"Kenapa Nenek ngga minta gue buat jadi suami lo ya, Rai?" dumel Widi di sela menikmati makanannya. Membuat beberapa orang di meja makan terkekeh mendengar ucapan lelaki itu kecuali—Samudra.
"Nenek mau cucu menantu seorang dokter bukan artis seperti kamu, Wid!" jawab Didi asal yang semakin membuat Widi mendengus sebal. "Padahal aku lebih keren dari Samudra," ucap Widi sembari menyisir rambutnya sok keren. "Ih! Jijik!" Raina memandang Widi dengan geli, melempar kue sus yang sudah dibungkus rapih ke arah Widi, makanan itu beruntungnya bisa dengan sigap Widi tangkap. "Rai, ngga baik lempar-lempar makanan!" kata Eni memperingati. Widi menjulurkan lidahnya meledek Raina yang kena omel Tantenya. "Maaf, hehehe...." Raina terkekeh pelan. "Jadi kapan, kalian menikah?" tanya Widi menatap Samudra dan Raina bergantian. "Kita mau tunggu rumah kita bisa ditempati seratus persen, rencana kita kan setelah menikah mau langsung tinggal di Bandung." Raina menjelaskan, kedua tangannya sibuk membereskan piring kotor. Mereka baru saja selesai makan malam. Widi mengangguk. "Sam, kasih info ya kalau ngga jadi nikahin Raina," kata Widi menatap Samudra dengan kedua alis yang digerakkan naik turun. "Apaansih, Wid?" Raina kembali memanyunkan bibirnya membuat Widi langsung mengeluarkan gelak tawa. "Jangan di dengerin manusia aneh ini, Sam!" lanjut Rania. Samudra hanya menanggapinya dengan tersenyum kecil. "Ini udah malam, kamu harus berangkat biar bisa istirahat dulu di rumah, besok pagi kamu ada shift 'kan?" Besok akan ada acara peringatan satu tahun Nenek Raina yang telah meninggal. Akan ada acara di rumah Tante Raina. Samudra tidak bisa menghadiri acara itu karena urusan pekerjaan, dia hanya menyempatkan dirinya untuk mengantar Raina. "Aku pulang ya," kata Samudra mengusap bagian atas rambut Raina dengan senyum yang menghiasi bibirnya. "Iya, hati-hati. Kabarin kalau sudah nyampe rumah. Atau diperjalanan mau aku temenin?" Samudra mengernyit bingung. "Temenin gimana?" "Lewat telepon!" Raina menunjukkan handphone yang dipegangnya sambil terkekeh pelan. "Alah bucin!" sindir Widi. Samudra, Didi, dan Eni tertawa mendengar ucapan Widi. "Tidak usah, kamu juga harus istirahat," kata Samudra. Raina mengangguk. Samudra masuk ke dalam mobilnya setelah selesai berpamitan. Eni mengusap sudut matanya yang berair setelah mobil milik Samudra tidak terlihat, membuat Didi yang berada di sampingnya mengernyit bingung. "Kok nangis?" "Aku terharu aja, Mas. Samudra baik ya, dia keliatan sayang banget sama Raina, semoga Samudra memang yang terbaik buat Raina." Raina menatap Eni dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Tante..." Eni terkekeh pelan, namun air matanya tidak bisa dibendung. "Semoga Kak Ani diatas sana ngga bakalan marahin aku. Anaknya sudah aku temani sampai menemukan pasangan hidupnya," kata Eni. Raina melangkah memeluk Tantenya dengan erat. "Makasih ya, sudah menjadi pengganti Ayah dan Ibu, Rai sayang sama kalian." Oke, suasana berubah menjadi haru sekarang. Widi masih terdiam di tempat berdirinya semula, memperhatikan ketiganya—Raina, Eni, dan Didi yang sedang berpelukan. "Kalaupun calon suami Raina aku, pasti kehidupannya akan sangat bahagia." "Widi Ih!" Widi terkekeh. Lelaki itu hanya ingin merubah suasana agar tidak terlalu