Share

Empat

Penulis: Azu Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 00:06:39

“Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.

“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.

Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.

“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.

“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.

“Iya.”

“Anak yang mana, Bu?”

“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.

Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.

“Oh, anak sulungnya ya, Bu?”

“Ya iya. Masa langsung anak bungsu, Dho. Kamu ke sana, ya. Bareng Asma.” Aku kembali sok sibuk mengelap kaca saat namaku disebut. Takut ketahuan jika mata ini tengah memandang mereka.

“Memangnya kenapa Ibu nggak mau berangkat?”

“Ibu lagi ingin istirahat saja, Dho. Satu minggu ini rasanya banyak sekali aktivitas di luar yang Ibu lakukan. Ibu juga belum menyelesaikan pesanan kue Mbak Dewi.”

Kulihat Mas Ridho terdiam, tak kusangka dia melirikkan matanya padaku. Aduh, Gusti. Tatapan tajamnya itu selalu berhasil menghujam hati. Dalam diam, aku jadi senyum-senyum sendiri.

***

“Sudah selesai, Neng?” tanya Ibu dari balik pintu.

“Sebentar lagi, Bu.” Aku menyahut sambil menancapkan peniti pada kerudung yang kupakai.

“Oh, iya. Mas Ridho tunggu di depan katanya, mau beli dulu amplop.”

“Iya, Bu.”

Tak kudengar lagi suara Ibu, mungkin beliau sudah berlalu ke belakang. Sementara aku masih berdiri di depan cermin yang menyatu dengan lemari kayu usang.

“Berlebihan nggak, sih?” gumamku, tak yakin dengan penampilan sendiri.

Hari ini untuk memenuhi undangan dari seseorang bernama Haji Anwar itu, aku mencoba memakai dress pemberian Umi berwarna merah muda. Warna yang tak pernah aku sukai.

Namun demi menjaga martabat sang suami dan Ibu mertua, aku mencoba untuk mengenakannya agar terlihat lebih anggun.

Aku juga memakai serangkaian make up walau tidak terlalu tebal. Beruntung, aku memiliki banyak teman saat di kota dulu. Di antaranya Vania, salah satu kawanku yang berprofesi sebagai MUA. Jadi sedikit banyaknya, aku suka melihat dan mengambil ilmunya tentang cara merias wajah.

“Aduh, aduh!” Aku rempong sendiri saat keluar kamar memakai high heels. Jujur, aku memakai alas kaki ini hanya saat wisuda dan menikah saja.

“Masyaallah, Neng ....” ucap seseorang, aku langsung menoleh ke sumber suara.

Rupanya Ibu, dari arah dapur beliau langsung berjalan ke arahku.

“Menantu Ibu sangat cantik. Ya Allah, anak Ibu sangat beruntung memiliki istri sepertimu, Neng.”

“Ah, Ibu. Jangan berlebihan,” tukasku sambil terkekeh. Namun Ibu malah menatapku dengan mata basah. Gampang terharu sekali memang mertua kesayanganku ini.

“Mas Ridho di depan ya, Bu?”

“Iya, Neng. Di warung Teh Mimin. Telepon saja, atuh. Biar balik lagi ke sini.”

“Nggak usah, Bu. Biar Asma yang ke sana, dekat ini, kok. Ibu benar nggak akan ikut ke sana?”

Ibu menggeleng. “Kalian saja, Ibu titip Ridho, ya.”

Aku tersenyum. “Siap, Komandan!”

Kami pun tertawa pelan bersamaan.

•••

“Itu dia,” kataku seorang diri saat melihat Mas Ridho duduk di atas motornya dengan posisi membelakangiku.

Seseorang lelaki yang duduk di depan warung sepertinya memberitahu kedatanganku dengan isyarat, sehingga Mas Ridho kini menoleh dan matanya tertuju padaku.

Cukup lama Mas Ridho memandangiku, walau sejurus kemudian dia mengakhiri tatapannya.

“Maaf menunggu lama, Mas,” ujarku saat sudah sampai di hadapannya. Entah kenapa dia bak orang kikuk.

“Tidak apa-apa,” balasnya singkat seperti biasa.

“Masyaallah, pasangan yang sangat serasi.” Lelaki yang duduk di bangku warung itu berseloroh. Aku hanya bisa tersenyum tipis.

