"Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini.
"Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah." Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini. Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri. Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka dari itu bisa lolos seleksi. Walau rasanya sedikit tak percaya saja, kenapa Kiai memilihku sebagai sopir pribadinya. "Ke jalur lingkar selatan dulu ya, Pak―" Gadis di hadapanku tertegun, aku pun sama, namun dengan cepat menundukkan pandangan. "Loh, Pak Slamet mana, ya?" tanyanya terdengar bingung. "Mohon maaf, apa sebelumnya Pak Kiai tidak memberitahu?" tanyaku mencoba untuk menatapnya kembali walau dengan penuh hati-hati. Dia mengernyitkan dahi seraya membisu. Namun sepersekian detik wajahnya berubah. "Ya Allah, iya. Pak Slamet resign hari ini 'kan, ya?" katanya seraya terkekeh. Aku hanya mengangguk. "Oh, Masnya sopir baru?" tanyanya, aku mengangguk lagi. "Oke, deh. Antar saya ke jalur, ya? Tahu, 'kan?" "Baik, Teh." Aku menjawab sopan, dia tersenyum dengan enteng, sedangkan aku hanya bisa menundukkan kepala saat anak sulung Kiai Abdurrahim itu melewati tubuh ini untuk masuk ke dalam mobil. Setelah dia sudah duduk di belakang, aku langsung masuk dan memasang sabuk pengaman. Dengan penuh hati-hati aku mulai mengendalikan mobil, membawa kendaraan ini keluar dari area rumah mewah milik Kiai. Selama berada di jalan, jantungku tak berhenti berdebar karena baru pertama kali membawa seseorang yang begitu penting. Entah kenapa tiba-tiba saja aku melirik kaca spion tengah, membuat mata ini refleks menangkap bayangan anak Pak Kiai yang tengah duduk di belakang. Dengan cepat aku menyudahinya sebelum tertangkap basah. Walau demikian, bayangannya yang tengah duduk tenang seraya memangku buku masih menenuhi pelupuk mata. Desas-desus soal anak Pak Kiai Abdurrahim sebenarnya sudah lama kudengar. Banyak teman-teman yang bilang, jika anak sulungnya itu memang berbeda jauh sekali sifatnya dengan kedua orang tuanya. Aku juga sudah mendengar jika katanya anak Pak Kiai itu belum lah berhijab, namun walau berita itu sudah lama masuk ke dalam telinga, tapi ini kali pertama aku melihat dan bertemu secara langsung. Asmarani Putri Abdurrahim. Nama yang tidak asing bagiku, karena seantero yayasan sering sekali membicarakannya. Katanya, gadis bernama Asma ini memiliki hobi menulis juga pandai sekali bermain musik. Maka dari itu, dia memilih kuliah di sebuah kampus yang tak dinaungi yayasan orang tuanya sendiri. Katanya, dia anak pembangkang dan keras kepala. Sering kali beradu argumen dengan ayahnya yang ingin sekali menjadikan anak sulungnya itu sebagai penerusnya nanti. Katanya, dia anak yang sulit diatur dan bergaul dengan siapa saja tanpa membatasi diri dengan lawan jenis. Masih banyak lagi informasi yang sering kudengar mengenai dirinya, walau begitu, aku tak pernah ikut berkomentar. Karena setiap manusia pasti memiliki keinginan masing-masing. Termasuk putri sulung Kiai bernama Asmarani ini. "Mampir ke Lapangan Merdeka dulu ya, Mas." Suaranya kembali terdengar sampai membuat lamunanku buyar. Untuk menjawab perintahnya, aku hanya bisa menganggukkan kepala. Tak sampai sepuluh menit, aku sudah bisa mengantarkannya ke tempat tujuan. Setelah mengucap terima kasih, dia langsung turun dan berjalan cepat ke arah gerbang. Dari dalam mobil, aku bisa melihat dia menghampiri beberapa orang yang berdiri di bawah pohon beringin. Dua di antaranya adalah lelaki. Mereka nampak begitu akrab, bahkan aku bisa melihat sang anak Kiai tertawa lepas. Seseorang yang tak mengenalnya pasti tidak akan menyangka jika dia adalah anak dari seorang Kiai besar. Penampilan dan sifatnya benar-benar jauh dari kata 'alim, walau memang Asmarani berpakaian sangat tertutup dengan celana kargo dan kaus super longgarnya. Kecuali kepalanya yang masih menampakkan rambut hitam sebahu. Tapi, aku rasa gadis itu bukan lah wanita nakal atau pun pembangkang. Walau baru kali ini aku bertemu, namun dalam sekilas pun aku bisa menangkap, jika dia memang wanita baik-baik dan tahu batasan. *** "Skripsinya sudah selesai, Mas?" tanya Asmarani dari kursi belakang. "Belum," jawabku singkat. "Pasti pusing, ya? Hehe." Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya, lalu membiarkan kegemingan menaungi kami. Sudah dua tahun aku menjadi sopir keluarga Pak Kiai Abdurrahim, dan karena itu pula aku sudah terbiasa mendengar celotehan atau pun pertanyaan dari anak sulungnya. "Ke mana sekarang, Teh?" tanyaku yang baru saja menjemputnya pulang dari kampus. "Mau mampir dulu ke jalan Cibolang, katanya di sana ada toko buku baru. Mumpung masih ada waktu. Mas Ridho jadwal mengajinya masih setelah Magrib, 'kan?" katanya sedikit panjang, aku hanya mengiyakan. Kami tak berbicara lagi, aku fokus menyetir dan dia entah sedang apa, karena sedikit pun aku tak berani untuk meliriknya walau melalui kaca spion. "Nah, itu kayaknya, ya?" Dia bersuara lagi. Aku melajukan mobil dengan pelan, lalu memarkirkannya ke di depan sebuah toko buku namun di sampingnya ada sebuah meja berjejer rapi bak sebuah kafe. Asmarani langsung keluar dari mobil, namun dia tak langsung pergi, tapi malah membungkukkan tubuh agar bisa melihatku melalui kaca jendela mobil. "Ayo, Mas." "Saya di sini saja, Teh." "Duh, sebentar saja, Mas. Dijamin nggak bakal nyesel. Mungkin nanti ketemu buku referensi buat skripsi," katanya membuatku berpikir sejenak. "Ayo!" katanya lagi, entah kenapa aku tak tega untuk menolak, lalu dengan sedikit ragu mematikan mesin mobil dan ikut turun. Kulihat Asma tersenyum semringah. Seperti biasa, dengan tingkahnya yang selalu ceria dia berjalan mendahuluiku untuk masuk ke dalam toko buku baru tersebut. Benar, aku tidak menyesal turun dari mobil. Banyak sekali buku-buku yang ingin kubaca di sini. "Ambil saja, Mas. Buku yang nggak pakai plastik bisa dibaca di sini." Asma yang hadir tiba-tiba membuatku sedikit kaget. "Begitu, ya?" ucapku sedikit malu sambil menggenggam salah satu buku. "Baca di sana saja, yuk, Mas!" Asma menunjuk sebuah meja yang dilengkapi kursi, aku terdiam sejenak lalu mengangguk. Entah sihir apa yang dipakai anak Kiai Abdurrahim ini sampai aku tak bisa menolak ajakannya. "Mau pesan kopi, Mas?" tanyanya saat kami sudah duduk. "Saya tidak ngopi, Teh." "Oh, maaf. Kalau begitu apa? Jus? Teh?" "Teh saja mungkin." "Oke!" sahutnya terdengar tanpa beban. Asma kemudian memanggil seorang pelayan, meminta satu gelas teh dan jus mangga. "Mas ambil sarjana pendidikan, ya? Apa hukum? Lupa aku." Dia bersuara lagi saat aku mulai membaca buku. "Pendidikan." "Wah, bentar lagi jadi guru, dong." Dia berseru dengan heboh, aku hanya bisa tersenyum menghadapi keceriaannya. Sebenarnya dia ke sini mau membaca buku atau ingin nongkrong saja? Entah lah. "Mas, anak-anak santri pasti suka ngomongin aku, ya?" ucapnya tiba-tiba, membuatku ingin meliriknya. "Tidak." Aku menjawab singkat. "Ah, bohong. Aku sudah sering dengar, kok. Banyak yang bilang aku anak durhaka lah, anak nggak tahu malu, lah. Banyak banget deh pokoknya. Tapi ya gimana, ya. Jujur, aku sayang banget sama Abi dan Umi, pengen juga nurut sama mereka buat belajar ngelola yayasan. Tapi aku tuh masih ngerasa mau main, mau tahu dunia luar." Tanpa kutanya, dia bercerita panjang lebar. "Kalau saja aku disuruh pilih, aku pengen banget jadi anak bungsu, tukeran gitu sama adek laki-lakiku. Biar dia yang duluan ngurus yayasan dan aku bisa puasin dulu sama hobi-hobiku." "Aku tuh sebenarnya suka banget hapal Al-Qur'an kayak Umi, tapi aku belum bisa Mas hidup di lingkungan pesantren, aku tuh suka banget hidup bebas dan bersosialisasi