terharu. Apalagi posisi mereka yang masih berada di depan pintu gerbang rumah. "Baiklah! Nanti saja nangis-nangisnya di dalam, malu kalau ada Mang Jaja keliling." *** Samudra dan Raina menuruti permintaan terakhir Neneknya. Bahwa mereka akan menikah. Cincin pertunangan sudah melekat di jari manis keduanya, itu artinya mereka adalah sepasang kekasih yang sudah resmi bertunangan. Cinta? Baik Raina dan Samudra tidak pernah mengungkapkan kalimat-kalimat seperti itu. Mereka menjalani hubungan dengan seadanya. "Tadinya Nenek mau jodohin Raina sama Widi, tapi sepertinya kalau mereka berdua menikah sering sekali adu mulut, kamu tahu sendiri kan, Widi sangat suka menjahili Raina, tidak akan berhenti sampai Raina menangis kesal." Samudra terkekeh kedua tangannya masih menggenggam tangan Nenek Raina yang tidak tersemat jarum infus, mencoba mendengarkan dengan seksama setiap perkataan yang dilontarkan oleh perempuan baya itu. "Nenek juga suka sama Wisnu. Tapi kamu sama saja kaya Widi." Nenek Raina memanyunkan bibirnya menatap Wisnu yang sedang berkutat dengan laptopnya duduk di atas sofa. Tidak menjawab, Wisnu hanya mengernyit bingung. "Wisnu kalau lagi sama Raina bawaanya marah-marah mulu, kalian juga sering banget berantem, adu mulut karena hal sepele. Nenek ngga mungkin jodohin kamu sama Raina." Samudra yang mendengarnya kembali terkekeh. "Memang Nek, Wisnu kalau sama Raina bawaannya kaya lagi PMS mulu." "Sialan lo!" umpat Wisnu. "Jadi, cuman kamu yang Nenek yakin bisa bahagiain Raina, Sam." Samudra yang asyik meledek Wisnu lansung terdiam seketika, begitu juga dengan Wisnu yang langsung merubah mimik wajahnya menatap Nenek Raina. "Menikah dengan Raina, mau?" Samudra tidak menolak—lebih tepatnya lelaki itu tidak bisa menolak permintaan Nenek Raina. Raina—perempuan itu tidak sedang dekat dengan siapapun, dan memang sedari dulu Raina tidak pernah mempunyai hubungan dengan lelaki manapun. Hanya Samudra, Wisnu—teman kuliahnya dulu, dan Widi—teman masa kecilnya di Bandung—Raina dekat dengan teman lelaki hanya dengan mereka bertiga. Pun dengan Samudra, dia tidak sedang menjalani hubungan percintaan dengan perempuan manapun. Jadi, mereka berdua setuju, lagipula ini disebut-sebut sebagai keinginan terakhir Nenek Rania. Tidak ada masalah, dan tidak ada alasan untuk menolak. Hubungan mereka sudah berumur dua tahun sekarang, dan tentu ini menjadi berita baik untuk semua orang. Tapi, perasaan menerima itu berubah ketika Samudra melihat Naya di acara pernikahan Zara dan Nathan. Bagi Samudra, menyaksikan Naya yang menangis karena mantan kekasihnya menikah belum cukup, masih ada kebencian yang berkobar, dan rasanya dia ingin lagi, dan lagi, melihat Naya lebih mengenaskan di depan matanya. Menikah dengan Naya sepertinya akan menarik. ***Naya menundukkan wajahnya dalam, mencoba menormalkan detak jantungnya yang berdetak tidak karuan, kedua tangannya saling menggenggam erat."Diminum dulu," seorang perempuan memakai jas dokter membawakan segelas air hangat untuk Naya.Naya menerimannya, dan dengan segera meneguknya. "Te—terima kasih...."Perempuan di sebelahnya mengangguk. "Kami belum bisa menghubungi keluarganya, karena gadis itu tidak membawa dompet, atau handphone sama sekali, kita juga belum mengetahui identitasnya. Kita akan menunggu gadis itu siuman"Naya mengangguk, kembali meneguk air hangat yang tadi diberikan kepadanya, walaupun tidak terlalu berpengaruh untuk meredakan perasaan ketakutannya."Hey... tenanglah," ucap si dokter menggenggam tangan Naya lembut."A—aku... aku ingin peluk..." Perempuan itu segera membawa Naya ke dalam dekapannya, mengusap punggung Naya lembut berharap ketakutannya sedikit mereda."Apa dia akan baik? Dia—""Kamu coba tenangkan diri kamu dulu, ya...."Naya mengangguk dalam dekapann
