"Kamu ngomong sama siapa sih, Ra?" tanya Risma.Kemudian Risma dan Nina menoleh ke belakang, dan mereka berdua terkejut dengan kehadiran tukang pentol yang berubah jadi tukang cilung ini yang sekarang bersejajar jalan di sampingku."Lah, ketemu lagi kita, Bang?" tegur Nina.Dengan wajah datarnya lelaki itu berjalan lebih cepat mendahului kami. Dih, tadi saja ikutan jalan di sampingku."Eh, kok, ketemu mulu ya. Itu dia pakai baju rumahan, apa rumahnya di sekitar sini?" tanya Risma.Aku mengendikkan bahu tanda tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak dan hanya kebetulan saja bertemu lagi. Kebetulan tapi kok sering banget ya. Aneh."Jadi mau makan apa nih kita?" tanya Risma."Tuh di sana kayanya ada nasi goreng. Aku mau nasi goreng saja deh. Pakai telur dua, yang satu di orak arik, yang satunya di dadar," imbuhku."Oke, kita beli nasi goreng saja. Nah, itu juga ada tukang gorengan tuh. Duh, mudah-mudahan masih ada singkong goreng sama cireng," ujar Nina semangat.Gegas kami berjalan me
"Kenapa ada di sini?" tanyaku yang masih kaget akan kehadirannya."Kebetulan saja lewat di sini dan aku melihatmu," sahutnya dengan santai."Oh." Aku menjawab singkat."Ayo, naik!" Suara barintonnya mengintruksi lagi."Naik ke mana?""Motor lah, ke mana lagi? Cepat, wajahmu terlihat pucat!" tegasnya.Dih, tukang pentol berubah haluan jadi tukang cilung ini kenapa sikapnya seperti ini padaku."Maaf, Bang. Aku saja nggak kenal kamu, tau namamu saja belum. Lalu tiba-tiba selalu muncul seperti jelangkung!" imbuhku.Lelaki yang belum aku ketahui namanya itu lantas turun dari motornya dan berdiri di sampingku. Lalu sebelah tangannya terulur dan memegang keningku seperti dokter yang tengah memeriksa seorang pasiennya."Demam," katanya."Jadi namanya Demam?" tanyaku mengernyitkan kening."Badanmu demam!" ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi."Terus namamu siapa? Kenapa selalu kebetulan sekali setiap kita bertemu?" tegasku."Dayyan." Ia meraih tanganku untuk bersalaman."Oh, aku Zahra." Aku kem
"Bukan, cuma teman saja kok," kataku tersenyum."Oh, kirain pacarnya Mas Dayyan," ucapnya lagi."Lebih tepatnya baru calon," sahut Dayyan.Aku menyenggol lengannya dan menatapnya kesal. Lalu pamit masuk ke dalam kepada orang-orang yang sedang ngerumpi."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam, duh ... pucat amat mukamu, Ra." Risma dan Nina beranjak dari kasur.Tok! Tok!"Siapa ya?" tanya Risma."Waaah, tukang pentol. Ngapain, Bang? Si Zahra mesan pentol kah?" tanya Risma."Bukan, ini tadi makanan punya temanmu ketinggalan di motorku."Lho, lho, apa-apaan dia tuh. Perasaan semua itu dia yang beli kenapa semuanya jadi punyaku."Tadi 'kan itu kamu yang beli semuanya.""Sengaja aku beli ini semua untuk kamu, mau taruh di mana?" tanyanya dengan wajah datar.Risma dan Nina saling bersitatap dan saling menyenggol lengan. Kadang mereka berbisik, mungkin sedang membicarakanku dan Dayyan.Oh, ya, aku baru teringat sesuatu. Bukankah waktu itu ada bapak-bapak langganan pentolnya, lalu memanggil nama Da
