Naya mengusap air mata di kedua pipinya dengan kasar, menarik selimut dengan tujuan untuk menutup foto polaroid yang bertebaran di atas kasur, turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja rias, mengambil bedak lalu memakaikan di wajahnya.
"Nay, buka pintunya dulu, sayang." Naya menatap ke arah pintu kamarnya yang sedari tadi diketuk. Menatap cermin, lalu meletakkan kembali bedak yang baru saja ia gunakan. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sebelum membuka pintu kamarnya. Maya, dan Nathan. "Kenapa?" Nathan langsung menatapnya dengan tatapan sendu. "Bilang sama Kakak, kalau kamu cuman bercanda, Nay..." Nathan mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Naya. "Aku nggak bercanda," kata Naya tegas, menepis tangan Nathan. Nathan menggeleng, kedua matanya kembali berkaca-kaca. "Bilang sama Kakak, kalau Kakak ada salah sama Nay. Kakak ngelakuin kesalahan yang bikin kamu marah, hm?" "Kakak nggak salah, aku aja yang udah bosen." Nathan terperangah, begitu pula dengan Maya yang sedari tadi hanya diam menyimak obrolan keduanya. "Hal biasa jika dalam hubungan seperti ini ada yang bosan, Nay... " Nathan mengulas senyum kecil di bibirnya. "Wajar... Kakak akan memaklumi—" "Tidak! Aku tidak ingin menikah dengan Kak Nathan." "Nay...." Maya menatap putri bungsunya dengan kening mengkerut, tidak setuju dengan perkataan putrinya. "Mah, lebih baik kita tidak melanjutkan hubungan ini. Daripada pernikahan kita hancur nantinya." Nathan memejamkan mata, lelaki itu sudah meneteskan air matanya kali ini. Tiba-tiba sekali, Naya memutuskan hubungan mereka secara sepihak lewat salah satu aplikasi chatting. Itulah kenapa lelaki itu berada di rumah Naya saat itu. Berharap itu hanyalah sebuah prank, tapi Naya mengatakan jika dia sungguh-sungguh dengan itu. "Nay—" "Kak!" teriak Naya memotong cepat perkataan Nathan, kedua matanya menatap manik mata lelaki di depannya. "Keputusanku sudah final! Ini demi kebaikan kita berdua," lanjutnya. Kali ini, suaranya lebih rendah saat mengatakan kalimat itu. "Nay, kamu sedang lelah, pikiranmu pasti sedang kacau. Tidak papa, tenangkan diri kamu dulu, baru setelah itu kita bicara tentang ini lagi," ujar Maya mengusap pucuk kepala Naya dengan lembut. Keluarganya memang tidak sedang baik-baik saja belakangan ini karena perceraian Disya dan Devan, jadi Maya yakin Naya berpikir untuk mengakhiri hubungannya dengan Nathan karena pikiran putrinya juga sedang kacau. "Mah, aku serius." "Nay mau makan, lapar..." Naya berucap sambil berjalan meninggalkan Nathan dan Maya yang masih berdiri di depan pintu kamarnya. Berjalan menuruni tangga untuk menuju ke ruang makan. "Nay." "Nay." Panggilan dari Nathan, Naya abaikan begitu saja, menulikan telinganya. "Naya!" Saat kaki Naya sudah berada di anak tangga paling akhir, Nathan berhasil menarik pergelangan tangan kanannya, membuat Naya kini berhadapan dengan lelaki itu. "Bosan?" tanya Nathan dengan mata yang sudah memerah karena menangis. "Beri Kakak satu alasan yang pasti selain kata bosan!" tegasnya. "Aku tidak mencintai Kakak lagi," jawab Naya, menatap kedua manik mata Nathan dengan yakin. Hubungan mereka berakhir begitu saja. "Kenapa harus kembali ke Lampung?" Lagi, Naya kembali tersadar dari lamunannya—mengingat hari di mana hubungannya dengan Nathan berakhir, karena Devan sudah berjalan menghampirinya yang sedang duduk di atas bean bag. Naya semakin menarik syal berwarna abu dengan corak bunga berwarna pink itu untuk semakin menghangatkan tubuhnya, menatap Devan yang juga sudah duduk di sampingnya. "... hanya ingin," jawab Naya seadanya. Devan menatap adiknya lekat. "Are you oke?" Naya memutar bola matanya malas, kalau dihitung-hitung rasanya sudah puluhan kali seseorang menanyakan hal yang sama