Naya datang ke klub untuk menghadiri acara ulang tahun temannya. Tadinya Naya tidak berniat datang, namun salah satu temannya terus membujuk. Bahkan temannya itu merengek, mengatakan jika Naya sudah lama tidak berkumpul dengan teman-temannya, banyak yang merindukannya. Mengingat sudah sekitar tiga tahun Naya meninggalkan kota ini. Lagipula, ini acara pertemuan dikhususkan untuk Naya, ulang tahun Stevani hanyalah kedok semata. Naya adalah bintang utamanya malam itu. "Masih tidak bisa minum?" tanya salah seorang lelaki yang langsung duduk di samping Naya, menyodorkan segelas minuman alkohol tepat di depan wajah Naya. Naya menggeleng, menampilkan senyum kecil, menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. "Oh! Come on, Nay!" Lelaki itu mendesah kecewa. "Sorry...." cicit Naya. Lelaki itu mengangkat bahunya acuh, memberikan segelas minuman yang dibawanya kepada salah satu temannya yang juga duduk di meja itu. "Tadinya kita mau main Thurt O
"Belum balik?" Samudra segera mengalihkan pandangan dari seseorang yang sedari tadi dia perhatikan, ketika mendengar suara Wisnu yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingnya. Samudra melirik Wisnu sebentar sambil berdehem pelan manjawab pertanyaannya, berbalik lalu melangkah pergi yang tentu langsung disusul oleh Wisnu. "Lo kenal dia?" tanya Wisnu lagi. Karena pekerjaannya hari ini sudah selesai tentu lelaki itu ingin langsung mengistirahatkan tubuhnya di rumah, tapi saat sedang dalam perjalanan menuju parkiran, Wisnu menemukan Samudra yang masih berdiri bersandar di balik dinding tiang, padahal lelaki itu sudah melepas jas putihnya yang berarti dia sudah selesai dengan pekerjaannya. Bukannya langsung pulang, Wisnu melihat Samudra sedang memperhatikan seorang perempuan yag masih duduk di salah satu bangku yang ada di taman rumah sakit. "Padahal menurut info dia bukan salah satu keluarganya, bahkan dia tidak mengenal Layla. Tapi, dia udah kaya yang paling sedih aja, matanya
"Yang ini mau dibawa juga?" tanya Samudra menatap salah satu kotak, memeriksa barang-barang yang ada di dalamnya. Ada beberapa buku diary dengan sampul berbagai karakter lucu di sana, beberapa figura foto masa kuliah Raina juga bertumpuk beberapa. Samudra menyunggingkan senyumnya, membersihkan figura foto yang di dalamnya terdapat foto dirinya, Raina, dan Wisnu. Sebuah buku diary dengan ukuran yang lebih kecil dari beberapa tumpukan buku diary lainnya, tentu menarik perhatian Samudra. Sampul depannya berwarna marron, polos—tidak seperti buku diary yang kebanyakam bersampul karakter animasi lucu. Mengulurkan tangan kanannya untuk mengambil diary maroon itu. Samudra mengernyit ketika melihat lembaran pertama kertas itu, sebuah lukisan doodle dengan berbagai macam warna spidol—"Sam!" Suara Raina tentu mengejutkan Samudra, bahkan diary yang sedang dipegangnya sampai jatuh ke lantai. Raina dengan cepat ikut duduk, mengambil diary yang jatuh, kembali memasukkannya ke dalam kotak beserta be
