"Anak ibu."Ucapan ibu yang tangannya mengusapi lenganku menyalurkan perih teramat sangat saat wajah Santo terbayang dalam benak.Namun, mulutku yang jadi terasa sangat pahit mampu menciptakan senyum saat pandangan kami bertemu."Kamu sudah besar sekali, Runi." Sementara sorot matanya yang menyiratkan banyak kasih, menciptakan beban yang terasa menusuk.Aku selalu bertanya, benarkah wanita yang sorot matanya seolah melihat orang lain saat menatapku ini, 'benar-benar melupakan keberadaan Santo yang mampu membuat kami tertawa dengan tingkah polahnya.'Tapi, adakah jawaban lain saat aku tahu sebesar apa kasih ibu pada adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya."Selamat malam, Bu." Dan hanya kalimat itu yang mampu kukatakan pada anggukan ibu yang usapannya begitu lembut namun tidak mampu memberiku ketenangan.'Nang, ibu dan bapak datang. Apa kamu mau melihat mereka?'Tanya yang tidak mampu ku kirim pada Santo di chat kami, menggema begitu keras dalam benakku yang matanya terpejam. Be
"Hai, Kak," sapaku yang pipinya langsung dicium dalam pelukan Yoshie."Hai apa? Lo sendiri apa kabar?""Baik, kak," jawabku yang berdiri dari tempatku duduk, menyambutnya yang naik ke lantai dua sendirian."Hei, kita boleh gabung lo, ya? di bawah penuh banget dan gue males cari kursi lagi."Aku hanya mengangguk, mempersilahkannya duduk sampai mata Yoshie terkejut saat melihat aku tidak sendirian."Eh! kok ada ... kok lo gak bilang lo lagi sama ...." "Hai, aku Joe," lelaki yang membuat Yoshi salah tingkah memperkenalkan diri."Yoshie," jawab wanita yang nampaknya masih kaget meski menyalami Joe, "sorry I don't see you. Apa aku harus pindah?""It's ok, Yoshie, teman Runi adalah temanku." jawab Joe pada gadis ramah yang menatapi kami bergantian."Thanks, aku gak perlu nyari tempat lain buat duduk kalo gini.""No big deal, silahkan duduk." Tawar Joe lalu menatapku. "Apa kita makan siang sekalian, Runi?""Kamu lapar?""Ya, aku tak sempat makan sarapan buatan mbok Sumi pagi ini.""Udah mak
Mas Rendra yang mengejar Riris ke luar, tak bergeming dan terus berdiri di depan mobil keluaran Jerman yang selalu Ares bawa ke sekolah.Tiin! Tiin! Tii....n!Ia pun tidak perduli pada klakson yang adik perempuannya bunyikan."AKKU BENCI MAS!"Sampai Riris yang sadar kakaknya tidak akan menyingkir seinci pun, turun lalu berteriak dan masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan pintu mobil yang masih menyala, terbuka lebar.Remaja cantik yang tak lagi mau bercanda denganku itu tampak begitu marah sampai matanya berair. "Aries." Ia bahkan tidak mau menoleh, benar-benar menulikan panggilan mas Rendra yang menyugar rambutnya frustasi.Kurasa, lelaki yang terus menatap pintu rumahnya itu bahkan tidak sadar aku mematikan mesin Audy warna putih yang Riris tinggalkan begitu saja."Mas." Dan tubuh mas Rendra yang pundaknya begitu tegang, tersentak untuk sentuhanku yang pelan."Kamu sudah pulang?" Ucapnya dengan senyum getir saat melihat mobilku sudah terparkir di tempat biasa. "Kamu pasti lihat
Remaja cantik yang matanya menyelidik menatap gedung yang parkirannya penuh."Ayo." Ucapku langsung turun tanpa mendengar jawaban Riris yang butuh waktu untuk membuka pintu lalu menutupnya.Bip! Bip!Dan aku yang sudah mengunci pintu bahkan berjalan tanpa mengajak Riris yang mempercepat langkah. Meski ia tampak ragu saat penjaga pintu berwajah sangar menatapinya yang langsung merangkul lenganku.Riris terlihat seperti anak kucing tersesat untuk tiap pijakan langkahnya yang menurut saja ku ajak naik ke lantai dua. Pun, terlihat tidak nyaman untuk tatapan penuh selidik dari berpasang-pasang mata yang benar-benar menilai."Akhirnya kamu datang." Damar mengedipkan sebelah matanya padaku, meski tatapan ramahnya membuat Riris makin merapatkan tubuh pada lenganku."Duduk dimanapun kamu mau."Dan remaja yang menyapukan seluruh pandangannya ke setiap sudut ini menarik kursi lebih dekat padaku yang duduk di tempat biasa."Siapa?" Pandangan Damar seolah bertanya, meski mulutnya tak berucap.Mata
