"Paha sama dada ayamnya jangan dimakan, itu buat mbakmu sama ayahmu! Kamu makan pakai ceker dan kepala ayamnya saja!"
"Tapi itu ada pahanya lagi sama sayap, Bu.""Buat Ibu. Masa gitu saja nggak mau ngalah sama orang tua. Kamu lebih milih Ibu yang makan ceker sama kepala?" bentaknya.Aku menarik napas dan mengembuskan pelan. Kududuk di bangku dan segera mengambil nasi beserta kepala dan ceker ayam di piring.Rasanya sesak dibedakan seperti ini. Padahal kami sama-sama anak kandung. Tapi sikap Ibu sangat berbeda sekali padaku, jika Ibu berbicara pada Mbak Laras nadanya sangat lembut sekali. Tapi jika berbicara dan bersikap padaku, berbanding terbalik.Ayah dan Mbak Laras datang menyusul ke meja makan. Ibu dengan sigap mengambilkan nasi untuk Ayah dan juga Mbak Laras, lalu menaruh ayam goreng ke piring mereka masing-masing."Terima kasih, Bu. Tau saja ini bagian favoritku," ucap Mbak Laras senang."Sama-sama, makan yang banyak. Biar kamu lebih semangat kuliahnya." Ibu mengusap punggung tangan Mbak Laras lembut. Sementara Ayah melirik ke arah piringku dengan tatapan nanar."Kenapa makan cuma sama kepala dan cekernya saja, Nduk?" tanya Ayah."Biarin saja, toh anaknya juga suka kok sama kepala dan ceker!" ketus Ibu.Ayah memberikan piring yang berisi nasi dan lauk pauknya kepadaku. Sementara punyaku diambil oleh Ayah."Apa-apaan sih!" protes Ibu dan berusaha menukar piring kami lagi."Tau nih Ayah, sudahlah makan saja. Lagian Ara juga nggak masalah makan kaya gitu. Yang penting sama-sama ayam!" ujar Mbak Laras."Iya, Yah, nggak papa. Ayah makan saja bagian punya Ayah."Ayah membuang napas berat--ia menaruh piring itu dengan hentakkan keras dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan meja makan.Ibu dan Mbak Laras terdiam dengan sorot mata tajam menatapku. Hanya dua suapan saja aku pun memberhentikan makanku, rasanya sudah tak selera setiap makan seperti ini. Lebih baik sebelum pulang kerja aku makan dulu di luar."Mau ke mana kamu?" bentak Ibu.Aku tak menjawab lebih dan meneruskan langkah untuk pergi ke teras rumah. Sampai di teras kuusap sudut mataku yang basah."Dor!""Astaghfirullah, ngagetin saja!" omelku."Hehe, maaf, Ra. Sengaja sih nggak ngasih kabar biar jadi kejutan. Selamat ulang tahun Zahra." Risma dan Nina menyodorkan kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala kepadaku. Aku terharu, padahal aku saja lupa kalau ini adalah hari kelahiranku."Sebelum tiup lilinnya berdoa dulu. Tiupnya pakai kipas saja," ujar Nina dan Risma.Aku memejamkan mata dan berdoa agar keajaiban datang pada Ibu dan Mbak Laras. Semoga Allah melembutkan hati mereka untukku.Ku padamkan lilin itu dengan menggunakan kipas tangan. Lalu memotong kue itu dan ku sisihkan potongan kue pertama untuk Ayah dan juga Ibu."Makasih, ya, aku saja sampai lupa ini hari kelahiranku." Aku memeluk dua sahabatku tersebut."Sama-sama. Panjang umur, sehat selalu, dilancarkan rejekimu. Semoga cepat dipertemukan jodohmu, dan semoga hati ibu serta mbakmu menjadi lembut padamu, Ra.""Aamiin."Ayah tiba-tiba muncul dan menghampiri kami. Disusul dengan Ibu dan juga Mbak Laras, mungkin mereka terganggung dengan suara berisik