“Iya. Sama-sama rupawan. Malah Neng Asma ini lebih cantik ketimbang mantanmu dulu, Dho.” Bi Mimin, si pemilik warung ikut menimpali.

“Mantan?” ulangku merasa bingung.

“Ayo, keburu siang.” Mas Ridho bersuara sambil memakai helm, bahkan dia sendiri menjulurkan satu helm yang lain padaku.

“Pakain sama kamu dong, Dho. Biar so sweet. Hehehe.” Bi Mimin kembali berujar, aku kembali tersenyum, mencoba menunggu Mas Ridho memasangkan helm itu pada kepalaku. Tapi sayang, dia tak melakukannya.

Akhirnya aku pun menaiki motor dengan cara duduk menyamping agar terlihat seperti wanita.

Duh ... jantungku berdebar lagi, karena ini kali pertama aku dibonceng Mas Ridho setelah satu bulan sah menjadi istrinya.

“Mas, memangnya Mas Ridho punya mantan, ya?” tanyaku saat dia sudah melajukan motornya.

“Tidak punya,” jawabnya terdengar pelan.

“Terus, kenapa tadi Bi Mimin bilang begitu?” tanyaku lagi karena masih begitu penasaran.

“Tidak tahu,”

Huft! Jawabannya benar-benar membuatku malas bertanya lagi.

Mas Ridho memang memiliki banyak kelebihan. Tampan, pekerja keras, cerdas, dan alim. Tapi sayang, dia terlalu dingin untuk orang yang bar-bar sepertiku.

•••

Mas Ridho memelankan laju kendaraannya saat memasuki sebuah gapura. Dari kejauhan aku bisa melihat tenda yang lumayan mewah dengan segala pernak-pernik khas pernikahan.

Pasti lah pemilik hajatnya adalah orang berada, apa mungkin ini sebabnya Ibu tidak mau menghadiri acara? Takut jika beliau jadi bahan cacian lagi? Ah, betapa malangnya mertuaku jika selama hidup di dunia ini selalu direndahkan orang-orang di sekelilingnya.

Setelah Mas Ridho memarkirkan kendaraan, aku langsung turun dan membuka helm.

“Ayo.” Mas Ridho mengajak masuk, aku hanya bisa mendengkus karena dia berjalan lebih dulu tanpa menggandeng istrinya yang sudah susah payah berdandan demi dirinya ini.

Saat masuk ke dalam, musik dan penyanyi marawis kian terdengar jelas. Mas Ridho langsung mengisi buku tamu, aku ingin guling-guling saat melihat dia menulis ‘Ridho dan Istri’ di atas kertas tersebut.

Kemudian Mas Ridho kembali berjalan ke depan sana, dia mengisi sebuah kotak berbahan kaca dengan sebuah amplop. Setelah itu kami pun mulai menaiki pelaminan, sebisa mungkin aku memasang wajah hangat saat menyalami mempelai.

Seperti biasa, kami juga ikut mengantre di prasmanan. Menu di acara hajatan ini lebih banyak ketimbang di acara hajatan waktu aku datang bersama Ibu. Tidak ada juga larangan mengambil sate atau khusus tamu VIP. Semuanya bebas mengambil apa saja, bahkan ada ice cream gratis di ujung prasmanan sana.

“Pak Haji Anwar itu orang punya ya, Mas?” tanyaku pada Mas Ridho saat kami sudah menyantap makanan.

“Iya. Beliau juragan tanah.”

“Oh ....” ucapku sambil mengangguk-angguk.

Tak ada lagi percakapan di antara kami, sampai kami selesai makan pun, Mas Ridho masih tetap memilih hening.

“Mas, boleh aku ambil ice cream?” tanyaku setelah selesai makan.

Mas Ridho mengangguk.

“Antar ....” rengekku manja sambil tersenyum padanya. Dia memalingkan wajah, tapi berdiri dari kursi dan berjalan mendahuluiku ke arah sana.

“Ish!” decakku kesal sambil ikut bangkit.

“Satu ya, Pak.” Mas Ridho memintakan es krim pada lelaki bertopi, begitu saja aku sudah bahagia kuadrat.

