Mama sempat bingung melihat Aya yang tampak tidak bersemangat pergi ke kantor hari ini. Meski sudah siap, anak gadisnya itu terlihat pucat tanpa riasan di wajahnya.“Kamu masih sakit, Ay? Kenapa? Perut kamu? Cek ke dokter ayo,” ajak Mama menyodorkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Gak sakit, Ma,” sahut Aya singkat sembari menyuapkan makanan yang ada di depannya.Mama yang duduk di depan Aya memperhatikan gerak gerik anak gadisnya itu. Aya terlihat murung dan tidak antusias makan meski makanan yang ada di depan enak. Mama jadi khawatir dan parno sendiri, tapi ia berusaha menepis pikiran negatifnya.“Kamu izin lagi aja, Ay. Nanti kamu malah ada apa-apa lagi di kantor. Kalau perlu Mama yang antar surat sakit kamu ke kantor.”Mendengar hal itu, Aya langsung terlihat semangat menghabiskan sarapan paginya. Ia juga cepat merias wajah dan memoles lipstik di bibirnya."Hari ini Mama di ajak sama beberapa guru di sekolah buat jalan ke mall," ucap Mama memberitahu yang membuat Aya reflek
Mama masih memandangi Eric dan Aya bergantian. Hampir sepuluh menit dan itu membuat mereka berdua benar-benar was-was, khususnya Aya. Gadis itu takut menunggu reaksi yang akan Mama tunjukkan.“Jadi ini apa? Tolong dijelaskan?” tanya Mama akhirnya buka suara.“Ma—“Eric langsung meraih tangan Aya membuat gadis itu tercekat tidak meneruskan ucapannya. Dengan begitu tenang Eric mengutarakan kedatangannya, tapi ia tidak lupa meminta maaf terlebih dahulu atas ketidaktahuannya bahwa oma kantin itu adalah Mama.“Saya benar-benar minta maaf, Tante,” ucap Eric terdengar begitu tulus.“Tapi selama ini, Aya gak pernah bilang kalau dia punya pacar yang mau serius, dan itu kamu.” Ekspresi wajah Mama berubah serius.“Gini, Ma. Aya ... .” Aya tidak meneruskan ucapannya. Jujur saja ia bingung harus mulai bercerita dari mana.“Maaf kalau ini terkesan mendadak, Tante. Tapi saya sama Aya sudah kenal cukup lama karena kita satu kantor.”Kening Mama berkerut dengan mata yang menatap tajam ke arah Aya. Te
Seperti dugaannya, Mama masih ada di ruang tamu duduk dan menatap ke arahnya. Mama kemudian meminta Aya untuk duduk di sampingnya dan menjelaskan apa sebenarnya yang sedang terjadi. Kenapa bisa orang tua murid di tempat Mama membuka kantin, tiba-tiba datang dan ingin serius dengan Aya. Sementara Aya tidak pernah terlihat pacaran dan mengaku tidak kenal dengan Eric."Aya bingung, Ma.""Bingung apa? Kamu beneran gak hamil kan?""Ya ampun, Mama. Aya gak hamil. Gak percaya banget sama Aya. Mama kalau gak ngerestuin Aya, gak apa-apa. Aya gak masalah," ucap Aya dengan nada sewot di awal tapi berubah santai di akhir kalimatnya."Loh gimana sih kamu ini?" Mama jadi heran dengan sikap yang Aya tunjukkan."Memangnya Mama mau Aya sama dia? Duda satu anak?"Mama terdiam mendengar ucapan Aya barusan. Sebagai seorang ibu sebenarnya ingin Aya mendapat jodoh yang terbaik dan tentunya bukan seorang duda. Tapi kalau dilihat-lihat Eric juga bukan duda sembarangan. Dia mapan dan bukan duda yang bercerai
“Ay, jangan lupa minta tanda tangan Pak Eric ya. Aku jalan dulu mau ketemu vendor di luar,” pamit Wisnu meninggalkan ruangan tanpa sempat mendengar respon dari Aya.Gadis itu menghela nafas sembari meraih berkas yang ada di meja Wisnu. Ia kemudian keluar ruangan dan menuju ruangan Via berharap Via mau memintakan tanda tangan bos. Namun sayangnya Via tidak ada di mejanya saat Aya tiba. Mau tak mau ia masuk sendiri ke ruangan Eric.“Permisi, Pak,” ucap Aya setelah mengetuk pintu. Ia sangat senang saat melihat Via ada di dalam ruangan Eric. Itu artinya Eric tidak bisa macam-macam.“Via, ini tinggal aja,” perintah Eric.Mendengar itu cepat-cepat Aya meletakkan berkas di atas meja Eric lantas menggandeng tangan Via yang sudah berbalik siap untuk melangkah keluar.“Aya kamu tunggu di sini.”Spontan Via langsung melepaskan tangan Aya sembari mengedipkan mata ke arahnya. Dengan cepat ia keluar meninggalkan Eric dan Aya di ruangan.“Aku tanda tangan di mana?” tanya Eric membuat Aya mau tak ma