dengan orang luar, bukan hanya di satu lingkungan saja." "Makanya ... aku tuh begini bukan karena mau jadi anak durhaka. Tapi ya mau jalanin dulu hobi dan keinginanku sebelum nantinya fokus sama yayasan." Tanpa jeda dia bercerita, sampai-sampai aku sendiri tak bisa bertanya karena semua jawaban sudah dia lontarkan dengan begitu jelas. "Eh, iya. Terima kasih," katanya saat si pelayan tiba membawa pesanan. "Diminum tehnya, Mas. Maaf aku jadi cerita, haha." "Nggak apa-apa, Teh." "Ini, Mas. Ada buku bagus. Bukan tema agama sih, tapi bagus kok buat anak muda kayak kita," katanya sambil menyodorkan sebuah buku bersegel dengan judul Filosopi Teras. "Dibacanya kalau lagi sempat saja," katanya lagi. "Terima kasih," ucapku merasa begitu sungkan. *** "Astagfirullah!" Aku langsung terbangun saat bayangan Asma kembali hadir di mimpiku. Sudah beberapa hari ini aku selalu dipertemukan dengannya di sebuah mimpi, namun aku sendiri merasa amat berdosa karena selalu memimpikan seorang wanita yang bukan mahrom. Kenapa? Apa mungkin aku rindu karena sudah beberapa hari tak bertemu dengannya? Ya, aku memang disibukkan dengan berbagai macam kegiatan sebelum wisuda, hingga Kiai Abdurrahim menyarankanku untuk berhenti dulu menjadi sopirnya dan diganti salah satu mahasiswa yang belum memiliki kesibukan sepertiku. Karena bayangan Asma masih begitu jelas di pupil mata, aku segera mengambil air wudhu, lalu melaksanakan salat Tahajud lebih awal dari pada biasanya. Entah kenapa hatiku masih tak karuan. Apa mungkin aku memiliki perasaan tak biasa untuk seorang Asmarani? Ya Allah, tidak mungkin. Jika iya pun aku harus membuangnya jauh-jauh, karena mustahil seorang anak bangsawan bersanding dengan seorang budak, istilahnya. Mencintai anak gadis pemilik juragan tanah pun aku sudah dimaki-maki, apa lagi berani mencintai anak gadis pemilik yayasan dan derajat yang begitu tinggi. Ya Allah, maafkan lah hamba-Mu karena tak pernah bercermin ini. "Dho? Bakda Subuh ditunggu di rumah Kiai Abdurrahim." Aku sedikit terkejut saat Misbah, santri satu kamarku memberikan informasi. "Ada apa, ya, Mis?" "Tidak tahu. Tapi sepertinya penting pisan," ucapnya membuatku semakin tidak karuan. *** Bakda Subuh, aku langsung pergi ke kediaman Kiai Abdurrahim dengan hati campuraduk. Apa mungkin Kiai memintaku untuk menjadi sopirnya lagi? Atau bisa jadi beliau mencabut beasiswaku secara tiba-tiba karena tahu jika santrinya ini selalu memimpikan anak sulungnya? "Assalamualaikum." Walau hatiku bergetar, namun sebisa mungkin aku menampilkan sikap tenang. Rupanya Kiai Abdurrahim sudah menungguku, lelaki beraura positif itu tengah duduk di kursi kayu jati yang begitu mengkilat. Kiai Abdurrahim menyambutku hangat, bahkan aku sendiri kaget saat istrinya, Ustazah Halimah datang membawa banyak sekali jamuan bahkan ikut duduk mendampingi suaminya. "Maaf ya, Nak. Saya suruh kamu datang pagi-pagi begini. Soalnya jam tujuh nanti hendak pergi ke luar kota dan mungkin akan menginap beberapa hari. Jadi saya ingin menyempatkan waktu untuk berbicara mengenai hal serius ini." Seketika aku menelan ludah mendengar dia berbicara demikian. "Nak, kamu santri yang sangat baik dan teladan, semua orang sudah mengetahuinya. Saya sudah mengamati Nak Ridho dari lama, bahkan saya sudah beberapa kali melakukan istikharah dan jawabannya insyaallah selalu sama," katanya membuat lidahku kelu. "Dengan segenap hati, saya meminta Nak Ridho mau menjadi menantu saya, menjadi bagian dari keluarga yayasan ini. Semoga Nak Ridho bisa memenuhi keinginan saya dan keluarga." Tubuhku langsung menegang, merasa begitu tak percaya dengan ucapan yang kudengar barusan dari mulut seorang Kiai Abdurrahim. "Bagaimana, Nak?" tanyanya tanpa basa-basi. "Sebelumnya, saya merasa begitu terhormat, sekaligus merasa begitu malu, kenapa Kiai