Kami pun memutuskan untuk pulang, namun saat hendak pergi, langkah Mas Ridho tetiba saja terhenti, otomatis aku pun sama.

“Eh, Jang Ridho ....” sapa seorang wanita paruh baya yang bajunya sama dengan orang tua si mempelai. Entah kenapa aku merasa tidak asing. Di sampingnya ada seorang perempuan dengan perawakan tinggi dan cantik, dia menganggukkan kepala saat bertemu dengan kami.

“Ibu ikut ke sini?” tanyanya membuatku semakin berpikir keras saat mendengar suaranya.

“Enggak, Bu. Saya sama istri saja.”

“Oh iya, Neng Asma. Sehat, Neng?” katanya seraya menatapku sambil tersenyum.

Ya Allah, sekarang aku baru ingat, jika wanita di hadapan adalah si Bu Mayang, manusia yang berpakaian serba merah di toko emas waktu itu. Make up tebal membuatnya terlihat pangling dan membuatku sulit mengenalinya.

“Sehat, alhamdulillah. Saya pangling, Ibu cantik sekali hari ini,” kataku memuji.

“Ah, bisa saja. Tapi terima kasih, Neng. Memang MUA nikahan anak Ibu ini MUA paling mahal, pantas kalau orang-orang jadi pangling.” Mulai deh sombongnya, baru saja kupuji sedikit, sikap mirip ibl1snya sudah keluar.

“Oh, iya. Beruntung ketemu di sini, tadi soalnya Ibu nggak ada di pelaminan,” ucapku.

“Iya, Neng. Tadi habis sungkeman, Ibu turun ngecek anak bungsu, takutnya dia nggak mau didandanin,” ucap Bu Mayang sambil menunjuk wanita di sampingnya yang terlihat kalem itu. Entah kenapa aku merasa jika makhluk yang disebut anak bungsunya itu selalu mencuri pandang ke arah Mas Ridho.

“Ibu kenapa nggak ikut?” tanyanya lagi.

“Lagi nggak enak badan, Bu.” Mas Ridho menyahut.

“Nggak enak badan kenapa?” Aku sedikit kaget saat anak bungsu Bu Mayang mengeluarkan suara. Tersirat kekhawatiran pada sorot matanya.

“Katanya mau istirahat saja, mungkin kecapekan.” Mas Ridho menyahut lagi.

“Oh ... iya. Semoga lekas sehat ya. Eh, Neng Asma ini sebenarnya kerja apa nggak, sih?” tanya Bu Mayang tiba-tiba.

“Nggak, Bu. Saya di rumah saja.”

“Oh ... tapi kemarin kok bisa beliin kalung buat Ibu mertuanya? Uang dari mana, ya? ‘Kan kalau dipikir-pikir, gaji Ridho sebagai honor nggak sampai dua juta.” Wah, cari gara-gara lagi dia.

“Saya―”

“Istri saya ini anak pemilik Yayasan sekaligus Pesantren, Bu Mayang. Asma juga memiliki beberapa usaha di tempat tinggalnya. Iya ‘kan, Sayang?” ucap Mas Ridho seraya merangkul bahuku, membuat diri ini terpaku dan menatapnya tidak percaya.

“Pemilik Yayasan dan Pesantren?” ucap Bu Mayang membuat rasa terkesimaku hilang.

“Iya, Bu Mayang. Tapi saya bangga, karena istri saya tidak pernah sombong bahkan mau hidup di kampung yang kehidupannya jauh berbeda dengan di kota.”

Aku hanya bisa menelan saliva saat mendengar Mas Ridho memujiku. Sedangkan Bu Mayang dan anaknya juga ikut terpaku bak orang terkejut setengah mati.

Bab terkait

  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • MERTUAKU MISKIN   Satu

    "Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya." Aku langsung ikut tertegun saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut. "Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu. "Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya membuatku mengernyitkan kening. "Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran. "I-itu ... em-" "Duh, lama banget, sih! Maju, dong! Udah pada antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana. "Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu yang lain ke atas piringnya. "Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?" tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk. Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, hanya memulai makan dengan menu seadanya. Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya dihiasi nasi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26

Bab terbaru

  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

  • MERTUAKU MISKIN   Tiga

    “Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan

DMCA.com Protection Status