Jadi gini guysss, dari setiap masalah yang ada, kelihatan kalau Tabitha punya isu kepercayaan ke suami yang pernah dia kira selingkuh. Makanya trigger dikit aja bikin dia kepancing. Ngambek lagi, marah lagi. Nggak jelasss. Agak bodoh juga dia tuh, udah tahu dia nggak benar-benar yakin sama Sakha, tapi maksain diri nikah lagi dengan dalih cintaš¶š¶ Sakha-nya juga salah karena nggak tegas. Tapi aku masih agak maklum sih. Sakha dituduh mulu makanya wajar kalau dia lama-lama malas jelasin apa-apa ke istrinya. Tapi kalau nggak dijelasin gimana istrinya mau ngerti, ya kan????? Enaknya mereka diapain ya???? šš
Sakha baru keluar dari mobil setelah selesai berteleponan dengan Alex saat terlihat Tabitha sudah mau pergi lagi. Wanita itu tampak serius mengetikkan sesuatu di ponselnya sambil berjalan menuju rak sepatu dan sandal yang berada di dekat pintu yang mengarah ke garasi. "Kamu mau ke mana, Bee?" Tabitha mendongak sekilas, bertatapan dengan Sakha yang tampak bingung. "Aku ada urusan sebentar di luar," jawabnya, lalu kembali berkutat dengan ponselnya. "Urusan apa? Sama siapa?" desak Sakha. Seraya memasukkan ponsel ke dalam tas dan mengenakan alas kaki, Tabitha menjawab, "Kamu di rumah aja, kita bicara nanti." "Tabitha," geram Sakha. Ia kesal karena pertanyaannya tak diindahkan. "Aku mau menjernihkan pikiran sebelum ngobrol sama kamu," jelas Tabitha. Sakha tidak percaya. Istrinya telah mengganti pakaian yang tadinya kasual dengan celana jeans dan kaus menjadi sama sekali berbeda. Ia mengenakan dress berwarna merah maroon dan menggerai rambut panjangnya. Ada polesan make up tipis di w
Saat kesetiaan dan rasa percaya dibalas pengkhianatan, tidak ada pilihan yang lebih baik selain memutus ikatan sebelum segalanya menjadi semakin pelik. Tabitha tahu bahwa ia tidak boleh langsung percaya atas setiap ucapan Riley. Ia perlu mengonfirmasi secara langsung kepada Sakha atas apa yang sesungguhnya terjadi. Namun, foto-foto kebersamaan Sakha dan Ranis yang ditunjukkan Riley membuat Tabitha makan hati. Terutama karena foto-foto itu sangat kecil kemungkinannya untuk dipalsukan. Tabitha mengenal baju-baju yang dikenakan Sakha di foto-foto itu. Tabitha kembali ke rumah dalam keadaan kacau. Keadaannya saat ini rasanya jauh lebih buruk ketimbang saat ia melihatSakha berpelukan mesra dengan Ranis secara langsung beberapa tahun lalu. Sebab, saat itu, Tabitha langsung membuat pertahanan diri dengan melepaskan sumber rasa sakitnya. Sekarang, Tabitha menyesal karena dulu pergi tanpa menyelesaikan masalah. Jika saja dulu ia menuntaskannya, apakah sekarang akan jadi begini? "Kamu ngapa
Sakha meremas foto-foto dalam genggamannya, melemparkannya ke dalam tempat sampah yang sudah setengah penuh, lalu meninggalkan dapur tanpa berkata apa-apa. Laki-laki itu masuk ke kamar untuk mengambil ponsel yang sedang ia isi dayanya. Sakha terlalu emosi hingga tak peduli saat kabel pengisi daya ikut tertarik hingga terjatuh di lantai. Ia kembali ke dapur tak lama kemudian dan mendapati Tabitha masih berada di posisi yang sama. "Kamu bisa baca chat dari Alex," tukas Sakha seraya menyodorkan ponselnya ke hadapan Tabitha. "Di situ kamu bisa tahu semua kegiatanku selama beberapa minggu terakhir. Aku ke toko perhiasan itu nggak hanya dengan Ranis, tapi dengan Alex juga," terangnya dengan nada ketus. Tabitha menerima sodoran ponsel itu dan menatap layar ponsel Sakha yang menampilkan halaman chat antara laki-laki itu dan Alex. "Siang itu, aku chat kamu kalau Alex ada rencana mau ngelamar pacarnya dalam waktu dekat, kan?" Sakha mengingatkan Tabitha pada obrolan mereka saat makan siang ber
(Bab ini gratis karena isinya hanya pengumuman) Halo, teman-teman pembaca yang masih setia mengikuti kisah Sakha dan Tabitha yang isinya cuma drama tak berkesudahan :D Di kesempatan ini aku mau mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian yang mendukungku sampai di titik ini. Aku juga mau minta maaf karena sering malas update, sampai bikin kalian lupa jalan cerita ini >,
