Share

Lima

Penulis: Azu Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-26 00:07:04

“Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.

Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.

“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.

“Iya.”

“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.

“Nggak.”

“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.

Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.

“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.

Kuhela napas dalam, lalu tersenyum dan memilih bangkit. Sepertinya kehadiranku membuat Mas Ridho terganggu.

“Asma ke belakang dulu ya, Mas. Mau bantuin Ibu.” Lelaki itu tak bersuara, matanya masih menatap laptop dengan serius, tapi kulihat kepalanya mengangguk, hingga akhirnya aku memilih berlalu dan membiarkannya sibuk dengan dunianya sendiri.

“Lagi masak apa, Bu?” Wanita yang usianya sudah lebih dari kepala lima itu menoleh, menyuguhkan senyuman yang terlihat tulus padaku.

“Ini, mau bikin ayam goreng sambal bawang, Neng. Barusan ada Bu RT ngasih tiga potong ayam.”

“Oh ... Ibu suka ayam goreng sambal bawang?”

“Nggak, Neng. Yang suka mah suami Neng,” balasnya seraya terkekeh.

“Mas Ridho suka ayam goreng sambal bawang?” ulangku.

“Iya, dia suka sekali, Neng. Tapi dulu kami susah sekali kalau mau beli ayam, nggak seperti sekarang. Dulu kalau ada satu potong ayam pemberian tetangga atau hasil berkat, Ibu pasti selalu simpan buat suamimu.” Aku tersenyum mendengarnya walau hati ini merasa sedikit teriris.

Bagi keluarga apa adanya, satu potong ayam itu sudah menjadi makanan yang mewah. Berbeda denganku yang rasanya begitu bosan memakan daging.

Berjodohnya aku dengan Mas Ridho, dan dipertemukannya aku dengan keluarga ini sepertinya memang sebuah hikmah, agar aku bisa lebih bersyukur atas nikmat yang selama ini Allah berikan.

“Biar Asma kupas bawangnya, Bu.” Aku menarik keranjang kecil berisi bawang merah dan putih.

“Nggak apa, Neng. Istirahat saja, Neng pasti capek karena tadi habis ke undangan Pak Haji Anwar.”

“Nggak, kok, Bu. Asma nggak capek. Oh, ya ... boleh Asma tanya sesuatu?” ucapku mendadak teringat sesuatu.

“Boleh atuh, Neng.” Sambil memanaskan minyak goreng di dalam wajan Ibu menjawab.

“Emm, Mas Ridho pernah punya mantan, nggak?” kataku lagi membuat Ibu menoleh, beliau tak langsung menjawab, namun matanya mengarah ke atas sana bak orang yang tengah berpikir keras.

“Sepertinya nggak pernah, Neng. Nggak tahu kalau dulu saat di sekolah. Tapi setahu Ibu Ridho atau pun Farhan nggak pernah pacaran, nggak pernah juga cerita soal perempuan. Mungkin mereka terlalu sibuk bantuin Ibu sampai nggak ada waktu buat mikirin yang begituan.” Entah aku harus bahagia atau sedih mendengarnya.

“Kenapa memangnya, Nak?” Ibu balik bertanya.

“Ah, enggak. Asma cuma ingin tahu saja. Eh iya, Bu. Ternyata istri dari Pak Haji Anwar itu Bu Mayang, ya? Orang sombong waktu di toko emas.” Sambil membayangkan wajah Bu Mayang yang menyebalkan itu aku berkata.

“Iya, betul. Bu Mayang memang istri Pak Haji Anwar, Neng.”

“Jadi, anaknya yang menikah juga anak Bu Mayang?”

“Hehehe, ya iya atuh, Neng. Bu Mayang punya dua anak, perempuan semua.”

“Oh ....” ucapku sambil mengangguk-angguk.

Ibu tak bersuara lagi, beliau mulai memasukkan ayam mentah ke dalam minyak goreng yang sudah panas.

“Ini bawangnya Asma kupas saja, ya?”

“Nggak usah dikupas, Neng. Langsung diulek saja sama cabai rawit.”

“Oh, iya-iya,” ucapku sok mengerti, walau sebenarnya sangat awam perihal masak memasak.

Kutarik tempat untuk menyambal dan menuangkan semua bawang beserta cabai rawit.

“Ini bumbunya apa saja, Bu?” tanyaku.

“Pakai garam dan penyedap rasa saja, Neng.” Aku mengangguk-angguk dan menurut, mencoba meracik sambal terkhusus untuk suami tercinta.