ingin menjadikan saya sebagai menantu? Saya bukan orang hebat, saya terlahir dari keluarga tidak punya. Masih banyak di luar sana yang memiliki segalanya dibanding saya. Ilmu, materi, juga kebaikannya." Kiai Abdurrahim tersenyum. "Memang masih banyak, tapi sulit menemukannya. Nak Ridho, saya tidak menuntut apa pun. Saya hanya membutuhkan sosok yang bisa menjadikan anak saya, Asmarani, menjadi wanita lebih baik dan soleha. Dan saya bisa menemukan semua itu dari Nak Ridho." Aku langsung menunduk, setelah sekian lama tak menangis, mataku akhirnya kembali menitikkan air. "Izinkan saya meminta restu pada Ibu saya, Kiai," ucapku hampir tersendat. Kiai tersenyum, pun dengan Ustazah Halimah. "Terima kasih, Nak Ridho. Kami sangat menunggu jawabannya." Aku mengangguk, tak bisa lagi berkata-kata karena segala perasaan yang bergejolak di dada. Ya Allah .... Semuanya benar-benar terasa mimpi. Seorang Kiai besar, meminta orang biasa ini menjadi bagian dari keluarganya. Memintaku untuk menikahi putrinya yang berparas sempurna. Ibu, doa apa yang kau langitkan sampai Sang Pencipta memberi kepercayaan dan anugerah sebesar ini?MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil
"Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu
“Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b
Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.
"Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya." Aku langsung ikut tertegun saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut. "Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu. "Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya membuatku mengernyitkan kening. "Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran. "I-itu ... em-" "Duh, lama banget, sih! Maju, dong! Udah pada antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana. "Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu yang lain ke atas piringnya. "Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?" tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk. Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, hanya memulai makan dengan menu seadanya. Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya dihiasi nasi
MERTUAKU MISKIN 2“Tunggu, Neng!” Suara pedagang daster itu membuatku terpaksa menoleh lagi.“Kenapa?” tanyaku seraya memasang wajah malas.“Ini kembaliannya, Neng.” “Ambil saja, buat beli obat penyumpal mulut, biar nggak asal bicara dan nyakitin hati orang,” kataku membuat dia dan semua wanita di sana terdiam.Tanpa berkata lagi aku kembali berjalan seraya menggandeng Ibu untuk menjauh dari orang-orang toxic seperti mereka.“Neng, Ya Allah ... kenapa keluarin uang segitu banyak buat baju begini?” ucap Ibu mertuaku saat kami sudah sampai di rumah.“Nggak apa-apa, Bu. Biar mereka nggak kurang ajar sama Ibu. Lagi pula Asma heran, kenapa orang-orang di kampung ini mulutnya jahat banget, kok Ibu betah sih tinggal di tempat begini?” ucapku sambil membuka plastik berisi daster, penasaran dengan pakaian yang digandrungi Ibu-ibu di kampung Cibungur ini.“Nggak apa-apa, Neng. Ibu nggak pernah ambil pusing, nggak semua orang di sini seperti itu, kok.”“Tetap saja, mereka nggak punya etika. Apa
“Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan
“Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a
Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.
“Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b
"Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu
MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil
"Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da
Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j
“Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K
“Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a
“Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan