"KELUAR!" Teriakan keras om Lukman menggema. "Kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!" "Tante, appa-appaan si!" Riris yang membaca bibir tante Laksmi ikut turun dari kasur. Ia yang terkejut makin kaget saat om Lukman meraih koperku begitu saja dan dengan kasar sang ayah memasukkan pakaianku sembarangan. Bahkan jatuh ke lantai namun tidak ia indahkan. "KELUAR DARI RUMAHKU!" Ucap om Lukman begitu selesai menarik resleting koper, "AKU TIDAK MAU KAU MERUSAK ANAK-ANAKKU! Aku yang setengah diseret hampir saja jatuh kalau eyang tidak menahan tubuhku yang lengannya kuat dicengkeram tante Laksmi. Seolah jika tante Laksmi tidak melakukan itu, aku akan kabur. "Apa-apaan ini!?" Seru eyang memegang pundakku yang sempoyongan, "kalian pikir apa yang sedang kalian lakukan di rumahku?" "Diamlah Bu!" Bentak om Lukman yang sorot matanya pun tajam saat melihat eyang, "Ibu tinggal pilih, anak sialan ini keluar dari rumahmu atau aku akan membawa cucu-cucumu pergi!" "Apa maksudmu, Lukman?
Aku yang duduk di belakang kemudi, melirik meteran bensin karena lampu peringatan berkedip dengan suara khas. Tek Tek! Tek Tek! Otakku yang berpikir meski kepalaku berdenyut, menghampiri hotel terdekat saat ponselku hanya memperlihatkan layar putih. Brak! Rasanya aku bersyukur mobil yang kehabisan bensin ini tiba di tempat parkir saat pintunya ku tutup. "Selamat datang." Sambutan hangat dengan senyum komersil menyapaku yang menyeret koper. Mendekat pada meja resepsionis yang pegawainya memberi senyum begitu ramah. "Mau menginap berapa malam, Bu?" "Dua malam," jawabku yang tak lama melangkah masuk ke dalam lift dengan kartu akses yang kutempelkan pada sensor agar pintunya terbuka. Bip! Cklek! Brak! Suara pintu yang tertutup otomatis membuatku berdiri diam dengan koper yang gagangnya kupegangi erat. Meski mataku menyapu kamar dengan ranjang luas, pikiranku melayang pada rumah yang kutinggalkan. Tangis Riris yang mengejar, wajah terluka eyang, tatapan tajam penuh tuduhan
Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak, mas Rendra menyentuh bibirku dengan jari, "kamu taukan semalam aku tidur hanya beberapa jam saja?"Ucapan mas Rendra mengingatkan diriku yang bahkan tidak tahu kapan ia keluar dari kamarku subuh tadi."Dan sekarang, rasanya aku sudah tak bisa lagi menahan kantuk, Runi."Aku yang wajahnya begitu dekat dengan mas Rendra, melihat sudah semerah apa matanya.Dan lelaki yang langsung merebahkan tubuhnya itu menarikku turut berbaring.Tangannya bahkan memelukku yang bisa merasakan secepat apa ia menyambut kantuk."Kamu sama sekali tidak mendengar ucapanku 'kan, Mas?""Aku dengar Runi." Mas Rendra yang matanya terpejam membalas ucapan lirihku, "tapi, kamu harus tetap pulang atau aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke Lembang sebelum bapak dan ibuk menjemput kamu.""Kamu menyebalkan sekali." Kesalku mendorong dada mas Rendra."Aku tau," jawabnya membuka mata yang benar-benar butuh lelap, "dan orang menyebalkan ini sungguh ingin tidur."Aku yang tahu i
"Bisakah mbak percaya?" Mataku yang menatap lembaran kertas fotokopi yang kuhafal tiap sudutnya karena itu memang gambar sama dengan apa yang kusimpan, tidak berkedip."Dan jika benar itu dia-" suara Riris begitu penuh harap, "-berarti dia massih hiddup, Mbak."Tanganku yang terkepal bergetar untuk ucapan-ucapan Riris."Dia hidup dan sehat, Mbak. Bahkan ia anak berprestasi di sekolah dan punya temen." Riris yang bersemangat terus bercerita, "anaknya juga ceria. Yah, rada pilih-pilih temen gitu sih." Ucapnya lalu tertawa sendiri."Dan kalo bener itu dia, Mbak, tau dia temennya siapa? Dia temenan sama Arka, Mbak." Rasanya Riris bahkan ingin menjerit senang meski bibirnya jadi mengerucut sebal, "juga temenan sama si rese' Silvan. Duh, bisa kebawa pengaruh buruknya. Tapi, gak apa sih, kan ada Arka ya ha ha ha."Riris kembali tertawa. Ia yang rasanya sudah mengatakan hal yang membuatnya begitu bersemangat, menarik nafas lega. "Syukurlah kalau anak malang ini dia, ya Mbak."Mulutku jadi b
