Share

Lima

“Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.

Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.

“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.

“Iya.”

“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.

“Nggak.”

“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.

Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.

“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.

Kuhela napas dalam, lalu tersenyum dan memilih bangkit. Sepertinya kehadiranku membuat Mas Ridho terganggu.

“Asma ke belakang dulu ya, Mas. Mau bantuin Ibu.” Lelaki itu tak bersuara, matanya masih menatap laptop dengan serius, tapi kulihat kepalanya mengangguk, hingga akhirnya aku memilih berlalu dan membiarkannya sibuk dengan dunianya sendiri.

“Lagi masak apa, Bu?” Wanita yang usianya sudah lebih dari kepala lima itu menoleh, menyuguhkan senyuman yang terlihat tulus padaku.

“Ini, mau bikin ayam goreng sambal bawang, Neng. Barusan ada Bu RT ngasih tiga potong ayam.”

“Oh ... Ibu suka ayam goreng sambal bawang?”

“Nggak, Neng. Yang suka mah suami Neng,” balasnya seraya terkekeh.

“Mas Ridho suka ayam goreng sambal bawang?” ulangku.

“Iya, dia suka sekali, Neng. Tapi dulu kami susah sekali kalau mau beli ayam, nggak seperti sekarang. Dulu kalau ada satu potong ayam pemberian tetangga atau hasil berkat, Ibu pasti selalu simpan buat suamimu.” Aku tersenyum mendengarnya walau hati ini merasa sedikit teriris.

Bagi keluarga apa adanya, satu potong ayam itu sudah menjadi makanan yang mewah. Berbeda denganku yang rasanya begitu bosan memakan daging.

Berjodohnya aku dengan Mas Ridho, dan dipertemukannya aku dengan keluarga ini sepertinya memang sebuah hikmah, agar aku bisa lebih bersyukur atas nikmat yang selama ini Allah berikan.

“Biar Asma kupas bawangnya, Bu.” Aku menarik keranjang kecil berisi bawang merah dan putih.

“Nggak apa, Neng. Istirahat saja, Neng pasti capek karena tadi habis ke undangan Pak Haji Anwar.”

“Nggak, kok, Bu. Asma nggak capek. Oh, ya ... boleh Asma tanya sesuatu?” ucapku mendadak teringat sesuatu.

“Boleh atuh, Neng.” Sambil memanaskan minyak goreng di dalam wajan Ibu menjawab.

“Emm, Mas Ridho pernah punya mantan, nggak?” kataku lagi membuat Ibu menoleh, beliau tak langsung menjawab, namun matanya mengarah ke atas sana bak orang yang tengah berpikir keras.

“Sepertinya nggak pernah, Neng. Nggak tahu kalau dulu saat di sekolah. Tapi setahu Ibu Ridho atau pun Farhan nggak pernah pacaran, nggak pernah juga cerita soal perempuan. Mungkin mereka terlalu sibuk bantuin Ibu sampai nggak ada waktu buat mikirin yang begituan.” Entah aku harus bahagia atau sedih mendengarnya.

“Kenapa memangnya, Nak?” Ibu balik bertanya.

“Ah, enggak. Asma cuma ingin tahu saja. Eh iya, Bu. Ternyata istri dari Pak Haji Anwar itu Bu Mayang, ya? Orang sombong waktu di toko emas.” Sambil membayangkan wajah Bu Mayang yang menyebalkan itu aku berkata.

“Iya, betul. Bu Mayang memang istri Pak Haji Anwar, Neng.”

“Jadi, anaknya yang menikah juga anak Bu Mayang?”

“Hehehe, ya iya atuh, Neng. Bu Mayang punya dua anak, perempuan semua.”

“Oh ....” ucapku sambil mengangguk-angguk.

Ibu tak bersuara lagi, beliau mulai memasukkan ayam mentah ke dalam minyak goreng yang sudah panas.

