Share

Dua

MERTUAKU MISKIN 2

“Tunggu, Neng!” Suara pedagang daster itu membuatku terpaksa menoleh lagi.

“Kenapa?” tanyaku seraya memasang wajah malas.

“Ini kembaliannya, Neng.”

“Ambil saja, buat beli obat penyumpal mulut, biar nggak asal bicara dan nyakitin hati orang,” kataku membuat dia dan semua wanita di sana terdiam.

Tanpa berkata lagi aku kembali berjalan seraya menggandeng Ibu untuk menjauh dari orang-orang toxic seperti mereka.

“Neng, Ya Allah ... kenapa keluarin uang segitu banyak buat baju begini?” ucap Ibu mertuaku saat kami sudah sampai di rumah.

“Nggak apa-apa, Bu. Biar mereka nggak kurang ajar sama Ibu. Lagi pula Asma heran, kenapa orang-orang di kampung ini mulutnya jahat banget, kok Ibu betah sih tinggal di tempat begini?” ucapku sambil membuka plastik berisi daster, penasaran dengan pakaian yang digandrungi Ibu-ibu di kampung Cibungur ini.

“Nggak apa-apa, Neng. Ibu nggak pernah ambil pusing, nggak semua orang di sini seperti itu, kok.”

“Tetap saja, mereka nggak punya etika. Apa lagi Asma lihat, orang-orang yang julid itu usianya di bawah Ibu. Harusnya mereka bisa bersikap hormat dan lebih sopan dengan orang lebih tua.” Ibu tak menjawab, dia hanya tersenyum sembari meraih satu pakaian yang masih dibungkus plastik di atas meja.

“Ya ampun ... kirain bajunya bagus, Bu. Ini lebih bagus dijadiin lap daripada dipakai di badan,” kataku kaget melihat daster berbahan kasar dan sangat transparan ini.

“Kok dijadiin lap, Neng? Sayang atuh. Baju-baju Teh Didoh itu paling digandrungi semua ibu rumah tangga di kampung Cibungur.”

Aku tak menyahut, hanya sibuk membuka setiap plastik untuk melihat baju-baju yang katanya digandrungi para mak di sini.

Pantas saja harganya cuma tiga puluh lima ribuan, wong serat kainnya saja jauh dari kata bagus. Rasanya menyesal sekali aku memborong dua puluh tujuh baju yang tersisa ini.

“Jangan dipakai, ya, Bu. Nanti Asma belikan yang lebih bagus,” ucapku.

***

Sebenarnya, aku tak pernah bermimpi menikah di usia dua puluh lima. Rasanya masih terlalu muda untuk menjalani biduk rumah tangga dengan umur demikian.

Cita-citaku dulu ingin menikah di usia tiga puluh lima tahun. Aku ingin menjelajahi dunia dan memiliki karir yang sukses sebelum menjadi seorang istri.

Namun takdir berkata lain, Allah mempertemukanku dengan seorang pria yang begitu menarik hati. Budi pekertinya, sikap sopan dan kealimannya, bahkan ketampanannya berhasil membuatku jatuh pada yang namanya cinta.

Iya ... Mas Ridho. Dua tahun lalu, lelaki yang usianya sama denganku itu menjadi sopir pilihan Abi, menggantikan Pak Slamet yang sudah pensiun.

Dia lelaki yang tak banyak bicara, tak banyak tingkah seperti kebanyakan pemuda lainnya. Bahkan dia tak gengsi menjadi seorang sopir demi membiayai keluarga serta dirinya sendiri.

Aku masih ingat sekali, saat itu Abi dan Umi kembali menasihatiku untuk memakai kerudung, dan berpenampilan seperti muslimah pada umumnya. Secara, aku memang terlahir dari keluarga terpandang. Abi adalah seorang pebisnis sekaligus pemilik pesantren di kota.

Kalau Umi jangan ditanya, beliau sendiri yang mengurus semua hal di dalam pesantren. Bahkan Umi sudah hafal 30 juz Al-Qur’an. Berbeda jauh sekali dengan diriku yang begitu urakan, tomboy dan tak mau diatur.

“Umi mohon, Nak. Setidaknya tutuplah kepalamu dengan hijab jika memang tidak mau meneruskan pesantren.”

“Baik, Umi. Tapi Asma punya syarat.”

“Syarat apa, Nak?”

“Nikahkan Asma dengan Ridho ....” ucapku waktu itu membuat Umi dan Abi tercengang.

Kukira mereka akan menentang, namun ternyata Abi dan Umi menyetujui persyaratanku. Satu bulan kemudian setelah permintaan itu, aku benar-benar dinikahkan dengan Mas Ridho. Lelaki yang berhasil merebut cinta pertamaku di dalam hidup ini.

Ternyata, setelah menikah Abi dan Umi menyuruhku untuk ikut pulang bersamanya dan tinggal di kampung Cibungur ini. Katanya agar aku bisa belajar mandiri, hitung-hitung mondok bersama mertua.

