Aku nggak tahu mau ngomong apa lagi.... Speechless ngelihat kelakuan sepasang suami istri yang gampang banget ngomong kata pisah :')
(Bab ini gratis karena isinya hanya pengumuman) Halo, teman-teman pembaca yang masih setia mengikuti kisah Sakha dan Tabitha yang isinya cuma drama tak berkesudahan :D Di kesempatan ini aku mau mengucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya kepada kalian yang mendukungku sampai di titik ini. Aku juga mau minta maaf karena sering malas update, sampai bikin kalian lupa jalan cerita ini >,
"Lo gila, ya?!" bentak Alex setelah mendengar keseluruhan cerita Sakha. Satu jam yang lalu, Sakha muncul di depan pintu apartemen Alex dengan wajah kusut. Si tuan rumah semakin kebingungan saat Sakha berkata akan menginap selama beberapa malam. Sakha tak punya pilihan selain menceritakan pertengkarannya dengan Tabitha. "Untuk sementara, ini yang terbaik buat kami," balas Sakha datar meski hatinya mengatakan hal lain. "Yang terbaik my ass!" umpat Alex kesal. "Gue udah peringatin lo soal ini kan? Tabitha pasti mikir yang enggak-enggak begitu tahu lo sibuk ke sana kemari bantuin Ranis kabur dari Riley." Sakha mengembuskan napas kencang. "Tabitha nggak tahu kalau kita berdua juga baru tahu soal Riley KDRT kalau bukan gara-gara kita nggak sengaja lihat Ranis dipukulin si berengsek itu di jalan. Dia sama sekali nggak mau dengar penjelasan gue." "Kalau lo bisa lebih sabar ngadepin Tabitha yang lagi emosi, gue yakin Tabitha bisa mengerti. Dan lo nggak harus sampai kabur ke tempat gue," c
"Sialan!" umpat Tabitha marah. Tabitha baru saja membuka bungkus pembalut dengan setengah emosi hingga isinya berceceran di lantai kamar mandi yang kering. Tanpa membereskan kekacauan yang dibuatnya, Tabitha hanya mengambil satu di antara bungkus-bungkus pembalut yang tercecer di lantai itu dan memasangnya di celana dalam. Emosinya kacau sejak semalam. Kepalanya berdenyut pusing karena terlalu banyak menangis. Diperparah dengan rasa sakit yang melilit perut tengah malam tadi. Tabitha sama sekali tidak bisa tidur nyenyak. Menghela napas panjang, Tabitha melepas handuk yang melilit tubuhnya lalu mengenakan bra dan celana dalamnya dengan malas-malasan. Ia sudah mandi dengan air dingin, tetapi badannya tetap lemas. Beban pikirannya-lah yang memengaruhi. Tabitha tidak berharap langsung hamil, tetapi melihat bercak merah mengotori celana dalamnya saat ia buang air kecil begitu bangun tidur subuh tadi, rasanya menyakitkan. Ia seolah kembali diingatkan pada usahanya selama bertahun-tahun un
Tabitha lupa kapan terakhir kali ia merasa canggung hanya untuk bertatapan dengan Sakha yang muncul di kamar inapnya satu jam kemudian. Pertengkaran semalam-lah yang menjadi penyebabnya. Tabitha merasa bodoh ketika mengingat aroma kebenciannya kepada Sakha semalam dan hari ini, mendadak benci itu lenyap tergantikan dengan perasaan rindu ingin direngkuh. "Kenapa, Bee?" Teguran itu membuat Tabitha berdeham gugup. "Kita... harus gimana sekarang?" Sakha mengernyit. Merasa aneh mendengar pertanyaan itu. Namun, ia tetap menanggapi dengan serius. "Mempersiapkan diri menjadi orang tua yang baik, itu yang paling penting." Sakha mendekat untuk merapikan selimut yang menutupi tubuh bagian bawah Tabitha. "Aku udah kabarin Mama sama Ibu juga soal keadaan kamu. Mereka akan datang besok." "Makasih. Maaf jadi ngerepotin kamu," balas Tabitha kaku. Kekehan meluncur dari bibir Sakha. "Kamu kenapa canggung gitu sih, Bee?" Pertanyaan yang terdengar mengejek itu membuat Tabitha melengos. "We had a big