Lusa, Naya akan kembali ke Lampung. Keputusan untuk kembali memang sudah bulat sejak awal. Naya akan kembali ke Lampung karena memang niat di awal hanya akan mendatangi acara pernikahan Nathan. Kabar kematian Naisya tentu terdengar oleh Naya. Kalau boleh jujur, rasa kesal masih Naya rasakan kepada Kakak tiri Disya itu. Devan sebagai Kakak lelakinya memang salah, tapi perempuan itu juga tidak luput dari kesalahan—meninggalkan Kai setelah melahirkannya, merusak rumah tangga Devan juga Disya padahal jelas Naisya mengetahui jika Devan sudah mempunyai istri saat itu. Bagaimanapun.... Naya ikut berduka cita atas kematian Naisya dan calon suaminya. Naya memang berniat untuk mengunjungi toko kue milik Disya. Sekalian meminta Disya untuk mengajaknya berkeliling, Kai bercerita jika Disya masih terlihat sangat bersedih tentang kematian kakaknya.Ya setidaknya meminta Disya untuk mengajaknya berkeliling kota akan membuat Disya sedikit mengalihkan kesedihannya walaupun hanya sebentar. "Eh, Ha
Kedua tangannya bergetar ketakutan, namun ia tetap memasukkan barang-barangnya ke dalam koper, air matanya tidak berhenti menetes walaupun ia menahannya mati-matian. Naya merutuki dirinya sendiri ketika mengingat, dan tersadar atas apa yang telah ia katakan kepada Disya, tentang dirinya dan Samudra. Naya mengaku jika ia dan Samudra melakukannya, tapi Naya mengelak jika dirinya hamil—memang kenyataannya seperti itu. Naya tidak sedang mengandung, kejadian beberapa tahun silam tidak membuahkan hasil apapun. Naya hanya berbohong tentang mereka yang sama-sama mau, dan dalam keadaan sadar melakukannya—kenyataannya Samudra melakukan hal keji itu saat Naya sedang tidak sadarkan diri, Samudra menghancurkannya saat Naya tidak sedang dalam kondisi sadar. Naya ketakutan ketika melihat mobil Devan berada di parkiran, hanya penjelasan kebohongan itu yang terlintas di otaknya. Naya akan pergi ke Lampung malam ini juga. Menonaktifkan handphonenya. Naya takut Disya akan menghubunginya, mencerca ba
"Kamu baik, Nay?" Suara serta usapan pelan di atas rambutnya membuat Naya kembali tersadar dari lamunannya. Mendongak menatap Devan yang sekarang sudah ikut duduk di sampingnya. "Baik dong!" kata Naya semangat, wajah murung yang semula ia tunjukkan kini berubah seketika menjadi ceria. "Bang Dev ngga ke kantor?" tanyanya lagi. "Abang tadi nganter Kai sekolah. Lalu mampir ke sini. Sepertinya Abang juga tidak akan ke kantor hari ini." Naya mengernyit kebingungan. Tumben sekali Abangnya memilih untuk tidak berkutat dengan pekerjaannya. "Ada urusan penting di luar?" tanya Naya lagi. Devan mengangguk pelan. "Kamu memutuskan untuk tidak kembali ke Lampung dan memilih tinggal di sini?" Naya mengangguk lalu tersenyum. "Bagus itu, rumahmu memang di sini 'kan? Kenapa harus kembali ke sana. Nenek sudah tidak ada, kamu akan sendirian di sana. Di sini saja, temani Mamah." Naya mengangguk. Devan kembali mengusap atas kepala Adiknya lembut, namun keningnya mengernyit ketika mata Naya yang me
