Share

Tiga

“Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.

“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.

“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”

“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.

“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.

“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan manusia yang hobi sekali memojokkan Ibu mertuaku ini.

“Pokoknya Ibu nggak boleh keluar sendirian, ya. Mau ke mana pun, Ibu harus bilang sama Asma. Soalnya Asma nggak mau ada yang ngerendahin Ibu lagi.”

“Neng, Ibu, suamimu dan adik iparmu, Farhan, memang hidup sulit dari dulu. Kami sudah kebal dengan hinaan dan cacian orang-orang, tapi Ibu dan anak-anak tidak pernah ambil pusing. Semua manusia sudah memiliki jalan kehidupan masing-masing. Yang terpenting, Ibu selalu bersyukur karena memiliki anak seperti Ridho dan Farhan, dan sekarang kehadiran Neng Asma membuat rasa syukur Ibu bertambah,” jelasnya panjang lebar membuat kerongkongan ini terasa tercekat sampai-sampai aku tak bisa berkata apa-apa lagi, bahkan pelupukku terasa begitu panas.

“Terima kasih ya, Neng. Sudah mau menerima kami apa adanya.” Ibu menjulurkan tangan, menggenggam jemariku penuh kehangatan.

“Duh, Asma jadi nangis, Bu.” Aku terkekeh seraya menghapus air mata yang meleleh ke pipi. Entah sejak kapan aku menjadi cengeng seperti ini, padahal menangis adalah sesuatu hal yang paling sulit aku lakukan.

“Ayo, dimakan lagi supnya. Keburu dingin.” Ibu melepaskan genggaman, sedangkan aku mengangguk seraya meraih sendok kembali. Sebelum memakan sup buatan Ibu lagi, aku melirik Mas Ridho beberapa detik.

Dia masih saja begitu, banyak diamnya dan dingin melebihi kulkas dua pintu.

“Dho ... bagaimana mengajarnya hari ini? Lancar?” tanya Ibu membuatku melirik lelaki itu lagi.

“Alhamdulillah lancar, Bu.”

“Kamu nyaman mengajar di sana?” tanya Ibu lagi membuatku tak bisa fokus makan, apa lagi saat Mas Ridho mendongak dan memberikan senyuman manisnya pada wanita yang melahirkannya itu.

“Nyaman, Bu. Alhamdulillah.”

“Uhuk!”

“Ya Allah, Neng. Kenapa? Ini diminum dulu.” Aku langsung menyambar gelas berisi air putih pemberian Ibu, lalu meneguknya sampai habis.

Senyum Mas Ridho benar-benar mengalihkan duniaku sampai aku tak sadar menelan kentang yang belum terkunyah dengan sempurna.

“Nggak apa-apa?” Suara Mas Ridho saat bertanya membuat jantungku berdebar. Aku pun langsung menggeleng, mencoba menyembunyikan kegugupan yang luar biasa di dalam hati ini.

***

[Cara agar suami mau menyentuh istrinya?]

[Kenapa suami belum menyentuh istrinya?]

[Bagaimana agar suami tidak bersikap dingin?]

Aku depresi sendiri, kolom pencarian G****e-ku bahkan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Sudah hampir satu bulan aku menjadi istri Mas Ridho, tapi lelaki itu belum menyentuhku sama sekali, kecuali di acara akad nikah dulu saat penghulu menyuruhnya untuk mengecup kening ini.

“Apa aku nggak cantik? Apa aku kurang menarik?” gumamku seorang diri.

Atau mungkin Mas Ridho tidak mencintaiku? Jika iya, tak mungkin juga ‘kan dia menikahiku? Ah ... iya, mungkin dia memang masih malu, dan aku harus mencoba untuk memakluminya.

Menyadari cahaya matahari pagi semakin menyinari ruangan kamar ini dari balik jendela, aku meninggalkan kamar dan ponsel yang sedari tadi kugenggam. Lantas memilih mengambil satu buah daster yang sudah kurobek dan dijadikan kain lap.

Katanya, hari ini jadwal Ibu piket di majelis taklim, dan aku harus membantunya. Tak mau jika beliau bertemu Ibu-ibu yang suka mengolok-oloknya.

“Neng di rumah saja, atuh.” Ibu menyarankan.

“Nggak apa-apa, Bu. Asma ikut saja,” jawabku sambil tersenyum, membuat bibir wanita paruh baya itu ikut tersungging.

Akhirnya aku pun membawa lap dan cairan pembersih kaca, sedangkan Ibu membawa satu buah sapu lidi.

Sesampai di majelis taklim, sudah ada tiga wanita lain, jadwal piketnya sama dengan Ibu. Satu di antaranya adalah orang yang waktu itu mengejek Ibu di acara hajatan.

“Eh, ada Neng Asma. Mau ikut bantuin ya, Neng?” sapa wanita yang usianya mungkin sebaya dengan Ibu, aku tersenyum sambil mengangguk sopan.