kami."Nduk, Ayah nggak lupa kok sama hari lahirmu." Ayah memberikan sebuah kado dengan warna biru."Terima kasih Ayah."Aku memeluknya dengan erat. Lalu mengambil sepotong kue lalu menyuapi Ayah."Panjang umur anak Ayah. Doa yang terbaik untukmu, selalu jadi Zahra anak Ayah yang ceria." Ayah mencium keningku dengan lembut.Kini aku menghampiri Ibu dan memberikannya kue. Namun Ibu memandangku dengan penuh kebencian lalu melempar kue itu ke jalan."Bu!" bentak Ayah.Ibu diam saja dengan mata yang masih tajam menatapku. Huh, aku menarik napas panjang dan mencoba untuk tetap tersenyum."Heh, Risma. Aku lihat tempo hari kamu jalan sama cowok. Itu cowokmu? Terus juga si Nina postingan Instagramnya lagi liburan sama cowoknya dan keluarganya," tanya Mbak Laras."Iya, memangnya kenapa Mbak?" jawab sabahatku serempak."Nggak papa. Emang pekerjaan cowok kalian apaan?" tanyanya lagi dengan senyum meremehkan."Cowokku cuma supir, Mbak," sahut Risma."Cowokku juga cuma tukang parkir, Mbak," jawab Nina.Mbak Laras terbahak mendengar jawaban dari dua sahabatku tersebut. Lalu Ibu pun tersenyum miring. Manatap Nina dan Risma dari ujung kaki hingga kepala."Bergaul sama Zahra jadi nggak waras otak kalian!" ucap Ibu."Astaghfirullah, Ibu. Jangan bicara seperti itu!" tegas Ayah.Ibu langsung masuk ke dalam sementara Mbak Laras tak hentinya mentertawakan dua sahabatku."Kuliah mahal-mahal tapi dapet cowoknya cuma tukang parkir sama supir!" Hinanya.Setelah puas menghina Nina dan Risma ia pun ikut masuk ke dalam rumah. Ayah meminta maaf atas sikap dan ucapan Ibu kepada mereka, lalu menyuruh kami untuk melanjutkan obrolan. Ayah pun ikut masuk ke dalam rumah."Heh, emangnya beneran sama pekerjaan cowok kalian?" tanyaku penasaran. Karena selama ini aku memang tidak pernah kepo."Lah, iya beneran. Cowokku cuma supir pesawat.""Cowokku juga cuma tukang parkir pesawat."Ebuseehh!"Maksudnya cowok kalian itu pilot sama marshaller?"Mereka menganggukkan kepala seraya mencicipi kue ulang tahun. Lalu mereka menunjukkan sebuah foto padaku."Aku baru tau lho," imbuhku masih dengan melihat-lihat foto yang ada di galeri mereka."Lah, kamu saja nggak pernah nanya apa pekerjaan cowok kita berdua," jawab Risma."Ya, aku kira mereka pengusaha doang.""Selain punya usaha, ya, itu, jadi supir sama tukang parkir hahaha." Mereka tertawa sambil mencolekkan krim kue ke pipiku. Konyol. Aku mengembalikkan ponsel mereka dan menatap satu per satu wajah mereka."Makasih ya, selalu ada buatku. Aku nggak tau deh, kalau nggak punya sahabat kaya kalian hidupku bakal segersang apa.""Kita yang makasih banget sama Allah punya sahabat kaya kamu, Ra. Btw, mau dikenalin juga nggak sama supir?" ujar Risma."Supir pesawat?""Terserah kamu maunya supir apa hahah.""Aku mau menaklukkan hati ibuku dulu. Mungkin tanpa sadar aku telah membuat hatinya terluka hingga Ibu bisa sebenci itu padaku." Ak