Setelah pamit pada ibunya, Arka mengajakku keluar. Dan ia tersenyum saat tahu aku memarkir mobilku jauh dari rumah tempat ia berdua ibunya tinggal."Mbak bakat jadi detektif."Aku hanya menoleh pada bocah besar yang alamat rumahnya masuk dalam daftar informasi yang kusimpan.Orang-orang yang jasanya kupakai, memasukkan banyak hal untuk lembar-lembar rupiah yang kuberikan termasuk alamat Arka.Hanya saja, aku tidak pernah menanyakan dimana adikku tinggal. Hal yang seharusnya jadi prioritas itu tidak pernah kuinginkan.Kenapa? Mungkin karena itu tentang adikku. Aku ingin mendengar cerita Santo dari mulut adikku sendiri. Bukan dari orang lain apalagi orang-orang yang akan melakukan apapun untuk lembaran rupiah yang dikeluarkan."Kamu bisa bawa mobil, kan?"Arka mengangguk, pun menerima kunci yang kuberikan.Dan ia yang sudah duduk di belakang kemudi melajukan mobil. Kendaraan yang jadi sepi karena tidak ada satupun dari kami bersuara.Bahkan, setelah Arka memarkirkan mobil di taman rama
Tidak banyak yang kuinginkan dalam hidup.Asal bisa melihat senyum Santo, rasanya duniaku sudah sempurna.Hal yang tidak pernah berubah bahkan saat ayah dan ibu kami masih hidup.Dan menemukan tempat yang bisa membuat adikku tertawa setelah orang tua kami mati, adalah tujuan hidupku.Hal yang tidak pernah berubah sampai detik ini.Santo yang mampu tertawa pada dunianya adalah satu-satunya harapan yang kumiliki.Hanya itu****"Selamat ulang tahun!"Aku yang masuk kamar, terkejut dengan suara konfeti mini yang dibunyikan Eyang dan cucu kembarnya. Bocah-bocah besar yang langsung memelukku satu per satu.Sementara Mas Rendra memegang kue dengan lilin menyala."Make a wish, Mbak."Aku memejamkan mata untuk pinta Ares, tapi tak memohon apapun lalu meniup lilin yang nyala matinya mendapat tepukan tangan."Selamat ulang tahun, Mbak Runni.""Aku minta stroberinya ya, Mbak-qu.""Semoga doa-doa baik yang kamu pinta terkabul, Ndok."Aku tersenyum dengan ucapan terimakasih yang keluar begitu lanc
Aku yang sudah duduk, menatap supir taksi yang nampaknya tahu tempat macam apa yang baru kutinggalkan, "bandara, Pak." Jawabku.Setelahnya, mulutku begitu rapat tertutup diantara deru taksi yang meninggalkan gedung dengan cat mengelupas yang terkesan tidak memiliki penghuni."Kemana diriku yang tidak membawa apapun kecuali ponsel akan pergi?"Rasanya, itu arti dari tatapan supir taksi yang biaya ongkosnya kutransfer via ponsel yang diantarkan ke rumah eyang setelah benar oleh pegawai hotel yang kumintai tolong.Dan aku masuk ke dalam bandara ramai yang keriuhannya tidak mampu menyapa jiwaku yang masih menunggu adikku tidak sibuk lagi.******PLAK!!Benar saja, tamparan keras yang tidak membuat terkejut, mendarat di pipiku. Suaranya bahkan menggema dalam ruang yang nampak mewajarkan perlakuan pemilik rumah yang tidak pernah menerima kehadiranku.Tidak dulu, apalagi sekarang."TIDAK TAU DIUNTUNG!"Pemilik tangan yang begitu ringannya melayangkan sentuhan, berteriak sampai urat-urat le
Untuk sesaat ruangan yang ubinnya ku pijak jadi sepi.Ucapan sang kepala keluarga membuat pemilik rumah yang emosinya meledak-ledak, seolah tak memiliki kalimat untuk ia ucapkan pada sang suami.Pupil wanita yang begitu ringannya mengayunkan pukulan pada tubuhku, bahkan terlihat bergetar. Sementara mulutnya yang terbuka, hanya terbuka. Tidak menemukan kalimat untuk ia sampaikan pada sang suami. Apalagi membantah!"Tidak ada lagi yang kita miliki, Mirna."Dan kalimat penegasan itu membuat udara gratis di sekitar keduanya jadi tampak sangat mahal."Kartu kreditmu, liburan-liburanmu, koleksi tas mahalmu, semua kehidupan mewahmu juga Karin, Celo, Roni, juga keluarga mbak Tris dan dua putranya .... kau pikir dari mana aku dapat memenuhi hal itu, Mirna?"Mulut Tante Mirna yang rasanya siap berucap, kembali tertutup. Mungkin, ia sadar suaminya tidak sedang bercanda atau mengatakan lelucon paling bodoh yang bahkan tidak bisa ia tertawakan!"Kau ingin tau darimana kita bisa hidup seperti dulu,