Hai hai hai... maaf aku menghilang selama 4 hariššš Mohon dimaafkan yaaaaa Selain gara-gara sempet sakit beberapa hari, aku juga sibuk bantu-bantu saudara yang nikahan. Jadi baru sempet nulis lagi hehe Ngomong-ngomong, bab ini masih adem ayem yaaaa... Kira-kira apa yang masih menunggu di depan sanaaa?š Bab selanjutnya insyaallah besok yaaa~~~
"Sayang, masih belum boleh jenguk Ranis ya?" tanya Tabitha di suatu pagi setelah sarapan. Wanita itu duduk santai di ruang makan sembari menyeruput jus mangga segar. Ia menemani Sakha yang sedang melakukan tugas wajibnya setelah makan, yaitu mencuci piring. Tabitha tidak pernah memaksa, tetapi sejak ia hamil suaminya menjadi lebih rajin mengerjakan urusan rumah tangga. "Aku belum nanya Alex, sih. Kalau udah dibolehin, kamu mau ke sana?" Sakha membalas seraya mengeringkan tangan. Pekerjaannya selesai dengan rapi. Laki-laki itu tampak puas meski hanya mencuci piring. Setelah berdiskusi--berkaitan dengan kehamilan Tabitha, mereka memang akhirnya mempunyai asisten rumah tangga untuk membantu meringankan pekerjaan rumah yang sudah bekerja selama lima hari, tetapi saat akhir pekan sengaja diliburkan atas permintaan Tabitha yang tetap mau mengurus rumah. Asisten rumah tangga yang dipekerjakan pasangan suami istri itu hanya bertugas untuk memasak, mencuci piring meski tidak sering, menyetr
"Ranis kenapa?" tanya Tabitha. Ada khawatir yang pekat dalam suaranya. Namun, selain itu juga ada kemarahan. Ia takut kondisi Ranis memburuk lagi, tetapi juga sebal membayangkan suaminya tampak ingin ikut terlibat dalam masalah atau entah apa pun itu yang sedang terjadi pada wanita itu. Sungguh, Tabitha tidak ingin egois dan mengekang sang suami agar terus berada di sisinya. Namun, jika sudah berurusan dengan Ranis, entah mengapa Tabitha tidak bisa biasa-biasa saja. Memang, sudah jelas bahwa Sakha dan Ranis tidak punya hubungan romansa seperti yang ditakutinya sejak dulu. Hanya saja, keterlibatan Sakha dalam hidup Ranis, seperti yang sudah-sudah, membuat rumah tangganya sendiri menjadi kacau balau. Tabitha tidak ingin mengulang masa-masa berat itu, yang bahkan belum lama terlewat. "Dia... menyakiti dirinya sendiri lagi? Atau apa?" Lagi-lagi, Tabitha yang kembali bersuara karena Sakha belum mengucapkan apa-apa setelah tadi mengonfirmasi kalau Albert menyampaikan pesan dari Alex tenta
"Kesempatan kedua. Aku percaya setiap orang berhak mendapatkan itu." Tatapan Sakha menerawang, kembali terbayang momen beberapa bulan lalu. "Waktu kamu kecelakaan dan aku ikut ambulans nemenin kamu, aku tahu kalau saat itu Tuhan sedang menawarkan kesempatan kepadaku untuk mendekati kamu lagi. Aku nggak tau kenapa bisa begitu, tapi aku yakin aja. Makanya aku bersikeras untuk menemani kamu di rumah sakit bagaimanapun caranya." Tabitha mendengus kecil. Tidak heran saat itu Sakha berdedikasi sekali untuk menjaga dirinya di rumah sakit selama berhari-hari. Selain karena mengkhawatirkan Tabitha dan ingin memastikan wanita itu mendapatkan perawatan yang tepat, Sakha rupanya punya rencana terselubung. "Sejujurnya aku khawatir dengan reaksi penolakan kamu." Helaan napas laki-laki itu menggelitik punggung tangan Tabitha yang masih digenggamnya. "Karena aku tahu kesempatan yang diberikan Tuhan itu hasilnya bergantung pada bagaimana aku memanfaatkan momen-momen penting bersama kamu. Hasilnya cum
Mengapa? 'Mengapa Ranis memberikan kesempatan kedua kepada laki-laki bejat seperti Riley?' Tabitha tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan hal itu semalaman. Ia sudah mencoba mengerti akan keputusan yang diambil oleh Ranis, namun ternyata tetap berat untuk rela. Apa yang diperbuat Riley kepada Ranis selama mereka terikat pernikahan tidak bisa dimaklumi begitu saja. Bukankah tidak adil jika Riley terbebas dengan mudah setelah membuat Ranis masuk rumah sakit, kehilangan janin, bahkan sampai melakukan percobaan bunuh diri? Beban yang memberati pikirannya itu membawa Tabitha ke rumah sakit tempat Ranis dirawat. Berdasarkan info dari Albert yang dihubungi wanita itu dua jam yang lalu, Ranis sudah boleh dijenguk. Tiba di ruang rawat Ranis nyatanya tidak membuat Tabitha mampu menyuarakan ketidaksetujuannya akan pilihan wanita itu. Tabitha sadar, bahwa ia tidak berhak untuk ikut campur setelah bersikap bitchy terhadap Ranis sejak wanita itu kembali ke Indonesia. Ia mulai mengerti apa ya