"I--intel?" tanyaku masih dengan menatap dirinya yang semakin lama semakin jauh."Iya kayanya, itu bawa HT (Handie Talkie) sambil lari-larian macam jagoan sedang menangkap musuhnya di film action," sahut Risma sambil mengunyah pentol."Terus kita disuruh jagain gerobaknya gitu sampai dia kembali ke sini?" tanya Nina."Hu'uh, dia suruh kita jagain gerobaknya," sahutku sambil menambahkan saus di pentolku karena kurang pedas.Ya, mau tak mau kami harus menuruti amanat si Abang pentol ini untuk menjaga gerobak dagangannya.Siapa sangka tiba-tiba saja banyak para lelaki berdatangan untuk membeli pentol ikan si Abang ini. Ebuseeh, mana aku tidak tahu harga yang sebenarnya berapa. Tidak tercantum juga harganya di gerobak."Neng, beli dong.""Mbak, beli dong.""Ya ampun, yang datang tiga-tiganya cantik semua. Kok bisa sih cantik-cantik dagang pentol?""Saya borong semua pentolnya!""Hallo, Dek. Nomor teleponnya berapa?"Huaaaa, kenapa jadi begini dah. Ya, ampun ... si Abang pentol pokoknya ha
Aku, Risma dan Nina pun kaget mendengar teriakan dari si Abang tukang pentol. Lebih kaget lagi saat mengetahui kalau yang ada di hadapanku saat ini adalah orang kurang waras.Seketika aku langsung mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik punggung Nina. Kini orang kurang waras itu beralih kepada Risma masih dengan jemari berbentuk simbol hati."I love you," ucapnya lagi mendekati Risma."Ahhh! Mama!" teriak Risma."Hussst, sana, sana!" usir tukang pentol itu seperti sedang mengusir ayam."Senangnya dalam hati, kalau beristri tiga. Oh ... seperti, dunia, ana yang punya."Ebuseh malah dia nanya. Apakah dia pikir kita bertiga ini istrinya tukang pentol, hih."Sudah sana pergi!" teriak Risma mengusir."Besok-besok jadi istriku ya," ucap orang waras tersebut.Aku dan Nina bergidik ngeri, namun ada rasa menggelitik di hati karena mempunyai pengalaman digoda orang kurang waras. Haha."Makasih sudah mau menjaga gerobakku," ucap tukang pentol. Ia menarik kursi plastik dan ikut duduk."O
"Saya bukan pacarnya, Pak," kataku."Lah, terus apa?" tanya si Bapak."Calon istri."Tukang pentol itu berkata dengan santainya membuat Risma dan Nina tersedak pentol karena kaget. Aku? Jangan ditanya lagi, aku mendelik menatap si tukang pentol yang asal ceplos."Bercanda, Pak," katanya.Hah, bercanda? Bercanda model apaan yang wajahnya tanpa ekspresi terkesan datar seperti itu."Saya bukan siapa-siapanya, Pak. Lagian saya juga cuma pembeli kaya Bapak."Ah, akhirnya aku menjelaskan kepada Bapak ini agar ia mengerti dan tak salah paham. Bapak itu malah tertawa."Ada-ada saja anak muda zaman sekarang mah tingkahnya.""Yok, jalan cari makanan ke tempat lain!" ajakku pada Risma dan Nina.Kami pun pergi meninggalkan tukang pentol bersama dengan gerobaknya. Dapat kulihat dari ujung mataku kalau ia memerhatikan kepergian kami bertiga.Dert!Ponselku bergetar, segera aku mengambilnya dari saku celana. Ada notifikasi pesan WA dari Mbak Laras. Cepat jemariku bergulir ke aplikasi berwarna hijau
