Share

Empat

“Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.

“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.

Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.

“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.

“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.

“Iya.”

“Anak yang mana, Bu?”

“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.

Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.

“Oh, anak sulungnya ya, Bu?”

“Ya iya. Masa langsung anak bungsu, Dho. Kamu ke sana, ya. Bareng Asma.” Aku kembali sok sibuk mengelap kaca saat namaku disebut. Takut ketahuan jika mata ini tengah memandang mereka.

“Memangnya kenapa Ibu nggak mau berangkat?”

“Ibu lagi ingin istirahat saja, Dho. Satu minggu ini rasanya banyak sekali aktivitas di luar yang Ibu lakukan. Ibu juga belum menyelesaikan pesanan kue Mbak Dewi.”

Kulihat Mas Ridho terdiam, tak kusangka dia melirikkan matanya padaku. Aduh, Gusti. Tatapan tajamnya itu selalu berhasil menghujam hati. Dalam diam, aku jadi senyum-senyum sendiri.

***

“Sudah selesai, Neng?” tanya Ibu dari balik pintu.

“Sebentar lagi, Bu.” Aku menyahut sambil menancapkan peniti pada kerudung yang kupakai.

“Oh, iya. Mas Ridho tunggu di depan katanya, mau beli dulu amplop.”

“Iya, Bu.”

Tak kudengar lagi suara Ibu, mungkin beliau sudah berlalu ke belakang. Sementara aku masih berdiri di depan cermin yang menyatu dengan lemari kayu usang.

“Berlebihan nggak, sih?” gumamku, tak yakin dengan penampilan sendiri.

Hari ini untuk memenuhi undangan dari seseorang bernama Haji Anwar itu, aku mencoba memakai dress pemberian Umi berwarna merah muda. Warna yang tak pernah aku sukai.

Namun demi menjaga martabat sang suami dan Ibu mertua, aku mencoba untuk mengenakannya agar terlihat lebih anggun.

Aku juga memakai serangkaian make up walau tidak terlalu tebal. Beruntung, aku memiliki banyak teman saat di kota dulu. Di antaranya Vania, salah satu kawanku yang berprofesi sebagai MUA. Jadi sedikit banyaknya, aku suka melihat dan mengambil ilmunya tentang cara merias wajah.

“Aduh, aduh!” Aku rempong sendiri saat keluar kamar memakai high heels. Jujur, aku memakai alas kaki ini hanya saat wisuda dan menikah saja.

“Masyaallah, Neng ....” ucap seseorang, aku langsung menoleh ke sumber suara.

Rupanya Ibu, dari arah dapur beliau langsung berjalan ke arahku.

“Menantu Ibu sangat cantik. Ya Allah, anak Ibu sangat beruntung memiliki istri sepertimu, Neng.”

“Ah, Ibu. Jangan berlebihan,” tukasku sambil terkekeh. Namun Ibu malah menatapku dengan mata basah. Gampang terharu sekali memang mertua kesayanganku ini.

“Mas Ridho di depan ya, Bu?”

“Iya, Neng. Di warung Teh Mimin. Telepon saja, atuh. Biar balik lagi ke sini.”

“Nggak usah, Bu. Biar Asma yang ke sana, dekat ini, kok. Ibu benar nggak akan ikut ke sana?”

Ibu menggeleng. “Kalian saja, Ibu titip Ridho, ya.”

Aku tersenyum. “Siap, Komandan!”

Kami pun tertawa pelan bersamaan.

•••

“Itu dia,” kataku seorang diri saat melihat Mas Ridho duduk di atas motornya dengan posisi membelakangiku.

Seseorang lelaki yang duduk di depan warung sepertinya memberitahu kedatanganku dengan isyarat, sehingga Mas Ridho kini menoleh dan matanya tertuju padaku.

Cukup lama Mas Ridho memandangiku, walau sejurus kemudian dia mengakhiri tatapannya.

“Maaf menunggu lama, Mas,” ujarku saat sudah sampai di hadapannya. Entah kenapa dia bak orang kikuk.

