Hanya beberapa menit, mereka bertiga sampai di meja resepsionis. Pandangan mata mereka mengedar mencari Nayla.
"Di mana Nayla?" tanya Angel sambil menoleh kiri kanan. Sama halnya dengan Aldo.
"Memangnya benar di sini, Pak kalau menebus obat?"
"Iya, Mas. Benar!"
Andi juga ikut mencari sosok Nayla.
Sampai akhirnya, kedua mata Angel melihat seorang perempuan yang mirip dengan temannya. Namun perempuan itu membelakangi dirinya.
Angel yang penasaran berjalan mendekati perempuan yang berjongkok di sudut tembok.
"Nay-la!" panggil Angel terbata karna takut salah orang.
Perempuan itu menoleh ke belakang. Memperlihatkan separuh wajahnya yang tertutupi rambut.
"Nayla! Kamu ngapain?!"
Angel terkejut dan tak sadar suaranya meninggi. Membuat Aldo dan Andi mendekati keduanya.
Tampak jari-jari dan mulut Nayla belepotan darah. Angel, Aldo, dan Pak Andi ikut kaget melihatnya.
"Nay! Apa ada yang luka?
"Sepertinya sosok sinden itu juga dendam dengan laki-laki itu, Mas!""Siapa yaa?" desis Angel."Pasti itu kakek Mbak Nayla!" sahut Aldo. Kedua mata Angel membulat sambil mengangguk. Seolah membenarkan apa yang dibilang Aldo."Kenapa kalian enggak coba cari tahu tentang masa lalunya? Siapa tahu kalian akan dapat petunjuk?" usul Andi."Apa bisa, Pak? Kejadian itu sudah sangat lama sekali. Beberapa tahun yang lalu.""Pasti sinden ini memliki keluarga atau saudara. Kenapa kalian enggak mencari tahu dari mereka?"Seketika kedua mata Angel dan Aldo membulat. Apa yang dikatakan Andi memang benar. Kenapa selama ini tak terpikirkan oleh mereka."Pak Andi benar!!" seru Aldo senang."Satu hal lagi! Apa kalian juga tahu tentang sosok sinden yang mirip dengan sosok sinden merah. Hanya sinden ini tiap menampakkan dirinya selalu memakai selendang hijau?""Iya kami sudah tahu, Pak. Sosok itu adalah sintrennya," jawab Aldo se
Angel dan Nayla saling berpandangan. Lalu menganggukkan kepala tanda setuju."Ya sudah, aku siap-siap. Nanti aku ke rumah Mbah Waci naik taksi aja. Tunggu di depan gang ya, Mbak!""Oke. Kita jalan dulu ya."Akhirnya mereka bertiga berpisah. Aldo berjalan cepat menuju kamarnya. Sedangkan Nayla dan Angel menuju meja resepsionis.Sepuluh menit kemudian, Nayla dan Angel sudah berada di halaman parkir rumah sakit.Terlihat Angel membonceng Nayla.Motor matic itu melaju memecah kemacematan kota siang hari itu. Sengatan sinar matahari yang panas seakan menembus jaket tebal yang mereka kenakan.Tak sampai satu jam, motor itu berhenti di depan sebuah gang. Angel mematikan mesin motor dan menstandarkan motor milik Nayla."Udah di mana dia?" tanya Angel sembari menoleh pada Nayla."Katanya dia sebentar lagi sampai."Lima menit berlalu, terlihat sebuah mobil berwarna biru muda ke arah mereka."Itu mun
"Ras! Kamu kenapa?" tanya Nayla. Mereka ikut memperhatikan Rasti.Namun gadis itu masih belum menjawab. Ia masih diam dan menatap lurus ke arah pohon mangga.Dalam beberapa detik kemudian, sintren itu menghilang. Selang tiga detik, muncul Mbah Waci yang berjalan dengan memakai topi caping.Sontak Nayla, Aldo dan Angel langsung berdiri dan bersamalan dengan wanita tua itu."Ada tamu toh?" ujar Mbah Waci."Hehehe, maaf ya, Mbah kami kesini dadakan.""Enggak apa-apa. Makanya aku tadi kaget, kenapa ada 'dia', ternyata kalian kemari," ujar Mbah Waci sembari melepas topi caping dan duduk di tikar.Perkataan Mbah Waci membuat mereka bertiga saling berpandangan."Dia?" ulang Nayla dengan dahi mengerut."Iya sintren itu, Nduk!" jawab Waci sambil duduk di dekat cucunya.Wanita tua itu mengibaskan topi caping yang dipegangnya. Cuaca yang panas membuatnya merasa kegerahan.Serempak mereka