"Pasti Mbak Laras yang bilang.""Ya memangnya kenapa kalau aku yang bilang? Faktanya memang begitu!" tukas Mbak Laras."Faktanya bukan seperti itu! Kan sudah aku jelasin sama Mbak. Kalau aku itu cuma nolongin tukang pentol, dan kebetulan aku emang lagi beli pentolnya!" tegasku."Kenapa sih, kamu selalu saja membuatku pusing! Contoh mbakmu, dia pintar, cantik dan selalu bisa membanggakan kedua orang tuanya, serta keluarga kita! Memang dasar anak pembawa si*l!" tukas Ibu.Aku tersenyum getir. Anak si*l katanya, apakah sesial itu mempunyai anak seperti aku."Assalamualaikum!"Ayah baru saja pulang dengan wajah yang nampak kesal melihat perdebatan antara kami. Ayah meraup wajahnya dan menaruh helm dengan kasar di atas meja."Kalian kenapa selalu ketus sama Ara sih?" tegas Ayah."Karena dia selalu membuatku malu, Mas!" hardik Ibu."Tapi dia anakmu, dan kelakuan Ara tak pernah membuatmu malu! Kenapa kamu selalu membencinya, padahal dia itu anak kandungmu, darah dagingmu, Bu!" Ayah memegang
"Jangan berlebihan, Mas. Hanya sesekali Ara membantu membiaya kuliah Laras!""Itu juga namanya membantu Rasti! Kenapa hatimu sekeras ini pada darah dagingmu sendiri? Nggak habis pikir aku, buang rasa benci itu di dalam hatimu!" bentak Ayah."Ayah ... Ara mohon izinin Ara untuk ngekos saja. Insya Allah aku bakalan baik-baik saja, Yah. Aku bakalan setiap hari mengabari Ayah," ujarku memohon.Ayah mengembuskan napas beratnya dan memandangku sendu. Diusapnya pelan pucuk kepala ini."Ara mohon," lirihku lagi."Janji bakalan ngasih kabar Ayah setiap hari?" ucapnya."Iya, aku janji."Aku menautkan jari kelingkingku pada jari kelingking Ayah dan membuat janji padanya--akan selalu memberikan kabarku padanya setiap hari agar Ayah tak cemas."Ayah izinkan, semoga keputusan ini bisa membuatmu merasa bahagia, Nak.""Terima kasih Ayah. Mungkin malam ini aku akan menginap di salah satu rumah temanku.""Selalu saja menyusahkan orang lain!" ketus Mbak Laras."Memang seperti itu kelakuannya. Membawa or
"Mbakmu kesambet setan, Ra!" ujar Risma.Mbak Laras menatap sinis ke arah Risma dengan tangannya yang masih menyobek fotoku."Sudah malam, lebih baik kalian segera berangkat. Nggak usah gubris kelakuan Laras. Ayo, Ra!" tegas Ayah merangkulku dan mengiringi langkah kami keluar.Selesai membawa masuk barang-barangku ke dalam bagasi, aku berpamitan pada Ayah dan mencium punggung tangannya dengan takzim.Lalu aku meraih tangan Ibu bermaksud untuk berpamitan juga. Karena biar bagaimanapun beliau adalah orang tuaku. Namun dengan kasar Ibu menepis tangan ini.Aku menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Astaghfirullah, bahkan untuk kucium tangannya saja Ibu tidak mau lagi."Assalamualaikum," salamku dan langsung segera masuk ke dalam mobil.Dapat kulihat dari dalam kaca mobil bahwa mata Ayah nampak berkaca-kaca. Mobil perlahan berjalan meninggalkan halaman rumah. Sampai akhirnya kulihat dari kejauhan Ayah masuk ke dalam meninggalkan Ibu dan Mbak Laras di luar.Risma dan Nina berusaha un
Nina mengusap pelan punggungku, buru-buru aku menghapus air mata agar tak dilihat oleh keluarga Risma.Risma berlarian kecil menghampiri Masnya dan memeluknya dengan erat. Lagi-lagi aku membayangkan jika yang sedang aku lihat saat ini adalah aku dan Mbak Laras. Tapi itu adalah hal yang mustahil terjadi."Sama seperti Papa, mau memberikan kejutan untukmu.""Dih, tega banget!" ujar Risma.Mereka berdua berjalan sambil merangkul satu sama lain. Lalu berhanti tepat di hadapanku dan juga Nina."Nah, ini masku yang ganteng. Kalin belum pernah lihat secara langsung 'kan?" ujar Risma.Lelaki itu mengulurkan tangannya terlebih dahulu kepadaku. Risma menaik turunkan alisnya, begitupun dengan Nina."Arif," katanya memperkenalkan diri."Zahra," ucapku menjabat tangannya.Begitupun yang ia lakukan kepada Nina dengan memperkenalkan dirinya. Setelah perkenalan Arif langsung duduk bersama dengan keluarganya. Sedikit mengobrol tentang keseharian kami dan tentang alasan Arif pulang ke rumah orang tuany
