"Sepertinya sosok sinden itu juga dendam dengan laki-laki itu, Mas!"
"Siapa yaa?" desis Angel.
"Pasti itu kakek Mbak Nayla!" sahut Aldo. Kedua mata Angel membulat sambil mengangguk. Seolah membenarkan apa yang dibilang Aldo.
"Kenapa kalian enggak coba cari tahu tentang masa lalunya? Siapa tahu kalian akan dapat petunjuk?" usul Andi.
"Apa bisa, Pak? Kejadian itu sudah sangat lama sekali. Beberapa tahun yang lalu."
"Pasti sinden ini memliki keluarga atau saudara. Kenapa kalian enggak mencari tahu dari mereka?"
Seketika kedua mata Angel dan Aldo membulat. Apa yang dikatakan Andi memang benar. Kenapa selama ini tak terpikirkan oleh mereka.
"Pak Andi benar!!" seru Aldo senang.
"Satu hal lagi! Apa kalian juga tahu tentang sosok sinden yang mirip dengan sosok sinden merah. Hanya sinden ini tiap menampakkan dirinya selalu memakai selendang hijau?"
"Iya kami sudah tahu, Pak. Sosok itu adalah sintrennya," jawab Aldo se
Angel dan Nayla saling berpandangan. Lalu menganggukkan kepala tanda setuju."Ya sudah, aku siap-siap. Nanti aku ke rumah Mbah Waci naik taksi aja. Tunggu di depan gang ya, Mbak!""Oke. Kita jalan dulu ya."Akhirnya mereka bertiga berpisah. Aldo berjalan cepat menuju kamarnya. Sedangkan Nayla dan Angel menuju meja resepsionis.Sepuluh menit kemudian, Nayla dan Angel sudah berada di halaman parkir rumah sakit.Terlihat Angel membonceng Nayla.Motor matic itu melaju memecah kemacematan kota siang hari itu. Sengatan sinar matahari yang panas seakan menembus jaket tebal yang mereka kenakan.Tak sampai satu jam, motor itu berhenti di depan sebuah gang. Angel mematikan mesin motor dan menstandarkan motor milik Nayla."Udah di mana dia?" tanya Angel sembari menoleh pada Nayla."Katanya dia sebentar lagi sampai."Lima menit berlalu, terlihat sebuah mobil berwarna biru muda ke arah mereka."Itu mun
"Ras! Kamu kenapa?" tanya Nayla. Mereka ikut memperhatikan Rasti.Namun gadis itu masih belum menjawab. Ia masih diam dan menatap lurus ke arah pohon mangga.Dalam beberapa detik kemudian, sintren itu menghilang. Selang tiga detik, muncul Mbah Waci yang berjalan dengan memakai topi caping.Sontak Nayla, Aldo dan Angel langsung berdiri dan bersamalan dengan wanita tua itu."Ada tamu toh?" ujar Mbah Waci."Hehehe, maaf ya, Mbah kami kesini dadakan.""Enggak apa-apa. Makanya aku tadi kaget, kenapa ada 'dia', ternyata kalian kemari," ujar Mbah Waci sembari melepas topi caping dan duduk di tikar.Perkataan Mbah Waci membuat mereka bertiga saling berpandangan."Dia?" ulang Nayla dengan dahi mengerut."Iya sintren itu, Nduk!" jawab Waci sambil duduk di dekat cucunya.Wanita tua itu mengibaskan topi caping yang dipegangnya. Cuaca yang panas membuatnya merasa kegerahan.Serempak mereka
"Memangnya di mana kamu melihatnya?""Di ... di ..." Tampak Aldo kesulitan mengingat di mana ia pernah bertemu dengan Kakek Nayla."Kamu enggak ingat 'kan? Pasti itu orang lain, Do.""Bukan, Mbak." Aldo masih mencoba mengingatnya.Lalu tiba-tiba, suara Aldo membuat mereka terkejut."Aku ingat sekarang!"Tatapan mata semuanya tertuju pada Aldo."Di mana, Do?" tanya Rasti penasaran."Saat Mbak Nayla nolongin aku di rawa-rawa."Kedua mata Nayla terbelalak. Bahkan wajahnya sedikit maju ke depan. Sama halnya dengan Angel."Ka-kamu lihat pas di rawa-rawa? Suara Nayla tertahan."Iya, Mbak. Waktu itu saat di jalan pulang. Aku mendengar suara gamelan. Aku berhenti. Dan aku melihat sosok Kusumawardhani. Cantik banget, Mbak. Aku ..." Aldo tak melanjutkan ucapannya. Membuat mereka yang mendengar semakin penasaran."Aku apa? Jangan di potong-potong ahh!" seru Nayla."Aku ... kayak terhipnotis, Mbak s