"Kalian bicara apa aja tadi?" Tabitha tak bisa menahan diri untuk bertanya saat Sakha masuk ke rumah setengah jam kemudian. Wanita itu menghadang langkah sang suami yang menggumam mau ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sakha tidak langsung menjawab. Laki-laki itu malah memandangi sang istri dari ujung kepala hingga ujung kaki, membuat wanita itu menggerutu kesal. "Jangan kabur, ya!" ancam Tabitha memelototi sang suami. "Aku jarang lihat kamu pakai daster. You look so sexy and pretty, I love it!" puji Sakha dengan sepenuh hati. Itu bukan jenis gombalan baru untuk mengalihkan perhatian Tabitha yang langsung mengulik soal pembicaraannya dengan Riley tadi. Sakha sungguh-sungguh dengan ucapannya itu. "Orang cantik mau dandan pakai baju apa aja juga pasti tetap cantik, Kha," celetuk Tabitha disertai tawa. Di rumah, Tabitha memang terbiasa mengenakan celana pendek dan kaus oblong tipis untuk tidur. Wanita itu punya beberapa lembar daster yang tersimpan rapi di lemari dan nyaris tidak
"Seriously ini kita nggak jadi kangen-kangenan?!" Sakha mengerang frustrasi. Laki-laki itu sudah melepas seluruh pakaiannya dan hanya menyisakan boxer yang menutupi tubuh bagian bawahnya. Namun, kegiatan menyenangkannya bersama Tabitha harus terhenti karena sang istri mendadak mual-mual ketika mereka berdua sudah siap ke menu utama. Tabitha yang hanya tinggal mengenakan celana dalam dan bra pun cepat-cepat ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut. Meninggalkan Sakha merana di atas tempat tidur. Saat keluar dari kamar mandi, Tabitha menutupi tubuhnya dengan jubah mandi. Wanita itu sudah tidak tampak ingin melanjutkan apa yang tertunda karena janin di perutnya protes. "Aneh, tadi aku biasa aja kamu peluk-peluk," ucap Tabitha yang merasa bersalah karena gagal menyenangkan sang suami. Wanita itu berdiri menyandar di smaping pintu kamar mandi, enggan mendekat ke tempat tidur di mana sang suami duduk lesu. "Kayaknya untuk sementara kita nggak bisa tidur di ranjang yang sama, deh," cetu
Meski sudah dipulangkan dari rumah sakit, Tabitha masih harus bed rest selama beberapa hari sehingga ia terpaksa membulatkan cutinya sampai lima hari karena Sakha rewel sekali. Tabitha sebenarnya sudah merasa sangat sehat. Entah karena istirahat total dan multivitamin yang diresepkan dokter kandungannya atau karena hubungannya dengan Sakha berangsur-angsur membaik. Mungkin berkat keduanya. Namun, mau bagaimanapun juga, ia mengerti bahwa kekhawatiran Sakha cukup beralasan. Tabitha menjadi lebih penurut kepada sang suami karena sadar bahwa membawa nyawa lain di perutnya adalah tanggung jawab yang sangat besar. Ia tidak ingin menjadi egois dan membuat bayi di perutnya stres. "Bee, anakku nggak pengen apa-apa?" tanya Sakha lewat telepon. "Coba pertanyaannya diganti 'Sayang, kamu nggak pengen apa-apa?' gitu," balas Tabitha dengan tatapan mata tertuju pada televisi yang menyala. Tangan kirinya memegang telepon yang menempel di telinga. Tangan kanannya sibuk mencomot makanan ringan dari top
Keinginan Tabitha untuk merenovasi beberapa ruangan di rumahnya disetujui Sakha tanpa banyak protes. Suaminya itu memberikan dukungan sepenuhnya karena berpikir bahwa mereka juga butuh suasana baru yang lebih segar dan memanjakan mata. Rupanya, Sakha mengenal designer interior yang contact person-nya sudah Tabitha simpan tadi--dari hasil menyelam di internet. Banyak klien yang juga merekomendasikan kenalan Sakha ini. Tabitha pun tak langsung iya-iya saja saat Sakha langsung menghubungi designer interior itu lalu mengatur janji temu di rumah, sekaligus berdiskusi untuk proses renovasi itu. Beruntungnya Tabitha, designer interior kenalan Sakha itu sedang cukup senggang minggu itu. Dua hari kemudian Tabitha sudah bertemu dengan seorang wanita berusia pertengahan tiga puluhan bernama Shanty yang deskripsi tentang pekerjaan dan track record-nya sesuai dengan apa yang dikatakan orang-orang. Tabitha langsung merasa cocok dengan designer interior itu. Di pertemuan pertama, Tabitha sudah me