“Ini bawangnya Asma kupas saja, ya?”

“Nggak usah dikupas, Neng. Langsung diulek saja sama cabai rawit.”

“Oh, iya-iya,” ucapku sok mengerti, walau sebenarnya sangat awam perihal masak memasak.

Kutarik tempat untuk menyambal dan menuangkan semua bawang beserta cabai rawit.

“Ini bumbunya apa saja, Bu?” tanyaku.

“Pakai garam dan penyedap rasa saja, Neng.” Aku mengangguk-angguk dan menurut, mencoba meracik sambal terkhusus untuk suami tercinta.

“Aduh!” ucapku kaget saat mulai mengulek, karena satu bawang merah melompat begitu saja dari si cobek. Ibu yang melihat pekerjaanku malah tertawa, dan aku malah merasa malu karena belum pandai memasak.

“Maaf ya, Bu. Asma nggak biasa masak soalnya,” kataku merasa tak enak.

“Nggak apa, Neng. Yang penting Neng mau belajar,” ucapnya diakhiri dengan tawa pelan.

***

“Mau ke mana, Bu?” tanyaku saat pagi-pagi melihat Ibu memakai sandalnya di depan teras.

“Oh, mau ke warung, Neng.”

“Sini, biar Asma saja.” Aku berinisiatif, tak tega rasanya melihat Ibu harus pergi ke warung.

“Tidak apa, Neng.”

“Ih ... biar Asma saja, Bu. Memangnya mau beli apa?” tanyaku sambil mendekat.

“Cuma mau beli bawang kok, Neng.”

“Oh, iya. Semalam habis karena dibuat sambal ayam goreng, ya? Ya sudah, biar Asma yang pergi ya, Bu.” Setelah memakai sandal, aku langsung berjalan, tapi Ibu bilang jika uangnya ada padanya.

“Tidak apa, Bu. Pakai uang Asma saja.” Kulihat Ibu tersenyum dan akhirnya membiarkanku pergi.

Selama satu bulan tinggal di kampung ini, aku sudah cukup mengenal beberapa letak lokasi warung, masjid, dan masih banyak lagi. Karena rasa penasaranku yang tinggi, aku selalu mengajak Ibu untuk keluar dan keliling kampung.

“Ada bawang, Teh?” tanyaku setelah sampai di warung Teh Renti, secara di warung Teh Mimin tidak menjual sembako.

“Ada, Neng. Segimana, Neng?” tanyanya balik, aku menggaruk kepala yang terbalut kerudung. Bingung.

“Sekilonya berapa?”

“Bawang merah tiga puluh ribu, kalau bawang putih dua puluh tujuh ribu.” Sejenak aku berpikir dan terdiam lagi karena bingung. Kenapa pula tadi aku tidak bertanya pada Ibu berapa bawang yang dia butuhkan?

“Ya sudah, bawang merahnya sepuluh kilo, bawang putihnya juga sama.”

“Banyak banget, Neng? Mau ada acara, ya?” tanyanya.

“Umm ... nggak, Teh. Buat stok saja,” balasku enteng.

“Ya sudah, biar Teteh kilo dulu, ya?” Aku hanya mengangguk sambil mengulas senyum, kemudian duduk di bangku depan warung untuk menunggu Teh Renti menimbang bawang.

Saat aku sedang asyik menscroll hp, tiba-tiba seseorang memanggil namaku dan membuat kepala ini refleks mendongak.

Rasanya sedikit terkejut saat mendapati jelmaan ibl1s ada di hadapan. Iya, siapa lagi kalau bukan Bu Mayang. Haduh ... entah kenapa aku selalu tak sengaja dipertemukan dengan orang seperti dia.

“Lagi beli apa, Neng Asma?” tanyanya dengan nada begitu ramah.

“Beli keperluan dapur, Bu.” Aku menjawab seadanya.