seperti itu. "Aku malas jawabnya. Abang tahu, Abang adalah orang yang ke seribu yang nanyain keadaan aku," jawab Naya yang sebenarnya melebih-lebihkan ucapannya. Devan masih diam menatap adiknya, mengulurkan tangan untuk mengusap pucuk kepala Naya. Naya tersenyum lebar. "Aku baik, Bang. Ini pilihan hidupku, lihat Kak Nathan sekararang, dia juga bahagia sama Zara. Kita memang nggak berjodoh...." Naya mendekatkan tubuhnya dengan Devan, melingkarkan kedua tangannya di pinggang Devan, lalu menyenderkan kepala di dada lelaki itu. Membalas pelukan Naya, mengecup pelan bagian atas kepala adiknya sayang. "Padahal Abang setuju banget kalau kamu sama Nathan, bukan hanya Abang, tapi Mamah, Papah, bahkan seluruh keluarga besar sangat setuju...." Kedua keluarga besar yang sudah saling mengenal, dan teman-teman keduanya sangat menyayangkan dengan berakhirnya hubungan mereka. "Namanya juga belum jodoh, Bang." Keheningan menyelimuti keduanya. Udara malam kali ini terasa dingin, rembulan penuh juga terlukis di langit gelap ditemani bintang-bintang yang berkerlap-kerlip. "Masuk dan segera tidur, ini sudah malam, di luar juga sangat dingin," kata Devan setelah cukup lama terdiam. Naya melepaskan pelukannya, mendongak menatap wajah Devan lalu menyungginkan senyum geli. "Sekarang Abang perhatian banget sama Nay? Trus biasanya kalau ngobrol sama Nay, selalu manggil diri Abang dengan embel-embel saya, kok jadi tiba-tiba kaya gini?" "Kamu adik Abang, Nay." "Yang bilang kita rekan kerja siapa emang?" cibir Naya. "...." Naya tertawa geli sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ditinggalin Disya berpengaruh besar banget ya buat Abang?" "Ada banyak hal yang harus kita syukuri keberadaanya, sebelum pergi, dan pada akhirnya kita menyesal karena terlambat menyadari bahwa hal itu berharga, sekecil apa pun." "Harusnya Abang menikahi Disya bukan karena mau balas dendam—" Naya menghentikan ucapanya karena Devan menatapnya seolah tidak terima dengan apa yang dikatakannya. "Apa ucapanku salah?" tanya Naya lagi. "Kata-katamu terlalu kasar—balas dendam? Apa tidak ada kalimat yang lebih halus dari itu?" Naya memutar bola matanya jengah. "Tidak! Abang tuh yang dari awal salah, harusnya Abang nggak usah nikahin Disya kalau niatnya cuman balas dendam. Dan, harusnya kalau Abang mau balas dendam ke Mba Naisya aja langsung jangan Disya yang nggak tahu apa-apa malah dijadiin korban. Harusnya Abang bersyukur punya istri kaya Disya, ini bisa-bisanya selingkuh sama orang yang udah ninggalin Abang—" Naya memejamkan matanya, membuang napas kasar, dengan tujuan meredakan emosinya. Entah kenapa, emosi Naya selalu meluap-luap jika sedang membahas masalah kebodohan Devan yang satu ini. "Sudahlah, berhenti membahas masalah ini," lanjut Naya. Keheningan kembali tercipta di antara keduanya. Sebenarnya membahas masalah ini membuat Naya kembali mengingat kejadian mengerikan tiga tahun silam yang terjadi kepadanya. Kehilangan kesuciannya, kehilangan Nathan, dan banyak hal, banyak impian yang harus dikubur dalam-dalam karena kejadian itu. Samudra merenggut semuanya dari Naya. "Nasi sudah menjadi bubur, Abang sangat menyesal. Karma sudah menimpa Abang Nay, Disya pergi, bahkan calon buah hati kami pergi tanpa Abang tahu kehadirannya." Naya kembali menatap Devan, raut wajah lelaki itu sangat terlihat menyedihkan. "Maaf," lirih Naya merasa bersalah karena membuat Devan kembali bersedih. Disya benar-benar pergi meninggalkan Devan. Walaupun apa yang terjadi memang sudah menjadi konsekuensi yang harus Devan dapat, tapi Naya juga merasa kasihan. "Daddy!" Devan dan Naya serempak menatap ke arah sumber suara. Bocah lelaki terlihat berlari ke arah mereka dengan membawa sebatang coklat yang sudah habis setengah. "Hi Kai!" Naya