Begitu tidak percayanya aku saat masuk ke dalam gebang yang di buka pak Bowo.Tapi, lambaian lelaki yang seharunya ada di Lembang, membuatku turun, segera menghampiri pak Diman yang sudah menghabiskan separuh kopi dalam cangkir."Baru pulang, Neng?""Iya, Pak." Pak Diman menyambut uluran tanganku yang tak mampu menyembunyikan keterkejutan, "sudah dari tadi, Pak?""Lumayan, Neng. Dan langsung ditawarin kopi sama pisang goreng sama pak Bowo."Ucapan pak Diman membuatku mengangguk, pun tersenyum pada satpam berwajah sangar yang sudah menutup gerbang. Meskipun, mataku melirik bangunan utama."Saya datang sama bapak dan ibu, Neng." Seolah tahu apa yang kupikirkan pak Diman berucap."Kalau begitu saya masuk duluan ya, Pak."Pamitku yang kembali duduk di belakang kemudi, meski tidak meletakan Honda Civic-ku di tempat biasa. Pun, menatap tampilan diri dalam window rear sebelum turun dan masuk ke dalam rumah yang obrolan hangat penuh candanya mampu menyusup ke luar."Assalamu'alaikum," salamku
"Anak ibu."Ucapan ibu yang tangannya mengusapi lenganku menyalurkan perih teramat sangat saat wajah Santo terbayang dalam benak.Namun, mulutku yang jadi terasa sangat pahit mampu menciptakan senyum saat pandangan kami bertemu."Kamu sudah besar sekali, Runi." Sementara sorot matanya yang menyiratkan banyak kasih, menciptakan beban yang terasa menusuk.Aku selalu bertanya, benarkah wanita yang sorot matanya seolah melihat orang lain saat menatapku ini, 'benar-benar melupakan keberadaan Santo yang mampu membuat kami tertawa dengan tingkah polahnya.'Tapi, adakah jawaban lain saat aku tahu sebesar apa kasih ibu pada adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya."Selamat malam, Bu." Dan hanya kalimat itu yang mampu kukatakan pada anggukan ibu yang usapannya begitu lembut namun tidak mampu memberiku ketenangan.'Nang, ibu dan bapak datang. Apa kamu mau melihat mereka?'Tanya yang tidak mampu ku kirim pada Santo di chat kami, menggema begitu keras dalam benakku yang matanya terpejam. Be
"Hai, Kak," sapaku yang pipinya langsung dicium dalam pelukan Yoshie."Hai apa? Lo sendiri apa kabar?""Baik, kak," jawabku yang berdiri dari tempatku duduk, menyambutnya yang naik ke lantai dua sendirian."Hei, kita boleh gabung lo, ya? di bawah penuh banget dan gue males cari kursi lagi."Aku hanya mengangguk, mempersilahkannya duduk sampai mata Yoshie terkejut saat melihat aku tidak sendirian."Eh! kok ada ... kok lo gak bilang lo lagi sama ...." "Hai, aku Joe," lelaki yang membuat Yoshi salah tingkah memperkenalkan diri."Yoshie," jawab wanita yang nampaknya masih kaget meski menyalami Joe, "sorry I don't see you. Apa aku harus pindah?""It's ok, Yoshie, teman Runi adalah temanku." jawab Joe pada gadis ramah yang menatapi kami bergantian."Thanks, aku gak perlu nyari tempat lain buat duduk kalo gini.""No big deal, silahkan duduk." Tawar Joe lalu menatapku. "Apa kita makan siang sekalian, Runi?""Kamu lapar?""Ya, aku tak sempat makan sarapan buatan mbok Sumi pagi ini.""Udah mak
Mas Rendra yang mengejar Riris ke luar, tak bergeming dan terus berdiri di depan mobil keluaran Jerman yang selalu Ares bawa ke sekolah.Tiin! Tiin! Tii....n!Ia pun tidak perduli pada klakson yang adik perempuannya bunyikan."AKKU BENCI MAS!"Sampai Riris yang sadar kakaknya tidak akan menyingkir seinci pun, turun lalu berteriak dan masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan pintu mobil yang masih menyala, terbuka lebar.Remaja cantik yang tak lagi mau bercanda denganku itu tampak begitu marah sampai matanya berair. "Aries." Ia bahkan tidak mau menoleh, benar-benar menulikan panggilan mas Rendra yang menyugar rambutnya frustasi.Kurasa, lelaki yang terus menatap pintu rumahnya itu bahkan tidak sadar aku mematikan mesin Audy warna putih yang Riris tinggalkan begitu saja."Mas." Dan tubuh mas Rendra yang pundaknya begitu tegang, tersentak untuk sentuhanku yang pelan."Kamu sudah pulang?" Ucapnya dengan senyum getir saat melihat mobilku sudah terparkir di tempat biasa. "Kamu pasti lihat