"Surprise!" Sakha terlonjak kaget karena suara nyaring yang begitu familier menyapa gendang telinganya. Sosok wanita blasteran yang duduk manis di sofa, di ruang kerja Pramudya, itu membuat Sakha spontan mendekat. Kekagetannya berubah menjadi senyum lebar. "Is this really you, Meggie?" Sakha tampak senang melihat rekan kerja yang ia kenal dalam proyek terakhirnya itu. Meggie. Rekan kerja Sakha yang juga dikenal oleh Pramudya. Yang sempat Pramudya 'promosikan' agar Sakha mau mendekati wanita itu dan move on dari Tabitha. "Hi, Brother! Miss me, huh?" Meggie tersenyum dan mengedipkan sebelah mata. "No hugging, Meg! Bukan muhrim." Sakha lebih dulu mengangkat kedua tangan di depan dada saat Meggie berdiri dan nyaris menghambur memeluknya. Meggie mengerutkan kening. Mencibir Sakha yang bersikap sok suci. "Jangan diejek begitu, Meg," Pramudya yang duduk di kursi kerjanya itu ikut nimbrung. "Belum lama ini Sakha menikah lagi dengan mantan istrinya. Satu-satunya wanita yang boleh meme
Tabitha sama sekali tidak terpikir akan mendapatkan kejutan gila itu ketika mengiyakan ajakan Sakha, untuk makan malam bersama teman satu tim kerjanya dulu yang datang dari London. Tabitha sudah diberitahu lebih dulu oleh Sakha bahwa Meggie, teman Sakha itu akan datang bersama calon suaminya untuk membagikan kabar bahagiaāmelepas masa lajang dalam waktu dekat. Yang ternyata, sosok itu bukanlah orang asing lagi bagi Tabitha. Begitu pula untuk Sakha, yang memiliki ingatan tidak bagus akan sosok calon suami Meggie itu. 'Haga Ardhara. Bagaimana laki-laki itu bisa ada di hadapannya sekarang, dengan menyandang status calon suami orang?' Bukan. Bukan berarti Tabitha merasakan kecemburuan karena teman yang seringkali datang saat dirinya membutuhkan ruang untuk kabur dari Sakha itu ternyata telah mempunyai pasangan. Tabitha hanya heran, karena tidak pernah melihat Haga bersikap seperti laki-laki yang sedang jatuh cinta saat bersamanya. "Jadi, ini yang dimaksud Pram kalau lo bakal kaget liha
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Beeā" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengenā" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
[Yunani 2026] Tabitha terbangun dari tidurnya karena mendengar suara debur ombak yang menyapa telinga. Ketika kedua matanya telah sepenuhnya terbuka, wanita itu langsung dihadapkan pada pemandangan indah yang membuat senyum manisnya terukir. Yaitu punggung liat suaminya yang tak terbalut sehelai kain menjadi yang pertama Tabitha lihat. Laki-laki itu berdiri membelakanginya, dengan kedua tangan bersandar di pagar balkon kamar. Senyumnya melebar kala sang suami menyadari kalau ia telah bangun dan sosok itu berbalik untuk menatapnya. "Selamat pagi, Istriku." Sapaan itu membuat wajah Tabitha memerah. Gara-gara panggilan yang terdengar manis itu juga kemarin Tabitha berakhir telanjang di atas tempat tidur sesaat setelah mereka tiba di kamar dengan pemandangan menakjubkan itu. Mereka bergumul di atas ranjang hingga tengah malam, sama-sama banjir peluh dan kelelahan, tetapi banjir kenikmatan. Tanpa sempat menikmati pemandangan yang disuguhkan salah satu pulau di Yunani yang menjadi dest
