"Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa Kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja ... berhenti ku bilang!"
Ckit ... ! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja Kau keluar Aku pastikan Kita akan melakukannya di sini." "Apa Kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa pengawal dan pelayan pura-pura tak melihat interaksi mereka karena mereka sudah bersumpah agar tidak mengeluarkan info atau gosip apapun ke orang luar. Karena Alan mempunyai seorang bodyguard yang sangat kejam dan tegas. Biza akan menghukum siapa pun yang berani membocorkan urusan pribadi bosnya. Alan melihat ponselnya yang bergetar sejak tadi tanpa ragu pria itu menerima panggilan itu. Hal itu tak luput dari perhatian Vale yang menatap sinis dari dalam mobil. 'Aku tak perduli kalau sekarang Aku sudah miskin. Aku tak perduli kalau Ayah sudah menikah lagi di luar sana. Aku juga tidak perduli dengan apa yang sudah ku miliki di rebut orang lain. Tapi Aku tak sudi kalau harus kembali lagi bersamanya sudah cukup hati ini tersakiti. Sudah cukup hati ini tak baik-baik saja. Aku tak mau terjebak dengan hubungan toxic,' monolognya Melihat ada kesempatan kabur dari Alan yang sedang bicara serius dengan seseorang di telepon membuat Vale diam-diam keluar dari dalam mobil. Alan yang lengah terkejut melihat pintu mobil itu sudah terbuka tak ada Vale di dalam sana langsung berteriak meminta penjaga yang berada di sana mencari Vale. Wanita itu tahu letak di mana pintu rahasia untuk keluar dari rumah itu. "Cepat cari jangan sampai Nyonya kalian pergi karena Aku tidak segan-segan akan menghilangkan nyawa kalian!" maki Alan dengan mimik wajah menakutkan. 'Aku tidak akan melepaskanmu kali ini tidak perduli seberapa bencinya Kamu kepadaku. Aku akan menghukummu Vale,' ucapnya dalam hati. Vale berlari tanpa berhenti dengan kencang menuju lorong bawah tanah yang Dia tahu akan membawanya keluar dari rumah itu. Dia tidak mau kembali ke rumah utama. Karena rumah utama di mana Dia memergoki Alan tidur bersenggama bersama kekasihnya. Sepanjang jalan air matanya mengalir deras membasahi pipinya. Dari kejauhan dia melihat ada cahaya dan pagar pintu yang di gembok sejak dulu. Setelah berhasil keluar dari lorong itu baru saja dia berhenti mengambil napas tiba-tiba tubuhnya sudah diangkat ke atas bahu oleh seseorang. "Aaaaaa ... turunkan Aku!" "Diam! Atau Aku akan mengurungmu di bawah sana di temani tikus-tikus menjijikan." "Aku tidak mau kembali ke rumah itu jangan memaksaku!" "Tempatmu di sini selamanya akan di sini. Kau hanya salah paham Aku tidak pernah berhubungan dengan Violet di rumah ini." "Tidak! Dasar pembohong bajingan masih saja berkelit!" Vale memukuli punggung Alan, menarik rambut Alan dan berontak tak tentu arah sampai mereka jatuh berdua ke halaman berkali-kali. Drama mereka berdua menjadi tontonan gratis para pelayan dan penjaga untuk menggibahinya. "Tuan Alan memang masih mencintai Nyonya. Aku sering sekali melihatnya menatap foto album pernikahannya di ruang kerja. Diam-diam Tuan Alan memerintahkan Tuan Biza untuk memata-matainya juga." "Hus! Jangan menggosip cepat kerjakan pesanan Tuan Alan jangan sampai salah," tegur kepala pelayan di rumah itu kepada dua pelayan yang sedang asyik menggosip seketika mereka langsung diam. Setelah perjuangan yang melelahkan membawa Vale ke dalam kamarnya. Alan meminta Vale mandi dan makan bersamanya. Vale yang kesal masih bertahan