“Aduh!” ucapku kaget saat mulai mengulek, karena satu bawang merah melompat begitu saja dari si cobek. Ibu yang melihat pekerjaanku malah tertawa, dan aku malah merasa malu karena belum pandai memasak.

“Maaf ya, Bu. Asma nggak biasa masak soalnya,” kataku merasa tak enak.

“Nggak apa, Neng. Yang penting Neng mau belajar,” ucapnya diakhiri dengan tawa pelan.

***

“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat pagi-pagi melihat Ibu memakai sandalnya di depan teras.

“Oh, mau ke warung, Neng.”

“Sini, biar Asma saja.” Aku berinisiatif, tak tega rasanya melihat Ibu harus pergi ke warung.

“Tidak apa, Neng.”

“Ih ... biar Asma saja, Bu. Memangnya mau beli apa?” tanyaku sambil mendekat.

“Cuma mau beli bawang kok, Neng.”

“Oh, iya. Semalam habis karena dibuat sambal ayam goreng, ya? Ya sudah, biar Asma yang pergi ya, Bu.” Setelah memakai sandal, aku langsung berjalan, tapi Ibu bilang jika uangnya ada padanya.

“Tidak apa, Bu. Pakai uang Asma saja.” Kulihat Ibu tersenyum dan akhirnya membiarkanku pergi.

Selama satu bulan tinggal di kampung ini, aku sudah cukup mengenal beberapa letak lokasi warung, masjid, dan masih banyak lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku selalu mengajak Ibu untuk keluar dan keliling kampung.

“Ada bawang, Teh?” tanyaku setelah sampai di warung Teh Renti, secara di warung Teh Mimin tidak menjual sembako.

“Ada, Neng. Segimana, Neng?” tanyanya balik, aku menggaruk kepala yang terbalut kerudung. Bingung.

“Sekilonya berapa?”

“Bawang merah tiga puluh ribu, kalau bawang putih dua puluh tujuh ribu.” Sejenak aku berpikir dan terdiam lagi karena bingung. Kenapa pula tadi aku tidak bertanya pada Ibu berapa bawang yang dia butuhkan?

“Ya sudah, bawang merahnya sepuluh kilo, bawang putihnya juga sama.”

“Banyak banget, Neng? Mau ada acara, ya?” tanyanya.

“Umm ... nggak, Teh. Buat stok saja,” balasku enteng.

“Ya sudah, biar Teteh kilo dulu, ya?” Aku hanya mengangguk sambil mengulas senyum, kemudian duduk di bangku depan warung untuk menunggu Teh Renti menimbang bawang.

Saat aku sedang asyik menscroll hp, tiba-tiba seseorang memanggil namaku dan membuat kepala ini refleks mendongak.

Rasanya sedikit terkejut saat mendapati jelmaan ibl1s ada di hadapan. Iya, siapa lagi kalau bukan Bu Mayang. Haduh ... entah kenapa aku selalu tak sengaja dipertemukan dengan orang seperti dia.

“Lagi beli apa, Neng Asma?” tanyanya dengan nada begitu ramah.

“Beli keperluan dapur, Bu.” Aku menjawab seadanya.

“Oh ... iya. Teh Reren, ada terigu nggak? Semperempat saja,” ujarnya seraya melongokkan kepala ke dalam.

“Ada, Bu. Sebentar, ya. Lagi nimbang dulu bawang,” jawab Teh Renti dari dalam.

“Oke, deh.” Dengan nada centil Bu Mayang menyahut, kemudian tanpa basa-basi dia duduk di sampingku.

“Betah di sini ya, Neng?” tanyanya lagi, aku yang malas menjawab hanya mengangguk saja.

“Eh, katanya Neng Asma ini ‘kan anak Kiyai, ya? Kalau boleh tahu, nama pesantren yang dikelolanya apa?” Haduh, Gusti. Ini dulu ibunya ngidam apa sih pas mengandung dia? Kok kepo banget sama hidup orang.

“Pesantren Al-Masthuriyyah.”

“Pesantren Al-Masthuriyyah? Kayaknya asing banget. Nggak tahu saya.” Nah, dia mulai meledek.

“Mungkin main Ibu kurang jauh, jadi nggak tahu.” Aku berujar sambil tersenyum.

“Hahaha. Neng Asma ini, bisa saja. Terus, ketemu Ridho di mana? Kok bisa kenal sama dia?” Aku menghela napas, sepertinya makhluk ini benar-benar mengajak perang badar.