"Memangnya di mana kamu melihatnya?""Di ... di ..." Tampak Aldo kesulitan mengingat di mana ia pernah bertemu dengan Kakek Nayla."Kamu enggak ingat 'kan? Pasti itu orang lain, Do.""Bukan, Mbak." Aldo masih mencoba mengingatnya.Lalu tiba-tiba, suara Aldo membuat mereka terkejut."Aku ingat sekarang!"Tatapan mata semuanya tertuju pada Aldo."Di mana, Do?" tanya Rasti penasaran."Saat Mbak Nayla nolongin aku di rawa-rawa."Kedua mata Nayla terbelalak. Bahkan wajahnya sedikit maju ke depan. Sama halnya dengan Angel."Ka-kamu lihat pas di rawa-rawa? Suara Nayla tertahan."Iya, Mbak. Waktu itu saat di jalan pulang. Aku mendengar suara gamelan. Aku berhenti. Dan aku melihat sosok Kusumawardhani. Cantik banget, Mbak. Aku ..." Aldo tak melanjutkan ucapannya. Membuat mereka yang mendengar semakin penasaran."Aku apa? Jangan di potong-potong ahh!" seru Nayla."Aku ... kayak terhipnotis, Mbak s
"Di sana, kita tidak bisa berbicara dan menyentuh orang-orang yang ada di dimensi itu. Yang bisa kita lakukan hanya melihat. Tetapi kita masih bisa saling berbicara. Ingat! Jangan pernah jauh-jauh dari Mbah. Agar roh kalian dapat kembali ke jasad kasar kalian masing-masing!" pesan Mbah Waci dengan penuh penegasan di kalimat terakhir.Nayla menelan ludahnya sendiri. Ia tercekat dengan perkaatan Mbah Waci."Paham?""Iya, Mbah kami paham.""Sekarang saling bergandengan. Genggam dengan erat. Tegapkan tubuh kalian. Tarik napas perlahan dan hembuskan sebanyak tiga kali. Lalu pejamkan mata. Pikiran kalian harus rileks, sampai kalian merasakan tubuh kalian terasa ringan seperti kapas."Baru beberapa detik, terlihat tiga sinar berwarna putih keluar dari tubuh Mbah Waci, Nayla dan Aldo.Membuat Angel terkejut dan bersembunyi di belakang punggung Rasti."Mereka sudah mulai meraga sukma," ucap Rasti. Kedua matanya masih mengikut
"Kita ikuti mereka sekarang!" ajak Mbah Waci.Kembali Nayla dan Aldo mengikuti langkah kaki Mbah Waci yang berjalan cepat.Sampai mereka melihat tiga preman itu membawa Kusumawardhani ke sebuah tempat yang agak gelap. Rumput ilalang tumbuh tinggi setinggi pinggang.Saat Nayla mengedarkan pandangannya, gadis itu kaget melihat seseorang yang bersembunyi di balik pohon. Tatapannya melihat ke depan.Ia memicingkan kedua matanya untuk mengenali siapa yang mengintip di balik pohon. Tiba-tiba, alisnya bertaut. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri yang ternganga."Itu ... Kakek?" ucap Nayla dengan suara yang lirih. Tetapi Mbah Waci yang berada di sampingnya ikut mendengar.Sontak pandangan mata Mbah Waci dan Aldo tertuju pada yang dilihat Nayla."Laki-laki itu yang aku lihat sebelumnya, Mbak. Jadi dia kakek Mbak Nayla?""Iya, Do. Tapi kenapa Kakek bersembunyi? Kenapa Kakek enggak menolong Kusumawardhani?"
