"Maksudnya cowok kalian itu pilot sama marshaller?"
Mereka menganggukkan kepala seraya mencicipi kue ulang tahun. Lalu mereka menunjukkan sebuah foto padaku."Aku baru tau lho," imbuhku masih dengan melihat-lihat foto yang ada di galeri mereka."Lah, kamu saja nggak pernah nanya apa pekerjaan cowok kita berdua," jawab Risma."Ya, aku kira mereka pengusaha doang.""Selain punya usaha, ya, itu, jadi supir sama tukang parkir hahaha." Mereka tertawa sambil mencolekkan krim kue ke pipiku. Konyol. Aku mengembalikkan ponsel mereka dan menatap satu per satu wajah mereka."Makasih ya, selalu ada buatku. Aku nggak tau deh, kalau nggak punya sahabat kaya kalian hidupku bakal segersang apa.""Kita yang makasih banget sama Allah punya sahabat kaya kamu, Ra. Btw, mau dikenalin juga nggak sama supir?" ujar Risma."Supir pesawat?""Terserah kamu maunya supir apa hahah.""Aku mau menaklukkan hati ibuku dulu. Mungkin tanpa sadar aku telah membuat hatinya terluka hingga Ibu bisa sebenci itu padaku." Aku berucap seraya ikut mencicipi kuenya."Semangaat! Jangan sedih-sedih lagi pokoknya. Kamu tuh punya kita berdua dan ayahmu. Terus kamu jadi mau buka usaha toko kue sendiri?" imbuh Nina."Insya Allah jadi. Aku masih khursus kelas membuat kue-kue gitu sih. Doain saja biar kesampaian buat punya usaha sendiri dan bisa buka lapangan kerja untuk orang-orang.""Kamu nggak mau lanjutin kuliah lagi?" tanya Risma."Tau sendiri 'kan sikap ibuku sama Mbak Laras gimana? Sudahlah nggak papa, sekarang aku hanya ingin fokus untuk mempunyai toko kue, intinya sih mau punya usaha di bidang kuliner," kataku semringah."Apapun yang kamu cita-citakan semoga terwujud ya, Ra. Kami selalu doakan kamu.""Terima kasih, Bestie. Sarangbeooo." Aku menyatukan jari telunjuk dan ibu jariku, membentuk love."Sarangtawoon," sahut mereka terkekeh.Kubuka kado pemberian Ayah, ternyata Ayah membelikan aku sebuah mukena yang cantik berwarna putih tulang. Dan Ayah membelikan aku kotak musik yang di atasnya ada empat boneka kecil, mungkin itu Ayah, Ibu, Mbak Laras dan aku."Ayahmu romantis sekali, beliau sangat sayang padamu, Ra," kata Nina yang diangguki oleh Risma."Ya, dia adalah Ayah terbaik untukku.""Eh, ada lagi sesuatu nih di dalam mukenanya." Risma memberikannya padaku.Beberapa lembar foto sewaktu Ibu melahirkan aku di rumah sakit. Di dalam foto itu hanya Ayah saja yang tersenyum. Sedangkan Ibu seolah menyesal telah melahirkan ku.Aku anak kandung, tetapi kenapa rasanya seperti orang lain buat Ibu."Nggak usah sedih lagi. Emang nggak capek sedih mulu, banyak yang sayang sama kamu termasuk kita berdua. Sudah, pokoknya besok kita jalan-jalan dan kulineran ya biar kamu happy lagi," ajak Risma dan Nina.Aku mengangguk setuju dengan ajakan mereka berdua.****Selepas pulang kerja aku langsung menunggu dua temanku itu di bangku taman yang sudah dijanjikan.Sambil menunggu mereka datang aku mengedarkan pandangan ke setiap tukang dagang makanan.Ada satu gerobak yang dipenuhi oleh pembeli wanita dari remaja, dewasa bahkan ibu-ibu. Aku penasaran dan segera menghampiri. Oh, jualan pentol ikan.Si Abang sangat sibuk sekali sampai keteteran melayani para pembeli. Ingin rasanya aku membantu si Abang, tapi takut dikatain caper."Ara!" Ada orang yang meneriakiku."Ngapain?" ternyata