“Tidak apa-apa,” balasnya singkat seperti biasa.

“Masyaallah, pasangan yang sangat serasi.” Lelaki yang duduk di bangku warung itu berseloroh. Aku hanya bisa tersenyum tipis.

“Iya. Sama-sama rupawan. Malah Neng Asma ini lebih cantik ketimbang mantanmu dulu, Dho.” Bi Mimin, si pemilik warung ikut menimpali.

“Mantan?” ulangku merasa bingung.

“Ayo, keburu siang.” Mas Ridho bersuara sambil memakai helm, bahkan dia sendiri menjulurkan satu helm yang lain padaku.

“Pakain sama kamu dong, Dho. Biar so sweet. Hehehe.” Bi Mimin kembali berujar, aku kembali tersenyum, mencoba menunggu Mas Ridho memasangkan helm itu pada kepalaku. Tapi sayang, dia tak melakukannya.

Akhirnya aku pun menaiki motor dengan cara duduk menyamping agar terlihat seperti wanita.

Duh ... jantungku berdebar lagi, karena ini kali pertama aku dibonceng Mas Ridho setelah satu bulan sah menjadi istrinya.

“Mas, memangnya Mas Ridho punya mantan, ya?” tanyaku saat dia sudah melajukan motornya.

“Tidak punya,” jawabnya terdengar pelan.

“Terus, kenapa tadi Bi Mimin bilang begitu?” tanyaku lagi karena masih begitu penasaran.

“Tidak tahu,”

Huft! Jawabannya benar-benar membuatku malas bertanya lagi.

Mas Ridho memang memiliki banyak kelebihan. Tampan, pekerja keras, cerdas, dan alim. Tapi sayang, dia terlalu dingin untuk orang yang bar-bar sepertiku.

•••

Mas Ridho memelankan laju kendaraannya saat memasuki sebuah gapura. Dari kejauhan aku bisa melihat tenda yang lumayan mewah dengan segala pernak-pernik khas pernikahan.

Pasti lah pemilik hajatnya adalah orang berada, apa mungkin ini sebabnya Ibu tidak mau menghadiri acara? Takut jika beliau jadi bahan cacian lagi? Ah, betapa malangnya mertuaku jika selama hidup di dunia ini selalu direndahkan orang-orang di sekelilingnya.

Setelah Mas Ridho memarkirkan kendaraan, aku langsung turun dan membuka helm.

“Ayo.” Mas Ridho mengajak masuk, aku hanya bisa mendengkus karena dia berjalan lebih dulu tanpa menggandeng istrinya yang sudah susah payah berdandan demi dirinya ini.

Saat masuk ke dalam, musik dan penyanyi marawis kian terdengar jelas. Mas Ridho langsung mengisi buku tamu, aku ingin guling-guling saat melihat dia menulis ‘Ridho dan Istri’ di atas kertas tersebut.

Kemudian Mas Ridho kembali berjalan ke depan sana, dia mengisi sebuah kotak berbahan kaca dengan sebuah amplop. Setelah itu kami pun mulai menaiki pelaminan, sebisa mungkin aku memasang wajah hangat saat menyalami mempelai.

Seperti biasa, kami juga ikut mengantre di prasmanan. Menu di acara hajatan ini lebih banyak ketimbang di acara hajatan waktu aku datang bersama Ibu. Tidak ada juga larangan mengambil sate atau khusus tamu VIP. Semuanya bebas mengambil apa saja, bahkan ada ice cream gratis di ujung prasmanan sana.

“Pak Haji Anwar itu orang punya ya, Mas?” tanyaku pada Mas Ridho saat kami sudah menyantap makanan.

“Iya. Beliau juragan tanah.”

“Oh ....” ucapku sambil mengangguk-angguk.

Tak ada lagi percakapan di antara kami, sampai kami selesai makan pun, Mas Ridho masih tetap memilih hening.

“Mas, boleh aku ambil ice cream?” tanyaku setelah selesai makan.

Mas Ridho mengangguk.

