Share

Enam

Ridho Pov

“Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”

Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.

Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.

Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar.

Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.

“Mau jadi apa kamu jika putus sekolah, hah?” ucap Ibu sengit saat aku mengutarakan niatku saat itu.

“Tanpa Bapakmu, aku masih bisa menghidupi kalian!” lanjutnya membuatku tak berani berkata apa pun lagi.

Akhirnya Ibu benar-benar membuktikan ucapannya, dengan tubuhnya yang masih disemayami penyakit, beliau berjuang demi menghidupi kami dengan berbagai macam cara.

Dari mulai berdagang gorengan, menjadi buruh cuci, berjualan kantung kresek, bahkan bekerja di rumah Pak Camat.

Aku sendiri tak tinggal diam, setiap hari Sabtu setelah pulang sekolah, aku tak langsung pulang ke rumah, melainkan pergi ke pasar untuk berjualan kantung kresek. Bahkan sering pula aku bolos di hari Sabtu agar bisa jualan lebih pagi karena ingin mendapat uang lebih banyak.

Setelah Bapak pergi, kami hidup prihatin karena Bapak benar-benar lepas tanggung jawab. Tak jarang aku, Ibu dan Farhan makan satu bungkus mi instan bersama-sama, agar bisa kenyang Ibu sering menambahkan air lebih banyak juga garam ke dalamnya.

Aku masih ingat, saat hari Minggu tiba, adikku Farhan ingin ikut berjualan kantung kresek ke pasar. Akhirnya aku pun mengabulkan permintaannya, dengan begitu semangat dia berjualan sampai mendapatkan uang dua ribu rupiah dari hasil jualannya.

Namun, saat sampai di rumah, dia baru sadar jika saku celananya bolong, uang hasil jerih payahnya pun hilang. Farhan pun menangis karena sedih, sedangkan aku malah merasa hal itu amat lah lucu.

Saat masih ada Bapak pun, kami sebenarnya sudah biasa hidup prihatin, hanya saja setelah kepergiannya, kami benar-benar dipaksa menjadi anak yang harus menerima kesusahan dengan lapang dada. Cacian, makian, hinaan, dan berbagai kata-kata menyakitkan sudah biasa menghampiri, namun kami harus berusaha tuli.

Saat sekolah pun, tak ada yang mau berteman denganku. Mungkin karena seragamku lusuh, sepatuku robek, tasku bolong. Padahal aku selalu masuk tiga besar, tapi yang sudi dekat denganku hanyalah si Ajat, teman sebangku sekaligus satu gang.

Ada juga satu perempuan yang tak pernah bersikap sombong laiknya teman-teman yang lain. Namanya Farida, anak juragan tanah di kampung ini.

Awalnya aku selalu menghindar jika dia mendekat, tapi Farida tak pernah berubah sampai akhirnya aku benar-benar merasa dianggap ada.

Hampir setiap hari, Farida memberikanku bekal makanan. Dia juga tak pernah malu mengajakku mengobrol, atau memanggil namaku di hadapan teman-teman. Pokoknya dia sangat berbeda, karena sikap baik itu lah aku mulai bisa membuka hati untuk menerima seorang sahabat wanita.

Persahabatan kami pun semakin dekat setelah menginjak kelas tiga, kami selalu berangkat sekolah bersama, aku selalu menunggunya di ujung gang karena takut ketahuan Ibunya yang super galak. Pulang sekolah pun sama, walau akhirnya aku harus berhenti di ujung gang agar dia masuk lebih dulu.

Setelah lulus, kami juga masih bersahabat. Bahkan kami sering bertukar pesan melalui ponsel jadul yang tengah booming.

Aku sendiri tak langsung kuliah setelah menamatkan SMA karena harus bekerja lebih giat agar bisa mengumpulkan uang untuk modal kuliah, ditambah Farhan yang masih harus kubiayai. Ibu juga harus selalu kontrol untuk sakit paru-parunya.

Apa pun kulakukan agar bisa bertahan hidup, tak pernah memandang pekerjaan apa pun selagi itu halal. Semua bidang pernah kucoba, dari mulai ikut menjadi personil pertambangan, karena pada saat itu di kampungku sedang ramai menggali batu kuning, dari sana pula aku bisa membeli ponsel dan motor.

Setelah itu aku juga kerja di pabrik handuk, berdagang, dan masih banyak lagi. Persahabatanku dengan Farida juga masih terjalin, sampai di mana aku sadar jika perasaan ini tak murni seperti rasa pada seorang sahabat.

Betul. Aku menginginkan Farida lebih dari sekadar kawan saja. Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan yang sudah lama bersemayam.

Gayung pun bersambut, rupanya Farida juga memiliki perasaan yang sama. Betapa bahagianya hatiku mengetahui jika perasaan ini tidak bertepuk sebelah tangan.

[Tunggu aku pulang] pesanku waktu itu, nekat untuk berbicara dengan Pak Haji Anwar dan Bu Mayang, walau sebenarnya aku sendiri belum memberitahu Ibu.

Setelah libur panjang tiba, aku pun pulang dari pabrik. Perasaanku menggebu-gebu, campuraduk antara senang dan takut. Senang jika Farida mencintaiku, takut jika ditolak mentah-mentah oleh keluarganya.