Pada pernikahan pertamanya dengan Sakha, banyak tangis yang diam-diam Tabitha pendam setiap kali wanita itu kembali mendapatkan tamu bulanan. Pada saat memasuki tahun kedua pernikahan, Tabitha masih belum terlalu mempermasalahkannya. Ia masih bisa berpikir positif dan menganggap bahwa ia belum siap menjadi ibu. Bahwa ia masih diberi waktu oleh Tuhan untuk menyiapkan mental. Tabitha memilih menikmati hari demi harinya bersama Sakha. Merajut cinta yang terus bertumbuh seiring berjalannya waktu.Tabitha baru mulai khawatir saat tahun ketiga, sudah mulai ikut promil, tetapi malam-malam penuh cintanya bersama Sakha tak juga menghadirkan bayi di dalam perutnya. Terlebih mengetahui Sakha yang sudah sangat mengharapkan kehadiran anak, Tabitha jadi gundah gulana.Hati Tabitha remuk setiap kali Sakha mengecup perutnya dan membisikkan doa agar usahanya membuahkan hasil, tetapi esok harinya Tabitha mendapati bercak merah di celana dalamnya. Dan yang lebih menyakitkan adalah ketika Tabitha sudah t
Rachel Kalila Ramadhani."Halo, anak Ayah."Sakha memandangi bayi mungil yang masih merah dari balik kaca dengan mata yang berkaca-kaca. Sudah sejak berpuluh-puluh menit ia berdiri di sana. Ia sangat bahagia karena akhirnya bisa menyambut buah cintanya bersama Tabitha, tetapi juga teramat patah hati karena tidak bisa langsung merengkuh anak gadisnya yang masih harus mendapatkan beberapa penanganan medis khusus.Karena sudah harus lahir beberapa minggu sebelum HPL, berat badannya saat ini hanya 2,4 kilogram. Laju pernapasannya masih belum teratur sehingga harus dibantu alat pernapasan yang terpasang di hidungnya. Istrinya saat ini sedang beristirahat di kamar inap setelah operasi caesar yang harus dilaluinya karena kondisi medis darurat.Tadi, saat harus mendengar berita itu disampaikan oleh dokter dan istrinya menangis karena mengkhawatirkan kondisi bayinya, Sakha nyaris ikut meneteskan air mata. Ia benar-benar tidak tega melihat sang istri yang menahan sakit di perut sekaligus terte
"Lho, Bee? Kok belum ganti baju?" Sakha mengernyit bingung melihat istrinya belum selesai bersiap-siap. Istrinya masih mengenakan jubah mandi seperti satu jam yang lalu. Bedanya, wajahnya sekarang sudah full make-up. Menambah kesan cantik yang memikat Sakha meski hanya melihat wajah istrinya dari samping. "Aku bingung mau pakai baju apa," gumam Tabitha. Masih betah memandangi deretan gaun di dalam lemari yang pintunya telah terbuka lebar-lebar. "Semalam bukannya udah kamu siapin sama baju aku sekalian, Bee?" Tidak hanya itu. Sebenarnya sudah sejak jauh-jauh hari Tabitha membeli gaun--yang serasi dengan batik yang dikenakan Sakha sekarang--untuk dipakai saat resepsi pernikahan Haga dan Meg. Sakha mendekat kepada istrinya dan ikut melongok ke dalam lemari lalu meraih gaun berwarna salem yang langsung terlihat di matanya. "Pakai ini, kan?" Tabitha merengut saat melihat ke arah suaminya. "Aku kelihatan makin gendut kalau pakai ini. Mau pakai yang lain tapi bingung. Semua baju yang
Mata Tabitha mulai berkaca-kaca karena tidak bisa menahan rasa haru yang mengisi dadanya karena dua nama yang sarat makna indah yang sudah disiapkan oleh suaminya itu. Saat menyinggung soal nama anak tadi dan mendengar fakta kalau suaminya telah menyiapkan dua nama untuk calon anak mereka, Tabitha sama sekali tidak berekspektasi tinggi. Tetapi begitu mendengar Sakha mengucapkan dua nama itu dengan tatapan penuh cinta, bahkan sampai menjelaskan arti namanya masing-masing, Tabitha langsung tahu bahwa Sakha telah mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Tidak asal mencomot nama dari internet karena tampak bagus dipadu-padankan. Dan hal itu membuat Tabitha semakin tak bisa menahan air matanya. "Bee, kok nangis? Kamu nggak suka, ya?" Sakha mendadak panik. Tampak rasa khawatir yang pekat membayangi wajahnya. Ia langsung mencerocos panjang lebar. "Aku nggak akan maksa kamu pakai nama itu kalau nama yang aku siapin nggak sesuai harapan kamu kok. Maaf, Bee. Udah ya? Jangan nangis lagi. Kala
