Share

Tujuh

"Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini.

"Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."

Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.

Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.

Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi.

Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka dari itu bisa lolos seleksi. Walau rasanya sedikit tak percaya saja, kenapa Kiai memilihku sebagai sopir pribadinya.

"Ke jalur lingkar selatan dulu ya, Pak―" Gadis di hadapanku tertegun, aku pun sama, namun dengan cepat menundukkan pandangan.

"Loh, Pak Slamet mana, ya?" tanyanya terdengar bingung.

"Mohon maaf, apa sebelumnya Pak Kiai tidak memberitahu?" tanyaku mencoba untuk menatapnya kembali walau dengan penuh hati-hati.

Dia mengernyitkan dahi seraya membisu. Namun sepersekian detik wajahnya berubah.

"Ya Allah, iya. Pak Slamet resign hari ini 'kan, ya?" katanya seraya terkekeh. Aku hanya mengangguk.

"Oh, Masnya sopir baru?" tanyanya, aku mengangguk lagi.

"Oke, deh. Antar saya ke jalur, ya? Tahu, 'kan?"

"Baik, Teh." Aku menjawab sopan, dia tersenyum dengan enteng, sedangkan aku hanya bisa menundukkan kepala saat anak sulung Kiai Abdurrahim itu melewati tubuh ini untuk masuk ke dalam mobil.

Setelah dia sudah duduk di belakang, aku langsung masuk dan memasang sabuk pengaman. Dengan penuh hati-hati aku mulai mengendalikan mobil, membawa kendaraan ini keluar dari area rumah mewah milik Kiai.

Selama berada di jalan, jantungku tak berhenti berdebar karena baru pertama kali membawa seseorang yang begitu penting.

Entah kenapa tiba-tiba saja aku melirik kaca spion tengah, membuat mata ini refleks menangkap bayangan anak Pak Kiai yang tengah duduk di belakang.

Dengan cepat aku menyudahinya sebelum tertangkap basah. Walau demikian, bayangannya yang tengah duduk tenang seraya memangku buku masih menenuhi pelupuk mata.

Desas-desus soal anak Pak Kiai Abdurrahim sebenarnya sudah lama kudengar. Banyak teman-teman yang bilang, jika anak sulungnya itu memang berbeda jauh sekali sifatnya dengan kedua orang tuanya.

Aku juga sudah mendengar jika katanya anak Pak Kiai itu belum lah berhijab, namun walau berita itu sudah lama masuk ke dalam telinga, tapi ini kali pertama aku melihat dan bertemu secara langsung.

Asmarani Putri Abdurrahim. Nama yang tidak asing bagiku, karena seantero yayasan sering sekali membicarakannya.

Katanya, gadis bernama Asma ini memiliki hobi menulis juga pandai sekali bermain musik. Maka dari itu, dia memilih kuliah di sebuah kampus yang tak dinaungi yayasan orang tuanya sendiri.

Katanya, dia anak pembangkang dan keras kepala. Sering kali beradu argumen dengan ayahnya yang ingin sekali menjadikan anak sulungnya itu sebagai penerusnya nanti.

Katanya, dia anak yang sulit diatur dan bergaul dengan siapa saja tanpa membatasi diri dengan lawan jenis.

Masih banyak lagi informasi yang sering kudengar mengenai dirinya, walau begitu, aku tak pernah ikut berkomentar. Karena setiap manusia pasti memiliki keinginan masing-masing. Termasuk putri sulung Kiai bernama Asmarani ini.

"Mampir ke Lapangan Merdeka dulu ya, Mas." Suaranya kembali terdengar sampai membuat lamunanku buyar.

Untuk menjawab perintahnya, aku hanya bisa menganggukkan kepala.

Tak sampai sepuluh menit, aku sudah bisa mengantarkannya ke tempat tujuan. Setelah mengucap terima kasih, dia langsung turun dan berjalan cepat ke arah gerbang.