"Paha sama dada ayamnya jangan dimakan, itu buat mbakmu sama ayahmu! Kamu makan pakai ceker dan kepala ayamnya saja!""Tapi itu ada pahanya lagi sama sayap, Bu.""Buat Ibu. Masa gitu saja nggak mau ngalah sama orang tua. Kamu lebih milih Ibu yang makan ceker sama kepala?" bentaknya.Aku menarik napas dan mengembuskan pelan. Kududuk di bangku dan segera mengambil nasi beserta kepala dan ceker ayam di piring.Rasanya sesak dibedakan seperti ini. Padahal kami sama-sama anak kandung. Tapi sikap Ibu sangat berbeda sekali padaku, jika Ibu berbicara pada Mbak Laras nadanya sangat lembut sekali. Tapi jika berbicara dan bersikap padaku, berbanding terbalik.Ayah dan Mbak Laras datang menyusul ke meja makan. Ibu dengan sigap mengambilkan nasi untuk Ayah dan juga Mbak Laras, lalu menaruh ayam goreng ke piring mereka masing-masing."Terima kasih, Bu. Tau saja ini bagian favoritku," ucap Mbak Laras senang."Sama-sama, makan yang banyak. Biar kamu lebih semangat kuliahnya." Ibu mengusap punggung t
"Maksudnya cowok kalian itu pilot sama marshaller?"Mereka menganggukkan kepala seraya mencicipi kue ulang tahun. Lalu mereka menunjukkan sebuah foto padaku."Aku baru tau lho," imbuhku masih dengan melihat-lihat foto yang ada di galeri mereka."Lah, kamu saja nggak pernah nanya apa pekerjaan cowok kita berdua," jawab Risma."Ya, aku kira mereka pengusaha doang.""Selain punya usaha, ya, itu, jadi supir sama tukang parkir hahaha." Mereka tertawa sambil mencolekkan krim kue ke pipiku. Konyol. Aku mengembalikkan ponsel mereka dan menatap satu per satu wajah mereka."Makasih ya, selalu ada buatku. Aku nggak tau deh, kalau nggak punya sahabat kaya kalian hidupku bakal segersang apa.""Kita yang makasih banget sama Allah punya sahabat kaya kamu, Ra. Btw, mau dikenalin juga nggak sama supir?" ujar Risma."Supir pesawat?""Terserah kamu maunya supir apa hahah.""Aku mau menaklukkan hati ibuku dulu. Mungkin tanpa sadar aku telah membuat hatinya terluka hingga Ibu bisa sebenci itu padaku." Ak
"I--intel?" tanyaku masih dengan menatap dirinya yang semakin lama semakin jauh."Iya kayanya, itu bawa HT (Handie Talkie) sambil lari-larian macam jagoan sedang menangkap musuhnya di film action," sahut Risma sambil mengunyah pentol."Terus kita disuruh jagain gerobaknya gitu sampai dia kembali ke sini?" tanya Nina."Hu'uh, dia suruh kita jagain gerobaknya," sahutku sambil menambahkan saus di pentolku karena kurang pedas.Ya, mau tak mau kami harus menuruti amanat si Abang pentol ini untuk menjaga gerobak dagangannya.Siapa sangka tiba-tiba saja banyak para lelaki berdatangan untuk membeli pentol ikan si Abang ini. Ebuseeh, mana aku tidak tahu harga yang sebenarnya berapa. Tidak tercantum juga harganya di gerobak."Neng, beli dong.""Mbak, beli dong.""Ya ampun, yang datang tiga-tiganya cantik semua. Kok bisa sih cantik-cantik dagang pentol?""Saya borong semua pentolnya!""Hallo, Dek. Nomor teleponnya berapa?"Huaaaa, kenapa jadi begini dah. Ya, ampun ... si Abang pentol pokoknya ha
Aku, Risma dan Nina pun kaget mendengar teriakan dari si Abang tukang pentol. Lebih kaget lagi saat mengetahui kalau yang ada di hadapanku saat ini adalah orang kurang waras.Seketika aku langsung mundur beberapa langkah dan bersembunyi di balik punggung Nina. Kini orang kurang waras itu beralih kepada Risma masih dengan jemari berbentuk simbol hati."I love you," ucapnya lagi mendekati Risma."Ahhh! Mama!" teriak Risma."Hussst, sana, sana!" usir tukang pentol itu seperti sedang mengusir ayam."Senangnya dalam hati, kalau beristri tiga. Oh ... seperti, dunia, ana yang punya."Ebuseh malah dia nanya. Apakah dia pikir kita bertiga ini istrinya tukang pentol, hih."Sudah sana pergi!" teriak Risma mengusir."Besok-besok jadi istriku ya," ucap orang waras tersebut.Aku dan Nina bergidik ngeri, namun ada rasa menggelitik di hati karena mempunyai pengalaman digoda orang kurang waras. Haha."Makasih sudah mau menjaga gerobakku," ucap tukang pentol. Ia menarik kursi plastik dan ikut duduk."O
