Share

Dua

Penulis: Azu Ra
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

MERTUAKU MISKIN 2

“Tunggu, Neng!” Suara pedagang daster itu membuatku terpaksa menoleh lagi.

“Kenapa?” tanyaku seraya memasang wajah malas.

“Ini kembaliannya, Neng.”

“Ambil saja, buat beli obat penyumpal mulut, biar nggak asal bicara dan nyakitin hati orang,” kataku membuat dia dan semua wanita di sana terdiam.

Tanpa berkata lagi aku kembali berjalan seraya menggandeng Ibu untuk menjauh dari orang-orang toxic seperti mereka.

“Neng, Ya Allah ... kenapa keluarin uang segitu banyak buat baju begini?” ucap Ibu mertuaku saat kami sudah sampai di rumah.

“Nggak apa-apa, Bu. Biar mereka nggak kurang ajar sama Ibu. Lagi pula Asma heran, kenapa orang-orang di kampung ini mulutnya jahat banget, kok Ibu betah sih tinggal di tempat begini?” ucapku sambil membuka plastik berisi daster, penasaran dengan pakaian yang digandrungi Ibu-ibu di kampung Cibungur ini.

“Nggak apa-apa, Neng. Ibu nggak pernah ambil pusing, nggak semua orang di sini seperti itu, kok.”

“Tetap saja, mereka nggak punya etika. Apa lagi Asma lihat, orang-orang yang julid itu usianya di bawah Ibu. Harusnya mereka bisa bersikap hormat dan lebih sopan dengan orang lebih tua.” Ibu tak menjawab, dia hanya tersenyum sembari meraih satu pakaian yang masih dibungkus plastik di atas meja.

“Ya ampun ... kirain bajunya bagus, Bu. Ini lebih bagus dijadiin lap daripada dipakai di badan,” kataku kaget melihat daster berbahan kasar dan sangat transparan ini.

“Kok dijadiin lap, Neng? Sayang atuh. Baju-baju Teh Didoh itu paling digandrungi semua ibu rumah tangga di kampung Cibungur.”

Aku tak menyahut, hanya sibuk membuka setiap plastik untuk melihat baju-baju yang katanya digandrungi para mak di sini.

Pantas saja harganya cuma tiga puluh lima ribuan, wong serat kainnya saja jauh dari kata bagus. Rasanya menyesal sekali aku memborong dua puluh tujuh baju yang tersisa ini.

“Jangan dipakai, ya, Bu. Nanti Asma belikan yang lebih bagus,” ucapku.

***

Sebenarnya, aku tak pernah bermimpi menikah di usia dua puluh lima. Rasanya masih terlalu muda untuk menjalani biduk rumah tangga dengan umur demikian.

Cita-citaku dulu ingin menikah di usia tiga puluh lima tahun. Aku ingin menjelajahi dunia dan memiliki karir yang sukses sebelum menjadi seorang istri.

Namun takdir berkata lain, Allah mempertemukanku dengan seorang pria yang begitu menarik hati. Budi pekertinya, sikap sopan dan kealimannya, bahkan ketampanannya berhasil membuatku jatuh pada yang namanya cinta.

Iya ... Mas Ridho. Dua tahun lalu, lelaki yang usianya sama denganku itu menjadi sopir pilihan Abi, menggantikan Pak Slamet yang sudah pensiun.

Dia lelaki yang tak banyak bicara, tak banyak tingkah seperti kebanyakan pemuda lainnya. Bahkan dia tak gengsi menjadi seorang sopir demi membiayai keluarga serta dirinya sendiri.

Aku masih ingat sekali, saat itu Abi dan Umi kembali menasihatiku untuk memakai kerudung, dan berpenampilan seperti muslimah pada umumnya. Secara, aku memang terlahir dari keluarga terpandang. Abi adalah seorang pebisnis sekaligus pemilik pesantren di kota.

Kalau Umi jangan ditanya, beliau sendiri yang mengurus semua hal di dalam pesantren. Bahkan Umi sudah hafal 30 juz Al-Qur’an. Berbeda jauh sekali dengan diriku yang begitu urakan, tomboy dan tak mau diatur.

“Umi mohon, Nak. Setidaknya tutuplah kepalamu dengan hijab jika memang tidak mau meneruskan pesantren.”

“Baik, Umi. Tapi Asma punya syarat.”

“Syarat apa, Nak?”

“Nikahkan Asma dengan Ridho ....” ucapku waktu itu membuat Umi dan Abi tercengang.