menyambut kehadiran keponakannya dengan wajah sumringah. Bocah itu balas menampilkan senyumnya, mengecup pelan pipi kanan Naya. "Sudah jalan-jalannya?" lanjutnya. Kai mengangguk. "Sangat seru!" komentarnya. Mengalihkan pandangan untuk menatap Devan. "Mommy masih ada di bawah, lagi ngobrol sama Oma," lanjutnya. "...." Devan tidak bersuara, keningnya mengkerut bingung. tumben sekali Disya masuk ke dalam rumah dan duduk mengobrol dengan Maya? Ya walaupun hubungan pernikahan mereka berakhir, tapi Kai dan Disya masih tetap berhubungan baik, sering sekali Kai menginap di rumah Disya, atau mereka berdua, beserta keluarga Disya pergi untuk jalan-jalan ke suatu tempat. Begitu juga dengan hari ini, Kai baru kembali setelah Disya beserta keluarga besarnya mengajak Kai ke sebuah pantai. Disya pasti langsung pergi setelah mengantar Kai kembali ke rumah, bukan tanpa alasan, tapi karena Samudra mengantarnya, dan sepertinya lelaki itu tidak ingin dan tidak mengijinkan Disya bertemu dengan Devan. Tapi, kenapa malam ini berbeda? Disya mengobrol dengan Maya? Apa dia tidak tahu jika Devan sedang ada di rumah Mamahya? "Ah! Ada Om Sam juga di bawah," lanjut Kai. "Om Sam?" Devan membeo. "Iya, Om Sam. Daddy nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi, sambil melanjutkan memakan coklat yang dipegangnya. Naya melirik Devan yang memasang wajah terkejut. "Aunty Nay, juga ke bawah ayo. emang nggak mau ketemu Mommy?" tanya Kai lagi yang membuat Naya kembali menatap ke arah bocah itu. Kai berdiri, menarik lengan Naya dan Devan agar berdiri dari duduknya. "Tidak... Aunty di sini saja, ya...." Suara Naya tergagap. Kai mengernyitkan keningnya bingung. "Kenapa? Sudah lama kan tidak ketemu dengan Mommy?" Tidak! Bukan tidak ingin bertemu dengan Disya, tapi... mengetahui jika Samudra berada di rumah ini rasanya Naya tidak sudi jika nanti ia akan bertemu dengan lelaki itu. "Kalian duluan saja turun ke bawah, Aunty Nay, nanti nyusul ya... " Pada akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Naya. Tidakkah nanti mereka curiga jika Naya tidak menemuinya? ***Menatap beberapa lelaki remaja yang sedang asyik bertanding basket, sesekali gelak tawa juga sorak kemenangan terdengar dari mereka saat salah satu rekan timnya berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. "Ayo sayang, semangat!" teriak remaja perempuan yang sedang duduk di bangku penonton, mengangkat kepalan tangannya ke udara menyemangati kekasihnya yang sudah pasti lelaki yang baru saja beberapa detik lalu memasukkan bola basket ke dalam ring. Si lelaki menatap kekasihnya, memberikan flying kiss, seketika sorak ricuh terdengar dari teman-teman mereka. Bukan pertandingan basket serius sepertinya, hanya beberapa remaja sekitaran perumahan yang sedang bertanding, dan hadiahnya mungkin hanya yang kalah mentraktir yang menang, atau yang lainnya... Naya tidak tahu persis. Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya, menunduk menatap sandal yang dipakainya, dan kembali menyusuri jalanan komplek perumahan. Kurang lebih tiga tahun Naya meninggalkan rumahnya, hari ini ia memutuskan untu
Samudra menghembuskan napanya kasar, lelaki itu tidak sedang dalam kondisi baik, memukul samsak boxing dengan membabi buta, meluapkan segala emosi yang mengganjal di dalam hatinya. "Bang Sam...." Seorang perempuan memanggilnya, membuat atensi Samudra teralihkan, memandang perempuan yang memanggilnya sambil tersenyum lebar. "Iya? Ada apa, Sya?" Disya yang sedari tadi menyembulkan kepalanya dibalik pintu masuk, ikut menampilkan senyumnya, memperlihatkan sebuah nampan yang terdapat segelas minuman dingin untuk Abangnya. "Boleh Disya masuk?" Samudra tentu saja mengangguk, menghampiri Disya dan mengambil alih nampan yang masih dipegang oleh adiknya, mengajak Disya untuk duduk di salah satu sofa yang memang ada di ruangan itu. "Terima kasih," kata Samudra yang langsung meneguk minuman itu hingga habis setengahnya. Disya mengangguk sebagai balasan. "Abang lagi ada masalah ya, hm?" tanya Disya yang membuat Samudra mengernyitkan dahinya bingung. "Kata Mamah Gina, kalau Abang lagi ada ma