"Benar karena Naya?" Samudra yang baru masuk ke dalam ruangannya langsung diserbu oleh pertanyaan Raina yang entah sejak kapan sudah duduk di sofa ruangannya. "Bisa kita bicara nanti, Rai?" "Aku ingin jawaban iya atau tidak." Samudra menatap Raina dengan tatapan sayu. Lelaki itu baru kembali setelah mengantar Naya hingga perempuan itu menaiki taxi setelah problem yang terjadi di taman rumah sakit. "Setelah itu kamu bisa meninggalkan aku sendiri?" "Segitunya kamu ngga mau ketemu sama aku?" Samudra menggeleng. "Bukan seperti itu. Hari ini aku hanya tidak ingin diganggu, Rai. Sudah itu saja." Raina segera bangun dari duduknya, berjalan hendak keluar dari ruangan. Sebelum benar-benar keluar, Raina menghentikan langkahnya di depan pintu lalu berkata, "Setidaknya beri tahu alasan yang tepat untuk aku jelaskan kepada Tante Eni dan Om Didi jika kita memutuskan untuk mengakhiri pertunangan kita." Hening untuk beberapa saat. Samudra tidak kunjung membuka mulutnya untuk berbicara. Membu
“Siapa?” “Gue kenal sama dia?” “Atau anak-anak yang lain ada yang kenal sama dia ngga?” “Lo kenal di mana?” “Kerjanya di mana?” “Anak keluarga mana? Kenalan bokap lo? Atau lo di jodohin ya, Nay?” “....” Naya hanya diam, tidak berniat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Stevani. Membuat perempuan itu terlihat kesal ketika Naya hanya diam mengabaikan pertanyaannya. “Ngga usah banyak tanya tentang dia, nanti aku kenalin dia sama kamu, sama kalian semua....” Kalimat yang jelas membuat mulut Stevani terdiam, beberapa kali perempuan itu terus memaksa Naya untuk bercerita, memintanya memberi tahu tentang calon suami yang dimaksud oleh Naya. Naya menggeleng, tetep kekeh dengan pendiriannya tidak akan memberi tahu. Akhirnya Stevani capek sendiri. Walaupun kesal karena Naya tidak memberi tahu, Stevani sangat senang mengetahui Naya sudah kembali membuka hatinya untuk seorang lelaki—Stevani berbicara seperti itu kepada Naya sebelum pergi dari kediaman Nay
+628xxxxxxxxxx |Disya sedang pergi ke Jogja, pertemuan akan dilakukan setelah Disya pulang dari sana. Naya mengulum bibirnya, hatinya merasa sedikit lega ketika Samudra menggiriminya pesan seperti itu. Setidaknya masih ada beberapa hari lagi untuk mempersiapkan diri sebelum pertemuannya dengan Disya dan kakak lelakinya untuk membahas hubungan mereka. Memejamkan mata, Naya manarik selimut untuk menutupi seluruh tubuh hingga wajahnya. Mencoba tidak memikirkan bagaimana tanggapan Disya dan Devan saat Naya dan Samudra memberi tahu tentang hubungan mereka—apa Disya dan kakak lelakinya akan sangat marah—sudah pasti iya ‘kan? Naya frustasi, tidak bisa menghentikan pikirannya. Suara ketukan pintu terdengar, membuat Naya langsung membuka selimut yang menutupi wajahnya. “Nay?” Mamahnya memanggil. “Iya, Mah,” balas Naya yang langsung menuruni kasur untuk membuka pintu kamar. “Mamah jemput Kai ya, kamu mau ikut atau di rumah saja, Nay?” tanya Maya ketika putri bungsunya baru saja membuka p