"Mbak, Akku mau muntah."Ucapan Riris membuatku menepikan mobil di pinggir jalan ramai. Ia langsung membuka pintu. Bergegas keluar lalu mengulurkan apapun yang ingin ia muntahkan.Aku yang ikut turun, mengusap punggung Riris yang terus muntah sampai tak lagi ada yang mampu ia keluarkan. Hanya menyisakan cairan bening nan kental."Akku benar-benar seorang pecudang." Riris mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Begitu kasar usapannya."Hanya karena tidak kuat minum alkohol," ucapku menyentuh pundak Riris yang menatap bibirku, "tidak lantas menjadikan seseorang pecundang, Ris.""Kalau begitu, pasti karena aku tulli 'kan?" Manik Riris yang matanya masih berair bergerak meminta jawab."Semua orang menganggapku bodoh. Bahkan Mbak Runi jugga!" serunya lalu berdiri dan menatapku tajam dengan tetes airmata yang jatuh. Merambati pipi."Kalian semua menganggap akku bodoh 'kan! orang cacat yang tak punya rassa! Mengatakan apapun semau kalian!"Riris terus berseru dengan sorot terluka. Sementar
Sunyi.Rasanya itu yang kubutuhkan saat menutup pintu kamarku rapat.Dan aku langsung terduduk di atas lantai kamar. Mengalah pada rasa pengar juga pening yang tidak lagi mampu kukawan."Bersyukur aku sudah sampai rumah."Aku bahkan tidak tahu kalimat itu benar-benar terucap keras atau hanya menggema dalam kepalaku yang berdenyut-denyut.Yang kutahu, ranjang yang kasurnya pasti lebih empuk dari lantai, terasa begitu jauh tak tergapai meski aku rasanya bergerak."Runi?"Suara mas Rendra membuatku membuka mata beratku yang rasanya tak bisa fokus pada satu titik sudah sekeras apapun aku berusaha. Tangannya bahkan menyentuh keningku yang terasa pening? pusing? Ataukah berputar-putar?'Ah, entahlah yang mana. Aku terlalu lelah untuk memilih!'"Kamu minum sebanyak apa?""Hanya tiga gelas," jawabku merasakan tubuhku diangkat dan tersenyum mengingat tatapan Damar saat dia bertanya apa aku yakin dengan keputusanku.Kurasa, aku benar-benar akan pingsan jika Riris memilih tinggal. Meminum gelas
"Ugh."Rasanya suara keluhan itu tercipta bersama mataku yang terbuka.Aku yang terbangun dengan kepala pusing luar biasa berusaha mengingat apa yang kulakukan setelah keluar dari kamar Riris. Lalu masuk ke dalam kamarku sendiri.Namun, kecuali memilih tidur di lantai, aku tak ingat apapun lagi.Sruk!Sementara suara tubuhku yang nyatanya sudah terbaring di atas kasur menggema. Sungguh memori yang tidak ada dalam ingatan, apalagi memakai baju tidur.'Jam berapa?'Mataku yang terbuka langsung melihat gordin jendela yang tersibak. Langit masih begitu gelap.Dan badanku yang merasakan beban menatap lengan yang memeluk tubuhku, 'kuharap aku tak salah masuk kamar lagi.' batinku yang bisa merasakan hembusan nafas mas Rendra yang terlelap begitu pulas di belakang kepalaku."Ugh," dan keluhku lolos lagi saat berusaha mengangkat kepala. Tapi, rasanya sungguh luar biasa sampai aku kembali menjatuhkan kepala pada bantal.Mas Rendra yang terbangun karena gerakanku, bergerak dalam tidur, "jam bera
"KELUAR!" Teriakan keras om Lukman menggema. "Kemasi barang-barangmu dan pergi dari rumah ini!" "Tante, appa-appaan si!" Riris yang membaca bibir tante Laksmi ikut turun dari kasur. Ia yang terkejut makin kaget saat om Lukman meraih koperku begitu saja dan dengan kasar sang ayah memasukkan pakaianku sembarangan. Bahkan jatuh ke lantai namun tidak ia indahkan. "KELUAR DARI RUMAHKU!" Ucap om Lukman begitu selesai menarik resleting koper, "AKU TIDAK MAU KAU MERUSAK ANAK-ANAKKU! Aku yang setengah diseret hampir saja jatuh kalau eyang tidak menahan tubuhku yang lengannya kuat dicengkeram tante Laksmi. Seolah jika tante Laksmi tidak melakukan itu, aku akan kabur. "Apa-apaan ini!?" Seru eyang memegang pundakku yang sempoyongan, "kalian pikir apa yang sedang kalian lakukan di rumahku?" "Diamlah Bu!" Bentak om Lukman yang sorot matanya pun tajam saat melihat eyang, "Ibu tinggal pilih, anak sialan ini keluar dari rumahmu atau aku akan membawa cucu-cucumu pergi!" "Apa maksudmu, Lukman?