Setelah hampir dua minggu, siang ini Ajeng dan Tari akan balik ke Jakarta. Setelah menjemput Farah di sekolah mereka menyempatkan untuk makan siang dulu sebelum menuju bandara. Tentunya Aya juga ikut mengantar atas permintaan Farah. Ajeng dan Tari yang duduknya bersebelahan saling melirik saat Eric meletakkan potongan ikan yang durinya sudah ia bersihkan."Pak Eric gak usah repot-repot," kata Aya merasa kikuk dengan perlakuan Eric di depan Ajeng dan Tari."Biar kamu tinggal makan," sahut Eric cuek tidak menghiraukan Ajeng yang berdehem.Tidak berani mengangkat wajahnya Aya cepat menghabiskan makanannya. Begitu selesai makan, ia membawa Farah yang minta ditemani untuk cuci tangan."Perhatian banget kamu sama Aya?" celetuk Ajeng."Biasa aja.""Biasa aja gimana? Mama lihatnya beda," lanjut Ajeng."Tari juga lihatnya beda. Udah lah, Mas, daripada kelamaan Mas Eric langsung nikahin aja Mbak Aya," kata Tari ikut mengompori."Tuh liat Mbak Aya lagi ngomong sama cowok," lanjut Tari membuat Er
“Tapi Pak Eric juga harus ingat, saya melakukan ini semua karena Farah,” kata Aya membuat senyum di wajah Eric sedikit memudar.“Ya. Tidak masalah,” sahut Eric enteng.Ucapan Aya barusan jujur saja cukup mengganggunya tapi ia berusaha untuk tidak memikirkan. Ia yakin nantinya Aya juga akan memiliki perasaan yang sama dengannya.Mobil yang Eric kemudikan kemudian menepi di sebuah tempat makan pinggir jalan. Pria itu kemudian mengajak Aya untuk turun. Memesan dua porsi ayam bakar, mereka lantas duduk lesehan sambil menunggu makanan mereka datang."Farah gak apa-apa Pak Eric tinggal?" tanya Farah yang ingat kalau Bu Sri bekerja hanya sampai sore."Ada Bu Sri yang jagain," sahut Eric, "kalau di luar kantor bisa gak sih kamu jangan panggil aku pak," lanjut Eric."Kan Pak Eric memang Bapak, lalu saya harus panggil apa?"Belum sempat menjawab, terdengar suara orang memanggil nama Aya membuat mereka berdua reflek menoleh."Pak Eric," sapa orang yang memanggil Aya tadi agak sungkan. Mereka ada
Mendapatkan kabar kalau adiknya masuk rumah sakit lagi, tengah malam Mama membangunkan Aya untuk mencarikan tiket pesawat besok pagi. Dengan mata yang menahan kantuk gadis itu meraih ponselnya dan mencarikan tiket untuk Mama.“Ada nih, Ma. Pesawat jam lima pagi ya,” kata Aya menunjukkannya pada Mama.“Itu aja, Ay. Kamu gak apa-apa kan Mama tinggal lagi?”“Gak apa-apa, Ma,” sahut Aya tersenyum kemudian mengirimkannya kode booking pesawat pada Mama.Membantu Mama merapikan baju-baju yang akan dibawanya, Aya memilih untuk tidur di kamar Mama. Tentunya dengan memasang alarm diponselnya.Berbalut sweater oversize Aya mengantarkan Mama ke bandara tepat pukul empat pagi. Bandara masih tampak sunyi mereka tiba di sana.“Hati-hati ya, Ma. Kabar-kabarin kalau ada apa-apa,” kata Aya memeluk Mama setelah selesai check in.“Kamu juga hati-hati, Ay. Mama masuk dulu.” Mama melepaskan pelukan Aya dan berjalan masuk. Aya bisa memaklumi Mama yang begitu khawatir dengan keadaan adik satu-satunya itu.Se
Eric langsung keluar dari mobilnya saat Aya sudah berada di depan mobilnya. Pria itu terlihat masih lengkap mengenakan baju kerjanya. Sepertinya ia belum pulang ke rumah.“Mama gak ada di rumahnya ya? Dari tadi gak ada yang buka pintu waktu aku ketuk,” kata Eric mengiringi langkah Aya berjalan masuk.“Mama lagi ke rumah saudara. Pak Eric ngapain lagi ke sini? Farah gimana di rumah?" Aya memutar gagang pintu."Oh. Kamu tadi sama siapa? Wisnu?""Iya, Pak." Aya berdiri di depan pintu yang telah terbuka tapi tidak mempersilahkan Eric untuk masuk."Aku pikir Mama ada di rumah, makanya aku langsung ke sini. Maaf ya kamu jadi pulang sama Wisnu tadi," kata Eric terlihat sedikit gugup."Gak apa-apa, Pak.""Aku boleh masuk?" tanya Eric.Aya menatap Eric beberapa detik lantas mundur beberapa langkah seraya mempersilahkan pria itu masuk."Pak Eric mau minum apa?" tanya Aya memecah keheningan di antara mereka berdua. Entah kenapa Aya jadi merasa canggung berada berdua seperti ini."Kopi aja," sahu