Hingga akhirnya, Farida mengirim pesan saat aku baru sampai di rumah. Katanya dia ingin bertemu sore nanti di Talaga Bodas. Aku pun menyetujuinya, walau sedikit bingung kenapa Farida malah mengajakku bertemu di tempat lain, padahal aku hendak berkunjung ke rumahnya.

“Sehat?” tanyaku canggung, karena itu hari pertamaku bertatap muka dengan Farida setelah mengutarakan rasa.

“Alhamdulillah.” Aku tersenyum, suaranya terasa mengobati rinduku.

“Kenapa mengajakku bertemu di sini? Aku ‘kan hendak ke rumah.” Farida tak langsung menjawab, dia malah memainkan kuku sambil menunduk. Sepoi angin di Talaga Bodas sedikit menyibakkan bagian belakangnya kerudungnya.

“Jangan hubungi aku lagi.” Sejenak aku terdiam, mencoba meyakinkan diri jika aku tidak salah dengar.

“Jangan temui aku lagi, Ridho.” Aku mulai menolehkan pandangan kembali.

“Aku minta maaf jika sudah memberimu harapan. Tapi ....”

“Orang tuamu pasti melarang kita bertemu, ya?” tebakku memotong kalimatnya.

Farida diam. Kulihat wanita berkulit putih itu menyeka ujung matanya.

“Maaf, Ridho.” Dia berucap sambil menunduk.

Aku menghela napas, mencoba menetralkan perasaan sedih.

“Beri aku kesempatan untuk bicara dengan orang tuamu, Da.” Aku mencoba untuk tak menyerah, tapi Farida menggeleng.

“Tidak bisa. Kamu sendiri tahu bagaimana Ibuku.”

“Biar aku membuktikannya sampai Ibumu luluh, Farida.” Perasaanku untuk memperjuangkannya semakin menggebu.

Farida menggeleng lagi, namun kulihat pipinya semakin banjir air mata.

“Farida, jangan menyerah sebelum mencoba. Aku bisa―”

“Dasar b4jingan!” Kalimatku harus terputus saat sebuah umpatan sekaligus tamparan keras mendarat di pipi ini.

Entah kapan datangnya Bu Mayang ke tempat ini. Kudengar Farida berteriak memanggil Ibunya, tak rela mungkin jika aku diperlakukan demikian.

“Apa kamu tidak punya cermin sampai-sampai berani mendekati anakku, ha? Apa kamu tidak sadar jika keluargamu dan keluarga saya sangaaat jauh berbeda? Otakmu ada di sini ‘kan? Betul?” ucapnya sambil meletakkan telunjuk di samping kepalaku.

“Saya Mayang, anak Juragan Saedi! Orang paling kaya di sini! Tak sudi jika anak saya harus bersanding dengan anak orang paling melarat! Memalukan!”

“Ibu! Cukup!” pekik Farida.

“Kamu pelet anak saya pakai apa sampai dia berani membelamu seperti ini?” umpatnya lagi.

“Ibu ....”

“Ayo, pulang!” Bu Mayang menarik lengan anak bungsunya dengan kasar, sedangkan aku hanya bisa mematung dengan ketidak-berdayaan.

“Awas saja jika kamu masih menghubungi anakku! Akan kubuat malu kamu dan Ibumu seumur hidup. Cuih!” katanya seraya meludah ke arahku.

Perasaan ini remuk redam. Selama hidup, aku sudah sering mendapatkan penghinaan. Namun, ini lah penghinaan paling menyakitkan yang pernah kurasakan.

Saat jiwaku bergejolak, ponsel jadulku tetiba saja berdering. Seraya mencoba untuk menegarkan diri aku merogohnya, lalu mengangkat nomor asing yang memanggil tersebut.

“Assalamualaikum. Dengan Muhammad Ridho Afrizal?”

“Waalaikumussalam, iya, benar.”

“Baik. Besok ditunggu kehadirannya di ruangan aula Ponpes Al-Masthuriyyah untuk test hafalan beasiswa.” Aku tertegun sejenak, merasa jika suara itu seperti di negeri mimpi.

“Saya lolos seleksi?” tanyaku penuh harap.

“Iya. Ditunggu kehadirannya besok, ya.”

Aku langsung memanjatkan syukur, lantas mengiyakan tanpa pikir panjang.

Mungkin Allah menolakku untuk menyulam sebuah rasa, agar aku bisa meraih mimpi terlebih dahulu dan mengangkat derajat Ibu.

Semoga saja semua sesuai harapanku. Dia memang selalu menyelipkan hikmah dan kemudahan di balik setiap kesulitan.

Kisah perjuangan di atas dikhusukan untuk suami dan almarhumah Ibu mertua saya. (Walau cerita cintanya 100% fiksi).

Namun saya merasa bersyukur memiliki suami dan ibu mertua yang begitu baaaiiik ... alfatihah untukmu ibunda mertuaku tersayang.

Jangan lupa berbuat baik pada ibu mertua, yaa. Karena suatu saat kita pun pasti akan menjadi seorang Ibu mertua.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status