"Mbak, Akku mau muntah."Ucapan Riris membuatku menepikan mobil di pinggir jalan ramai. Ia langsung membuka pintu. Bergegas keluar lalu mengulurkan apapun yang ingin ia muntahkan.Aku yang ikut turun, mengusap punggung Riris yang terus muntah sampai tak lagi ada yang mampu ia keluarkan. Hanya menyisakan cairan bening nan kental."Akku benar-benar seorang pecudang." Riris mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Begitu kasar usapannya."Hanya karena tidak kuat minum alkohol," ucapku menyentuh pundak Riris yang menatap bibirku, "tidak lantas menjadikan seseorang pecundang, Ris.""Kalau begitu, pasti karena aku tulli 'kan?" Manik Riris yang matanya masih berair bergerak meminta jawab."Semua orang menganggapku bodoh. Bahkan Mbak Runi jugga!" serunya lalu berdiri dan menatapku tajam dengan tetes airmata yang jatuh. Merambati pipi."Kalian semua menganggap akku bodoh 'kan! orang cacat yang tak punya rassa! Mengatakan apapun semau kalian!"Riris terus berseru dengan sorot terluka. Sementar
Sunyi.Rasanya itu yang kubutuhkan saat menutup pintu kamarku rapat.Dan aku langsung terduduk di atas lantai kamar. Mengalah pada rasa pengar juga pening yang tidak lagi mampu kukawan."Bersyukur aku sudah sampai rumah."Aku bahkan tidak tahu kalimat itu benar-benar terucap keras atau hanya menggema dalam kepalaku yang berdenyut-denyut.Yang kutahu, ranjang yang kasurnya pasti lebih empuk dari lantai, terasa begitu jauh tak tergapai meski aku rasanya bergerak."Runi?"Suara mas Rendra membuatku membuka mata beratku yang rasanya tak bisa fokus pada satu titik sudah sekeras apapun aku berusaha. Tangannya bahkan menyentuh keningku yang terasa pening? pusing? Ataukah berputar-putar?'Ah, entahlah yang mana. Aku terlalu lelah untuk memilih!'"Kamu minum sebanyak apa?""Hanya tiga gelas," jawabku merasakan tubuhku diangkat dan tersenyum mengingat tatapan Damar saat dia bertanya apa aku yakin dengan keputusanku.Kurasa, aku benar-benar akan pingsan jika Riris memilih tinggal. Meminum gelas
"Ugh."Rasanya suara keluhan itu tercipta bersama mataku yang terbuka.Aku yang terbangun dengan kepala pusing luar biasa berusaha mengingat apa yang kulakukan setelah keluar dari kamar Riris. Lalu masuk ke dalam kamarku sendiri.Namun, kecuali memilih tidur di lantai, aku tak ingat apapun lagi.Sruk!Sementara suara tubuhku yang nyatanya sudah terbaring di atas kasur menggema. Sungguh memori yang tidak ada dalam ingatan, apalagi memakai baju tidur.'Jam berapa?'Mataku yang terbuka langsung melihat gordin jendela yang tersibak. Langit masih begitu gelap.Dan badanku yang merasakan beban menatap lengan yang memeluk tubuhku, 'kuharap aku tak salah masuk kamar lagi.' batinku yang bisa merasakan hembusan nafas mas Rendra yang terlelap begitu pulas di belakang kepalaku."Ugh," dan keluhku lolos lagi saat berusaha mengangkat kepala. Tapi, rasanya sungguh luar biasa sampai aku kembali menjatuhkan kepala pada bantal.Mas Rendra yang terbangun karena gerakanku, bergerak dalam tidur, "jam bera
"KELUAR!" Teriakan keras om Lukman menggema. "Kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!" "Tante, appa-appaan si!" Riris yang membaca bibir tante Laksmi ikut turun dari kasur. Ia yang terkejut makin kaget saat om Lukman meraih koperku begitu saja dan dengan kasar sang ayah memasukkan pakaianku sembarangan. Bahkan jatuh ke lantai namun tidak ia indahkan. "KELUAR DARI RUMAHKU!" Ucap om Lukman begitu selesai menarik resleting koper, "AKU TIDAK MAU KAU MERUSAK ANAK-ANAKKU! Aku yang setengah diseret hampir saja jatuh kalau eyang tidak menahan tubuhku yang lengannya kuat dicengkeram tante Laksmi. Seolah jika tante Laksmi tidak melakukan itu, aku akan kabur. "Apa-apaan ini!?" Seru eyang memegang pundakku yang sempoyongan, "kalian pikir apa yang sedang kalian lakukan di rumahku?" "Diamlah Bu!" Bentak om Lukman yang sorot matanya pun tajam saat melihat eyang, "Ibu tinggal pilih, anak sialan ini keluar dari rumahmu atau aku akan membawa cucu-cucumu pergi!" "Apa maksudmu, Lukman?