“Baik banget sih menantumu, Bu. Satu dari seribu menantu sebaik dan secantik Neng Asma ini,” timpal Ibu yang satunya.

“Ini mau piket apa mau ngeghibah, sih?” ucap wanita yang belum kuketahui namanya itu, dengan wajah masam dia segera masuk ke dalam majelis lalu mulai menyapu area teras.

“Neng bersihin kaca, bisa?” tanya Ibu sebelum kami memulai pekerjaan.

“Bisa dong, Bu.” Aku menjawab yakin. Ibu tersenyum lagi, kami pun memulai aktivitas.

Ibu mertuaku membersihkan karpet majelis, Ibu yang memujiku merapikan Al-Qur’an, dan Ibu satunya lagi menyapu lantai dalam. Sedangkan Ibu julid masih tetap membersihkan area teras yang lumayan luas.

“Eh, Teh Zainab. Kemarin Bu Mayang cerita pas kami arisan, katanya Ibu beli kalung yang harganya sepuluh juta lebih, ya?” Mendengar pertanyaan dari seorang Ibu yang tengah menyapu lantai majelis, aku langsung menoleh, bahkan Ibu sendiri nampak tengah menatapku.

“I-iya. Dibelikan menantu.” Ibu menjawab sambil senyum.

“Ih, mau lihat dong kalungnya, Teh.” Wanita itu meninggalkan pekerjaannya sambil mendekat ke arah Ibu, bahkan wanita yang tengah merapikan Al-Qur’an ikut berlari ke arah Ibu.

“Ayo dong, Teh Zainab. Mau lihat ....” Mereka merengek bak anak kecil, membuatku menggelengkan kepala, benar-benar mengerikan ya makhluk di kampung Cibungur ini.

“Ah, kalung perak kali.” Si Ibu julid ikut masuk ke dalam sambil berkata demikian.

“Emas kok, Teh. Kemarin Bu Mayang cerita pas kami arisan. Bu Tuti sih absen, jadi nggak dengar Bu Mayang cerita.” Oh, jadi nama wanita julid binti menyebalkan itu, Tuti.

“Boleh lihat ya, Teh Zainab? Kami penasaran soalnya,” kata wanita itu lagi. Ibu menatapku kembali, aku hanya mengangguk.

Dengan wajah ragu Ibu menyibakkan setengah kerudungnya agar lehernya terlihat.

“Wow ...!” Ketiga wanita itu berseru dengan kompak.

“Bagus bangeeet. Pantas harganya mahal. Ya Allah.” Ibu hanya terdiam kemudian menurunkan kembali kain kerudungnya.

“Ah, paling juga emasnya cuma sedikit itu. Warnanya saja sudah pudar.”

“Mana ada, Teh. Toko Mas Sinar Simpati itu toko perhiasan yang sudah dikenal bagus dan berkwalitas.”

“Ah ... bagusan juga emas punyaku, beli dari arab dulu, sering diincar orang malah pernah ada yang nawarin dua puluh juta, tapi aku nggak jual soalnya memang emasnya bagus. Jauh lah sama kalungnya Teh Zainab.”

Mereka terus berbincang mengenai perhiasan, aku tak ikut campur, membiarkan Ibu bernama Tuti itu semakin kepanasan.

***

Pagi sekali, aktivitasku dengan Ibu harus terhenti karena kedatangan seseorang. Ibu Tuti, kehadirannya cukup membuatku terkejut.

“Bu Tuti, ada apa, ya?” tanya Ibu saat kami menghampirinya ke teras.

Entah kenapa wajahnya yang selalu masam berubah drastis menjadi ramah.

“Ini, Teh Zainab. Em ....” ucapnya menggantung kalimat seraya tersenyum-senyum.

“Aku teh mau pinjam uang, satu minggu saja, soalnya buat bayar semester si bungsu.”

“Pinjam uang?” ucap Ibu bak orang kaget.

“Iya, Teh. Soalnya gajian suami belum cair, katanya harus tunggu seminggu.”

“Ya bayar semesternya tunggu seminggu saja.” Entah kenapa aku ingin berujar demikian.

“Masalahnya jatuh temponya besok, Neng Asma cantik.” Mendadak aku geli disebut demikian oleh Ibu super julid tersebut.

“Maaf ya, Bu. Ibu mertua saya ‘kan orang nggak punya, masa iya mau minjamin uang sama yang lebih berada. Kan aneh, hehehe.”

“Emh, iya juga, sih. Tapi mungkin Neng Asma punya, ‘kan katanya duit Neng Asma banyak.”

“Ah, enggak juga. Kalau pun banyak, saya nggak mau pinjamin uang apa lagi sama orang yang suka ngehina Ibu,” ucapku dengan lembut.

“Sedikit saja kok, Neng. Cuma satu juta.” Dia memaksa.

“Hmm, kalau begitu jual saja emas Ibu yang dari arab itu. Kalau dijual, Ibu masih punya sisa uang buat bayar semester sembilan belas kali lagi,” jawabku membuat raut wajah Bu Tuti berubah seketika.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status