Dari dalam mobil, aku bisa melihat dia menghampiri beberapa orang yang berdiri di bawah pohon beringin. Dua di antaranya adalah lelaki. Mereka nampak begitu akrab, bahkan aku bisa melihat sang anak Kiai tertawa lepas.

Seseorang yang tak mengenalnya pasti tidak akan menyangka jika dia adalah anak dari seorang Kiai besar. Penampilan dan sifatnya benar-benar jauh dari kata 'alim, walau memang Asmarani berpakaian sangat tertutup dengan celana kargo dan kaus super longgarnya. Kecuali kepalanya yang masih menampakkan rambut hitam sebahu.

Tapi, aku rasa gadis itu bukan lah wanita nakal atau pun pembangkang. Walau baru kali ini aku bertemu, namun dalam sekilas pun aku bisa menangkap, jika dia memang wanita baik-baik dan tahu batasan.

***

"Skripsinya sudah selesai, Mas?" tanya Asmarani dari kursi belakang.

"Belum," jawabku singkat.

"Pasti pusing, ya? Hehe." Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya, lalu membiarkan kegemingan menaungi kami.

Sudah dua tahun aku menjadi sopir keluarga Pak Kiai Abdurrahim, dan karena itu pula aku sudah terbiasa mendengar celotehan atau pun pertanyaan dari anak sulungnya.

"Ke mana sekarang, Teh?" tanyaku yang baru saja menjemputnya pulang dari kampus.

"Mau mampir dulu ke jalan Cibolang, katanya di sana ada toko buku baru. Mumpung masih ada waktu. Mas Ridho jadwal mengajinya masih setelah Magrib, 'kan?" katanya sedikit panjang, aku hanya mengiyakan.

Kami tak berbicara lagi, aku fokus menyetir dan dia entah sedang apa, karena sedikit pun aku tak berani untuk meliriknya walau melalui kaca spion.

"Nah, itu kayaknya, ya?" Dia bersuara lagi. Aku melajukan mobil dengan pelan, lalu memarkirkannya ke di depan sebuah toko buku namun di sampingnya ada sebuah meja berjejer rapi bak sebuah kafe.

Asmarani langsung keluar dari mobil, namun dia tak langsung pergi, tapi malah membungkukkan tubuh agar bisa melihatku melalui kaca jendela mobil.

"Ayo, Mas."

"Saya di sini saja, Teh."

"Duh, sebentar saja, Mas. Dijamin nggak bakal nyesel. Mungkin nanti ketemu buku referensi buat skripsi," katanya membuatku berpikir sejenak.

"Ayo!" katanya lagi, entah kenapa aku tak tega untuk menolak, lalu dengan sedikit ragu mematikan mesin mobil dan ikut turun.

Kulihat Asma tersenyum semringah. Seperti biasa, dengan tingkahnya yang selalu ceria dia berjalan mendahuluiku untuk masuk ke dalam toko buku baru tersebut.

Benar, aku tidak menyesal turun dari mobil. Banyak sekali buku-buku yang ingin kubaca di sini.

"Ambil saja, Mas. Buku yang nggak pakai plastik bisa dibaca di sini." Asma yang hadir tiba-tiba membuatku sedikit kaget.

"Begitu, ya?" ucapku sedikit malu sambil menggenggam salah satu buku.

"Baca di sana saja, yuk, Mas!" Asma menunjuk sebuah meja yang dilengkapi kursi, aku terdiam sejenak lalu mengangguk.

Entah sihir apa yang dipakai anak Kiai Abdurrahim ini sampai aku tak bisa menolak ajakannya.

"Mau pesan kopi, Mas?" tanyanya saat kami sudah duduk.

"Saya tidak ngopi, Teh."

"Oh, maaf. Kalau begitu apa? Jus? Teh?"

"Teh saja mungkin."

"Oke!" sahutnya terdengar tanpa beban.

