Satu bab lagi untuk hari ini~~~~ Makin ruwet aja ini. Ranis kenapa ya kira-kira???? š„²
Sakha hanya mengepak dua pasang baju--tiga jika baju yang ia kenakan juga dihitung--untuk dibawa ke Bali menyusul sang istri. Keberangkatannya ke Pulau Dewata itu tidak diketahui oleh Tabitha. Sakha hanya berbekal informasi tentang nama hotel tempat Tabitha menginap dan tempat diadakannya seminar yang diberitahu oleh Jona. Rekan kerja Tabitha itu yang paling semangat saat Sakha memberitahukan niatnya untuk memberikan kejutan kepada sang istri dengan datang ke Bali. Pesawat Sakha tiba pukul setengah tiga sore. Laki-laki itu langsung menyambangi hotel tempat Tabitha seminar hari ini. Sakha melihat standee banner di luar aula hotel dan begitu yakin bahwa ia datang ke tempat yang benar, langkahnya ia belokkan ke resto hotel yang dibuka untuk umum. Sakha menyantap makan siang yang sudah telat di resto itu dengan lahap. Ia tadi melewatkan makan siangnya di pesawat karena tidur lelap setelah meminum antimo. Turun dari pesawat, badannya sudah lebih segar dibanding sebelumnya. Energinya yang
"Nggak ada yang perlu kamu cemburuin dari Haga," ucap Tabitha setelah menyusul Sakha yang langsung masuk kamar tanpa mau repot berbasa-basi. "Oke," gumam Sakha seraya memasukkan pakaian kotornya ke dalam tas dengan asal. "Kamu mau ke manaā" "Pulang," tukas Sakha. "Aku nggak seharusnya mengganggu kamu di sini." Tabitha menahan Sakha. Menghentikan gerakan tangan suaminya yang sudah akan mencangklong tas ranselnya. "Sekarang gantian kamu yang mau kabur gitu aja?" Sakha menoleh dan hanya memberikan tatapan datar. Kecemburuan yang tadi tersorot jelas dari matanya sudah hilang. "Seharusnya kamu berterima kasih karena aku berbaik hati kasih kamu waktu untuk bersenang-senang dengan laki-laki itu." Mulut Tabitha ternganga. Apakah Sakha baru saja menuduhnya selingkuh dengan Haga? Benar-benar tak bisa dipercaya. Jika ia memang tertarik dengan Haga, sejak awal ia tidak akan menerima ajakan Sakha untuk menikah lagi. Baginya, Haga itu seperti Albert. Selain berbeda keyakinan, Haga hanya cocok
"Kenapa Ranis nggak pernah cerita sama aku?" Pertanyaan itu terucap begitu saja oleh Tabitha ketika mengingat pertemanannya dulu dengan Ranis. Wanita itu tidak pernah menyebut-nyebut tentang kedekatannya dengan seorang laki-laki mana pun. "Aku baru sadar sekarang," gumam Sakha disertai helaan napas. "Saat itu kamu tiba-tiba sibuk menghindari kami semua, Bee. Kamu menjaga jarak. Ranis berkali-kali mengajak kamu bertemu saat itu, tapi kamu selalu saja punya alasan untuk menolak. Dan sebagian itu salahku, kan? Karena aku sama sekali nggak menyadari perubahan sikap kamu itu. Aku bodoh sekali karena menganggap semuanya baik-baik saja." Sakha tidak mampu menatap Tabitha ketika menambahkan, "Sampai kamu tiba-tiba memberikan surat gugatan cerai... yang nggak bisa aku tolak karena kamu menginginkan kebahagiaan yang bukan sama aku lagi." Tabitha menunduk. Ia menginginkan kejujuran Sakha agar beban pikirannya selama beberapa hari ini bisa terangkat. Namun, nyatanya fakta demi fakta yang baru
Tabitha masih belum pulih dari keterkejutannya setelah Albert menyudahi sambungan telepon mereka beberapa menit yang lalu. Kabar yang ia dengar terlalu sulit dicerna sehingga ia sejak tadi hanya menatap kosong dan bingung pada layar ponselnya yang sudah tak menyala. Tabitha merasa bodoh karena tidak mengetahui bahwa Ranis sedang mengalami masa-masa sulit. Sebab, belakangan ini sosok itu hanya menjadi topik pembahasan panas antara Tabitha dan Sakha sejak wanita itu pulang dari Jerman. Istri Sakha itu terlalu sibuk memupuk benci karena dendam di masa lalu hingga tidak mau repot-repot peduli pada Ranis. Tabitha bahkan tidak pernah mau sekadar basa-basi menanyakan kabar Ranis setelah lama tak bertemu. "Bee, kita kembali ke Jakarta besok pagi, nggak papa kan?" Sakha memecah keheningan. "Aku benar-benar nggak mengerti," gumam Tabitha. Tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang suami. Dalam diamnya, Tabitha bertanya-tanya sejak tadi. Apa yang sesungguhnya telah dialami Ranis hingga w
