Ping: udah balik kantor belum, Mbak? Maaf baru bales. Aku udah pulang dan capek banget mau langsung tidur.Pesan kedua yang masuk berupa potret adikku yang sedang rebahan. Menunjukkan tanda peace yang mampu membuat senyumku tercipta.Meski setelah aku mengirim balasan, Santo langsung menelpon."Mbak gak kerja lagi? Kenapa? Apa ada yang buat masalah lagi sama mbak Runi?"Tanpa halo, Santo langsung bertanya. Dan nada suaranya mampu membuatku yang tidak bisa bertemu dengannya hari ini, memperdengarkan tawa. Menatap sisa hujan pada rumput pun melirik kerbau yang pemiliknya sedang makan keripik singkong yang kubeli dari bu Bandriah."Huh, aku jadi pingin menghiburmu Mbak." Ucap Santo setelah mendengar apa yang terjadi padaku hari ini."Kalau begitu teruslah bicara, biar mbak dengar suaramu, Nang.""Hanya itu?" Tanya bocah besar yang nampaknya mau mengajakku bicara selama apapun meski ia bilang capek."Iya, Nang, hanya itu."Dan jawabanku membuat tawa Santo tidak hanya menyusup pada telinga
Begitu tidak percayanya aku saat masuk ke dalam gebang yang di buka pak Bowo.Tapi, lambaian lelaki yang seharunya ada di Lembang, membuatku turun, segera menghampiri pak Diman yang sudah menghabiskan separuh kopi dalam cangkir."Baru pulang, Neng?""Iya, Pak." Pak Diman menyambut uluran tanganku yang tak mampu menyembunyikan keterkejutan, "sudah dari tadi, Pak?""Lumayan, Neng. Dan langsung ditawarin kopi sama pisang goreng sama pak Bowo."Ucapan pak Diman membuatku mengangguk, pun tersenyum pada satpam berwajah sangar yang sudah menutup gerbang. Meskipun, mataku melirik bangunan utama."Saya datang sama bapak dan ibu, Neng." Seolah tahu apa yang kupikirkan pak Diman berucap."Kalau begitu saya masuk duluan ya, Pak."Pamitku yang kembali duduk di belakang kemudi, meski tidak meletakan Honda Civic-ku di tempat biasa. Pun, menatap tampilan diri dalam window rear sebelum turun dan masuk ke dalam rumah yang obrolan hangat penuh candanya mampu menyusup ke luar."Assalamu'alaikum," salamku
"Anak ibu."Ucapan ibu yang tangannya mengusapi lenganku menyalurkan perih teramat sangat saat wajah Santo terbayang dalam benak.Namun, mulutku yang jadi terasa sangat pahit mampu menciptakan senyum saat pandangan kami bertemu."Kamu sudah besar sekali, Runi." Sementara sorot matanya yang menyiratkan banyak kasih, menciptakan beban yang terasa menusuk.Aku selalu bertanya, benarkah wanita yang sorot matanya seolah melihat orang lain saat menatapku ini, 'benar-benar melupakan keberadaan Santo yang mampu membuat kami tertawa dengan tingkah polahnya.'Tapi, adakah jawaban lain saat aku tahu sebesar apa kasih ibu pada adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya."Selamat malam, Bu." Dan hanya kalimat itu yang mampu kukatakan pada anggukan ibu yang usapannya begitu lembut namun tidak mampu memberiku ketenangan.'Nang, ibu dan bapak datang. Apa kamu mau melihat mereka?'Tanya yang tidak mampu ku kirim pada Santo di chat kami, menggema begitu keras dalam benakku yang matanya terpejam. Be
"Hai, Kak," sapaku yang pipinya langsung dicium dalam pelukan Yoshie."Hai apa? Lo sendiri apa kabar?""Baik, kak," jawabku yang berdiri dari tempatku duduk, menyambutnya yang naik ke lantai dua sendirian."Hei, kita boleh gabung lo, ya? di bawah penuh banget dan gue males cari kursi lagi."Aku hanya mengangguk, mempersilahkannya duduk sampai mata Yoshie terkejut saat melihat aku tidak sendirian."Eh! kok ada ... kok lo gak bilang lo lagi sama ...." "Hai, aku Joe," lelaki yang membuat Yoshi salah tingkah memperkenalkan diri."Yoshie," jawab wanita yang nampaknya masih kaget meski menyalami Joe, "sorry I don't see you. Apa aku harus pindah?""It's ok, Yoshie, teman Runi adalah temanku." jawab Joe pada gadis ramah yang menatapi kami bergantian."Thanks, aku gak perlu nyari tempat lain buat duduk kalo gini.""No big deal, silahkan duduk." Tawar Joe lalu menatapku. "Apa kita makan siang sekalian, Runi?""Kamu lapar?""Ya, aku tak sempat makan sarapan buatan mbok Sumi pagi ini.""Udah mak