"Kenapa Nenek ngga minta gue buat jadi suami lo ya, Rai?" dumel Widi di sela menikmati makanannya. Membuat beberapa orang di meja makan terkekeh mendengar ucapan lelaki itu kecuali—Samudra. "Nenek mau cucu menantu seorang dokter bukan artis seperti kamu, Wid!" jawab Didi asal yang semakin membuat Widi mendengus sebal. "Padahal aku lebih keren dari Samudra," ucap Widi sembari menyisir rambutnya sok keren. "Ih! Jijik!" Raina memandang Widi dengan geli, melempar kue sus yang sudah dibungkus rapih ke arah Widi, makanan itu beruntungnya bisa dengan sigap Widi tangkap. "Rai, ngga baik lempar-lempar makanan!" kata Eni memperingati. Widi menjulurkan lidahnya meledek Raina yang kena omel Tantenya. "Maaf, hehehe...." Raina terkekeh pelan. "Jadi kapan, kalian menikah?" tanya Widi menatap Samudra dan Raina bergantian. "Kita mau tunggu rumah kita bisa ditempati seratus persen, rencana kita kan setelah menikah mau langsung tinggal di Bandung." Raina menjelaskan, kedua tangannya sibuk member
Naya menundukkan wajahnya dalam, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan, kedua tangannya saling menggenggam erat."Diminum dulu," seorang perempuan memakai jas dokter membawakan segelas air hangat untuk Naya.Naya menerimannya, dan dengan segera meneguknya. "Te—terima kasih...."Perempuan di sebelahnya mengangguk. "Kami belum bisa menghubungi keluarganya, karena gadis itu tidak membawa dompet, atau handphone sama sekali, kita juga belum mengetahui identitasnya. Kita akan menunggu gadis itu siuman"Naya mengangguk, kembali meneguk air hangat yang tadi diberikan kepadanya, walaupun tidak terlalu berpengaruh untuk meredakan perasaan ketakutannya."Hey... tenanglah," ucap si dokter menggenggam tangan Naya lembut."A—aku... aku ingin peluk..." Perempuan itu segera membawa Naya ke dalam dekapannya, mengusap punggung Naya lembut berharap ketakutannya sedikit mereda."Apa dia akan baik? Dia—""Kamu coba tenangkan diri kamu dulu, ya...."Naya mengangguk dalam dekapann
Naya datang ke klub untuk menghadiri acara ulang tahun temannya. Tadinya Naya tidak berniat datang, namun salah satu temannya terus membujuk. Bahkan temannya itu merengek, mengatakan jika Naya sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya, banyak yang merindukannya. Mengingat sudah sekitar tiga tahun Naya meninggalkan kota ini. Lagipula, ini acara pertemuan dikhususkan untuk Naya, ulang tahun Stevani hanyalah kedok semata. Naya adalah bintang utamanya malam itu. "Masih tidak bisa minum?" tanya salah seorang lelaki yang langsung duduk di samping Naya, menyodorkan segelas minuman alkohol tepat di depan wajah Naya. Naya menggeleng, menampilkan senyum kecil, menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. "Oh! Come on, Nay!" Lelaki itu mendesah kecewa. "Sorry...." cicit Naya. Lelaki itu mengangkat bahunya acuh, memberikan segelas minuman yang dibawanya kepada salah satu temannya yang juga duduk di meja itu. "Tadinya kita mau main Thurt O