itu Risma dan Nina.Mereka pun mendekat dan terlihat ikut kepo juga dengan dagangan si Abang pentol."Beli yuuk," ajak Nina."Ngantri banget tapi," kataku."Ngantri lah, yang jualan masih muda. Ganteng gitu, gimana nggak rame.""Lah, masa? Kok bisa tau?" tanyaku keheranan."Lihat noh, topinya dibuka--gerah kali si Abang dikeroy*k pembeli ciwik-ciwik," tunjuk Risma.Aku segera menoleh ke belakang dan memang penjualnya lumayan masih muda. Umurnya mungkin sekitar dua delapan atau tiga puluhan lah. Pantas saja rame, mungkin memang karena rasa pentolnya yang enak dan tak kupungkiri. Wajah si Abang lumayan juga buat dibawa kondangan mah. Eh.Sambil menunggu antrian buat beli pentol kami bertiga mengobrol sebentar. Selang beberapa menit Risma pergi ke sebrang untuk membeli minuman--sedangkan Nina membeli cakwe.Nungguin tukang pentol sepi rasanya kaya nungguin Seok Jin datang ke Indonesia buat ngelamar, dan itu tidak akan mungkin dan terjadi.Akhirnya, tersisa dua orang lagi dan aku langsung berdiri ikut antrian di belakang. Risma dan Nina pun sudah kembali dan duduk di samping tukang pentol."Mau tiga porsi ya, Bang. Pedas biasa dua, pedas banget satu," ucapku."Oke," jawabnya singkat.Ia segera melayani tetapi matanya seperti sedang mengintai sesuatu."Nih, Mbak.""Berapa?""Tiga ribu saja.""Hah? Tiga ribu buat tiga porsi? Jualan apa sedekah, Bang? Mana porsinya banyak." Sungguh ini sangat membuatku keenakan."Sssst! Ssst!"Risma dan Nina bersuara tak jelas sambil menatapku tajam dan isyarat matanya seolah menyuruhku untuk melihat ke samping."Tolong jagain gerobak saya dulu ya, Mbak. Dimakan saja pentolnya nggak usah bayar nggak papa. Saya ada urusan!" Ia langsung mengambil sesuatu dan segera berlari meninggalkan gerobaknya bersama denganku di sini."Wooyy intel!" ucap kami serempak."I--intel?" tanyaku masih dengan menatap dirinya yang semakin lama semakin jauh."Iya kayanya, itu bawa HT (Handie Talkie) sambil lari-larian macam jagoan sedang menangkap musuhnya di film action," sahut Risma sambil mengunyah pentol."Terus kita disuruh jagain gerobaknya gitu sampai dia kembali ke sini?" tanya Nina."Hu'uh, dia suruh kita jagain gerobaknya," sahutku sambil menambahkan saus di pentolku karena kurang pedas.Ya, mau tak mau kami harus menuruti amanat si Abang pentol ini untuk menjaga gerobak dagangannya.Siapa sangka tiba-tiba saja banyak para lelaki berdatangan untuk membeli pentol ikan si Abang ini. Ebuseeh, mana aku tidak tahu harga yang sebenarnya berapa. Tidak tercantum juga harganya di gerobak."Neng, beli dong.""Mbak, beli dong.""Ya ampun, yang datang tiga-tiganya cantik semua. Kok bisa sih cantik-cantik dagang pentol?""Saya borong semua pentolnya!""Hallo, Dek. Nomor teleponnya berapa?"Huaaaa, kenapa jadi begini dah. Ya, ampun ... si Abang pentol pokoknya ha