Kukira mereka akan menentang, namun ternyata Abi dan Umi menyetujui persyaratanku. Satu bulan kemudian setelah permintaan itu, aku benar-benar dinikahkan dengan Mas Ridho. Lelaki yang berhasil merebut cinta pertamaku di dalam hidup ini.

Ternyata, setelah menikah Abi dan Umi menyuruhku untuk ikut pulang bersamanya dan tinggal di kampung Cibungur ini. Katanya agar aku bisa belajar mandiri, hitung-hitung mondok bersama mertua.

Mas Ridho sendiri sudah mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan, dan beliau memilih mengajar di Madrasah Aliyah yang ada di kampung ini. Mas Ridho memang mendapatkan beasiswa di Sekolah Tinggi Agama Islam yang dikelola oleh Yayasan Abi. Karena itu pula dia menjadi sopir di keluarga kami, karena dia memiliki tanggungan selain dirinya sendiri, yaitu Ibu dan adik bungsunya yang sudah dua tahun mondok di pesantren dekat sini.

Begitu lah singkat ceritanya kenapa aku bisa memiliki mertua yang dicap miskin dan selalu direndahkan orang-orang.

Sering kali aku mendengar cerita teman-teman yang sudah menikah, katanya sosok mertua itu menyeramkan dan sangat meracuni hubungan rumah tangga anak menantunya. Tapi entah kenapa, aku tidak menemukan secuil pun sikap seperti itu dari diri Ibu.

Bahkan sekarang aku tahu, dari mana sifat baik Mas Ridho itu berasal. Walau mungkin Ibu mertuaku tak memiliki harta berlimpah, tapi hatinya begitu kaya. Aku tak pernah mendengarnya mengeluh, bahkan aku sering kali melihat Ibu bersedekah pada fakir miskin mau pun pengemis di jalanan.

“Loh, katanya mau beli buah, Neng? Kok malah ke toko emas?” tanya Ibu, raut wajahnya terlihat bingung.

“Lihat-lihat dulu sebentar, Bu. Ayo.” Wanita berwajah lembut itu nampak ragu saat aku menarik tangannya agar ikut melangkahkan kaki ke dalam toko perhiasan.

“Eh, Bu Zainab.” Aku langsung menoleh pada wanita yang berpakaian serba merah itu, penampilannya mencolok sekali, seolah ingin menandakan jika dirinya orang berstatus sosial tinggi.

Sedangkan Ibu hanya menganggukkan kepalanya dengan sopan.

“Mau beli emas, Bu?” tanyanya lagi.

“Ini, mau antar menantu saja, Bu.”

“Oh ... kirain. Soalnya tumben Bu Zainab ke toko emas.” Aku hanya bisa menghela napas, merasa bingung saja, kenapa setiap melangkahkan kaki bersama Ibu, kami selalu bertemu dengan orang yang begitu menyebalkan.

“Teh, boleh lihat kalung yang itu?” ucapku pada seorang pelayan, namun dia tak menanggapi, dia malah meladeni Ibu berpakaian serba merah itu, padahal datang lebih awal.

Aku menghela napas lagi. Apa orang-orang di kampung sini hanya meladeni manusia yang berpakaian mewah saja? Heran, sangat heran.

“Loh, kok yang didahuluin malah si Ibunya? Kan kami datang lebih awal?” ucapku kesal, membuat si pembeli dan pelayan langsung menoleh.

“Kalung yang itu mahal, Teh,” ucap si pelayan ketus.

“Memangnya kenapa kalau mahal? Saya ke sini mau beli, bukan mau minta!” kataku tak bisa menahan emosi, Ibu mertuaku langsung mengelus lengan atas ini.

“Kalung itu memang mahal, Neng. Ibu saja belum bisa beli, apa lagi Neng sama mertua Neng.” Ibu berpakaian serba merah itu menimpali. Sombong sekali dia. Bahkan pelayan tersebut ikut terkekeh mendengar sahutan pelayan songong itu.

“Ya berapa? Sebutin dong harganya.”

“Sepuluh juta tiga ratus dua puluh dua ribu,” jawab si pelayan dengan wajah malas.

“Bisa via transfer? Soalnya saya cuma bawa uang cash dua juta.” Raut wajah keduanya langsung berubah.

“B-bisa, Teh. Bisa,” ucapnya, seketika dia mendadak ramah.

“Ini nomor rekeningnya, Teh.” Seraya memasang wajah judes aku menarik kertas bertuliskan beberapa angka.