"Kalian kenapa lebay banget, sih? Gue nggak papa kali!" keluh Albert yang sama sekali tidak terlihat baik-baik saja, seperti yang diucapkannya barusan.Laki-laki itu masih telungkup di atas tempat tidur, hanya mengenakan celana pendek dan singlet. Aroma tidak sedap karena sisa-sisa alkohol memenuhi kamarnya yang terang benderang karena cahaya dari lampu."Lo nggak inget semalem nelepon gue sampai nyaris dua jam? Kuping gue sampai panas denger lo ngomong sambil kumur-kumur!" cibir Ranis seraya membuka gorden dan jendela.Sementara Tabitha menyingkirkan pakaian-pakaian kotor milik Albert yang bertebaran di lantai. Memasukkannya ke dalam keranjang kotor yang ada di dekat pintu kamar mandi.Bukannya merasa bersalah, Albert malah cengengesan. "Masa, sih?""Lo bikin gue kurang tidur gara-gara nungguin Sakha nggak balik-balik tau nggak!" omel Tabitha menimpali keluhan Ranis yang diganggu malam-malam oleh curhatan Albert di telepon. "Kenapa jadi gue yang salah? Sakha yang inisiatif nemenin g
Tabitha sudah berniat memanjangkan durasi marahnya kepada Sakha, tetapi kemarahannya dengan ajaib menguap saat ia bangun pagi. Menatap wajah sang suami yang masih lelap dalam tidur damainya membuat senyum wanita itu terkembang lebar. Tidak adanya bau alkohol atau bau rokok yang tersisa seperti saat semalam laki-laki itu pulang semakin melebarkan senyum di wajahnya. "Ganteng banget sih laki gue," gumam wanita itu setelah mengecup pipi Sakha yang agak kasar karena jambang ttipisnya yang sudah mulai tumbuh. Sakha tidak terganggu sama sekali dengan tindakan Tabitha barusan, membuat Tabitha gemas lalu mencubit hidung mancung suaminya pelan. Dan detik kemudian wanita hamil itu tertawa kecil karena tingkah lakunya sendiri. Belakangan ini, Tabitha punya lebih banyak alasan untuk bersyukur setiap menemukan sosok Sakha ada di sampingnya ketika membuka mata. Dari mulai hal-hal sederhana seperti bisa menyantap sarapan bersama, berangkat ke kantor diantar sang suami sembari mengobrolkan agenda h
Wajah merah padam Tabitha menjadi pemandangan pertama saat Sakha muncul di rumah pada pukul sebelas malam. "Sayang, kok belum tidur?" Sakha tetap memangkas jarak meski sang istri menunjukkan gelagat tidak ingin berdekatan dengannya, yang telat pulang ke rumah itu. Sebenarnya, ekspresi Tabitha tidak tampak menakutkan. Pipi gembil yang semakin menonjol karena rambut pendeknya dan perut buncitnya yang terbalut daster selutut itu membuat wanita itu malah tampak manis dan memesona. Namun, tentu saja Sakha tidak akan mengucapkannya terang-terangan di saat sang istri sedang marah. Itu cari mati namanya. "Beeā" "Nggak usah pegang-pegang!" Tabitha berkacak pinggang. Dasternya terangkat naik dan kedua sisi daster di pinggangnya sedikit tertarik oleh kedua tangan, semakin menunjukkan perut bulatnya yang berisi calon bayi mereka. Sakha batal merengkuh sang istri dalam pelukan. "Aku beliin kamu sate Padang. Tadi kamu katanya pengenā" "Kamu pikir aku bakal nggak marah lagi cuma dengan sogokan
"Kenapa, Sayang?" Sakha menolehkan kepala, menatap sang istri yang baru saja menyuarakan pertanyaan setelah lima belas menit perjalanan pulang dari restoran. "Kenapa?" Dan ia malah mengulang pertanyaan itu. Tabitha mengendikkan bahu. "Kamu kelihatan nggak fokus gitu. Ada yang mengganggu kamu soal hubungan Haga sama Meggie?" "It's not like that," balas Sakha. Ia mendesah kecil. "Rasanya aneh aja memikirkan bagaimana takdir bekerja." Tawa ringan Tabitha memenuhi mobil. "It's kinda surprising, right?" Sakha mengangguk setuju. Menilik pada kisah cintanya dengan Tabitha, yang sempat runtuh dan terpisah. Lalu, suatu waktu, mereka dipertemukan oleh takdir di saat keduanya sudah berusaha keras untuk bangkit di jalan masing-masing. Hingga di satu titik mereka dipersatukan kembali dalam keadaan yang utuh dan saling melengkapi. Sakha tidak akan pernah bisa berhenti takjub pada bagaimana semesta mengejutkannya. "More than that, aku beneran syok lihat Haga ternyata bisa sebucin itu," gumam T