Aku, Risma dan Nina pun kaget mendengar teriakan dari si Abang tukang pentol. Lebih kaget lagi saat mengetahui kalau yang ada di hadapanku saat ini adalah orang kurang waras.Seketika aku langsung mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik punggung Nina. Kini orang kurang waras itu beralih kepada Risma masih dengan jemari berbentuk simbol hati."I love you," ucapnya lagi mendekati Risma."Ahhh! Mama!" teriak Risma."Hussst, sana, sana!" usir tukang pentol itu seperti sedang mengusir ayam."Senangnya dalam hati, kalau beristri tiga. Oh ... seperti, dunia, ana yang punya."Ebuseh malah dia nanya. Apakah dia pikir kita bertiga ini istrinya tukang pentol, hih."Sudah sana pergi!" teriak Risma mengusir."Besok-besok jadi istriku ya," ucap orang waras tersebut.Aku dan Nina bergidik ngeri, namun ada rasa menggelitik di hati karena mempunyai pengalaman digoda orang kurang waras. Haha."Makasih sudah mau menjaga gerobakku," ucap tukang pentol. Ia menarik kursi plastik dan ikut duduk."O
"Saya bukan pacarnya, Pak," kataku."Lah, terus apa?" tanya si Bapak."Calon istri."Tukang pentol itu berkata dengan santainya membuat Risma dan Nina tersedak pentol karena kaget. Aku? Jangan ditanya lagi, aku mendelik menatap si tukang pentol yang asal ceplos."Bercanda, Pak," katanya.Hah, bercanda? Bercanda model apaan yang wajahnya tanpa ekspresi terkesan datar seperti itu."Saya bukan siapa-siapanya, Pak. Lagian saya juga cuma pembeli kaya Bapak."Ah, akhirnya aku menjelaskan kepada Bapak ini agar ia mengerti dan tak salah paham. Bapak itu malah tertawa."Ada-ada saja anak muda zaman sekarang mah tingkahnya.""Yok, jalan cari makanan ke tempat lain!" ajakku pada Risma dan Nina.Kami pun pergi meninggalkan tukang pentol bersama dengan gerobaknya. Dapat kulihat dari ujung mataku kalau ia memerhatikan kepergian kami bertiga.Dert!Ponselku bergetar, segera aku mengambilnya dari saku celana. Ada notifikasi pesan WA dari Mbak Laras. Cepat jemariku bergulir ke aplikasi berwarna hijau
"Pasti Mbak Laras yang bilang.""Ya memangnya kenapa kalau aku yang bilang? Faktanya memang begitu!" tukas Mbak Laras."Faktanya bukan seperti itu! Kan sudah aku jelasin sama Mbak. Kalau aku itu cuma nolongin tukang pentol, dan kebetulan aku emang lagi beli pentolnya!" tegasku."Kenapa sih, kamu selalu saja membuatku pusing! Contoh mbakmu, dia pintar, cantik dan selalu bisa membanggakan kedua orang tuanya, serta keluarga kita! Memang dasar anak pembawa si*l!" tukas Ibu.Aku tersenyum getir. Anak si*l katanya, apakah sesial itu mempunyai anak seperti aku."Assalamualaikum!"Ayah baru saja pulang dengan wajah yang nampak kesal melihat perdebatan antara kami. Ayah meraup wajahnya dan menaruh helm dengan kasar di atas meja."Kalian kenapa selalu ketus sama Ara sih?" tegas Ayah."Karena dia selalu membuatku malu, Mas!" hardik Ibu."Tapi dia anakmu, dan kelakuan Ara tak pernah membuatmu malu! Kenapa kamu selalu membencinya, padahal dia itu anak kandungmu, darah dagingmu, Bu!" Ayah memegang
"Jangan berlebihan, Mas. Hanya sesekali Ara membantu membiaya kuliah Laras!""Itu juga namanya membantu Rasti! Kenapa hatimu sekeras ini pada darah dagingmu sendiri? Nggak habis pikir aku, buang rasa benci itu di dalam hatimu!" bentak Ayah."Ayah ... Ara mohon izinin Ara untuk ngekos saja. Insya Allah aku bakalan baik-baik saja, Yah. Aku bakalan setiap hari mengabari Ayah," ujarku memohon.Ayah mengembuskan napas beratnya dan memandangku sendu. Diusapnya pelan pucuk kepala ini."Ara mohon," lirihku lagi."Janji bakalan ngasih kabar Ayah setiap hari?" ucapnya."Iya, aku janji."Aku menautkan jari kelingkingku pada jari kelingking Ayah dan membuat janji padanya--akan selalu memberikan kabarku padanya setiap hari agar Ayah tak cemas."Ayah izinkan, semoga keputusan ini bisa membuatmu merasa bahagia, Nak.""Terima kasih Ayah. Mungkin malam ini aku akan menginap di salah satu rumah temanku.""Selalu saja menyusahkan orang lain!" ketus Mbak Laras."Memang seperti itu kelakuannya. Membawa or
