkan kepalanya. "Ini keputusan aku yang terakhir, aku.... janji," kata Naya dengan nada suara sangat pelan diakhir kalimatnya, seolah dirinya juga tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya beberap
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen