Selamat pagi!! Mohon dimaklumi pasangan plin plan ini ya guysss~ Doakan aja semoga mereka konsisten akurnyaššš Lanjut???
"Kalian bicara apa aja tadi?" Tabitha tak bisa menahan diri untuk bertanya saat Sakha masuk ke rumah setengah jam kemudian. Wanita itu menghadang langkah sang suami yang menggumam mau ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sakha tidak langsung menjawab. Laki-laki itu malah memandangi sang istri dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat wanita itu menggerutu kesal. "Jangan kabur, ya!" ancam Tabitha memelototi sang suami. "Aku jarang lihat kamu pakai daster. You look so sexy and pretty, I love it!" puji Sakha dengan sepenuh hati. Itu bukan jenis gombalan baru untuk mengalihkan perhatian Tabitha yang langsung mengulik soal pembicaraannya dengan Riley tadi. Sakha sungguh-sungguh dengan ucapannya itu. "Orang cantik mau dandan pakai baju apa aja juga pasti tetap cantik, Kha," celetuk Tabitha disertai tawa. Di rumah, Tabitha memang terbiasa mengenakan celana pendek dan kaus oblong tipis untuk tidur. Wanita itu punya beberapa lembar daster yang tersimpan rapi di lemari dan nyaris tidak
"Seriously ini kita nggak jadi kangen-kangenan?!" Sakha mengerang frustrasi. Laki-laki itu sudah melepas seluruh pakaiannya dan hanya menyisakan boxer yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Namun, kegiatan menyenangkannya bersama Tabitha harus terhenti karena sang istri mendadak mual-mual ketika mereka berdua sudah siap ke menu utama. Tabitha yang hanya tinggal mengenakan celana dalam dan bra pun cepat-cepat ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut. Meninggalkan Sakha merana di atas tempat tidur. Saat keluar dari kamar mandi, Tabitha menutupi tubuhnya dengan jubah mandi. Wanita itu sudah tidak tampak ingin melanjutkan apa yang tertunda karena janin di perutnya protes. "Aneh, tadi aku biasa aja kamu peluk-peluk," ucap Tabitha yang merasa bersalah karena gagal menyenangkan sang suami. Wanita itu berdiri menyandar di smaping pintu kamar mandi, enggan mendekat ke tempat tidur di mana sang suami duduk lesu. "Kayaknya untuk sementara kita nggak bisa tidur di ranjang yang sama, deh," cetu
Meski sudah dipulangkan dari rumah sakit, Tabitha masih harus bed rest selama beberapa hari sehingga ia terpaksa membulatkan cutinya sampai lima hari karena Sakha rewel sekali. Tabitha sebenarnya sudah merasa sangat sehat. Entah karena istirahat total dan multivitamin yang diresepkan dokter kandungannya atau karena hubungannya dengan Sakha berangsur-angsur membaik. Mungkin berkat keduanya. Namun, mau bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa kekhawatiran Sakha cukup beralasan. Tabitha menjadi lebih penurut kepada sang suami karena sadar bahwa membawa nyawa lain di perutnya adalah tanggung jawab yang sangat besar. Ia tidak ingin menjadi egois dan membuat bayi di perutnya stres. "Bee, anakku nggak pengen apa-apa?" tanya Sakha lewat telepon. "Coba pertanyaannya diganti 'Sayang, kamu nggak pengen apa-apa?' gitu," balas Tabitha dengan tatapan mata tertuju pada televisi yang menyala. Tangan kirinya memegang telepon yang menempel di telinga. Tangan kanannya sibuk mencomot makanan ringan dari top
Keinginan Tabitha untuk merenovasi beberapa ruangan di rumahnya disetujui Sakha tanpa banyak protes. Suaminya itu memberikan dukungan sepenuhnya karena berpikir bahwa mereka juga butuh suasana baru yang lebih segar dan memanjakan mata. Rupanya, Sakha mengenal designer interior yang contact person-nya sudah Tabitha simpan tadi--dari hasil menyelam di internet. Banyak klien yang juga merekomendasikan kenalan Sakha ini. Tabitha pun tak langsung iya-iya saja saat Sakha langsung menghubungi designer interior itu lalu mengatur janji temu di rumah, sekaligus berdiskusi untuk proses renovasi itu. Beruntungnya Tabitha, designer interior kenalan Sakha itu sedang cukup senggang minggu itu. Dua hari kemudian Tabitha sudah bertemu dengan seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan bernama Shanty yang deskripsi tentang pekerjaan dan track record-nya sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang. Tabitha langsung merasa cocok dengan designer interior itu. Di pertemuan pertama, Tabitha sudah me
"Sayang, masih belum boleh jenguk Ranis ya?" tanya Tabitha di suatu pagi setelah sarapan. Wanita itu duduk santai di ruang makan sembari menyeruput jus mangga segar. Ia menemani Sakha yang sedang melakukan tugas wajibnya setelah makan, yaitu mencuci piring. Tabitha tidak pernah memaksa, tetapi sejak ia hamil suaminya menjadi lebih rajin mengerjakan urusan rumah tangga. "Aku belum nanya Alex, sih. Kalau udah dibolehin, kamu mau ke sana?" Sakha membalas seraya mengeringkan tangan. Pekerjaannya selesai dengan rapi. Laki-laki itu tampak puas meski hanya mencuci piring. Setelah berdiskusi--berkaitan dengan kehamilan Tabitha, mereka memang akhirnya mempunyai asisten rumah tangga untuk membantu meringankan pekerjaan rumah yang sudah bekerja selama lima hari, tetapi saat akhir pekan sengaja diliburkan atas permintaan Tabitha yang tetap mau mengurus rumah. Asisten rumah tangga yang dipekerjakan pasangan suami istri itu hanya bertugas untuk memasak, mencuci piring meski tidak sering, menyetr
"Ranis kenapa?" tanya Tabitha. Ada khawatir yang pekat dalam suaranya. Namun, selain itu juga ada kemarahan. Ia takut kondisi Ranis memburuk lagi, tetapi juga sebal membayangkan suaminya tampak ingin ikut terlibat dalam masalah atau entah apa pun itu yang sedang terjadi pada wanita itu. Sungguh, Tabitha tidak ingin egois dan mengekang sang suami agar terus berada di sisinya. Namun, jika sudah berurusan dengan Ranis, entah mengapa Tabitha tidak bisa biasa-biasa saja. Memang, sudah jelas bahwa Sakha dan Ranis tidak punya hubungan romansa seperti yang ditakutinya sejak dulu. Hanya saja, keterlibatan Sakha dalam hidup Ranis, seperti yang sudah-sudah, membuat rumah tangganya sendiri menjadi kacau balau. Tabitha tidak ingin mengulang masa-masa berat itu, yang bahkan belum lama terlewat. "Dia... menyakiti dirinya sendiri lagi? Atau apa?" Lagi-lagi, Tabitha yang kembali bersuara karena Sakha belum mengucapkan apa-apa setelah tadi mengonfirmasi kalau Albert menyampaikan pesan dari Alex tenta
"Kesempatan kedua. Aku percaya setiap orang berhak mendapatkan itu." Tatapan Sakha menerawang, kembali terbayang momen beberapa bulan lalu. "Waktu kamu kecelakaan dan aku ikut ambulans nemenin kamu, aku tahu kalau saat itu Tuhan sedang menawarkan kesempatan kepadaku untuk mendekati kamu lagi. Aku nggak tau kenapa bisa begitu, tapi aku yakin aja. Makanya aku bersikeras untuk menemani kamu di rumah sakit bagaimanapun caranya." Tabitha mendengus kecil. Tidak heran saat itu Sakha berdedikasi sekali untuk menjaga dirinya di rumah sakit selama berhari-hari. Selain karena mengkhawatirkan Tabitha dan ingin memastikan wanita itu mendapatkan perawatan yang tepat, Sakha rupanya punya rencana terselubung. "Sejujurnya aku khawatir dengan reaksi penolakan kamu." Helaan napas laki-laki itu menggelitik punggung tangan Tabitha yang masih digenggamnya. "Karena aku tahu kesempatan yang diberikan Tuhan itu hasilnya bergantung pada bagaimana aku memanfaatkan momen-momen penting bersama kamu. Hasilnya cum
Mengapa? 'Mengapa Ranis memberikan kesempatan kedua kepada laki-laki bejat seperti Riley?' Tabitha tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan hal itu semalaman. Ia sudah mencoba mengerti akan keputusan yang diambil oleh Ranis, namun ternyata tetap berat untuk rela. Apa yang diperbuat Riley kepada Ranis selama mereka terikat pernikahan tidak bisa dimaklumi begitu saja. Bukankah tidak adil jika Riley terbebas dengan mudah setelah membuat Ranis masuk rumah sakit, kehilangan janin, bahkan sampai melakukan percobaan bunuh diri? Beban yang memberati pikirannya itu membawa Tabitha ke rumah sakit tempat Ranis dirawat. Berdasarkan info dari Albert yang dihubungi wanita itu dua jam yang lalu, Ranis sudah boleh dijenguk. Tiba di ruang rawat Ranis nyatanya tidak membuat Tabitha mampu menyuarakan ketidaksetujuannya akan pilihan wanita itu. Tabitha sadar, bahwa ia tidak berhak untuk ikut campur setelah bersikap bitchy terhadap Ranis sejak wanita itu kembali ke Indonesia. Ia mulai mengerti apa ya