“Oh ... iya. Teh Reren, ada terigu nggak? Semperempat saja,” ujarnya seraya melongokkan kepala ke dalam.

“Ada, Bu. Sebentar, ya. Lagi nimbang dulu bawang,” jawab Teh Renti dari dalam.

“Oke, deh.” Dengan nada centil Bu Mayang menyahut, kemudian tanpa basa-basi dia duduk di sampingku.

“Betah di sini ya, Neng?” tanyanya lagi, aku yang malas menjawab hanya mengangguk saja.

“Eh, katanya Neng Asma ini ‘kan anak Kiyai, ya? Kalau boleh tahu, nama pesantren yang dikelolanya apa?” Haduh, Gusti. Ini dulu ibunya ngidam apa sih pas mengandung dia? Kok kepo banget sama hidup orang.

“Pesantren Al-Masthuriyyah.”

“Pesantren Al-Masthuriyyah? Kayaknya asing banget. Nggak tahu saya.” Nah, dia mulai meledek.

“Mungkin main Ibu kurang jauh, jadi nggak tahu.” Aku berujar sambil tersenyum.

“Hahaha. Neng Asma ini, bisa saja. Terus, ketemu Ridho di mana? Kok bisa kenal sama dia?” Aku menghela napas, sepertinya makhluk ini benar-benar mengajak perang badar.

“Ketemu di pesantren. Mas Ridho ‘kan dapat beasiswa S1 di kampus yang dikelola keluarga saya. Beliau mahasiswa yang cerdas, makanya terkenal dan sampai dijodohkan dengan saya.”

“Oh, begitu ... baru dengar juga, sih. Soalnya orang sini ‘kan tahunya Ridho tukang jualan kantong kresek, makanya agak heran saja kok ada yang mau sama dia, begitu.” Hatiku terbakar mendengarnya mulai menghina keluargaku lagi.

“Justru karena sikap pekerja kerasnya itu Mas Ridho jadi banyak disukai orang. Lelaki yang suka bekerja dan penuh tanggung jawab itu sangat baik dijadikan suami, Bu.” Sebisa mungkin aku menjawab tanpa emosi.

“Iya, sih. Tapi ‘kan kerjanya yang bagaimana dulu. Sebelum nikah sama Neng Asma, Ridho ‘kan maunya sama anak Ibu, Farida. Tapi Ibu nggak setuju, masa anak juragan tanah nikah sama anak biasa saja.”

Beberapa saat aku terdiam mendengar cerita Bu Mayang. Entah harus percaya atau tidak, tapi aku merasa terkejut saja.

“Mungkin orang tua Neng Asma baru-baru ini kali ya punya pesantren. Soalnya nggak mungkin orang berada itu nikahin anaknya asal-asalan.”

“Orang tua saya nggak asal-asalan kok, Bu. Orang tua saya juga nggak pernah mandang orang dari kasta atau pun materi, karena sejatinya kekayaan itu hanyalah titipan yang bisa diambil Pemiliknya kapan saja,” tukasku sambil tersenyum.

“Neng Asma, ini bawangnya.”

“Oh, iya.” Aku langsung berdiri, dan obrolan panasku dengan Bu Mayang harus terhenti.

“Totalnya jadi berapa, Teh?”

“Lima ratus tujuh puluh ribu, Neng.” Aku langsung mengambil dompet dan menyerahkan enam lembar uang seratus ribuan.

“Mau ada acara apa beli bawang sebanyak itu?” tanya Bu Mayang lagi terlihat begitu penasaran.

“Buat stok, Bu Mayang.”

“S-stok?” ulangnya tergagap. Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum.

“Ini kembaliannya, Neng.”

“Nggak apa-apa, Teh Renti. Kasih saja kembaliannya sama Bu Mayang, buat beli terigu.” Bu Mayang langsung melengos, sedangkan aku pamit dan segera pergi membawa sepuluh kilogram bawang merah dan sepuluh kilogram bawang putih.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status