Naya membuka matanya perlahan ketika merasa lapar, mengerjap pelan supaya penglihatannya jelas untuk melihat ke sekeliling. Menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya, lalu mencoba duduk di tepi kasur sebentar untuk mengumpulkan kesadarannya. Menundukkan wajahnya, matanya terbuka lebar ketika tubuhnya dibalut dengan kemeja berwarna hitam, seingatnya ia tidak punya kemeja sebesar ini. “Pakaianmu basah, tadi.” Suara lelaki yang tentu Naya mengenalnya terdengar di telinga, dengan refleks kepalanya menengok ke arah sumber suara. Lelaki itu berjalan masuk ke dalam kamar dengan membawa dua mangkuk yang terlihat jika makanan itu masih panas, terbukti dari asap yang mengepul bersumber dari makanan itu. Naya memberengut kesal ketika tahu jika pasti Samudra sendiri yang menggantikannya pakaian. Benar-benar mesum! Seingatnya ia menangis di depan Samudra di bawah guyuran hujan, lalu entah apa yang terjadi, kenapa juga ia berada di sini sekarang? “Kamu jatuh pingsan tadi. Tidak ada cara lain se
Naya meremas permukaan dadanya kuat sekali, berharap rasa sakit yang timbul akan berangsur membaik, namun itu benar-benar tidak berpengaruh sama sekali. Naya memilih untuk memberhentikan mobilnya di tepi jalan. Ia menunduk, menangis tergugu, dadanya semakin sesak rasanya. Naya sudah menahan mati-matian rasa sakit itu ketika berbicara dengan Nathan di dalam caffe. Menahan air matanya agar tidak keluar, hanya untuk menunjukkan bahwa dirinya baik-baik saja di hadapan lelaki itu. Kenyataannya tidak! Naya benar-benar hancur ketika mengatakan setiap kalimatnya. Apa yang dikatakan oleh Naya semuanya hanyalah kebohongan! Suara ketukan dari kaca mobil, membuat Naya mendongakkan wajahnya. Samudra ada dibalik pintu mobil, menatap ke arahnya. “Turun! Duduk di sana, saya yang akan mengantar kamu pulang.” Masih mencerna setiap kata yang diucapkan oleh Samudra, Naya masih diam duduk di kursi kemudi. Namun, detik berikutnya, lelaki itu sudah menarik tangan Naya untuk keluar dari mobil. “Tidak!”
Naya menatap bangunan di depannya sambil menghela napas panjang, mengulum bibirnya menatap ke sekeliling gugup, tangannya melepas safety belt, lalu turun dari dalam mobil miliknya yang sudah terparkir rapih di parkiran rumah sakit. Perempuan itu turun dari mobil, dengan berusaha meredakan rasa gugup di dadanya. Terakhir kali ia mengunjungi rumah sakit ini, suasananya jelas sangat buruk. Naya diperhatikan dengan tatapan tidak bersahabat oleh beberapa pekerja di sini. Akankah tetap seperti itu hingga sekarang? "Kamu tahu tempat itu dari mana?" "Dulu, mobilku pernah mogok daerah situ. Laper banget, akhirnya mampir ke warung makan, dan ternyata enak banget." Naya bisa mendengar obrolan dua orang yang baru keluar dari mobil, satu orang perempuan dan satu lelaki. "Naya?" Naya yang merasa dirinya dipanggil langsung menengokkan wajahnya. Menatap perempuan yang memanggilnya, sebuah senyuman kecil namun jelas terkesan canggung itu Naya perlihatkan. "Ada urusan apa datang ke sini? Kamu s
'Ayo bertemu.' 'Sekali ini saja. Ayo kita bertemu, Nay.' Naya menggigit bibir bawahnya, menatap layar handhone yang menunjukkan chat room Nathan di salah satu aplikasi. Hati kecilnya tentu punya keinginan untuk membalas, dan mengiyakan ajakan Nathan. Namun, ketika mengingat jika Nathan sudah menikah, rasanya ia tidak harus membalas pesan itu. 'Demi Tuhan, Kakak ingin bertemu, Nay. Setidaknya kita akan membicarakan hubungan kita. Jika kita berpisah, jelaskan mengapa, beri Kakak penjelasan agar Kakak tidak bertanya-tanya dan kebingungan.' 'Tidak ada kesenangan menjalani pernikahan ini, Nay.' Ketika membaca tulisan itu, rasanya Naya bisa mendengar bagaimana suara Nathan yang mengatakan kalimat-kalimatnya secara langsung, terdengar frustasi. Naya setuju pada akhirnya. Hubungan mereka sudah terjalin cukup lama dulu, dan berakhir hanya lewat salah satu aplikasi chatting. Naya akan menjelaskan mengapa mereka pada akhirnya harus berpisah, dan menasihati lelaki itu agar bisa melupakannya