"Bukan, cuma teman saja kok," kataku tersenyum."Oh, kirain pacarnya Mas Dayyan," ucapnya lagi."Lebih tepatnya baru calon," sahut Dayyan.Aku menyenggol lengannya dan menatapnya kesal. Lalu pamit masuk ke dalam kepada orang-orang yang sedang ngerumpi."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam, duh ... pucat amat mukamu, Ra." Risma dan Nina beranjak dari kasur.Tok! Tok!"Siapa ya?" tanya Risma."Waaah, tukang pentol. Ngapain, Bang? Si Zahra mesan pentol kah?" tanya Risma."Bukan, ini tadi makanan punya temanmu ketinggalan di motorku."Lho, lho, apa-apaan dia tuh. Perasaan semua itu dia yang beli kenapa semuanya jadi punyaku."Tadi 'kan itu kamu yang beli semuanya.""Sengaja aku beli ini semua untuk kamu, mau taruh di mana?" tanyanya dengan wajah datar.Risma dan Nina saling bersitatap dan saling menyenggol lengan. Kadang mereka berbisik, mungkin sedang membicarakanku dan Dayyan.Oh, ya, aku baru teringat sesuatu. Bukankah waktu itu ada bapak-bapak langganan pentolnya, lalu memanggil nama Da
"Kenapa ada di sini?" tanyaku yang masih kaget akan kehadirannya."Kebetulan saja lewat di sini dan aku melihatmu," sahutnya dengan santai."Oh." Aku menjawab singkat."Ayo, naik!" Suara barintonnya mengintruksi lagi."Naik ke mana?""Motor lah, ke mana lagi? Cepat, wajahmu terlihat pucat!" tegasnya.Dih, tukang pentol berubah haluan jadi tukang cilung ini kenapa sikapnya seperti ini padaku."Maaf, Bang. Aku saja nggak kenal kamu, tau namamu saja belum. Lalu tiba-tiba selalu muncul seperti jelangkung!" imbuhku.Lelaki yang belum aku ketahui namanya itu lantas turun dari motornya dan berdiri di sampingku. Lalu sebelah tangannya terulur dan memegang keningku seperti dokter yang tengah memeriksa seorang pasiennya."Demam," katanya."Jadi namanya Demam?" tanyaku mengernyitkan kening."Badanmu demam!" ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi."Terus namamu siapa? Kenapa selalu kebetulan sekali setiap kita bertemu?" tegasku."Dayyan." Ia meraih tanganku untuk bersalaman."Oh, aku Zahra." Aku kem
"Kamu ngomong sama siapa sih, Ra?" tanya Risma.Kemudian Risma dan Nina menoleh ke belakang, dan mereka berdua terkejut dengan kehadiran tukang pentol yang berubah jadi tukang cilung ini yang sekarang bersejajar jalan di sampingku."Lah, ketemu lagi kita, Bang?" tegur Nina.Dengan wajah datarnya lelaki itu berjalan lebih cepat mendahului kami. Dih, tadi saja ikutan jalan di sampingku."Eh, kok, ketemu mulu ya. Itu dia pakai baju rumahan, apa rumahnya di sekitar sini?" tanya Risma.Aku mengendikkan bahu tanda tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak dan hanya kebetulan saja bertemu lagi. Kebetulan tapi kok sering banget ya. Aneh."Jadi mau makan apa nih kita?" tanya Risma."Tuh di sana kayanya ada nasi goreng. Aku mau nasi goreng saja deh. Pakai telur dua, yang satu di orak arik, yang satunya di dadar," imbuhku."Oke, kita beli nasi goreng saja. Nah, itu juga ada tukang gorengan tuh. Duh, mudah-mudahan masih ada singkong goreng sama cireng," ujar Nina semangat.Gegas kami berjalan me