"Mbakmu kesambet setan, Ra!" ujar Risma.Mbak Laras menatap sinis ke arah Risma dengan tangannya yang masih menyobek fotoku."Sudah malam, lebih baik kalian segera berangkat. Nggak usah gubris kelakuan Laras. Ayo, Ra!" tegas Ayah merangkulku dan mengiringi langkah kami keluar.Selesai membawa masuk barang-barangku ke dalam bagasi, aku berpamitan pada Ayah dan mencium punggung tangannya dengan takzim.Lalu aku meraih tangan Ibu bermaksud untuk berpamitan juga. Karena biar bagaimanapun beliau adalah orang tuaku. Namun dengan kasar Ibu menepis tangan ini.Aku menarik napas panjang dan mengembuskan pelan. Astaghfirullah, bahkan untuk kucium tangannya saja Ibu tidak mau lagi."Assalamualaikum," salamku dan langsung segera masuk ke dalam mobil.Dapat kulihat dari dalam kaca mobil bahwa mata Ayah nampak berkaca-kaca. Mobil perlahan berjalan meninggalkan halaman rumah. Sampai akhirnya kulihat dari kejauhan Ayah masuk ke dalam meninggalkan Ibu dan Mbak Laras di luar.Risma dan Nina berusaha un
Nina mengusap pelan punggungku, buru-buru aku menghapus air mata agar tak dilihat oleh keluarga Risma.Risma berlarian kecil menghampiri Masnya dan memeluknya dengan erat. Lagi-lagi aku membayangkan jika yang sedang aku lihat saat ini adalah aku dan Mbak Laras. Tapi itu adalah hal yang mustahil terjadi."Sama seperti Papa, mau memberikan kejutan untukmu.""Dih, tega banget!" ujar Risma.Mereka berdua berjalan sambil merangkul satu sama lain. Lalu berhanti tepat di hadapanku dan juga Nina."Nah, ini masku yang ganteng. Kalin belum pernah lihat secara langsung 'kan?" ujar Risma.Lelaki itu mengulurkan tangannya terlebih dahulu kepadaku. Risma menaik turunkan alisnya, begitupun dengan Nina."Arif," katanya memperkenalkan diri."Zahra," ucapku menjabat tangannya.Begitupun yang ia lakukan kepada Nina dengan memperkenalkan dirinya. Setelah perkenalan Arif langsung duduk bersama dengan keluarganya. Sedikit mengobrol tentang keseharian kami dan tentang alasan Arif pulang ke rumah orang tuany
Tukang pentol yang berubah gelar menjadi tukang cilung itupun merogoh sakunya mengambil sesuatu. Oh ... ternyata dia mengambil ponselnya."Ayo sekarang kita berangkat," ajakku."Yuk, lah. Ngapain jadi ngeliatin tukang pentol dah," ujar Risma.Kami pun buru-buru pergi untuk mencari kosan ataupun kontrakan, agar aku bisa cepat mendapatkan tempat tinggal yang baru.Terlebih dahulu aku mencari tak jauh di daerah tempatku bekerja saat ini. Karena yang aku tahu di sini pun banyak kosan dan kontrakan.Dari kosan ke kosan lainnya ternyata sudah penuh semua, padahal di daerah ini harganya cukup terjangkau untuk dompetku. Furniturenya pun lumayan dapat lengkap. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Tempat ini sudah penuh.Begitupun dengan kontrakan, semuanya penuh. Ada satu yang tersisa tetapi katanya aku kalah cepat. Baru saja tadi ada yang mencari juga dan langsung dibayar lunas, besok orangnya akan pindahan."Ra, kalau kata aku mah mending kamu tinggal dulu saja di rumahku. Kamu beneran mau buka usah