Setelah selesai menonton, Samudra menawarkan untuk membeli beberapa mainan untuk Kai, bahkan menyuruh Naya untuk berbelanja. Tadinya Naya menolak, namun Samudra terus berbicara sedikit memaksa, menyuruhnya untuk memilih apapun barang, atau pakaian yang ia mau. Pada akhirnya Naya setuju, bahkan sengaja memilih pakaian dengan harga cukup fantastis. Samudra tidak masalah dengan itu, Naya terlahir dari keluarga terpandang, kalau bicara selera pasti bukan main. Perempuan itu banyak diam, benar-benar tidak berinteraksi terlalu dekat dengannya, hanya jika Kai mengajak bicara baru perempuan itu membuka suaranya. Berkunjung ke restaurant korean food dulu terlebih dahulu untuk mengisi perut sebelum mengantar mereka pulang. "Kita belum membicarakan tentang hubungan—" "Nanti saja, kita bisa mencari waktu lain untuk itu." Samudra menatap Naya melalui pantulan cermin, lalu kembali fokus dengan kemudinya. "Besok—" "Tidak! Tiga atau empat hari lagi." "Itu terlalu lama, saya tidak setu
"Bagaimana kalau kita menonton hari ini?" "Menonton apa?" "Kita berangkat ke bioskop aja, nanti bisa pilih langsung filmnya di sana 'kan?" "Aku sama Om Sam, rencananya akan menonton film Spider-Man, tapi tidak tahu kapan. Om Sam sangat sibuk akhir-akhir ini." Senyum Naya yang sedari terbit kini langsung sirna ketika nama lelaki itu disebut oleh Kai. Menyebalkan, moodnya mendadak buruk. Apalagi ketika mengingat pesan yang dikirimkan oleh lelaki itu yang mengajaknya untuk bertemu hari ini. "Kita menonton film itu saja ya, Aunty Nay!" Naya kembali fokus kepada Kai yang duduk di sampingnya, kembali menampilkan senyum, lalu mengangguk setuju. "Boleh!" "Yey!" "Minta ijin dulu sama Oma, Opa dulu sana. Nanti habis itu siap-siap." Kai mengacungkan jempolnya, lalu bangun dari duduknya dan berjalan dengan setengah berlari menuju kamar Maya dan Husein. Bertepatan dengan Kai yang sudah hilang dari pandangannya, Naya mengambil ponselnya yang tergeletak di meja dengan tujuan untu
Samudra mengernyit ketika melihat sebuah motor yang dia kenal terparkir di halaman rumah. Lelaki itu segera turun dari mobil, membuka gerbang yang terbuat dari kayu di depannya lalu melangkah menuju pintu utama rumah dengan melewati taman di bagian depan. Keningnya kembali mengernyit ketika saat salah satu tangannya memegang handle pintu, pintu itu sangat mudah untuk dibuka yang artinya tidak dikunci. Sekali lagi melirik motor yang terparkir, setelahnya baru masuk ke dalam rumah. "Wisnu di sini? Semalam bukankah dia bilang akan pergi ke rumahnya?" Samudra bermonolog sembari melangkah masuk ke dalam rumah. "Dan Raina lagi-lagi tidak mengunci pintu, dasar ceroboh!" dumelnya. Di ruang tengah, ruang tamu, bahkan dapur Samudra tidak menemukan satu orang pun, namun samar-samar dia mendengar suara-suara dari dalam kamar Raina. Kakinya dengan pasti kembali melangkah menuju kamar Raina. Pintu dengan warna lavender itu tentu jadi tujuan Samudra untuk membukanya. "Rai—" Samudra tidak m