Setelah tadi dikirimkan lokasi kosan ku kini Nina sudah sampai di sini. Ia juga terlihat suka dengan kosan pilihanku."Jadi kamu mau pindah sekarang, Ra?" tanya Nina."Iya, habis ini aku sama yang lain mau ke rumah Risma buat ambil semua barangku dan berpamitan kepada orang tuanya Risma," ujarku."Aku ikut, aku juga mau menginap di sini, boleh kan?" tanyanya."Ya bolehlah, aku malah senang ditemanin."Kini kami menikmati makan siang yang sudah kesorean setelah selesai salat Asar terlebih dahulu.Nina juga membawakan makanan dan cemilan untukku. Lumayanlah untuk mengisi kulkas, hehehe."Berangkat sekarang?" tanya Mas Arif menoleh ke arahku."Boleh, biar beresnya nggak kemalaman nanti," kataku.Selesai menghabiskan makanan gegas kami bersiap untuk ke rumah Risma untuk mengambil barang-barangku.****"Tante, Om, aku izin pamit ya. Terima kasih sudah dikasih izin menumpang di sini beberapa hari, maaf kalau Ara merepotkan." Kucium takzim punggung tangan mereka bergantian."Sama-sama, Ara.
"Neli, Nenek-nenek lincah."Pluk!Mas Arif menepuk ubun-ubun sang adik. Mungkin dirasa adiknya kesambet penghuni kosan.Lalu datanglah seorang wanita cantik dengan menggunakan kerudung hingga menutupi dadanya. Apakah itu Tante Neli."Assalamualaikum, Tante." Mas Arif menangkupkan kedua tangannya di hadapan wanita itu."Waalaikumsalam, Arif. Kapan kamu sampai di sini lagi?" tanyanya ramah."Ayoo masuk dan duduk." Tante Neli menggiring kita semua untuk masuk dan duduk di teras kosan."Wajah Tante Neli adem banget kaya ubin masjid, Ra. Duh, pasti orangnya baik banget nih nggak suka ngejulid," bisik Risma.Astaghfirullah, si Risma mulutnya emang benar-benar minta disolatip nih dari tadi. Sampai Mas Arif menyikut dirinya karena dari tadi ngawur terus ngomongnya."Maaf, ya, Tante. Adik saya emang agak lain," ujar Mas Arif.Risma mendelik dan mengerucutkan bibirnya mendengar Mas Arif bicara seperti itu."Oh, iya, ini adikmu ya. Sudah besar dan cantik ya. Kalau ini yang mau ngekosan siapa? Pa
"Dari mana Mas Arif tau nomorku?" tanyaku langsung di pesan."Dari Risma. Memangnya kenapa? Aku nggak boleh punya nomormu?""Bukan begitu, aku hanya bingung saja.""Pegangan kalau bingung mah," balasnya meledek.Dihh ...."Mau dibuatkan susu jahe lagi? Atau mau ngemil?" tanyanya."Nggak usah, aku lagi mau menikmati angin malam saja di balkon.""Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Takut diintip sama kuntilanak doang."Astaghfirullah, kelakuan adik sama kakak ternyata sama saja absurdnya. Kenapa mesti ngomongin mbak kun sih. Bikin merinding saja.Terlihat jelas bahwa Mas Arif terkikik dari atas sini karena wajahnya tersorot cahaya layar ponsel.Buru-buru aku kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon.*****"Sarapan pagi kamu lagi yang buat, Zahra? Kamu 'kan lagi nggak enak badan, seharusnya istirahat saja," imbuh mamanya Risma."Iya nih, Zahra. Biar Mbak saja yang masak, kamu istirahat saja," papanya Risma menimpali."Nggak apa-apa, kok, Om, Tante. Badan Ara sudah jauh lebih en