"Ayo kita cepat bawa tusuk konde ini ke Mbah Darto. Lalu kita minta bayaran kita!"Nayla syok dan terkejut mendengar nama kakeknya disebut."M-Mbah Dar-to!" Kedua matanya melotot.Mbah Waci melihat raut wajah Nayla yang syok dan kaget."Tenang, Nduk. Kita harus melihat apa yang sebenarnya terjadi."Ketiga preman itu pergi meninggalkan jasad Kusumawardhani begitu saja.Sampai terdengar suara yang memanggil ketiga preman itu."Doyok, Badar, Codet!"Sontak ketiganya menoleh bersamaan. Sekitar begitu sepi dan sunyi. Mereka saling mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Dari balik pohon, muncul seorang laki-laki berpakaian hitam, berjalan menuju arah mereka. Lelaki itu yang di panggil Mbah Darto."Mbah Darto! Bikin kaget saja!" ujar Badar."Mana tusuk konde itu!""Mana dulu bayaran kita, Mbah!""Kalian ini, kalau masalah duit cepet!"Mbah Darto mengambil bungkusan coklat da
"Nyai! Ada satu hal lagi!" ucap Darto dengan tegas dan tatapan yang tajam. Raut wajah lelaki tua itu terlihat serius."Aduuh ... apalagi Mbah?! Cepetan! Saya enggak punya banyak waktu!!""Karena tusuk konde ini di dapat dengan cara membunuh, Nyai jangan sampai terlambat menyediakan laki-laki yang akan jadi korban. Karena sintren ini masih berwujud persis dengan pemilik sebelumnya." "Maksudnya?" Tampak kerutan di dahi wanita itu."Sintren ini memiliki wajah yang mirip dengan Kusumawardhani. Dan saat ini masih sama.""Lalu apa berbahaya kalau begitu, Mbah?"Mbah Darto menganggukkan kepalanya beberapa kali."Bisa saja arwah Kusumawardhani dendam dan menuntut balas lewat sintren ini.""Lalu apa yang harus saya lakukan dong, Mbah?""Cuci tusuk konde ini dengan bunga tujuh rupa di bawah sinar rembulan selama empat puluh hari!""Hah?? Untuk apa?""Selama empat puluh hari, arwah Kusumawardhani ma
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit. Setelah membayar taxi online, Nayla dan Rasti langsung berlari masuk ke dalam gedung yang cukup mewah di mana mereka mengikuti training. Sepatu pantofel hitam dengan heels 3 cm yang mereka pakai sangat tak nyaman digunakan berlari. Tapi karna takut terlambat, mau tak mau Nayla dan Rasti berlari walau harus pandai-pandai menjaga keseimbangan badannya. "Nay, benerin dulu rambut kamu. Berantakan tuh!""Oh ya!" Nayla langsung membenarkan helai rambut yang keluar dan menggulung rambutnya dengan rapi. Tak lupa mereka berdua saling mengingatkan dan mengamati penampilan satu sama lain. Sampai di depan resepsionis. Nayla dan Angel menunjukkan kartu anggota training. Setelah mendapatkan jadwal dan di mana ruangan mereka hari itu, dengan berjalan cepat keduanya segera menuju ruangan yang berada di lantai 5.Lift pagi itu terlihat tak terlalu banyak orang. Tanpa berpikir macam-macam keduanya langsung masuk. Apalagi saat Nayla mel
"Terimakasih, Bu. Rejeki pagi-pagi," ujar satpam budi kegirangan. "Mau di kubur di mana, Bu?""Terserah, Pak. Asal jangan di sini.""Oh baik, Bu."Setelah Tante Dewi mengunci semua pintu rumah. Satpam Budi yang masih berada di rumah itu sedang mencari sebuah kantong keresek. Dimasukkan bangkai itu ke dalam kantong. Ketika akan keluar dari rumah, Budi kembali menoleh ke belakang. "Lagi ada saudaranya ya,Bu di rumah?" tanya tiba-tiba satpam Budi. "Hah? Enggak ada saudara, Pak," jawab Tante Dewi sambil menoleh ke belakang. Tak hanya Tante Dewi. Nayla dan Rahma pun juga ikut menoleh melihat ke arah yang di lihat satpam tersebut. "Itu ada perempuan, Bu sedang melihat ke sini.""Haaah?" Tante Dewi, Rahma dan Nayla hanya bisa mengangnga kaget. Kecuali Rasti. Gadis itu seperti melihat seseorang di dalam rumah. Menyadari matahari yang semakin tinggi, Tante Dewi menyuruh anak dan keponakannya itu untuk segera berangkat agar tidak terlambat. Begitu juga si satpam yang sudah berhasil mend