"Di sana, kita tidak bisa berbicara dan menyentuh orang-orang yang ada di dimensi itu. Yang bisa kita lakukan hanya melihat. Tetapi kita masih bisa saling berbicara. Ingat! Jangan pernah jauh-jauh dari Mbah. Agar roh kalian dapat kembali ke jasad kasar kalian masing-masing!" pesan Mbah Waci dengan penuh penegasan di kalimat terakhir.Nayla menelan ludahnya sendiri. Ia tercekat dengan perkaatan Mbah Waci."Paham?""Iya, Mbah kami paham.""Sekarang saling bergandengan. Genggam dengan erat. Tegapkan tubuh kalian. Tarik napas perlahan dan hembuskan sebanyak tiga kali. Lalu pejamkan mata. Pikiran kalian harus rileks, sampai kalian merasakan tubuh kalian terasa ringan seperti kapas."Baru beberapa detik, terlihat tiga sinar berwarna putih keluar dari tubuh Mbah Waci, Nayla dan Aldo.Membuat Angel terkejut dan bersembunyi di belakang punggung Rasti."Mereka sudah mulai meraga sukma," ucap Rasti. Kedua matanya masih mengikut
"Kita ikuti mereka sekarang!" ajak Mbah Waci.Kembali Nayla dan Aldo mengikuti langkah kaki Mbah Waci yang berjalan cepat.Sampai mereka melihat tiga preman itu membawa Kusumawardhani ke sebuah tempat yang agak gelap. Rumput ilalang tumbuh tinggi setinggi pinggang.Saat Nayla mengedarkan pandangannya, gadis itu kaget melihat seseorang yang bersembunyi di balik pohon. Tatapannya melihat ke depan.Ia memicingkan kedua matanya untuk mengenali siapa yang mengintip di balik pohon. Tiba-tiba, alisnya bertaut. Kedua tangannya membekap mulutnya sendiri yang ternganga."Itu ... Kakek?" ucap Nayla dengan suara yang lirih. Tetapi Mbah Waci yang berada di sampingnya ikut mendengar.Sontak pandangan mata Mbah Waci dan Aldo tertuju pada yang dilihat Nayla."Laki-laki itu yang aku lihat sebelumnya, Mbak. Jadi dia kakek Mbak Nayla?""Iya, Do. Tapi kenapa Kakek bersembunyi? Kenapa Kakek enggak menolong Kusumawardhani?"
"Ayo kita cepat bawa tusuk konde ini ke Mbah Darto. Lalu kita minta bayaran kita!"Nayla syok dan terkejut mendengar nama kakeknya disebut."M-Mbah Dar-to!" Kedua matanya melotot.Mbah Waci melihat raut wajah Nayla yang syok dan kaget."Tenang, Nduk. Kita harus melihat apa yang sebenarnya terjadi."Ketiga preman itu pergi meninggalkan jasad Kusumawardhani begitu saja.Sampai terdengar suara yang memanggil ketiga preman itu."Doyok, Badar, Codet!"Sontak ketiganya menoleh bersamaan. Sekitar begitu sepi dan sunyi. Mereka saling mengedarkan pandangannya ke sekeliling.Dari balik pohon, muncul seorang laki-laki berpakaian hitam, berjalan menuju arah mereka. Lelaki itu yang di panggil Mbah Darto."Mbah Darto! Bikin kaget saja!" ujar Badar."Mana tusuk konde itu!""Mana dulu bayaran kita, Mbah!""Kalian ini, kalau masalah duit cepet!"Mbah Darto mengambil bungkusan coklat da
"Nyai! Ada satu hal lagi!" ucap Darto dengan tegas dan tatapan yang tajam. Raut wajah lelaki tua itu terlihat serius."Aduuh ... apalagi Mbah?! Cepetan! Saya enggak punya banyak waktu!!""Karena tusuk konde ini di dapat dengan cara membunuh, Nyai jangan sampai terlambat menyediakan laki-laki yang akan jadi korban. Karena sintren ini masih berwujud persis dengan pemilik sebelumnya." "Maksudnya?" Tampak kerutan di dahi wanita itu."Sintren ini memiliki wajah yang mirip dengan Kusumawardhani. Dan saat ini masih sama.""Lalu apa berbahaya kalau begitu, Mbah?"Mbah Darto menganggukkan kepalanya beberapa kali."Bisa saja arwah Kusumawardhani dendam dan menuntut balas lewat sintren ini.""Lalu apa yang harus saya lakukan dong, Mbah?""Cuci tusuk konde ini dengan bunga tujuh rupa di bawah sinar rembulan selama empat puluh hari!""Hah?? Untuk apa?""Selama empat puluh hari, arwah Kusumawardhani ma
"Ras, Ras! Itu apa?!"Rasti menoleh dan melihat ke arah yang ditunjuk Angel."Apa?""Kamu enggak lihat tadi ada kain putih gitu masuk ke dalam?""Hah?!""Iya! Kainnya kotor gitu, kayak ada tanah-tanah yang menempel di kain.""Enggak ada apa-apa kok." Rasti berusaha mengalihkan perhatian Angel.Tak lama kemudian, aroma tak sedap seperti bau bangkai semakin kuat tercium. Sampai Angel menutup hidungnya."Baunya tambah enggak enak, Ras. Bau apa sih in?!"Rasti hanya diam. Tatapan matanya melihat ke dalam rumah. Sesekali mata kanannya memicing. Gadis itu merasakan sesuatu yang ada di dalam rumah."Ras! Apa yang kamu lihat sampai enggak berkedip gitu?" Suara Angel membuat Rasti kaget."Enggak ada kok!" jawab Rasti sengaja berbohong.Baru sedetik mereka saling diam. Tiba-tiba ...."I-ii-itu, Ras!" ujar Angel terbata-bata. Jarinya menunjuk ke dalam rumah. Suaranya seperti tertahan.Sejena