Mas Rendra yang mengejar Riris ke luar, tak bergeming dan terus berdiri di depan mobil keluaran Jerman yang selalu Ares bawa ke sekolah.Tiin! Tiin! Tii....n!Ia pun tidak perduli pada klakson yang adik perempuannya bunyikan."AKKU BENCI MAS!"Sampai Riris yang sadar kakaknya tidak akan menyingkir seinci pun, turun lalu berteriak dan masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan pintu mobil yang masih menyala, terbuka lebar.Remaja cantik yang tak lagi mau bercanda denganku itu tampak begitu marah sampai matanya berair. "Aries." Ia bahkan tidak mau menoleh, benar-benar menulikan panggilan mas Rendra yang menyugar rambutnya frustasi.Kurasa, lelaki yang terus menatap pintu rumahnya itu bahkan tidak sadar aku mematikan mesin Audy warna putih yang Riris tinggalkan begitu saja."Mas." Dan tubuh mas Rendra yang pundaknya begitu tegang, tersentak untuk sentuhanku yang pelan."Kamu sudah pulang?" Ucapnya dengan senyum getir saat melihat mobilku sudah terparkir di tempat biasa. "Kamu pasti lihat
Remaja cantik yang matanya menyelidik menatap gedung yang parkirannya penuh."Ayo." Ucapku langsung turun tanpa mendengar jawaban Riris yang butuh waktu untuk membuka pintu lalu menutupnya.Bip! Bip!Dan aku yang sudah mengunci pintu bahkan berjalan tanpa mengajak Riris yang mempercepat langkah. Meski ia tampak ragu saat penjaga pintu berwajah sangar menatapinya yang langsung merangkul lenganku.Riris terlihat seperti anak kucing tersesat untuk tiap pijakan langkahnya yang menurut saja ku ajak naik ke lantai dua. Pun, terlihat tidak nyaman untuk tatapan penuh selidik dari berpasang-pasang mata yang benar-benar menilai."Akhirnya kamu datang." Damar mengedipkan sebelah matanya padaku, meski tatapan ramahnya membuat Riris makin merapatkan tubuh pada lenganku."Duduk dimanapun kamu mau."Dan remaja yang menyapukan seluruh pandangannya ke setiap sudut ini menarik kursi lebih dekat padaku yang duduk di tempat biasa."Siapa?" Pandangan Damar seolah bertanya, meski mulutnya tak berucap.Mata
"Mbak, Akku mau muntah."Ucapan Riris membuatku menepikan mobil di pinggir jalan ramai. Ia langsung membuka pintu. Bergegas keluar lalu mengulurkan apapun yang ingin ia muntahkan.Aku yang ikut turun, mengusap punggung Riris yang terus muntah sampai tak lagi ada yang mampu ia keluarkan. Hanya menyisakan cairan bening nan kental."Akku benar-benar seorang pecudang." Riris mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Begitu kasar usapannya."Hanya karena tidak kuat minum alkohol," ucapku menyentuh pundak Riris yang menatap bibirku, "tidak lantas menjadikan seseorang pecundang, Ris.""Kalau begitu, pasti karena aku tulli 'kan?" Manik Riris yang matanya masih berair bergerak meminta jawab."Semua orang menganggapku bodoh. Bahkan Mbak Runi jugga!" serunya lalu berdiri dan menatapku tajam dengan tetes airmata yang jatuh. Merambati pipi."Kalian semua menganggap akku bodoh 'kan! orang cacat yang tak punya rassa! Mengatakan apapun semau kalian!"Riris terus berseru dengan sorot terluka. Sementar
Sunyi.Rasanya itu yang kubutuhkan saat menutup pintu kamarku rapat.Dan aku langsung terduduk di atas lantai kamar. Mengalah pada rasa pengar juga pening yang tidak lagi mampu kukawan."Bersyukur aku sudah sampai rumah."Aku bahkan tidak tahu kalimat itu benar-benar terucap keras atau hanya menggema dalam kepalaku yang berdenyut-denyut.Yang kutahu, ranjang yang kasurnya pasti lebih empuk dari lantai, terasa begitu jauh tak tergapai meski aku rasanya bergerak."Runi?"Suara mas Rendra membuatku membuka mata beratku yang rasanya tak bisa fokus pada satu titik sudah sekeras apapun aku berusaha. Tangannya bahkan menyentuh keningku yang terasa pening? pusing? Ataukah berputar-putar?'Ah, entahlah yang mana. Aku terlalu lelah untuk memilih!'"Kamu minum sebanyak apa?""Hanya tiga gelas," jawabku merasakan tubuhku diangkat dan tersenyum mengingat tatapan Damar saat dia bertanya apa aku yakin dengan keputusanku.Kurasa, aku benar-benar akan pingsan jika Riris memilih tinggal. Meminum gelas