Aku yang duduk di belakang kemudi, melirik meteran bensin karena lampu peringatan berkedip dengan suara khas. Tek Tek! Tek Tek! Otakku yang berpikir meski kepalaku berdenyut, menghampiri hotel terdekat saat ponselku hanya memperlihatkan layar putih. Brak! Rasanya aku bersyukur mobil yang kehabisan bensin ini tiba di tempat parkir saat pintunya ku tutup. "Selamat datang." Sambutan hangat dengan senyum komersil menyapaku yang menyeret koper. Mendekat pada meja resepsionis yang pegawainya memberi senyum begitu ramah. "Mau menginap berapa malam, Bu?" "Dua malam," jawabku yang tak lama melangkah masuk ke dalam lift dengan kartu akses yang kutempelkan pada sensor agar pintunya terbuka. Bip! Cklek! Brak! Suara pintu yang tertutup otomatis membuatku berdiri diam dengan koper yang gagangnya kupegangi erat. Meski mataku menyapu kamar dengan ranjang luas, pikiranku melayang pada rumah yang kutinggalkan. Tangis Riris yang mengejar, wajah terluka eyang, tatapan tajam penuh tuduhan
Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak, mas Rendra menyentuh bibirku dengan jari, "kamu taukan semalam aku tidur hanya beberapa jam saja?"Ucapan mas Rendra mengingatkan diriku yang bahkan tidak tahu kapan ia keluar dari kamarku subuh tadi."Dan sekarang, rasanya aku sudah tak bisa lagi menahan kantuk, Runi."Aku yang wajahnya begitu dekat dengan mas Rendra, melihat sudah semerah apa matanya.Dan lelaki yang langsung merebahkan tubuhnya itu menarikku turut berbaring.Tangannya bahkan memelukku yang bisa merasakan secepat apa ia menyambut kantuk."Kamu sama sekali tidak mendengar ucapanku 'kan, Mas?""Aku dengar Runi." Mas Rendra yang matanya terpejam membalas ucapan lirihku, "tapi, kamu harus tetap pulang atau aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke Lembang sebelum bapak dan ibuk menjemput kamu.""Kamu menyebalkan sekali." Kesalku mendorong dada mas Rendra."Aku tau," jawabnya membuka mata yang benar-benar butuh lelap, "dan orang menyebalkan ini sungguh ingin tidur."Aku yang tahu i
"Bisakah mbak percaya?" Mataku yang menatap lembaran kertas fotokopi yang kuhafal tiap sudutnya karena itu memang gambar sama dengan apa yang kusimpan, tidak berkedip."Dan jika benar itu dia-" suara Riris begitu penuh harap, "-berarti dia massih hiddup, Mbak."Tanganku yang terkepal bergetar untuk ucapan-ucapan Riris."Dia hidup dan sehat, Mbak. Bahkan ia anak berprestasi di sekolah dan punya temen." Riris yang bersemangat terus bercerita, "anaknya juga ceria. Yah, rada pilih-pilih temen gitu sih." Ucapnya lalu tertawa sendiri."Dan kalo bener itu dia, Mbak, tau dia temennya siapa? Dia temenan sama Arka, Mbak." Rasanya Riris bahkan ingin menjerit senang meski bibirnya jadi mengerucut sebal, "juga temenan sama si rese' Silvan. Duh, bisa kebawa pengaruh buruknya. Tapi, gak apa sih, kan ada Arka ya ha ha ha."Riris kembali tertawa. Ia yang rasanya sudah mengatakan hal yang membuatnya begitu bersemangat, menarik nafas lega. "Syukurlah kalau anak malang ini dia, ya Mbak."Mulutku jadi b
Setelah pamit pada ibunya, Arka mengajakku keluar. Dan ia tersenyum saat tahu aku memarkir mobilku jauh dari rumah tempat ia berdua ibunya tinggal."Mbak bakat jadi detektif."Aku hanya menoleh pada bocah besar yang alamat rumahnya masuk dalam daftar informasi yang kusimpan.Orang-orang yang jasanya kupakai, memasukkan banyak hal untuk lembar-lembar rupiah yang kuberikan termasuk alamat Arka.Hanya saja, aku tidak pernah menanyakan dimana adikku tinggal. Hal yang seharusnya jadi prioritas itu tidak pernah kuinginkan.Kenapa? Mungkin karena itu tentang adikku. Aku ingin mendengar cerita Santo dari mulut adikku sendiri. Bukan dari orang lain apalagi orang-orang yang akan melakukan apapun untuk lembaran rupiah yang dikeluarkan."Kamu bisa bawa mobil, kan?"Arka mengangguk, pun menerima kunci yang kuberikan.Dan ia yang sudah duduk di belakang kemudi melajukan mobil. Kendaraan yang jadi sepi karena tidak ada satupun dari kami bersuara.Bahkan, setelah Arka memarkirkan mobil di taman rama