"Kamu... benar-benar selingkuh dengan Ranis?" tanya Tabitha saat mereka meninggalkan rumah sakit satu jam kemudian. Sakha melirik sang istri yang duduk di kursi penumpang. "Maksud kamu?" "Jauh sebelum kita ketemu lagi, kamu pernah main-main dengan istri orang?" Lagi-lagi, Sakha harus mendengar nada sarat tuduhan dari Tabitha. Istri Sakha itu bahkan tidak mau repot-repot melihat sang suami saat bertanya demikian. "Ya Tuhan," Sakha tersenyum kecut. Sisi wajahnya yang bagian kiri, terutama dari ujung bibir hingga ke pipi masih terasa nyeri karena bogem mentah Riley tadi, laki-laki yang merupakan suami Ranis. "Bagaimana bisa kamu dengan mudahnya terpengaruh omongan orang gila itu, Bee?" "Aku tanya, Sakha. Kamu tinggal jawab 'iya' atau 'enggak'." Sakha hanya perlu menjawab 'tidak' dan Tabitha bisa lega. Namun, Sakha diam saja karena kesal dicurigai terus-menerus. Ia mungkin akan lebih bisa diajak kompromi jika Tabitha menanyakannya dengan cara yang lebih baik dan tidak melukai egonya
Sakha baru keluar dari mobil setelah selesai berteleponan dengan Alex saat terlihat Tabitha sudah mau pergi lagi. Wanita itu tampak serius mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil berjalan menuju rak sepatu dan sandal yang berada di dekat pintu yang mengarah ke garasi. "Kamu mau ke mana, Bee?" Tabitha mendongak sekilas, bertatapan dengan Sakha yang tampak bingung. "Aku ada urusan sebentar di luar," jawabnya, lalu kembali berkutat dengan ponselnya. "Urusan apa? Sama siapa?" desak Sakha. Seraya memasukkan ponsel ke dalam tas dan mengenakan alas kaki, Tabitha menjawab, "Kamu di rumah aja, kita bicara nanti." "Tabitha," geram Sakha. Ia kesal karena pertanyaannya tak diindahkan. "Aku mau menjernihkan pikiran sebelum ngobrol sama kamu," jelas Tabitha. Sakha tidak percaya. Istrinya telah mengganti pakaian yang tadinya kasual dengan celana jeans dan kaus menjadi sama sekali berbeda. Ia mengenakan dress berwarna merah maroon dan menggerai rambut panjangnya. Ada polesan make up tipis di w
Saat kesetiaan dan rasa percaya dibalas pengkhianatan, tidak ada pilihan yang lebih baik selain memutus ikatan sebelum segalanya menjadi semakin pelik. Tabitha tahu bahwa ia tidak boleh langsung percaya atas setiap ucapan Riley. Ia perlu mengonfirmasi secara langsung kepada Sakha atas apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, foto-foto kebersamaan Sakha dan Ranis yang ditunjukkan Riley membuat Tabitha makan hati. Terutama karena foto-foto itu sangat kecil kemungkinannya untuk dipalsukan. Tabitha mengenal baju-baju yang dikenakan Sakha di foto-foto itu. Tabitha kembali ke rumah dalam keadaan kacau. Keadaannya saat ini rasanya jauh lebih buruk ketimbang saat ia melihatSakha berpelukan mesra dengan Ranis secara langsung beberapa tahun lalu. Sebab, saat itu, Tabitha langsung membuat pertahanan diri dengan melepaskan sumber rasa sakitnya. Sekarang, Tabitha menyesal karena dulu pergi tanpa menyelesaikan masalah. Jika saja dulu ia menuntaskannya, apakah sekarang akan jadi begini? "Kamu ngapa
Sakha meremas foto-foto dalam genggamannya, melemparkannya ke dalam tempat sampah yang sudah setengah penuh, lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa-apa. Laki-laki itu masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang sedang ia isi dayanya. Sakha terlalu emosi hingga tak peduli saat kabel pengisi daya ikut tertarik hingga terjatuh di lantai. Ia kembali ke dapur tak lama kemudian dan mendapati Tabitha masih berada di posisi yang sama. "Kamu bisa baca chat dari Alex," tukas Sakha seraya menyodorkan ponselnya ke hadapan Tabitha. "Di situ kamu bisa tahu semua kegiatanku selama beberapa minggu terakhir. Aku ke toko perhiasan itu nggak hanya dengan Ranis, tapi dengan Alex juga," terangnya dengan nada ketus. Tabitha menerima sodoran ponsel itu dan menatap layar ponsel Sakha yang menampilkan halaman chat antara laki-laki itu dan Alex. "Siang itu, aku chat kamu kalau Alex ada rencana mau ngelamar pacarnya dalam waktu dekat, kan?" Sakha mengingatkan Tabitha pada obrolan mereka saat makan siang ber
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Beeā" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengenā" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T