"Kata siapa dia anak haram? Dia anak kandungku!" bentak Ayah pada Bulik Sumi."Jangan membohongi anak itu, dan jangan membela istrimu. Sudah saatnya dia mengetahui kalau ayah kandungannya bukan kamu!" ujar Bulik melotot.Risma menatapku nanar, begitupun dengan Mas Arif. Sedangkan Ibu menatapku dengan penuh kebencian--Mbak Laras terlihat begitu syok."Maksud Bulik apa? Aku anak kandung Ayah juga!" tegasku."Bukan, kamu anak selingkuhan ibumu!" bentak Bulik."Jangan menuduh dan memfitnahku. Aku korban pemerkosaan, tetapi kenapa malah difitnah seperti ini!" pekik Ibu."Diperkosa lalu menikmati, hah?" tukas Bulik."Kamu kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihmu 'kan, saat usia Laras baru tiga tahun. Memalukan!" Bulik menghakimi Ibu."Kamu bisa berkata itu karena kamu tidak tau kejadian yang sebenarnya seperti apa! Aku korban pemerkosaan tetapi malah dapat penghakiman dari kalian, apa kalian tau bagaimana jadi aku. Bagaimana hancurnya batinku saat itu, apalagi saat mengetahui janin
Siang menjelang sore aku pergi bersama dengan Risma dan juga ditemani oleh Mas Arif untuk hadir di acara ngunduh mantu Bude Jar. Kebetulan Nina tak bisa ikut karena sedang ada urusan.Gegas Mas Arif mulai melajukan pelan mobilnya dari halaman rumah. Aku juga sudah bilang pada Ayah kalau ditemani oleh Risma dan juga kakaknya.Setelah di perjalanan aku baru sadar kalau bajuku dengan Mas Arif memiliki motif yang sama, bisa dibilang couple.Padahal jelas-jelas kami memang tidak janjian untuk memakai baju dengan motif dan warna yang sama. Mungkin hanya kebetulan saja. Atau memang baju ini sebenarnya couplean tapi dijual terpisah, entahlah.Aku mengirimkan pesan WA pada Ayah bahwa sebentar lagi akan sampai di tempat Bude Jar. Semoga saja tak ada masalah saat aku hadir di sana.Aku cuma memenuhi undangan dari Bude Jar dan juga bertemu Ayah karena rindu. Kehadiranku diterima atau tidak nya pada keluarga Ayah termasuk oleh Ibu dan Mbak Laras aku pun tak mempedulikannya lagi.Sekarang fokusku c
Tukang pentol yang berubah gelar menjadi tukang cilung itupun merogoh sakunya mengambil sesuatu. Oh ... ternyata dia mengambil ponselnya."Ayo sekarang kita berangkat," ajakku."Yuk, lah. Ngapain jadi ngeliatin tukang pentol dah," ujar Risma.Kami pun buru-buru pergi untuk mencari kosan ataupun kontrakan, agar aku bisa cepat mendapatkan tempat tinggal yang baru.Terlebih dahulu aku mencari tak jauh di daerah tempatku bekerja saat ini. Karena yang aku tahu di sini pun banyak kosan dan kontrakan.Dari kosan ke kosan lainnya ternyata sudah penuh semua, padahal di daerah ini harganya cukup terjangkau untuk dompetku. Furniturenya pun lumayan dapat lengkap. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Tempat ini sudah penuh.Begitupun dengan kontrakan, semuanya penuh. Ada satu yang tersisa tetapi katanya aku kalah cepat. Baru saja tadi ada yang mencari juga dan langsung dibayar lunas, besok orangnya akan pindahan."Ra, kalau kata aku mah mending kamu tinggal dulu saja di rumahku. Kamu beneran mau buka usah