"Saya bukan pacarnya, Pak," kataku."Lah, terus apa?" tanya si Bapak."Calon istri."Tukang pentol itu berkata dengan santainya membuat Risma dan Nina tersedak pentol karena kaget. Aku? Jangan ditanya lagi, aku mendelik menatap si tukang pentol yang asal ceplos."Bercanda, Pak," katanya.Hah, bercanda? Bercanda model apaan yang wajahnya tanpa ekspresi terkesan datar seperti itu."Saya bukan siapa-siapanya, Pak. Lagian saya juga cuma pembeli kaya Bapak."Ah, akhirnya aku menjelaskan kepada Bapak ini agar ia mengerti dan tak salah paham. Bapak itu malah tertawa."Ada-ada saja anak muda zaman sekarang mah tingkahnya.""Yok, jalan cari makanan ke tempat lain!" ajakku pada Risma dan Nina.Kami pun pergi meninggalkan tukang pentol bersama dengan gerobaknya. Dapat kulihat dari ujung mataku kalau ia memerhatikan kepergian kami bertiga.Dert!Ponselku bergetar, segera aku mengambilnya dari saku celana. Ada notifikasi pesan WA dari Mbak Laras. Cepat jemariku bergulir ke aplikasi berwarna hijau
"Bukan, cuma teman saja kok," kataku tersenyum."Oh, kirain pacarnya Mas Dayyan," ucapnya lagi."Lebih tepatnya baru calon," sahut Dayyan.Aku menyenggol lengannya dan menatapnya kesal. Lalu pamit masuk ke dalam kepada orang-orang yang sedang ngerumpi."Assalamualaikum!""Waalaikumsalam, duh ... pucat amat mukamu, Ra." Risma dan Nina beranjak dari kasur.Tok! Tok!"Siapa ya?" tanya Risma."Waaah, tukang pentol. Ngapain, Bang? Si Zahra mesan pentol kah?" tanya Risma."Bukan, ini tadi makanan punya temanmu ketinggalan di motorku."Lho, lho, apa-apaan dia tuh. Perasaan semua itu dia yang beli kenapa semuanya jadi punyaku."Tadi 'kan itu kamu yang beli semuanya.""Sengaja aku beli ini semua untuk kamu, mau taruh di mana?" tanyanya dengan wajah datar.Risma dan Nina saling bersitatap dan saling menyenggol lengan. Kadang mereka berbisik, mungkin sedang membicarakanku dan Dayyan.Oh, ya, aku baru teringat sesuatu. Bukankah waktu itu ada bapak-bapak langganan pentolnya, lalu memanggil nama Da
"Kenapa ada di sini?" tanyaku yang masih kaget akan kehadirannya."Kebetulan saja lewat di sini dan aku melihatmu," sahutnya dengan santai."Oh." Aku menjawab singkat."Ayo, naik!" Suara barintonnya mengintruksi lagi."Naik ke mana?""Motor lah, ke mana lagi? Cepat, wajahmu terlihat pucat!" tegasnya.Dih, tukang pentol berubah haluan jadi tukang cilung ini kenapa sikapnya seperti ini padaku."Maaf, Bang. Aku saja nggak kenal kamu, tau namamu saja belum. Lalu tiba-tiba selalu muncul seperti jelangkung!" imbuhku.Lelaki yang belum aku ketahui namanya itu lantas turun dari motornya dan berdiri di sampingku. Lalu sebelah tangannya terulur dan memegang keningku seperti dokter yang tengah memeriksa seorang pasiennya."Demam," katanya."Jadi namanya Demam?" tanyaku mengernyitkan kening."Badanmu demam!" ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi."Terus namamu siapa? Kenapa selalu kebetulan sekali setiap kita bertemu?" tegasku."Dayyan." Ia meraih tanganku untuk bersalaman."Oh, aku Zahra." Aku kem
