Halooo... maaf yaa dua hari kemarin aku nggak sempat nulis. Aku usahakan akan update beberapa bab untuk hari ini. Semoga nggak stuckš Next?????
Tabitha masih belum pulih dari keterkejutannya setelah Albert menyudahi sambungan telepon mereka beberapa menit yang lalu. Kabar yang ia dengar terlalu sulit dicerna sehingga ia sejak tadi hanya menatap kosong dan bingung pada layar ponselnya yang sudah tak menyala. Tabitha merasa bodoh karena tidak mengetahui bahwa Ranis sedang mengalami masa-masa sulit. Sebab, belakangan ini sosok itu hanya menjadi topik pembahasan panas antara Tabitha dan Sakha sejak wanita itu pulang dari Jerman. Istri Sakha itu terlalu sibuk memupuk benci karena dendam di masa lalu hingga tidak mau repot-repot peduli pada Ranis. Tabitha bahkan tidak pernah mau sekadar basa-basi menanyakan kabar Ranis setelah lama tak bertemu. "Bee, kita kembali ke Jakarta besok pagi, nggak papa kan?" Sakha memecah keheningan. "Aku benar-benar nggak mengerti," gumam Tabitha. Tidak menjawab pertanyaan yang dilontarkan sang suami. Dalam diamnya, Tabitha bertanya-tanya sejak tadi. Apa yang sesungguhnya telah dialami Ranis hingga w
"Kamu... benar-benar selingkuh dengan Ranis?" tanya Tabitha saat mereka meninggalkan rumah sakit satu jam kemudian. Sakha melirik sang istri yang duduk di kursi penumpang. "Maksud kamu?" "Jauh sebelum kita ketemu lagi, kamu pernah main-main dengan istri orang?" Lagi-lagi, Sakha harus mendengar nada sarat tuduhan dari Tabitha. Istri Sakha itu bahkan tidak mau repot-repot melihat sang suami saat bertanya demikian. "Ya Tuhan," Sakha tersenyum kecut. Sisi wajahnya yang bagian kiri, terutama dari ujung bibir hingga ke pipi masih terasa nyeri karena bogem mentah Riley tadi, laki-laki yang merupakan suami Ranis. "Bagaimana bisa kamu dengan mudahnya terpengaruh omongan orang gila itu, Bee?" "Aku tanya, Sakha. Kamu tinggal jawab 'iya' atau 'enggak'." Sakha hanya perlu menjawab 'tidak' dan Tabitha bisa lega. Namun, Sakha diam saja karena kesal dicurigai terus-menerus. Ia mungkin akan lebih bisa diajak kompromi jika Tabitha menanyakannya dengan cara yang lebih baik dan tidak melukai egonya
Sakha baru keluar dari mobil setelah selesai berteleponan dengan Alex saat terlihat Tabitha sudah mau pergi lagi. Wanita itu tampak serius mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil berjalan menuju rak sepatu dan sandal yang berada di dekat pintu yang mengarah ke garasi. "Kamu mau ke mana, Bee?" Tabitha mendongak sekilas, bertatapan dengan Sakha yang tampak bingung. "Aku ada urusan sebentar di luar," jawabnya, lalu kembali berkutat dengan ponselnya. "Urusan apa? Sama siapa?" desak Sakha. Seraya memasukkan ponsel ke dalam tas dan mengenakan alas kaki, Tabitha menjawab, "Kamu di rumah aja, kita bicara nanti." "Tabitha," geram Sakha. Ia kesal karena pertanyaannya tak diindahkan. "Aku mau menjernihkan pikiran sebelum ngobrol sama kamu," jelas Tabitha. Sakha tidak percaya. Istrinya telah mengganti pakaian yang tadinya kasual dengan celana jeans dan kaus menjadi sama sekali berbeda. Ia mengenakan dress berwarna merah maroon dan menggerai rambut panjangnya. Ada polesan make up tipis di w
Saat kesetiaan dan rasa percaya dibalas pengkhianatan, tidak ada pilihan yang lebih baik selain memutus ikatan sebelum segalanya menjadi semakin pelik. Tabitha tahu bahwa ia tidak boleh langsung percaya atas setiap ucapan Riley. Ia perlu mengonfirmasi secara langsung kepada Sakha atas apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, foto-foto kebersamaan Sakha dan Ranis yang ditunjukkan Riley membuat Tabitha makan hati. Terutama karena foto-foto itu sangat kecil kemungkinannya untuk dipalsukan. Tabitha mengenal baju-baju yang dikenakan Sakha di foto-foto itu. Tabitha kembali ke rumah dalam keadaan kacau. Keadaannya saat ini rasanya jauh lebih buruk ketimbang saat ia melihatSakha berpelukan mesra dengan Ranis secara langsung beberapa tahun lalu. Sebab, saat itu, Tabitha langsung membuat pertahanan diri dengan melepaskan sumber rasa sakitnya. Sekarang, Tabitha menyesal karena dulu pergi tanpa menyelesaikan masalah. Jika saja dulu ia menuntaskannya, apakah sekarang akan jadi begini? "Kamu ngapa
