Share

Tiga

Author: Azu Ra
last update Last Updated: 2024-08-26 00:06:12

“Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.

“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.

“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”

“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.

“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.

“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan manusia yang hobi sekali memojokkan Ibu mertuaku ini.

“Pokoknya Ibu nggak boleh keluar sendirian, ya. Mau ke mana pun, Ibu harus bilang sama Asma. Soalnya Asma nggak mau ada yang ngerendahin Ibu lagi.”

“Neng, Ibu, suamimu dan adik iparmu, Farhan, memang hidup sulit dari dulu. Kami sudah kebal dengan hinaan dan cacian orang-orang, tapi Ibu dan anak-anak tidak pernah ambil pusing. Semua manusia sudah memiliki jalan kehidupan masing-masing. Yang terpenting, Ibu selalu bersyukur karena memiliki anak seperti Ridho dan Farhan, dan sekarang kehadiran Neng Asma membuat rasa syukur Ibu bertambah,” jelasnya panjang lebar membuat kerongkongan ini terasa tercekat sampai-sampai aku tak bisa berkata apa-apa lagi, bahkan pelupukku terasa begitu panas.

“Terima kasih ya, Neng. Sudah mau menerima kami apa adanya.” Ibu menjulurkan tangan, menggenggam jemariku penuh kehangatan.

“Duh, Asma jadi nangis, Bu.” Aku terkekeh seraya menghapus air mata yang meleleh ke pipi. Entah sejak kapan aku menjadi cengeng seperti ini, padahal menangis adalah sesuatu hal yang paling sulit aku lakukan.

“Ayo, dimakan lagi supnya. Keburu dingin.” Ibu melepaskan genggaman, sedangkan aku mengangguk seraya meraih sendok kembali. Sebelum memakan sup buatan Ibu lagi, aku melirik Mas Ridho beberapa detik.

Dia masih saja begitu, banyak diamnya dan dingin melebihi kulkas dua pintu.

“Dho ... bagaimana mengajarnya hari ini? Lancar?” tanya Ibu membuatku melirik lelaki itu lagi.

“Alhamdulillah lancar, Bu.”

“Kamu nyaman mengajar di sana?” tanya Ibu lagi membuatku tak bisa fokus makan, apa lagi saat Mas Ridho mendongak dan memberikan senyuman manisnya pada wanita yang melahirkannya itu.

“Nyaman, Bu. Alhamdulillah.”

“Uhuk!”

“Ya Allah, Neng. Kenapa? Ini diminum dulu.” Aku langsung menyambar gelas berisi air putih pemberian Ibu, lalu meneguknya sampai habis.

Senyum Mas Ridho benar-benar mengalihkan duniaku sampai aku tak sadar menelan kentang yang belum terkunyah dengan sempurna.

“Nggak apa-apa?” Suara Mas Ridho saat bertanya membuat jantungku berdebar. Aku pun langsung menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupan yang luar biasa di dalam hati ini.

***

[Cara agar suami mau menyentuh istrinya?]

[Kenapa suami belum menyentuh istrinya?]

[Bagaimana agar suami tidak bersikap dingin?]

Aku depresi sendiri, kolom pencarian G****e-ku bahkan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Sudah hampir satu bulan aku menjadi istri Mas Ridho, tapi lelaki itu belum menyentuhku sama sekali, kecuali di acara akad nikah dulu saat penghulu menyuruhnya untuk mengecup kening ini.

“Apa aku nggak cantik? Apa aku kurang menarik?” gumamku seorang diri.

Atau mungkin Mas Ridho tidak mencintaiku? Jika iya, tak mungkin juga ‘kan dia menikahiku? Ah ... iya, mungkin dia memang masih malu, dan aku harus mencoba untuk memakluminya.

Menyadari cahaya matahari pagi semakin menyinari ruangan kamar ini dari balik jendela, aku meninggalkan kamar dan ponsel yang sedari tadi kugenggam. Lantas memilih mengambil satu buah daster yang sudah kurobek dan dijadikan kain lap.

Katanya, hari ini jadwal Ibu piket di majelis taklim, dan aku harus membantunya. Tak mau jika beliau bertemu Ibu-ibu yang suka mengolok-oloknya.

“Neng di rumah saja, atuh.” Ibu menyarankan.

“Nggak apa-apa, Bu. Asma ikut saja,” jawabku sambil tersenyum, membuat bibir wanita paruh baya itu ikut tersungging.

Akhirnya aku pun membawa lap dan cairan pembersih kaca, sedangkan Ibu membawa satu buah sapu lidi.

Sesampai di majelis taklim, sudah ada tiga wanita lain, jadwal piketnya sama dengan Ibu. Satu di antaranya adalah orang yang waktu itu mengejek Ibu di acara hajatan.

“Eh, ada Neng Asma. Mau ikut bantuin ya, Neng?” sapa wanita yang usianya mungkin sebaya dengan Ibu, aku tersenyum sambil mengangguk sopan.

“Baik banget sih menantumu, Bu. Satu dari seribu menantu sebaik dan secantik Neng Asma ini,” timpal Ibu yang satunya.