“Antar ....” rengekku manja sambil tersenyum padanya. Dia memalingkan wajah, tapi berdiri dari kursi dan berjalan mendahuluiku ke arah sana.

“Ish!” decakku kesal sambil ikut bangkit.

“Satu ya, Pak.” Mas Ridho memintakan es krim pada lelaki bertopi, begitu saja aku sudah bahagia kuadrat.

Kami pun memutuskan untuk pulang, namun saat hendak pergi, langkah Mas Ridho tetiba saja terhenti, otomatis aku pun sama.

“Eh, Jang Ridho ....” sapa seorang wanita paruh baya yang bajunya sama dengan orang tua si mempelai. Entah kenapa aku merasa tidak asing. Di sampingnya ada seorang perempuan dengan perawakan tinggi dan cantik, dia menganggukkan kepala saat bertemu dengan kami.

“Ibu ikut ke sini?” tanyanya membuatku semakin berpikir keras saat mendengar suaranya.

“Enggak, Bu. Saya sama istri saja.”

“Oh iya, Neng Asma. Sehat, Neng?” katanya seraya menatapku sambil tersenyum.

Ya Allah, sekarang aku baru ingat, jika wanita di hadapan adalah si Bu Mayang, manusia yang berpakaian serba merah di toko emas waktu itu. Make up tebal membuatnya terlihat pangling dan membuatku sulit mengenalinya.

“Sehat, alhamdulillah. Saya pangling, Ibu cantik sekali hari ini,” kataku memuji.

“Ah, bisa saja. Tapi terima kasih, Neng. Memang MUA nikahan anak Ibu ini MUA paling mahal, pantas kalau orang-orang jadi pangling.” Mulai deh sombongnya, baru saja kupuji sedikit, sikap mirip ibl1snya sudah keluar.

“Oh, iya. Beruntung ketemu di sini, tadi soalnya Ibu nggak ada di pelaminan,” ucapku.

“Iya, Neng. Tadi habis sungkeman, Ibu turun ngecek anak bungsu, takutnya dia nggak mau didandanin,” ucap Bu Mayang sambil menunjuk wanita di sampingnya yang terlihat kalem itu. Entah kenapa aku merasa jika makhluk yang disebut anak bungsunya itu selalu mencuri pandang ke arah Mas Ridho.

“Ibu kenapa nggak ikut?” tanyanya lagi.

“Lagi nggak enak badan, Bu.” Mas Ridho menyahut.

“Nggak enak badan kenapa?” Aku sedikit kaget saat anak bungsu Bu Mayang mengeluarkan suara. Tersirat kekhawatiran pada sorot matanya.

“Katanya mau istirahat saja, mungkin kecapekan.” Mas Ridho menyahut lagi.

“Oh ... iya. Semoga lekas sehat ya. Eh, Neng Asma ini sebenarnya kerja apa nggak, sih?” tanya Bu Mayang tiba-tiba.

“Nggak, Bu. Saya di rumah saja.”

“Oh ... tapi kemarin kok bisa beliin kalung buat Ibu mertuanya? Uang dari mana, ya? ‘Kan kalau dipikir-pikir, gaji Ridho sebagai honor nggak sampai dua juta.” Wah, cari gara-gara lagi dia.

“Saya―”

“Istri saya ini anak pemilik Yayasan sekaligus Pesantren, Bu Mayang. Asma juga memiliki beberapa usaha di tempat tinggalnya. Iya ‘kan, Sayang?” ucap Mas Ridho seraya merangkul bahuku, membuat diri ini terpaku dan menatapnya tidak percaya.

“Pemilik Yayasan dan Pesantren?” ucap Bu Mayang membuat rasa terkesimaku hilang.

“Iya, Bu Mayang. Tapi saya bangga, karena istri saya tidak pernah sombong bahkan mau hidup di kampung yang kehidupannya jauh berbeda dengan di kota.”

Aku hanya bisa menelan saliva saat mendengar Mas Ridho memujiku. Sedangkan Bu Mayang dan anaknya juga ikut terpaku bak orang terkejut setengah mati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status