Remaja cantik yang matanya menyelidik menatap gedung yang parkirannya penuh."Ayo." Ucapku langsung turun tanpa mendengar jawaban Riris yang butuh waktu untuk membuka pintu lalu menutupnya.Bip! Bip!Dan aku yang sudah mengunci pintu bahkan berjalan tanpa mengajak Riris yang mempercepat langkah. Meski ia tampak ragu saat penjaga pintu berwajah sangar menatapinya yang langsung merangkul lenganku.Riris terlihat seperti anak kucing tersesat untuk tiap pijakan langkahnya yang menurut saja ku ajak naik ke lantai dua. Pun, terlihat tidak nyaman untuk tatapan penuh selidik dari berpasang-pasang mata yang benar-benar menilai."Akhirnya kamu datang." Damar mengedipkan sebelah matanya padaku, meski tatapan ramahnya membuat Riris makin merapatkan tubuh pada lenganku."Duduk dimanapun kamu mau."Dan remaja yang menyapukan seluruh pandangannya ke setiap sudut ini menarik kursi lebih dekat padaku yang duduk di tempat biasa."Siapa?" Pandangan Damar seolah bertanya, meski mulutnya tak berucap.Mata
"Mbak, Akku mau muntah."Ucapan Riris membuatku menepikan mobil di pinggir jalan ramai. Ia langsung membuka pintu. Bergegas keluar lalu mengulurkan apapun yang ingin ia muntahkan.Aku yang ikut turun, mengusap punggung Riris yang terus muntah sampai tak lagi ada yang mampu ia keluarkan. Hanya menyisakan cairan bening nan kental."Akku benar-benar seorang pecudang." Riris mengusap bibirnya dengan punggung tangan. Begitu kasar usapannya."Hanya karena tidak kuat minum alkohol," ucapku menyentuh pundak Riris yang menatap bibirku, "tidak lantas menjadikan seseorang pecundang, Ris.""Kalau begitu, pasti karena aku tulli 'kan?" Manik Riris yang matanya masih berair bergerak meminta jawab."Semua orang menganggapku bodoh. Bahkan Mbak Runi jugga!" serunya lalu berdiri dan menatapku tajam dengan tetes airmata yang jatuh. Merambati pipi."Kalian semua menganggap akku bodoh 'kan! orang cacat yang tak punya rassa! Mengatakan apapun semau kalian!"Riris terus berseru dengan sorot terluka. Sementar
Sunyi.Rasanya itu yang kubutuhkan saat menutup pintu kamarku rapat.Dan aku langsung terduduk di atas lantai kamar. Mengalah pada rasa pengar juga pening yang tidak lagi mampu kukawan."Bersyukur aku sudah sampai rumah."Aku bahkan tidak tahu kalimat itu benar-benar terucap keras atau hanya menggema dalam kepalaku yang berdenyut-denyut.Yang kutahu, ranjang yang kasurnya pasti lebih empuk dari lantai, terasa begitu jauh tak tergapai meski aku rasanya bergerak."Runi?"Suara mas Rendra membuatku membuka mata beratku yang rasanya tak bisa fokus pada satu titik sudah sekeras apapun aku berusaha. Tangannya bahkan menyentuh keningku yang terasa pening? pusing? Ataukah berputar-putar?'Ah, entahlah yang mana. Aku terlalu lelah untuk memilih!'"Kamu minum sebanyak apa?""Hanya tiga gelas," jawabku merasakan tubuhku diangkat dan tersenyum mengingat tatapan Damar saat dia bertanya apa aku yakin dengan keputusanku.Kurasa, aku benar-benar akan pingsan jika Riris memilih tinggal. Meminum gelas
"Ugh."Rasanya suara keluhan itu tercipta bersama mataku yang terbuka.Aku yang terbangun dengan kepala pusing luar biasa berusaha mengingat apa yang kulakukan setelah keluar dari kamar Riris. Lalu masuk ke dalam kamarku sendiri.Namun, kecuali memilih tidur di lantai, aku tak ingat apapun lagi.Sruk!Sementara suara tubuhku yang nyatanya sudah terbaring di atas kasur menggema. Sungguh memori yang tidak ada dalam ingatan, apalagi memakai baju tidur.'Jam berapa?'Mataku yang terbuka langsung melihat gordin jendela yang tersibak. Langit masih begitu gelap.Dan badanku yang merasakan beban menatap lengan yang memeluk tubuhku, 'kuharap aku tak salah masuk kamar lagi.' batinku yang bisa merasakan hembusan nafas mas Rendra yang terlelap begitu pulas di belakang kepalaku."Ugh," dan keluhku lolos lagi saat berusaha mengangkat kepala. Tapi, rasanya sungguh luar biasa sampai aku kembali menjatuhkan kepala pada bantal.Mas Rendra yang terbangun karena gerakanku, bergerak dalam tidur, "jam bera
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re