"Kamu ngomong sama siapa sih, Ra?" tanya Risma.Kemudian Risma dan Nina menoleh ke belakang, dan mereka berdua terkejut dengan kehadiran tukang pentol yang berubah jadi tukang cilung ini yang sekarang bersejajar jalan di sampingku."Lah, ketemu lagi kita, Bang?" tegur Nina.Dengan wajah datarnya lelaki itu berjalan lebih cepat mendahului kami. Dih, tadi saja ikutan jalan di sampingku."Eh, kok, ketemu mulu ya. Itu dia pakai baju rumahan, apa rumahnya di sekitar sini?" tanya Risma.Aku mengendikkan bahu tanda tidak tahu. Mungkin iya, mungkin juga tidak dan hanya kebetulan saja bertemu lagi. Kebetulan tapi kok sering banget ya. Aneh."Jadi mau makan apa nih kita?" tanya Risma."Tuh di sana kayanya ada nasi goreng. Aku mau nasi goreng saja deh. Pakai telur dua, yang satu di orak arik, yang satunya di dadar," imbuhku."Oke, kita beli nasi goreng saja. Nah, itu juga ada tukang gorengan tuh. Duh, mudah-mudahan masih ada singkong goreng sama cireng," ujar Nina semangat.Gegas kami berjalan me
Setelah tadi dikirimkan lokasi kosan ku kini Nina sudah sampai di sini. Ia juga terlihat suka dengan kosan pilihanku."Jadi kamu mau pindah sekarang, Ra?" tanya Nina."Iya, habis ini aku sama yang lain mau ke rumah Risma buat ambil semua barangku dan berpamitan kepada orang tuanya Risma," ujarku."Aku ikut, aku juga mau menginap di sini, boleh kan?" tanyanya."Ya bolehlah, aku malah senang ditemanin."Kini kami menikmati makan siang yang sudah kesorean setelah selesai salat Asar terlebih dahulu.Nina juga membawakan makanan dan cemilan untukku. Lumayanlah untuk mengisi kulkas, hehehe."Berangkat sekarang?" tanya Mas Arif menoleh ke arahku."Boleh, biar beresnya nggak kemalaman nanti," kataku.Selesai menghabiskan makanan gegas kami bersiap untuk ke rumah Risma untuk mengambil barang-barangku.****"Tante, Om, aku izin pamit ya. Terima kasih sudah dikasih izin menumpang di sini beberapa hari, maaf kalau Ara merepotkan." Kucium takzim punggung tangan mereka bergantian."Sama-sama, Ara.
"Neli, Nenek-nenek lincah."Pluk!Mas Arif menepuk ubun-ubun sang adik. Mungkin dirasa adiknya kesambet penghuni kosan.Lalu datanglah seorang wanita cantik dengan menggunakan kerudung hingga menutupi dadanya. Apakah itu Tante Neli."Assalamualaikum, Tante." Mas Arif menangkupkan kedua tangannya di hadapan wanita itu."Waalaikumsalam, Arif. Kapan kamu sampai di sini lagi?" tanyanya ramah."Ayoo masuk dan duduk." Tante Neli menggiring kita semua untuk masuk dan duduk di teras kosan."Wajah Tante Neli adem banget kaya ubin masjid, Ra. Duh, pasti orangnya baik banget nih nggak suka ngejulid," bisik Risma.Astaghfirullah, si Risma mulutnya emang benar-benar minta disolatip nih dari tadi. Sampai Mas Arif menyikut dirinya karena dari tadi ngawur terus ngomongnya."Maaf, ya, Tante. Adik saya emang agak lain," ujar Mas Arif.Risma mendelik dan mengerucutkan bibirnya mendengar Mas Arif bicara seperti itu."Oh, iya, ini adikmu ya. Sudah besar dan cantik ya. Kalau ini yang mau ngekosan siapa? Pa
"Dari mana Mas Arif tau nomorku?" tanyaku langsung di pesan."Dari Risma. Memangnya kenapa? Aku nggak boleh punya nomormu?""Bukan begitu, aku hanya bingung saja.""Pegangan kalau bingung mah," balasnya meledek.Dihh ...."Mau dibuatkan susu jahe lagi? Atau mau ngemil?" tanyanya."Nggak usah, aku lagi mau menikmati angin malam saja di balkon.""Ya sudah, tapi jangan lama-lama. Takut diintip sama kuntilanak doang."Astaghfirullah, kelakuan adik sama kakak ternyata sama saja absurdnya. Kenapa mesti ngomongin mbak kun sih. Bikin merinding saja.Terlihat jelas bahwa Mas Arif terkikik dari atas sini karena wajahnya tersorot cahaya layar ponsel.Buru-buru aku kembali masuk ke dalam kamar dan menutup pintu balkon.*****"Sarapan pagi kamu lagi yang buat, Zahra? Kamu 'kan lagi nggak enak badan, seharusnya istirahat saja," imbuh mamanya Risma."Iya nih, Zahra. Biar Mbak saja yang masak, kamu istirahat saja," papanya Risma menimpali."Nggak apa-apa, kok, Om, Tante. Badan Ara sudah jauh lebih en