Dan karena rasa ngantuk, tak terasa mereka semua tertidur dengan berdempetan di kasur. Tetapi Nayla dan Rasti tertidur di karpet lantai. Sinar matahari pagi menembus sela-sela jendela. Tante Dewi terbangun sambil mengucek kedua matanya. Ia terkejut saat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Buru-buru wanita itu membangunkan Nayla, Rasti dan Rahma. "Ayo bangun! Bangun Rahma, Nayla, Rasti. Sudah pagi. Kalian terlambat nanti!"Tampak Nayla yang terlebih dahulu mulai menggerakkan badannya."Jam berapa ini, Te?" tanya Nayla sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Hah? Kesiangan ini, Te!""Makanya! Cepet kamu bantu Tante bangunin mereka!"Tiga puluh menit kemudian. Di ruang tamu, semuanya sudah tampak rapi dengan pakaian yang mereka kenakan. Karena mereka semua bangun kesiangan pagi itu semuanya berangkat tanpa sarapan."Kalian udah siap semua? Rahma kamu nanti pulang jam berapa?" tanya Tante Dewi."Jam lima Ma, bisa juga lebih. Soalnya ada kerja kelompok nanti d
"Tumbal para laki-laki, Mbak?" celetuk Rahma. "Iya benar." Wajah Nayla tertunduk dan berubah sedih. Dia teringat akan Wisnu sang pujaan hati yang sudah meninggal. Nayla masih sangat menyesal dan masih belum bisa maafkan dirinya sendiri atas kematian sang kekasih. Seandainya Nayla tak menemukan dan mengambil tusuk konde itu, mungkin saat ini dia masih bisa bersama Wisnu dan tak dihantui seperti ini. "Ras, kayaknya aku tau siapa pocong itu." Tiba-tiba Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Rasti di samping. Kedua bola mata mereka saling beradu pandang."Siapa?"Semua yang ada di ruangan saat itu menatap ke arah Nayla dengan tajam. "Dano!""Siapa Dano itu, Mbak?"Rasti memicingkan mata kanannya. Mencoba mengingat-ingat siapa nama yang disebut Nayla."Oh! Dia korban yang belum lama ini?" cetus Rasti. Dengan cepat kepala Nayla mengangguk beberapa kali."Maksudnya gimana, Nay?" tanya Tante Dewi yang tak mengerti apa yang dibicarakan keponakannya itu. "Jadi saat Nayla dan Angel akan k
"Oh ya kamu kok belum tidur?" tanya Dion. "Iya Rasti tadi lihat penampakan pocong.""Pocong! Kok bisa?""Gak tau. Tapi sepertinya pocong itu adalah tumbal dari tusuk konde ini, Yon.""Gila! Tusuk konde itu harus benar-benar di musnahkan. Sebelum makin banyak korban.""Iya. Eh, lanjut besok ya, Yon. Kasihan Rasti, aku harus temenin dia dulu.""Oke."Telepon pun terputus. Dion kembali berbaring di kasur, sampai akhirnya kedua matanya pun dapat terpejam dan Dion terlelap dalam tidurnya. Sementari itu di rumah Tante Dewi.Semuanya jadi terbangun karena teriakan Rasti. Mereka duduk di ruang tamu. Selesai telepon, Nayla kembali ke ruang tamu sambil membawa segelas air untuk temannya itu. "Minum dulu, Ras." "Makasih, Nay.""Memangnya tadi apa yang membuat kamu teriak, Nduk?" tanya Tante Dewi lembut. Rasti terdiam beberapa saat, sampai Nayla menyenggol lengannya. Membuat Rasti gelagapan. "Kok diam? ditanya Tante, Ras!""Oh maaf, Tante." Rasti memalingkan pandangannya pada kamar Nayla.
