Share

MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM
MEREKA MEMANGGILKU ANAK HARAM
Author: Vira Noviyanti

SELALU BEGITU part 1

"Paha sama dada ayamnya jangan dimakan, itu buat mbakmu sama ayahmu! Kamu makan pakai ceker dan kepala ayamnya saja!"

"Tapi itu ada pahanya lagi sama sayap, Bu."

"Buat Ibu. Masa gitu saja nggak mau ngalah sama orang tua. Kamu lebih milih Ibu yang makan ceker sama kepala?" bentaknya.

Aku menarik napas dan mengembuskan pelan. Kududuk di bangku dan segera mengambil nasi beserta kepala dan ceker ayam di piring.

Rasanya sesak dibedakan seperti ini. Padahal kami sama-sama anak kandung. Tapi sikap Ibu sangat berbeda sekali padaku, jika Ibu berbicara pada Mbak Laras nadanya sangat lembut sekali. Tapi jika berbicara dan bersikap padaku, berbanding terbalik.

Ayah dan Mbak Laras datang menyusul ke meja makan. Ibu dengan sigap mengambilkan nasi untuk Ayah dan juga Mbak Laras, lalu menaruh ayam goreng ke piring mereka masing-masing.

"Terima kasih, Bu. Tau saja ini bagian favoritku," ucap Mbak Laras senang.

"Sama-sama, makan yang banyak. Biar kamu lebih semangat kuliahnya." 

Ibu mengusap punggung tangan Mbak Laras lembut. Sementara Ayah melirik ke arah piringku dengan tatapan nanar.

"Kenapa makan cuma sama kepala dan cekernya saja, Nduk?" tanya Ayah.

"Biarin saja, toh anaknya juga suka kok sama kepala dan ceker!" ketus Ibu.

Ayah memberikan piring yang berisi nasi dan lauk pauknya kepadaku. Sementara punyaku diambil oleh Ayah.

"Apa-apaan sih!" protes Ibu dan berusaha menukar piring kami lagi.

"Tau nih Ayah, sudahlah makan saja. Lagian Ara juga nggak masalah makan kaya gitu. Yang penting sama-sama ayam!" ujar Mbak Laras.

"Iya, Yah, nggak papa. Ayah makan saja bagian punya Ayah."

Ayah membuang napas berat--ia menaruh piring itu dengan hentakkan keras dan lebih memilih untuk pergi meninggalkan meja makan.

Ibu dan Mbak Laras terdiam dengan sorot mata tajam menatapku. Hanya dua suapan saja aku pun memberhentikan makanku, rasanya sudah tak selera setiap makan seperti ini. Lebih baik sebelum pulang kerja aku makan dulu di luar.

"Mau ke mana kamu?" bentak Ibu.

Aku tak menjawab lebih dan meneruskan langkah untuk pergi ke teras rumah. Sampai di teras kuusap sudut mataku yang basah.

"Dor!"

"Astaghfirullah, ngagetin saja!" omelku.

"Hehe, maaf, Ra. Sengaja sih nggak ngasih kabar biar jadi kejutan. Selamat ulang tahun Zahra." 

Risma dan Nina menyodorkan kue ulang tahun lengkap dengan lilin yang menyala kepadaku. Aku terharu, padahal aku saja lupa kalau ini adalah hari kelahiranku.

"Sebelum tiup lilinnya berdoa dulu. Tiupnya pakai kipas saja," ujar Nina dan Risma.

Aku memejamkan mata dan berdoa agar keajaiban datang pada Ibu dan Mbak Laras. Semoga Allah melembutkan hati mereka untukku.

Ku padamkan lilin itu dengan menggunakan kipas tangan. Lalu memotong kue itu dan ku sisihkan potongan kue pertama untuk Ayah dan juga Ibu.

"Makasih, ya, aku saja sampai lupa ini hari kelahiranku." Aku memeluk dua sahabatku tersebut.

"Sama-sama. Panjang umur, sehat selalu, dilancarkan rejekimu. Semoga cepat dipertemukan jodohmu, dan semoga hati ibu serta mbakmu menjadi lembut padamu, Ra."

"Aamiin."

Ayah tiba-tiba muncul dan menghampiri kami. Disusul dengan Ibu dan juga Mbak Laras, mungkin mereka terganggung dengan suara berisik kami.

"Nduk, Ayah nggak lupa kok sama hari lahirmu." Ayah memberikan sebuah kado dengan warna biru.

"Terima kasih Ayah."

Aku memeluknya dengan erat. Lalu mengambil sepotong kue lalu menyuapi Ayah.

"Panjang umur anak Ayah. Doa yang terbaik untukmu, selalu jadi Zahra anak Ayah yang ceria." Ayah mencium keningku dengan lembut.

Kini aku menghampiri Ibu dan memberikannya kue. Namun Ibu memandangku dengan penuh kebencian lalu melempar kue itu ke jalan.

"Bu!" bentak Ayah.

Ibu diam saja dengan mata yang masih tajam menatapku. Huh, aku menarik napas panjang dan mencoba untuk tetap tersenyum.

"Heh, Risma. Aku lihat tempo hari kamu jalan sama cowok. Itu cowokmu? Terus juga si Nina postingan Instagramnya lagi liburan sama cowoknya dan keluarganya," tanya Mbak Laras.

"Iya, memangnya kenapa Mbak?" jawab sabahatku serempak.

"Nggak papa. Emang pekerjaan cowok kalian apaan?" tanyanya lagi dengan senyum meremehkan.

"Cowokku cuma supir, Mbak," sahut Risma.

"Cowokku juga cuma tukang parkir, Mbak," jawab Nina.

Mbak Laras terbahak mendengar jawaban dari dua sahabatku tersebut. Lalu Ibu pun tersenyum miring. Manatap Nina dan Risma dari ujung kaki hingga kepala.

"Bergaul sama Zahra jadi nggak waras otak kalian!" ucap Ibu.

"Astaghfirullah, Ibu. Jangan bicara seperti itu!" tegas Ayah.

Ibu langsung masuk ke dalam sementara Mbak Laras tak hentinya mentertawakan dua sahabatku.

"Kuliah mahal-mahal tapi dapet cowoknya cuma tukang parkir sama supir!" Hinanya.

Setelah puas menghina Nina dan Risma ia pun ikut masuk ke dalam rumah. Ayah meminta maaf atas sikap dan ucapan Ibu kepada mereka, lalu menyuruh kami untuk melanjutkan obrolan. Ayah pun ikut masuk ke dalam rumah.

"Heh, emangnya beneran sama pekerjaan cowok kalian?" tanyaku penasaran. Karena selama ini aku memang tidak pernah kepo.

"Lah, iya beneran. Cowokku cuma supir pesawat."

"Cowokku juga cuma tukang parkir pesawat."

Ebuseehh!

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
bapak mu banci krn g bisa tegas sama ibumu yg berat sebelah. klu udah kerja itu baiknya tinggal sendiri. koq betah banget diperlakukan tidak manusiawi
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status