Mas Ridho sendiri sudah mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, dan beliau memilih mengajar di Madrasah Aliyah yang ada di kampung ini. Mas Ridho memang mendapatkan beasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam yang dikelola oleh Yayasan Abi. Karena itu pula dia menjadi sopir di keluarga kami, karena dia memiliki tanggungan selain dirinya sendiri, yaitu Ibu dan adik bungsunya yang sudah dua tahun mondok di pesantren dekat sini.

Begitu lah singkat ceritanya kenapa aku bisa memiliki mertua yang dicap miskin dan selalu direndahkan orang-orang.

Sering kali aku mendengar cerita teman-teman yang sudah menikah, katanya sosok mertua itu menyeramkan dan sangat meracuni hubungan rumah tangga anak menantunya. Tapi entah kenapa, aku tidak menemukan secuil pun sikap seperti itu dari diri Ibu.

Bahkan sekarang aku tahu, dari mana sifat baik Mas Ridho itu berasal. Walau mungkin Ibu mertuaku tak memiliki harta berlimpah, tapi hatinya begitu kaya. Aku tak pernah mendengarnya mengeluh, bahkan aku sering kali melihat Ibu bersedekah pada fakir miskin mau pun pengemis di jalanan.

“Loh, katanya mau beli buah, Neng? Kok malah ke toko emas?” tanya Ibu, raut wajahnya terlihat bingung.

“Lihat-lihat dulu sebentar, Bu. Ayo.” Wanita berwajah lembut itu nampak ragu saat aku menarik tangannya agar ikut melangkahkan kaki ke dalam toko perhiasan.

“Eh, Bu Zainab.” Aku langsung menoleh pada wanita yang berpakaian serba merah itu, penampilannya mencolok sekali, seolah ingin menandakan jika dirinya orang berstatus sosial tinggi.

Sedangkan Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan sopan.

“Mau beli emas, Bu?” tanyanya lagi.

“Ini, mau antar menantu saja, Bu.”

“Oh ... kirain. Soalnya tumben Bu Zainab ke toko emas.” Aku hanya bisa menghela napas, merasa bingung saja, kenapa setiap melangkahkan kaki bersama Ibu, kami selalu bertemu dengan orang yang begitu menyebalkan.

“Teh, boleh lihat kalung yang itu?” ucapku pada seorang pelayan, namun dia tak menanggapi, dia malah meladeni Ibu berpakaian serba merah itu, padahal datang lebih awal.

Aku menghela napas lagi. Apa orang-orang di kampung sini hanya meladeni manusia yang berpakaian mewah saja? Heran, sangat heran.

“Loh, kok yang didahuluin malah si Ibunya? Kan kami datang lebih awal?” ucapku kesal, membuat si pembeli dan pelayan langsung menoleh.

“Kalung yang itu mahal, Teh,” ucap si pelayan ketus.

“Memangnya kenapa kalau mahal? Saya ke sini mau beli, bukan mau minta!” kataku tak bisa menahan emosi, Ibu mertuaku langsung mengelus lengan atas ini.

“Kalung itu memang mahal, Neng. Ibu saja belum bisa beli, apa lagi Neng sama mertua Neng.” Ibu berpakaian serba merah itu menimpali. Sombong sekali dia. Bahkan pelayan tersebut ikut terkekeh mendengar sahutan pelayan songong itu.

“Ya berapa? Sebutin dong harganya.”

“Sepuluh juta tiga ratus dua puluh dua ribu,” jawab si pelayan dengan wajah malas.

“Bisa via transfer? Soalnya saya cuma bawa uang cash dua juta.” Raut wajah keduanya langsung berubah.

“B-bisa, Teh. Bisa,” ucapnya, seketika dia mendadak ramah.

“Ini nomor rekeningnya, Teh.” Seraya memasang wajah judes aku menarik kertas bertuliskan beberapa angka.

“Sepuluh juta tiga ratus dua puluh dua ribu. Done!” Kedua wanita jelmaan ibl1s itu hanya terpaku saat aku memperlihatkan bukti transfer.

“Kok malah bengong? Sini kalungnya!” ucapku kesal.

“O-oh, iya.” Wanita yang wajahnya dipenuhi jerawat batu itu langsung mengambil kalung tersebut, lalu memberikannya padaku.

Dengan cepat aku membuka sedikit jilbab Ibu agar lehernya kelihatan.

“Neng ....” panggil Ibu seolah tak ingin aku memakaikan kalung ini padanya. Namun aku tak mendengar, terus saja melakukan hal yang kuinginkan agar orang-orang yang selalu merendahkannya berhenti berbuat demikian.

“Terima kasih, Teh,” ujar pelayan tersebut dengan wajah ramah dan semringah.

“Lain kali jangan suka beda-bedain orang ya, Teh. Takut rezekinya seret,” ucapku. Dia hanya mengangguk seraya meminta maaf, sedangkan Ibu berpakaian merah di samping kami tetap mematung bak orang kena serangan jantung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status