Asma kemudian memanggil seorang pelayan, meminta satu gelas teh dan jus mangga.

"Mas ambil sarjana pendidikan, ya? Apa hukum? Lupa aku." Dia bersuara lagi saat aku mulai membaca buku.

"Pendidikan."

"Wah, bentar lagi jadi guru, dong." Dia berseru dengan heboh, aku hanya bisa tersenyum menghadapi keceriaannya.

Sebenarnya dia ke sini mau membaca buku atau ingin nongkrong saja? Entah lah.

"Mas, anak-anak santri pasti suka ngomongin aku, ya?" ucapnya tiba-tiba, membuatku ingin meliriknya.

"Tidak." Aku menjawab singkat.

"Ah, bohong. Aku sudah sering dengar, kok. Banyak yang bilang aku anak durhaka lah, anak nggak tahu malu, lah. Banyak banget deh pokoknya. Tapi ya gimana, ya. Jujur, aku sayang banget sama Abi dan Umi, pengen juga nurut sama mereka buat belajar ngelola yayasan. Tapi aku tuh masih ngerasa mau main, mau tahu dunia luar." Tanpa kutanya, dia bercerita panjang lebar.

"Kalau saja aku disuruh pilih, aku pengen banget jadi anak bungsu, tukeran gitu sama adek laki-lakiku. Biar dia yang duluan ngurus yayasan dan aku bisa puasin dulu sama hobi-hobiku."

"Aku tuh sebenarnya suka banget hapal Al-Qur'an kayak Umi, tapi aku belum bisa Mas hidup di lingkungan pesantren, aku tuh suka banget hidup bebas dan bersosialisasi dengan orang luar, bukan hanya di satu lingkungan saja."

"Makanya ... aku tuh begini bukan karena mau jadi anak durhaka. Tapi ya mau jalanin dulu hobi dan keinginanku sebelum nantinya fokus sama yayasan." Tanpa jeda dia bercerita, sampai-sampai aku sendiri tak bisa bertanya karena semua jawaban sudah dia lontarkan dengan begitu jelas.

"Eh, iya. Terima kasih," katanya saat si pelayan tiba membawa pesanan.

"Diminum tehnya, Mas. Maaf aku jadi cerita, haha."

"Nggak apa-apa, Teh."

"Ini, Mas. Ada buku bagus. Bukan tema agama sih, tapi bagus kok buat anak muda kayak kita," katanya sambil menyodorkan sebuah buku bersegel dengan judul Filosopi Teras.

"Dibacanya kalau lagi sempat saja," katanya lagi.

"Terima kasih," ucapku merasa begitu sungkan.

***

"Astagfirullah!" Aku langsung terbangun saat bayangan Asma kembali hadir di mimpiku.

Sudah beberapa hari ini aku selalu dipertemukan dengannya di sebuah mimpi, namun aku sendiri merasa amat berdosa karena selalu memimpikan seorang wanita yang bukan mahrom.

Kenapa? Apa mungkin aku rindu karena sudah beberapa hari tak bertemu dengannya?

Ya, aku memang disibukkan dengan berbagai macam kegiatan sebelum wisuda, hingga Kiai Abdurrahim menyarankanku untuk berhenti dulu menjadi sopirnya dan diganti salah satu mahasiswa yang belum memiliki kesibukan sepertiku.

Karena bayangan Asma masih begitu jelas di pupil mata, aku segera mengambil air wudhu, lalu melaksanakan salat Tahajud lebih awal dari pada biasanya.

Entah kenapa hatiku masih tak karuan. Apa mungkin aku memiliki perasaan tak biasa untuk seorang Asmarani?

Ya Allah, tidak mungkin. Jika iya pun aku harus membuangnya jauh-jauh, karena mustahil seorang anak bangsawan bersanding dengan seorang budak, istilahnya.

Mencintai anak gadis pemilik juragan tanah pun aku sudah dimaki-maki, apa lagi berani mencintai anak gadis pemilik yayasan dan derajat yang begitu tinggi.