"Aku lebih milih wedding venue indoor, Kak! Coba bayangin kalau kita pilih wedding venue outdoor, tiba-tiba hujan deres gimana? Nggak mungkin kan kita nyari pawang hujan?" Nathan tidak mampu menahan gelak tawanya mendengar perkataan calon istrinya saat itu. Berbeda dengan Nathan, Naya memasang wajah serius, dengan sengaja perempuan itu memukul lengan berotot calon suaminya. "Aku serius, Kak! Kok malah ketawa sih?!" Naya memanyunkan bibirnya. "Hahaha... iya-iya kita nikahnya indoor aja," ucap Nathan masih tidak berhenti untuk tertawa, beruntungnya kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Naya mengagguk pelan. Tangan kanan Nathan bergerak untuk mengelus rambut perempuan yang duduk di sampingnya dengan lembut. "Nanti, kamu ngga bakalan berubah pikiran lagi, nih?" Naya menatap Nathan lalu menggelengkan kepalanya. "Ini keputusan aku yang terakhir, aku.... janji," kata Naya dengan nada suara sangat pelan diakhir kalimatnya, seolah dirinya juga tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya beberap
Naya datang ke klub untuk menghadiri acara ulang tahun temannya. Tadinya Naya tidak berniat datang, namun salah satu temannya terus membujuk. Bahkan temannya itu merengek, mengatakan jika Naya sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya, banyak yang merindukannya. Mengingat sudah sekitar tiga tahun Naya meninggalkan kota ini. Lagipula, ini acara pertemuan dikhususkan untuk Naya, ulang tahun Stevani hanyalah kedok semata. Naya adalah bintang utamanya malam itu. "Masih tidak bisa minum?" tanya salah seorang lelaki yang langsung duduk di samping Naya, menyodorkan segelas minuman alkohol tepat di depan wajah Naya. Naya menggeleng, menampilkan senyum kecil, menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. "Oh! Come on, Nay!" Lelaki itu mendesah kecewa. "Sorry...." cicit Naya. Lelaki itu mengangkat bahunya acuh, memberikan segelas minuman yang dibawanya kepada salah satu temannya yang juga duduk di meja itu. "Tadinya kita mau main Thurt O
Naya menundukkan wajahnya dalam, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan, kedua tangannya saling menggenggam erat."Diminum dulu," seorang perempuan memakai jas dokter membawakan segelas air hangat untuk Naya.Naya menerimannya, dan dengan segera meneguknya. "Te—terima kasih...."Perempuan di sebelahnya mengangguk. "Kami belum bisa menghubungi keluarganya, karena gadis itu tidak membawa dompet, atau handphone sama sekali, kita juga belum mengetahui identitasnya. Kita akan menunggu gadis itu siuman"Naya mengangguk, kembali meneguk air hangat yang tadi diberikan kepadanya, walaupun tidak terlalu berpengaruh untuk meredakan perasaan ketakutannya."Hey... tenanglah," ucap si dokter menggenggam tangan Naya lembut."A—aku... aku ingin peluk..." Perempuan itu segera membawa Naya ke dalam dekapannya, mengusap punggung Naya lembut berharap ketakutannya sedikit mereda."Apa dia akan baik? Dia—""Kamu coba tenangkan diri kamu dulu, ya...."Naya mengangguk dalam dekapann
"Kenapa Nenek ngga minta gue buat jadi suami lo ya, Rai?" dumel Widi di sela menikmati makanannya. Membuat beberapa orang di meja makan terkekeh mendengar ucapan lelaki itu kecuali—Samudra. "Nenek mau cucu menantu seorang dokter bukan artis seperti kamu, Wid!" jawab Didi asal yang semakin membuat Widi mendengus sebal. "Padahal aku lebih keren dari Samudra," ucap Widi sembari menyisir rambutnya sok keren. "Ih! Jijik!" Raina memandang Widi dengan geli, melempar kue sus yang sudah dibungkus rapih ke arah Widi, makanan itu beruntungnya bisa dengan sigap Widi tangkap. "Rai, ngga baik lempar-lempar makanan!" kata Eni memperingati. Widi menjulurkan lidahnya meledek Raina yang kena omel Tantenya. "Maaf, hehehe...." Raina terkekeh pelan. "Jadi kapan, kalian menikah?" tanya Widi menatap Samudra dan Raina bergantian. "Kita mau tunggu rumah kita bisa ditempati seratus persen, rencana kita kan setelah menikah mau langsung tinggal di Bandung." Raina menjelaskan, kedua tangannya sibuk member