“Ketemu di pesantren. Mas Ridho ‘kan dapat beasiswa S1 di kampus yang dikelola keluarga saya. Beliau mahasiswa yang cerdas, makanya terkenal dan sampai dijodohkan dengan saya.”

“Oh, begitu ... baru dengar juga, sih. Soalnya orang sini ‘kan tahunya Ridho tukang jualan kantong kresek, makanya agak heran saja kok ada yang mau sama dia, begitu.” Hatiku terbakar mendengarnya mulai menghina keluargaku lagi.

“Justru karena sikap pekerja kerasnya itu Mas Ridho jadi banyak disukai orang. Lelaki yang suka bekerja dan penuh tanggung jawab itu sangat baik dijadikan suami, Bu.” Sebisa mungkin aku menjawab tanpa emosi.

“Iya, sih. Tapi ‘kan kerjanya yang bagaimana dulu. Sebelum nikah sama Neng Asma, Ridho ‘kan maunya sama anak Ibu, Farida. Tapi Ibu nggak setuju, masa anak juragan tanah nikah sama anak biasa saja.”

Beberapa saat aku terdiam mendengar cerita Bu Mayang. Entah harus percaya atau tidak, tapi aku merasa terkejut saja.

“Mungkin orang tua Neng Asma baru-baru ini kali ya punya pesantren. Soalnya nggak mungkin orang berada itu nikahin anaknya asal-asalan.”

“Orang tua saya nggak asal-asalan kok, Bu. Orang tua saya juga nggak pernah mandang orang dari kasta atau pun materi, karena sejatinya kekayaan itu hanyalah titipan yang bisa diambil Pemiliknya kapan saja,” tukasku sambil tersenyum.

“Neng Asma, ini bawangnya.”

“Oh, iya.” Aku langsung berdiri, dan obrolan panasku dengan Bu Mayang harus terhenti.

“Totalnya jadi berapa, Teh?”

“Lima ratus tujuh puluh ribu, Neng.” Aku langsung mengambil dompet dan menyerahkan enam lembar uang seratus ribuan.

“Mau ada acara apa beli bawang sebanyak itu?” tanya Bu Mayang lagi terlihat begitu penasaran.

“Buat stok, Bu Mayang.”

“S-stok?” ulangnya tergagap. Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.

“Ini kembaliannya, Neng.”

“Nggak apa-apa, Teh Renti. Kasih saja kembaliannya sama Bu Mayang, buat beli terigu.” Bu Mayang langsung melengos, sedangkan aku pamit dan segera pergi membawa sepuluh kilogram bawang merah dan sepuluh kilogram bawang putih.

Bab terkait

  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-26
  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-16
  • MERTUAKU MISKIN   Satu

    "Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya." Aku langsung ikut tertegun saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut. "Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu. "Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya membuatku mengernyitkan kening. "Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran. "I-itu ... em-" "Duh, lama banget, sih! Maju, dong! Udah pada antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana. "Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu yang lain ke atas piringnya. "Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?" tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk. Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, hanya memulai makan dengan menu seadanya. Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya dihiasi nasi

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26
  • MERTUAKU MISKIN   Dua

    MERTUAKU MISKIN 2“Tunggu, Neng!” Suara pedagang daster itu membuatku terpaksa menoleh lagi.“Kenapa?” tanyaku seraya memasang wajah malas.“Ini kembaliannya, Neng.” “Ambil saja, buat beli obat penyumpal mulut, biar nggak asal bicara dan nyakitin hati orang,” kataku membuat dia dan semua wanita di sana terdiam.Tanpa berkata lagi aku kembali berjalan seraya menggandeng Ibu untuk menjauh dari orang-orang toxic seperti mereka.“Neng, Ya Allah ... kenapa keluarin uang segitu banyak buat baju begini?” ucap Ibu mertuaku saat kami sudah sampai di rumah.“Nggak apa-apa, Bu. Biar mereka nggak kurang ajar sama Ibu. Lagi pula Asma heran, kenapa orang-orang di kampung ini mulutnya jahat banget, kok Ibu betah sih tinggal di tempat begini?” ucapku sambil membuka plastik berisi daster, penasaran dengan pakaian yang digandrungi Ibu-ibu di kampung Cibungur ini.“Nggak apa-apa, Neng. Ibu nggak pernah ambil pusing, nggak semua orang di sini seperti itu, kok.”“Tetap saja, mereka nggak punya etika. Apa

    Terakhir Diperbarui : 2024-08-26

Bab terbaru

  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

  • MERTUAKU MISKIN   Tiga

    “Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan

DMCA.com Protection Status