“Sepuluh juta tiga ratus dua puluh dua ribu. Done!” Kedua wanita jelmaan ibl1s itu hanya terpaku saat aku memperlihatkan bukti transfer.

“Kok malah bengong? Sini kalungnya!” ucapku kesal.

“O-oh, iya.” Wanita yang wajahnya dipenuhi jerawat batu itu langsung mengambil kalung tersebut, lalu memberikannya padaku.

Dengan cepat aku membuka sedikit jilbab Ibu agar lehernya kelihatan.

“Neng ....” panggil Ibu seolah tak ingin aku memakaikan kalung ini padanya. Namun aku tak mendengar, terus saja melakukan hal yang kuinginkan agar orang-orang yang selalu merendahkannya berhenti berbuat demikian.

“Terima kasih, Teh,” ujar pelayan tersebut dengan wajah ramah dan semringah.

“Lain kali jangan suka beda-bedain orang ya, Teh. Takut rezekinya seret,” ucapku. Dia hanya mengangguk seraya meminta maaf, sedangkan Ibu berpakaian merah di samping kami tetap mematung bak orang kena serangan jantung.

Bab terkait

  • MERTUAKU MISKIN   Tiga

    “Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29
  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

    Terakhir Diperbarui : 2024-10-29

Bab terbaru

  • MERTUAKU MISKIN   Sebelas

    Author PoV(Mohon maaf yaa saya ganti pakai PoV 3 biar bisa ceritain dari berbagai sudut)Ridho termenung melihat benda berwarna silver di hadapannya. Baginya memiliki benda mewah tersebut ibarat sebuah mimpi, bahkan setelah dia sudah berhasil menjadi seorang pengajar, laptop pemberian Asma tetap lah sesuatu yang mahal untuk ukuran seseorang sepertinya.“Masyaallah. Laptopnya bagus sekali, Pak Ridho.” Lelaki berambut ikal itu langsung menoleh, lantas memberikan senyuman terbaiknya.“Alhamdulillah, Pak Bagja.”“Gajian kemarin langsung beli laptop, ya?”“Ah, tidak. Ini kado dari istri,” ucapnya Ridho lalu tertegun seketika saat menyadari kalimatnya sendiri.“Masyaallah. Istrinya baik sekali, Pak.” Seorang wanita yang berprofesi sama dengannya ikut menyahut.“Nggak kayak Bu Uci, ya. Suami mau ganti sepatu futsal saja harus tunggu sobek. Hahaha.” Bagja berujar sehingga membuat semua orang yang berprofesi sebagai guru di ruangan tersebut ikut tergelak, sedangkan Ridho hanya ikut tersenyum.

  • MERTUAKU MISKIN   Sepuluh

    “Assalamualaikum, Sayang. Sehat kamu? Ridho sama Ibu juga sehat?” Sejenak aku terdiam mendengar suara Umi. Mendadak rindu di hatiku jadi menggebu.“Alhamdulillah, kami semua baik, Umi. Di sana bagaimana?” tanyaku.“Alhamdulillah, itu yang Umi harapkan. Kami juga sehat, Nak ....” Aku mengucap syukur dalam hati seraya mengusap air yang menggenang di pelupuk.Entah kenapa moodku hari ini buruk sekali, perkataan Farida masih terngiang-ngiang di telinga. Sebenarnya aku ingin sekali bercerita pada Ibu tentang hal yang terasa ambigu ini. Namun aku sadar, sekarang aku adalah seorang istri, tak boleh asal mengumbar masalah rumah tangga termasuk pada orang tua sendiri.“Sepertinya kamu nyaman di sana ya, Ma? Umi nggak dengar kamu ngeluh soalnya,” ucapnya diakhiri dengan tawa kecil, sampai aku ikut terkekeh.“Alhamdulillah, Asma nyaman sekali di sini, Umi. Ibu Mas Ridho sangat baik dan sayang sekali dengan Asma.”“Syukur lah, Nak. Anggap saja Ibu Zainab seperti Ibu sendiri. Jangan lupa bantuin b