Sakha meremas foto-foto dalam genggamannya, melemparkannya ke dalam tempat sampah yang sudah setengah penuh, lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa-apa. Laki-laki itu masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang sedang ia isi dayanya. Sakha terlalu emosi hingga tak peduli saat kabel pengisi daya ikut tertarik hingga terjatuh di lantai. Ia kembali ke dapur tak lama kemudian dan mendapati Tabitha masih berada di posisi yang sama. "Kamu bisa baca chat dari Alex," tukas Sakha seraya menyodorkan ponselnya ke hadapan Tabitha. "Di situ kamu bisa tahu semua kegiatanku selama beberapa minggu terakhir. Aku ke toko perhiasan itu nggak hanya dengan Ranis, tapi dengan Alex juga," terangnya dengan nada ketus. Tabitha menerima sodoran ponsel itu dan menatap layar ponsel Sakha yang menampilkan halaman chat antara laki-laki itu dan Alex. "Siang itu, aku chat kamu kalau Alex ada rencana mau ngelamar pacarnya dalam waktu dekat, kan?" Sakha mengingatkan Tabitha pada obrolan mereka saat makan siang ber
(Bab ini gratis karena isinya hanya pengumuman) Halo, teman-teman pembaca yang masih setia mengikuti kisah Sakha dan Tabitha yang isinya cuma drama tak berkesudahan :D Di kesempatan ini aku mau mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian yang mendukungku sampai di titik ini. Aku juga mau minta maaf karena sering malas update, sampai bikin kalian lupa jalan cerita ini >,
"Lo gila, ya?!" bentak Alex setelah mendengar keseluruhan cerita Sakha. Satu jam yang lalu, Sakha muncul di depan pintu apartemen Alex dengan wajah kusut. Si tuan rumah semakin kebingungan saat Sakha berkata akan menginap selama beberapa malam. Sakha tak punya pilihan selain menceritakan pertengkarannya dengan Tabitha. "Untuk sementara, ini yang terbaik buat kami," balas Sakha datar meski hatinya mengatakan hal lain. "Yang terbaik my ass!" umpat Alex kesal. "Gue udah peringatin lo soal ini kan? Tabitha pasti mikir yang enggak-enggak begitu tahu lo sibuk ke sana kemari bantuin Ranis kabur dari Riley." Sakha mengembuskan napas kencang. "Tabitha nggak tahu kalau kita berdua juga baru tahu soal Riley KDRT kalau bukan gara-gara kita nggak sengaja lihat Ranis dipukulin si berengsek itu di jalan. Dia sama sekali nggak mau dengar penjelasan gue." "Kalau lo bisa lebih sabar ngadepin Tabitha yang lagi emosi, gue yakin Tabitha bisa mengerti. Dan lo nggak harus sampai kabur ke tempat gue," c
"Sialan!" umpat Tabitha marah. Tabitha baru saja membuka bungkus pembalut dengan setengah emosi hingga isinya berceceran di lantai kamar mandi yang kering. Tanpa membereskan kekacauan yang dibuatnya, Tabitha hanya mengambil satu di antara bungkus-bungkus pembalut yang tercecer di lantai itu dan memasangnya di celana dalam. Emosinya kacau sejak semalam. Kepalanya berdenyut pusing karena terlalu banyak menangis. Diperparah dengan rasa sakit yang melilit perut tengah malam tadi. Tabitha sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Menghela napas panjang, Tabitha melepas handuk yang melilit tubuhnya lalu mengenakan bra dan celana dalamnya dengan malas-malasan. Ia sudah mandi dengan air dingin, tetapi badannya tetap lemas. Beban pikirannya-lah yang memengaruhi. Tabitha tidak berharap langsung hamil, tetapi melihat bercak merah mengotori celana dalamnya saat ia buang air kecil begitu bangun tidur subuh tadi, rasanya menyakitkan. Ia seolah kembali diingatkan pada usahanya selama bertahun-tahun un