"Kata siapa dia anak haram? Dia anak kandungku!" bentak Ayah pada Bulik Sumi."Jangan membohongi anak itu, dan jangan membela istrimu. Sudah saatnya dia mengetahui kalau ayah kandungannya bukan kamu!" ujar Bulik melotot.Risma menatapku nanar, begitupun dengan Mas Arif. Sedangkan Ibu menatapku dengan penuh kebencian--Mbak Laras terlihat begitu syok."Maksud Bulik apa? Aku anak kandung Ayah juga!" tegasku."Bukan, kamu anak selingkuhan ibumu!" bentak Bulik."Jangan menuduh dan memfitnahku. Aku korban pemerkosaan, tetapi kenapa malah difitnah seperti ini!" pekik Ibu."Diperkosa lalu menikmati, hah?" tukas Bulik."Kamu kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihmu 'kan, saat usia Laras baru tiga tahun. Memalukan!" Bulik menghakimi Ibu."Kamu bisa berkata itu karena kamu tidak tau kejadian yang sebenarnya seperti apa! Aku korban pemerkosaan tetapi malah dapat penghakiman dari kalian, apa kalian tau bagaimana jadi aku. Bagaimana hancurnya batinku saat itu, apalagi saat mengetahui janin
Siang menjelang sore aku pergi bersama dengan Risma dan juga ditemani oleh Mas Arif untuk hadir di acara ngunduh mantu Bude Jar. Kebetulan Nina tak bisa ikut karena sedang ada urusan.Gegas Mas Arif mulai melajukan pelan mobilnya dari halaman rumah. Aku juga sudah bilang pada Ayah kalau ditemani oleh Risma dan juga kakaknya.Setelah di perjalanan aku baru sadar kalau bajuku dengan Mas Arif memiliki motif yang sama, bisa dibilang couple.Padahal jelas-jelas kami memang tidak janjian untuk memakai baju dengan motif dan warna yang sama. Mungkin hanya kebetulan saja. Atau memang baju ini sebenarnya couplean tapi dijual terpisah, entahlah.Aku mengirimkan pesan WA pada Ayah bahwa sebentar lagi akan sampai di tempat Bude Jar. Semoga saja tak ada masalah saat aku hadir di sana.Aku cuma memenuhi undangan dari Bude Jar dan juga bertemu Ayah karena rindu. Kehadiranku diterima atau tidak nya pada keluarga Ayah termasuk oleh Ibu dan Mbak Laras aku pun tak mempedulikannya lagi.Sekarang fokusku c
Tukang pentol yang berubah gelar menjadi tukang cilung itupun merogoh sakunya mengambil sesuatu. Oh ... ternyata dia mengambil ponselnya."Ayo sekarang kita berangkat," ajakku."Yuk, lah. Ngapain jadi ngeliatin tukang pentol dah," ujar Risma.Kami pun buru-buru pergi untuk mencari kosan ataupun kontrakan, agar aku bisa cepat mendapatkan tempat tinggal yang baru.Terlebih dahulu aku mencari tak jauh di daerah tempatku bekerja saat ini. Karena yang aku tahu di sini pun banyak kosan dan kontrakan.Dari kosan ke kosan lainnya ternyata sudah penuh semua, padahal di daerah ini harganya cukup terjangkau untuk dompetku. Furniturenya pun lumayan dapat lengkap. Ya, tapi mau bagaimana lagi. Tempat ini sudah penuh.Begitupun dengan kontrakan, semuanya penuh. Ada satu yang tersisa tetapi katanya aku kalah cepat. Baru saja tadi ada yang mencari juga dan langsung dibayar lunas, besok orangnya akan pindahan."Ra, kalau kata aku mah mending kamu tinggal dulu saja di rumahku. Kamu beneran mau buka usah