  • MERTUAKU MISKIN   Sembilan

    "Yeay! Selesai!" ucapku dengan semringah saat mengakhiri pembuatan kue spesial untuk Mas Ridho. Rasanya tak sabar sekali ingin memberikan kejutan ini pada lelaki yang kucintai setengah mati itu."Bagus sekali kuenya, Neng." Pujian Ibu membuatku tersenyum."Benar kah, Bu?" Ibu mengangguk dengan cepat."Tapi sayang, baru bisa bikin kue. Belum bisa masak yang lain, hehe." Aku berujar dengan sedikit malu, kurasakan telapak tangan Ibu mengelus lengan ini."Nggak apa-apa, Ibu dulu juga nggak bisa masak kok, Neng.""Masa sih, Bu? Nyesel Asma ngga belajar masak dari dulu, soalnya Asma nggak nyangka bakal nikah di usia semuda ini. Dulu Asma maunya nikah di atas tiga puluh. Tapi memang takdir Allah nggak pernah disangka-sangka ya, Bu.""Betul sekali, Neng. Kehendak Allah itu nggak pernah bisa ditebak, dan pasti semua rencana-NYA memang yang terbaik untuk kita. Nggak apa-apa Neng belum bisa masak, waktu untuk belajar masih panjang. Ibu saja merasa begitu bersyukur punya menantu sebaik Neng." Ibu

  • MERTUAKU MISKIN   Delapan

    MERTUAKU MISKIN 8Asma PoV“Alhamdulillaaah ....” ucapku lega seraya meletakkan karung kecil berisi bawang dua puluh kilogram.“Bu? Ibu?” panggilku sambil menyeret benda ini ke dalam rumah. Pasti lah Ibu sudah menunggu lama.Akhirnya aku memilih berhenti di antara ruangan tengah yang menghubungkan ke arah dapur. Sambil ngos-ngosan aku mengelap keringat di dahi dengan ujung kerudung.“Sudah pulang, Neng? Maaf, barusan Ibu dari belakang.” Wanita yang baru saja tergopoh-gopoh menghampiriku itu berujar, aku hanya tersenyum.“Iya, Bu. Maaf ya Asma kelamaan.”“Nggak, nggak apa-apa. Tapi, Neng Asma jadi beli bawangnya?” tanyanya dengan mata yang melirik ke sana-sini seperti mencari sesuatu.“Jadi, Bu. Ini bawangnya.” Sambil menarik ujung karung yang diikat itu aku menyahut.“I-itu bawang?” tanya Ibu seperti orang bingung. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.“Neng beli berapa kilo?”“Bawang merah sepuluh kilo, bawang putih sepuluh kilo. Jadi dua puluh kilogram, Bu.”“Haaah? D-dua puluh kil

  • MERTUAKU MISKIN   Tujuh

    "Ini kunci mobilnya, Nak." Tanganku sedikit gemetar saat menerima benda tersebut dari Kiai Abdurrahim, pemilik yayasan yang memberikanku kesempatan untuk mondok sekaligus belajar di sini."Saya jarang pergi, kok. Hanya tiga sampai empat kali saja dalam seminggu. Saya hanya ingin Nak Ridho mengantar dan menjemput anak sulung saya setiap hari, karena dia selalu punya kegiatan setiap hari di luar rumah."Aku mengangguk sesopan mungkin, merasa mimpi saja bisa menjadi seseorang yang dipercayai orang paling berpengaruh di yayasan ini.Saat itu, ada sebuah info dari rois pesantren, katanya Kiai membutuhkan seseorang untuk menjadi sopir pribadi dikarenakan sopir dahulunya resign. Alhasil, banyak santri sekaligus mahasiswa sepertiku yang mengajukan diri.Karena banyaknya orang yang ingin menjadi sopir sang Kiai, akhirnya kami ditest satu persatu, dari mulai cara mengendarai mobil, kefokusan, dan masih banyak lagi. Beruntung aku pernah bekerja menjadi sopir truk walau tak terlalu lama, maka da

  • MERTUAKU MISKIN   Enam

    Ridho Pov “Hari ini, engkau bukan istriku lagi, Zainab. Kutalak engkau dengan penuh kesadaran hati dan jiwa ini ....”Aku masih sangat ingat, tatkala Bapak mengucap kalimat itu di hadapan kami, anak-anaknya yang masih membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawabnya.Bapak pergi begitu saja, meninggalkan Ibu yang tengah terbaring tak berdaya. Bukannya menemani saat sang istri diterpa kesakitan, Bapak justru angkat kaki dengan begitu entengnya. Aku ingin berontak, aku ingin sekali meronta dan memakinya, namun cengkeraman Ibu saat itu membuatku hanya bisa diam dan menurut.Saat Bapak pergi, aku baru menginjak kelas satu Madrasah Aliyah. Sedangkan Farhan adikku duduk di bangku kelas lima Sekolah Dasar. Jangan ditanya seberapa nelangsanya kami saat ditinggal seseorang yang seharusnya bertanggung jawab atas kelangsungan hidup. Sebagai anak sulung, awalnya aku ingin berhenti sekolah dan memilih mencari kerja agar bisa membiayai pengobatan Ibu serta biaya sekolah Farhan.“Mau jadi apa kamu j

