Share

MERTUAKU MISKIN
MERTUAKU MISKIN
Penulis: Azu Ra

Satu

"Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya." Aku langsung ikut tertegun saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut.

"Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu.

"Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya membuatku mengernyitkan kening.

"Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran.

"I-itu ... em-"

"Duh, lama banget, sih! Maju, dong! Udah pada antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana.

"Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu yang lain ke atas piringnya.

"Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?" tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk.

Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, hanya memulai makan dengan menu seadanya.

Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya dihiasi nasi dengan kentang balado dan capcai saja.

Namun terpaksa aku ikut makan walau tak mampu menghabiskannya karena telanjur dongkol dengan perlakuan anggota dari si empunya hajat.

Aku memang penduduk baru di sini, setelah satu bulan menikah dengan Mas Ridho, aku langsung ikut pindah ke kampung halamannya.

Setelah selesai makan, aku pun langsung mengajak Ibu pulang.

"Ckck, bisa-bisanya mau ambil sate. Paling isi amplopnya dua ribu," celetuk salah seorang perempuan yang usianya mungkin sepantar dengan Ibu mertuaku.

Langkahku refleks terhenti, karena merasa kesal, aku hendak menghampirinya. Namun Ibu mertuaku lebih dulu menarik lengan ini.

"Ayo, Neng."

Aku hanya bisa menahan napas, lalu lebih menurut sembari menahan geram.

***

"Ada apa di depan, Bu? Kok Ibu-ibu pada kumpul?" tanyaku bingung melihat gerombolan wanita berdaster di depan rumah Bi Nuni.

"Paling lagi pada pilih baju, Neng." Ibu menyahut sambil menyiram bunga, sedangkan aku masih memegangi gagang sapu sambil melihat ke depan sana.

"Baju? Ada yang dagang baju, begitu?"

"Iya, Neng. Setiap hari Kamis dan Sabtu, suka ada Teh Didoh jual baju ke kampung ini."

"Kenapa Ibu nggak ikut lihat, atuh?" tanyaku.

"Ah, nggak, Neng." Ibu menjawab enteng.

Refleks mataku melihat daster yang dikenakan Ibu. Warnanya sudah pudar, bahkan bagian bawahnya sudah bolong walau tidak terlalu besar.

"Ayo, Bu." Setelah meletakkan sapu begitu saja, aku langsung menggandeng tangan Ibu.

"Ke mana, Neng?" tanyanya nampak bingung.

"Lihat baju, Bu. Kita beli baru, ya."

Ibu menolak, tapi aku tetap memaksanya, alhasil wanita super baik ini pun menyerah.

Benar saja, ternyata para ibu rumah tangga tengah sibuk memilih beberapa pakaian yang masih dibungkus plastik.

"Ayo dipilih, Bu." Aku memberi perintah lagi, Ibu yang awalnya ragu akhirnya menjulurkan tangan, meraih sebuah plastik berisi baju mirip daster.

Namun tiba-tiba penjualnya menarik benda tersebut dari tangan Ibu.

"Maaf, kalau nggak mau beli jangan dikeluarin bajunya. Suka ribet ngerapiinnya lagi," ucapnya ketus.

"Iya, sih. Bener. Kasihan Teh Didoh kalau pakaiannya diacak-acak tapi nggak dibeli."

"Ember ... kalau kayak aku sih terserah ya Teh, soalnya tiap ke sini pasti bajunya selalu dibeli," timpal wanita yang kemarin meledek Ibu di acara hajatan.

"Siapa bilang Ibu saya mau lihat aja?" ucapku memberanikan diri untuk berkata demikian.

"Biasanya juga kan begitu, Neng. Mertuamu cuma lihat-lihat saja, tapi nggak jadi beli."

Aku tak menjawab, namun dengan segera mengambil dompet yang kebetulan berada di dalam saku daster.

"Nih! Saya borong semuanya!" ucapku sambil menjatuhkan sepuluh lembar uang seratus ribu ke atas ubin teras milik Bi Nuni.

Semua orang langsung terdiam, sedangkan aku langsung meraup semua daster yang masih dibungkus plastik.

"Ayo pulang, Bu!" ajakku sembari tersenyum penuh kemenangan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status