“Ini mau piket apa mau ngeghibah, sih?” ucap wanita yang belum kuketahui namanya itu, dengan wajah masam dia segera masuk ke dalam majelis lalu mulai menyapu area teras.

“Neng bersihin kaca, bisa?” tanya Ibu sebelum kami memulai pekerjaan.

“Bisa dong, Bu.” Aku menjawab yakin. Ibu tersenyum lagi, kami pun memulai aktivitas.

Ibu mertuaku membersihkan karpet majelis, Ibu yang memujiku merapikan Al-Qur’an, dan Ibu satunya lagi menyapu lantai dalam. Sedangkan Ibu julid masih tetap membersihkan area teras yang lumayan luas.

“Eh, Teh Zainab. Kemarin Bu Mayang cerita pas kami arisan, katanya Ibu beli kalung yang harganya sepuluh juta lebih, ya?” Mendengar pertanyaan dari seorang Ibu yang tengah menyapu lantai majelis, aku langsung menoleh, bahkan Ibu sendiri nampak tengah menatapku.

“I-iya. Dibelikan menantu.” Ibu menjawab sambil senyum.

“Ih, mau lihat dong kalungnya, Teh.” Wanita itu meninggalkan pekerjaannya sambil mendekat ke arah Ibu, bahkan wanita yang tengah merapikan Al-Qur’an ikut berlari ke arah Ibu.

“Ayo dong, Teh Zainab. Mau lihat ....” Mereka merengek bak anak kecil, membuatku menggelengkan kepala, benar-benar mengerikan ya makhluk di kampung Cibungur ini.

“Ah, kalung perak kali.” Si Ibu julid ikut masuk ke dalam sambil berkata demikian.

“Emas kok, Teh. Kemarin Bu Mayang cerita pas kami arisan. Bu Tuti sih absen, jadi nggak dengar Bu Mayang cerita.” Oh, jadi nama wanita julid binti menyebalkan itu, Tuti.

“Boleh lihat ya, Teh Zainab? Kami penasaran soalnya,” kata wanita itu lagi. Ibu menatapku kembali, aku hanya mengangguk.

Dengan wajah ragu Ibu menyibakkan setengah kerudungnya agar lehernya terlihat.

“Wow ...!” Ketiga wanita itu berseru dengan kompak.

“Bagus bangeeet. Pantas harganya mahal. Ya Allah.” Ibu hanya terdiam kemudian menurunkan kembali kain kerudungnya.

“Ah, paling juga emasnya cuma sedikit itu. Warnanya saja sudah pudar.”

“Mana ada, Teh. Toko Mas Sinar Simpati itu toko perhiasan yang sudah dikenal bagus dan berkwalitas.”

“Ah ... bagusan juga emas punyaku, beli dari arab dulu, sering diincar orang malah pernah ada yang nawarin dua puluh juta, tapi aku nggak jual soalnya memang emasnya bagus. Jauh lah sama kalungnya Teh Zainab.”

Mereka terus berbincang mengenai perhiasan, aku tak ikut campur, membiarkan Ibu bernama Tuti itu semakin kepanasan.

***

Pagi sekali, aktivitasku dengan Ibu harus terhenti karena kedatangan seseorang. Ibu Tuti, kehadirannya cukup membuatku terkejut.

“Bu Tuti, ada apa, ya?” tanya Ibu saat kami menghampirinya ke teras.

Entah kenapa wajahnya yang selalu masam berubah drastis menjadi ramah.

“Ini, Teh Zainab. Em ....” ucapnya menggantung kalimat seraya tersenyum-senyum.

“Aku teh mau pinjam uang, satu minggu saja, soalnya buat bayar semester si bungsu.”

“Pinjam uang?” ucap Ibu bak orang kaget.

“Iya, Teh. Soalnya gajian suami belum cair, katanya harus tunggu seminggu.”

“Ya bayar semesternya tunggu seminggu saja.” Entah kenapa aku ingin berujar demikian.

“Masalahnya jatuh temponya besok, Neng Asma cantik.” Mendadak aku geli disebut demikian oleh Ibu super julid tersebut.

“Maaf ya, Bu. Ibu mertua saya ‘kan orang nggak punya, masa iya mau minjamin uang sama yang lebih berada. Kan aneh, hehehe.”

“Emh, iya juga, sih. Tapi mungkin Neng Asma punya, ‘kan katanya duit Neng Asma banyak.”

“Ah, enggak juga. Kalau pun banyak, saya nggak mau pinjamin uang apa lagi sama orang yang suka ngehina Ibu,” ucapku dengan lembut.

“Sedikit saja kok, Neng. Cuma satu juta.” Dia memaksa.

“Hmm, kalau begitu jual saja emas Ibu yang dari arab itu. Kalau dijual, Ibu masih punya sisa uang buat bayar semester sembilan belas kali lagi,” jawabku membuat raut wajah Bu Tuti berubah seketika.

Related chapters

  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

    Last Updated : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

    Last Updated : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

    Last Updated : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

    Last Updated : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

    Last Updated : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

    Last Updated : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

    Last Updated : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

    Last Updated : 2024-10-16

Latest chapter

  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

  • MERTUAKU MISKIN   Tiga

    “Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan

DMCA.com Protection Status