"Lo gila, ya?!" bentak Alex setelah mendengar keseluruhan cerita Sakha. Satu jam yang lalu, Sakha muncul di depan pintu apartemen Alex dengan wajah kusut. Si tuan rumah semakin kebingungan saat Sakha berkata akan menginap selama beberapa malam. Sakha tak punya pilihan selain menceritakan pertengkarannya dengan Tabitha. "Untuk sementara, ini yang terbaik buat kami," balas Sakha datar meski hatinya mengatakan hal lain. "Yang terbaik my ass!" umpat Alex kesal. "Gue udah peringatin lo soal ini kan? Tabitha pasti mikir yang enggak-enggak begitu tahu lo sibuk ke sana kemari bantuin Ranis kabur dari Riley." Sakha mengembuskan napas kencang. "Tabitha nggak tahu kalau kita berdua juga baru tahu soal Riley KDRT kalau bukan gara-gara kita nggak sengaja lihat Ranis dipukulin si berengsek itu di jalan. Dia sama sekali nggak mau dengar penjelasan gue." "Kalau lo bisa lebih sabar ngadepin Tabitha yang lagi emosi, gue yakin Tabitha bisa mengerti. Dan lo nggak harus sampai kabur ke tempat gue," c
"Sialan!" umpat Tabitha marah. Tabitha baru saja membuka bungkus pembalut dengan setengah emosi hingga isinya berceceran di lantai kamar mandi yang kering. Tanpa membereskan kekacauan yang dibuatnya, Tabitha hanya mengambil satu di antara bungkus-bungkus pembalut yang tercecer di lantai itu dan memasangnya di celana dalam. Emosinya kacau sejak semalam. Kepalanya berdenyut pusing karena terlalu banyak menangis. Diperparah dengan rasa sakit yang melilit perut tengah malam tadi. Tabitha sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Menghela napas panjang, Tabitha melepas handuk yang melilit tubuhnya lalu mengenakan bra dan celana dalamnya dengan malas-malasan. Ia sudah mandi dengan air dingin, tetapi badannya tetap lemas. Beban pikirannya-lah yang memengaruhi. Tabitha tidak berharap langsung hamil, tetapi melihat bercak merah mengotori celana dalamnya saat ia buang air kecil begitu bangun tidur subuh tadi, rasanya menyakitkan. Ia seolah kembali diingatkan pada usahanya selama bertahun-tahun un
Tabitha lupa kapan terakhir kali ia merasa canggung hanya untuk bertatapan dengan Sakha yang muncul di kamar inapnya satu jam kemudian. Pertengkaran semalam-lah yang menjadi penyebabnya. Tabitha merasa bodoh ketika mengingat aroma kebenciannya kepada Sakha semalam dan hari ini, mendadak benci itu lenyap tergantikan dengan perasaan rindu ingin direngkuh. "Kenapa, Bee?" Teguran itu membuat Tabitha berdeham gugup. "Kita... harus gimana sekarang?" Sakha mengernyit. Merasa aneh mendengar pertanyaan itu. Namun, ia tetap menanggapi dengan serius. "Mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik, itu yang paling penting." Sakha mendekat untuk merapikan selimut yang menutupi tubuh bagian bawah Tabitha. "Aku udah kabarin Mama sama Ibu juga soal keadaan kamu. Mereka akan datang besok." "Makasih. Maaf jadi ngerepotin kamu," balas Tabitha kaku. Kekehan meluncur dari bibir Sakha. "Kamu kenapa canggung gitu sih, Bee?" Pertanyaan yang terdengar mengejek itu membuat Tabitha melengos. "We had a big
"Kalian bicara apa aja tadi?" Tabitha tak bisa menahan diri untuk bertanya saat Sakha masuk ke rumah setengah jam kemudian. Wanita itu menghadang langkah sang suami yang menggumam mau ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sakha tidak langsung menjawab. Laki-laki itu malah memandangi sang istri dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat wanita itu menggerutu kesal. "Jangan kabur, ya!" ancam Tabitha memelototi sang suami. "Aku jarang lihat kamu pakai daster. You look so sexy and pretty, I love it!" puji Sakha dengan sepenuh hati. Itu bukan jenis gombalan baru untuk mengalihkan perhatian Tabitha yang langsung mengulik soal pembicaraannya dengan Riley tadi. Sakha sungguh-sungguh dengan ucapannya itu. "Orang cantik mau dandan pakai baju apa aja juga pasti tetap cantik, Kha," celetuk Tabitha disertai tawa. Di rumah, Tabitha memang terbiasa mengenakan celana pendek dan kaus oblong tipis untuk tidur. Wanita itu punya beberapa lembar daster yang tersimpan rapi di lemari dan nyaris tidak
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Beeā" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengenā" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T