Tangannya sibuk mengeluarkan satu per satu barang yang ada di dalam laci tersebut. Sampai raut wajah Dion berubah melihat sebuah foto usang yang masih hitam putih. "Ini yang aku cari. Ini foto aku saat aku umur 5 tahun. Dan ini Mas Agung, lalu perempuan ini." Kalimatnya terhenti. Dion duduk di pinggir ranjang. Foto usang itu masih di lihatnya dengan serius. Dahinya mengerut mencoba mengingat-ingat kejadian yang telah lama terjadi. "Perempuan ini yang namanya Mawar, gadis yang dicintai Mas Agung, tapi enggak mendapat restu Mama Papa."Lalu Dion membalik foto usang itu. Tepat di pojok kanan bawah terdapat sebuah tulisan yang tintanya hampir pudar. Dion pun mencoba mengeja tulisan yang samar tersebut."Wo ... no ... giri?""Apa desa Nayla di Wonogiri ya? Kalau bener, bisa jadi sinden merah yang mengikuti Nayla adalah Mawar yang dulu pernah dicintai Mas Agung."Dengan cepat Dion langsung membereskan semua pakaian dan barang-barang miliknya. Semuanya dia kembalikan ke dalam lemari. Men
Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam. Rahma, Rasti, Nayla dan Tante Dewi masih berkumpul di ruang tv. Terdengar suara tawa mereka yang memecah keheningan malam. Acara komedi tersebut membuat Nayla dan Rasti merasa terhibur. Setelah acara pun selesai. Tante Dewi menyuruh mereka bertiga untuk langsung masuk ke dalam kamar dan tidur. Agar besok kembali segar saat beraktivitas. Rasti mengikuti langkah Nayla menuju kamar. Saat itu pandangan mata Rasti tak sengaja melihat ke arah jendela yang tirainya belum tertutup. "Nay, itu tirainya belum di tutup!""Oh ya, lupa kali Tante Dewi. Aku tutup dulu deh!" Nayla berjalan ke arah jendela sambil menyisir rambutnya dengan jari tangan. Sementara itu Rasti masih berdiri di depan pintu kamar Nayla. Matanya masih menatap ke arah Nayla yang kini sudah berada di depan jendela. Nayla menarik pengait tirai. Tiba-tiba Rasti terkejut bahkan hampir teriak. Namun buru-buru Rasti menutup mulutnya dan menyembunyikan rasa kagetnya. Rasti tak mau kalau jeri
Perempuan itu pun terjatuh ke tanah. Kedua kakinya seperti tak mampu menopang tubuhnya sendiri. Tatapan matanya masih melihat punggung laki-laki yang baru saja meninggalkan dirinya. "Kenapa kamu tega, Mas." Dion hanya terdiam. Ia merasa kasihan pada perempuan yang tak dikenalnya itu. Walaupun ia tak tahu persis apa yang terjadi, namun ia juga membenarkan apa yang dikatakan perempuan itu pada Kakaknya. Hingga Dion mendengar suara yang tak asing baginya. Ia merasa tubuhnya seperti sedang digoyang-goyang. Sampai dirinya mulai terbangun. "Nak, kamu kenapa? Kenapa bisa di sini?" Dion tersentak kaget. Hingga membuat wanita setengah baya yang memakai baju tidur itu juga ikut kaget."Mama!""Kamu kenapa, hah?""Ehh ... "Dion menoleh ke kanan dan ke kiri. Membuat Mamanya makin keheranan dengan kelakuan anak laki-lakiny itu."Cari siapa?""Anuu ... Ini di rumah, Ma?""Loh iya! Ini di rumah. Emang kamu kira di mana? Di hutan?!"Dion hanya terdiam sambil celingukan. "Dion! Kamu kenapa sih?
Melihat gelagat Dion yang aneh, Mas Agung kembali bertanya. Hingga membuat Mama Dion juga ikut penasaran."Kenapa? Ada apa di depan?""Enggak, Mas.""Tapi wajah kamu kok kayak habis lihat setan?" Dion terhenyak dengan kalimat kakaknya itu. 'Iya, dia sinden tusuk konde itu. Sinden yang mengikuti Nayla. Tapi kenapa dia sekarang juga mengikuti aku? Padahal aku belum berbuat apa-apa,' batin Dion sendiri. "Dion!" panggil sang Mama yang sedang berjalan mendekati putra bungsunya. Wanita itu sedikit melongok keluar. Pintu yang mau ditutup Dion dibuka oleh Mamanya. "Enggak ada orang Dion. Siapa yang kamu lihat?""Memang gak ada, Ma. Ya sudah ayo masuk, Ma, udah malem." Dion langsung memeluk Mamanya dan mengajaknya masuk ke dalam rumah.Setelah mengantar sang Mama ke dalam kamar. Dion berniat untuk ke kamarnya yang berada di lantai dua.Baru menaiki beberapa anak tangga, Dion melihat sekelebat bayangan dari arah dapur yang lampunya sudah dimatikan. Sejenak Dion menghentikan langkahnya. Di