Ya Allah, maafkan lah hamba-Mu karena tak pernah bercermin ini.

"Dho? Bakda Subuh ditunggu di rumah Kiai Abdurrahim." Aku sedikit terkejut saat Misbah, santri satu kamarku memberikan informasi.

"Ada apa, ya, Mis?"

"Tidak tahu. Tapi sepertinya penting pisan," ucapnya membuatku semakin tidak karuan.

***

Bakda Subuh, aku langsung pergi ke kediaman Kiai Abdurrahim dengan hati campuraduk.

Apa mungkin Kiai memintaku untuk menjadi sopirnya lagi? Atau bisa jadi beliau mencabut beasiswaku secara tiba-tiba karena tahu jika santrinya ini selalu memimpikan anak sulungnya?

"Assalamualaikum." Walau hatiku bergetar, namun sebisa mungkin aku menampilkan sikap tenang.

Rupanya Kiai Abdurrahim sudah menungguku, lelaki beraura positif itu tengah duduk di kursi kayu jati yang begitu mengkilat.

Kiai Abdurrahim menyambutku hangat, bahkan aku sendiri kaget saat istrinya, Ustazah Halimah datang membawa banyak sekali jamuan bahkan ikut duduk mendampingi suaminya.

"Maaf ya, Nak. Saya suruh kamu datang pagi-pagi begini. Soalnya jam tujuh nanti hendak pergi ke luar kota dan mungkin akan menginap beberapa hari. Jadi saya ingin menyempatkan waktu untuk berbicara mengenai hal serius ini."

Seketika aku menelan ludah mendengar dia berbicara demikian.

"Nak, kamu santri yang sangat baik dan teladan, semua orang sudah mengetahuinya. Saya sudah mengamati Nak Ridho dari lama, bahkan saya sudah beberapa kali melakukan istikharah dan jawabannya insyaallah selalu sama," katanya membuat lidahku kelu.

"Dengan segenap hati, saya meminta Nak Ridho mau menjadi menantu saya, menjadi bagian dari keluarga yayasan ini. Semoga Nak Ridho bisa memenuhi keinginan saya dan keluarga."

Tubuhku langsung menegang, merasa begitu tak percaya dengan ucapan yang kudengar barusan dari mulut seorang Kiai Abdurrahim.

"Bagaimana, Nak?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Sebelumnya, saya merasa begitu terhormat, sekaligus merasa begitu malu, kenapa Kiai ingin menjadikan saya sebagai menantu? Saya bukan orang hebat, saya terlahir dari keluarga tidak punya. Masih banyak di luar sana yang memiliki segalanya dibanding saya. Ilmu, materi, juga kebaikannya."

Kiai Abdurrahim tersenyum. "Memang masih banyak, tapi sulit menemukannya. Nak Ridho, saya tidak menuntut apa pun. Saya hanya membutuhkan sosok yang bisa menjadikan anak saya, Asmarani, menjadi wanita lebih baik dan soleha. Dan saya bisa menemukan semua itu dari Nak Ridho."

Aku langsung menunduk, setelah sekian lama tak menangis, mataku akhirnya kembali menitikkan air.

"Izinkan saya meminta restu pada Ibu saya, Kiai," ucapku hampir tersendat. Kiai tersenyum, pun dengan Ustazah Halimah.

"Terima kasih, Nak Ridho. Kami sangat menunggu jawabannya."

Aku mengangguk, tak bisa lagi berkata-kata karena segala perasaan yang bergejolak di dada.

Ya Allah ....

Semuanya benar-benar terasa mimpi. Seorang Kiai besar, meminta orang biasa ini menjadi bagian dari keluarganya. Memintaku untuk menikahi putrinya yang berparas sempurna.

Ibu, doa apa yang kau langitkan sampai Sang Pencipta memberi kepercayaan dan anugerah sebesar ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status