Samudra menghembuskan napanya kasar, lelaki itu tidak sedang dalam kondisi baik, memukul samsak boxing dengan membabi buta, meluapkan segala emosi yang mengganjal di dalam hatinya. "Bang Sam...." Seorang perempuan memanggilnya, membuat atensi Samudra teralihkan, memandang perempuan yang memanggilnya sambil tersenyum lebar. "Iya? Ada apa, Sya?" Disya yang sedari tadi menyembulkan kepalanya dibalik pintu masuk, ikut menampilkan senyumnya, memperlihatkan sebuah nampan yang terdapat segelas minuman dingin untuk Abangnya. "Boleh Disya masuk?" Samudra tentu saja mengangguk, menghampiri Disya dan mengambil alih nampan yang masih dipegang oleh adiknya, mengajak Disya untuk duduk di salah satu sofa yang memang ada di ruangan itu. "Terima kasih," kata Samudra yang langsung meneguk minuman itu hingga habis setengahnya. Disya mengangguk sebagai balasan. "Abang lagi ada masalah ya, hm?" tanya Disya yang membuat Samudra mengernyitkan dahinya bingung. "Kata Mamah Gina, kalau Abang lagi ada ma
Menatap beberapa lelaki remaja yang sedang asyik bertanding basket, sesekali gelak tawa juga sorak kemenangan terdengar dari mereka saat salah satu rekan timnya berhasil memasukkan bola basket ke dalam ring. "Ayo sayang, semangat!" teriak remaja perempuan yang sedang duduk di bangku penonton, mengangkat kepalan tangannya ke udara menyemangati kekasihnya yang sudah pasti lelaki yang baru saja beberapa detik lalu memasukkan bola basket ke dalam ring. Si lelaki menatap kekasihnya, memberikan flying kiss, seketika sorak ricuh terdengar dari teman-teman mereka. Bukan pertandingan basket serius sepertinya, hanya beberapa remaja sekitaran perumahan yang sedang bertanding, dan hadiahnya mungkin hanya yang kalah mentraktir yang menang, atau yang lainnya... Naya tidak tahu persis. Perempuan itu kembali melangkahkan kakinya, menunduk menatap sandal yang dipakainya, dan kembali menyusuri jalanan komplek perumahan. Kurang lebih tiga tahun Naya meninggalkan rumahnya, hari ini ia memutuskan untu
Naya mengusap air mata di kedua pipinya dengan kasar, menarik selimut dengan tujuan untuk menutup foto polaroid yang bertebaran di atas kasur, turun dari tempat tidur dan berjalan menuju meja rias, mengambil bedak lalu memakaikan di wajahnya. "Nay, buka pintunya dulu, sayang." Naya menatap ke arah pintu kamarnya yang sedari tadi diketuk. Menatap cermin, lalu meletakkan kembali bedak yang baru saja ia gunakan. Menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan sebelum membuka pintu kamarnya. Maya, dan Nathan. "Kenapa?" Nathan langsung menatapnya dengan tatapan sendu. "Bilang sama Kakak, kalau kamu cuman bercanda, Nay..." Nathan mengulurkan tangannya untuk menyentuh tangan Naya. "Aku nggak bercanda," kata Naya tegas, menepis tangan Nathan. Nathan menggeleng, kedua matanya kembali berkaca-kaca. "Bilang sama Kakak, kalau Kakak ada salah sama Nay. Kakak ngelakuin kesalahan yang bikin kamu marah, hm?" "Kakak nggak salah, aku aja yang udah bosen." Nathan terperangah, begit
"Aku lebih milih wedding venue indoor, Kak! Coba bayangin kalau kita pilih wedding venue outdoor, tiba-tiba hujan deres gimana? Nggak mungkin kan kita nyari pawang hujan?" Nathan tidak mampu menahan gelak tawanya mendengar perkataan calon istrinya saat itu. Berbeda dengan Nathan, Naya memasang wajah serius, dengan sengaja perempuan itu memukul lengan berotot calon suaminya. "Aku serius, Kak! Kok malah ketawa sih?!" Naya memanyunkan bibirnya. "Hahaha... iya-iya kita nikahnya indoor aja," ucap Nathan masih tidak berhenti untuk tertawa, beruntungnya kali ini tawanya tidak sekeras tadi. Naya mengagguk pelan. Tangan kanan Nathan bergerak untuk mengelus rambut perempuan yang duduk di sampingnya dengan lembut. "Nanti, kamu ngga bakalan berubah pikiran lagi, nih?" Naya menatap Nathan lalu menggelengkan kepalanya. "Ini keputusan aku yang terakhir, aku.... janji," kata Naya dengan nada suara sangat pelan diakhir kalimatnya, seolah dirinya juga tidak sepenuhnya yakin dengan ucapannya beberap