  • MERTUAKU MISKIN   Lima

    “Ini tehnya, Mas.” Dengan sepenuh hati aku menyuguhkan teh manis untuk Mas Ridho yang tengah sibuk dengan laptopnya di dalam kamar.Dia mengangguk dan melirikku sekilas. Karena perlakuannya tadi siang, aku jadi yakin kalau sebenarnya dia mencintaiku, hanya saja belum bisa menyingkirkan rasa malu yang bersemayam di hatinya.“Lagi buat laporan ya, Mas?” tanyaku sambil duduk di sampingnya.“Iya.”“Pusing nggak sih Mas jadi guru? Harus ngedidik banyak anak. Mana setiap anak kepalanya beda-beda lagi,” kataku sambil menopang dagu dan melihat Mas Ridho memainkan laptopnya.“Nggak.”“Cita-cita dari dulu kah ingin jadi pengajar?” tanyaku seraya meliriknya, karena jarak yang dekat ini, aku baru sadar jika wajah Mas Ridho amat sangat rupawan.Hidungnya bangir dan ujungnya lancip, alisnya hitam pekat seperti disulam, netranya setajam mata elang, dahinya tak lebar juga tak sempit. Pokoknya Mas Ridho ini blasteran surga.“Iya.” Mas Ridho menjawab setelah agak lama, dia bahkan menggeser duduknya.K

  • MERTUAKU MISKIN   Empat

    “Dho, hari ini kamu nggak pergi mengajar?” tanya Ibu pada anak sulungnya yang tengah mencuci motor di halaman depan.“Iya, Bu. Nggak. Ada apa, Bu?” Duh, Gusti. Suara Mas Ridho yang lembut selalu berhasil membuat fokusku ambyar.Tahan, Asma ... tahan. Jangan sampai kamu ngereog di depan suami dan mertuamu, kamu harus tetap kalem seperti tipe wanita idaman Mas Ridho.“Ini ada undangan dari Pak Haji Anwar, kamu datang buat wakilin Ibu, ya?” Seraya terus membersihkan kaca cermin, aku mendengar percakapan keduanya sambil sekali mencuri pandang. Nampak Ibu menyerahkan selembar undangan berwarna merah maroon.“Anaknya Pak Haji Anwar menikah, Bu?” tanya Mas Ridho dengan raut wajah yang tak bisa kujelaskan.“Iya.”“Anak yang mana, Bu?”“Itu ‘kan namanya ada di dalam undangan atuh.” Ibu menyahut, Mas Ridho langsung membuka undangan dengan cepat.Dari sini aku bisa melihat dengan jelas jika raut wajah Mas Ridho seperti orang yang merasakan kelegaan tatkala sudah membuka undangan tersebut.“Oh, a

  • MERTUAKU MISKIN   Tiga

    “Ibu pakai kalung?” ucap Mas Ridho saat kami makan malam bersama. Aku diam saja seraya menikmati sup hangat buatan wanita berhati lembut itu. Kebetulan Ibu sedang tidak memakai kerudung, jadi pantas anak sulungnya itu melihat kalung yang melingkar di lehernya.“Iya, Dho. Tadi Neng Asma beliin kalung buat Ibu.” Mas Ridho terdiam, dia melirikku beberapa detik lalu kembali melemparkan pandangannya saat mata kami beradu.“Gara-gara Neng Asma beli kalung ini, Bu Mayang sampai nggak bisa bicara, Dho. Soalnya kalung ini perhiasan paling mahal di toko itu, bahkan Bu Mayang sendiri belum bisa membelinya.”“Oh ... yang pakai baju merah tadi namanya Bu Mayang, Bu?” tanyaku teringat wanita yang sombongnya sama seperti pelayan toko tersebut.“Iya, Neng. Beliau anak Juragan Saedi, orang paling terpandang di sini.” Aku membulatkan mulut lagi, pantas saja omongannya setinggi langit ketujuh.“Orang-orang di sini kok suka banget ngerendahin orang, ya, Bu?” ucapku mendadak kesal karena sering menemukan

DMCA.com Protection Status