dengan bibir mengatup rapat yang terlihat lucu di mata Alan. Setelah memastikan pintu kamar dan balkonnya tertutup rapat Alan mandi meninggalkan Vale yang masih betah merajuk. Vale memutari kamar luas itu mencari celah untuk kabur lagi, tapi apesnya tak ada satu pun yang bisa membantunya untuk pergi dari kamar Alan. Alan yang sudah selesai mandi keluar hanya memakai handuk yang menutupi senjatanya. Tanpa sungkan pria itu membuka handuknya di depan Vale. Membuat Vale semakin murka ingin memukulnya. "Kenapa? Kau sudah biasa melihatku seperti inikan?" "Ya ... bahkan setiap wanita selalu ingat bentuk tubuhmu. Hanya Aku yang sudah lupa dengan semuanya bahkan sedikit pun tak mau mengingatnya. Jadi jangan repot-repot untuk menggodaku karena Aku tidak minat." "Wow ... tajam sekali lidahmu itu Nona Vale. Tidak apa-apa Aku paham karena sudah lama Kita tidak bertemu tentu saja sedikit lupa. Tapi ... bagaimana dengan Kau yang dulu selalu menginginkannya. Malah Aku tak yakin kalau Kau kuat dengan godaannya," tantang Alan. "Cih ... dasar cabul! Aku makin muak saja denganmu. Sebenarnya Apa yang Kau inginkan dariku, Tuan Alan?" "Huh ... sangat tidak sabar masih seperti dulu," seloroh Alan yang berjalan mendekati Vale yang berdiri waspada melihatnya. "Aku ingin Kau menjadi kekasih gelapku, menuruti apa yang Aku inginkan. Aku tidak akan pernah melepaskan Violet karena Aku masih menginginkannya. So ... kalau Kau menolak Aku pun tetap akan memaksamu Nona Vale. Untuk sekarang Aku tidak akan pernah memaksamu melayaniku. Tapi Kau sendiri nanti yang akan mendatangiku," urai Alan dengan seringai jahat di wajahnya. "Mimpi!" ucap Vale yang mendorong keras tubuh Alan kemudian masuk ke dalam kamar mandi sambil menutup pintu dengan kencang. Alan tersenyum menatap punggung Vale yang kesal setelah mereka berdebat panjang. Karena sudah malam Alan membuka pintu kamar mandi dengan kunci cadangannya. Dia memaksa wanita itu untuk tidur di ranjang bersamanya. "Tidurlah jangan banyak drama sudah malam jangan berpikir keras untuk kabur dari rumahmu." "Diamlah jangan banyak bicara kalau tak ingin besok pagi tidak ingin Aku pergi sialan! Mmph ... " Alan mencium Vale yang masih saja merajuk tangannya menahan belakang kepala Vale agar tak bergerak. Alan tak berhenti sedikit pun menciumnya sampai Vale memukul-mukul dada bidang lebar Alan yang penuh dengan tato. "Yaaak! Kau mau buatku mati ...!" "Tidurlah sudah hampir pagi, Kau pasti lelah jangan membuatku melakukan lebih." "Kenapa Kau melakukan ini Kau tahu Kita tak lagi bersama. Apa hubunganmu dengannya sedang tak baik-baik saja?" "Jangan membahas orang lain kalau Kita sedang bersama, tidurlah sudah hampir pagi." Tak ada jawaban membuat Alan menundukkan kepalanya melihat wajah Vale yang sudah tertidur membuat hati Alan menghangat mengenang moment ini terulang lagi. "Dasar mata bantal baru sebentar Kamu bicara sekarang sudah tertidur," gumamnya sambil memandangi wajah Vale yang tambah dewasa semakin cantik. "Maaf membuatmu kesal, inilah caraku mendapatkanmu kembali," gumam Alan sambil memeluk erat Vale yang sudah tertidur.Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang Kamu yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah Aku menunggumu di bawah Kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau digerakk
Berkali-kali Alan menghubungi Violet setelah bertemu dengan kolega bisnisnya meeting bersama membicarakan projek iklan untuk brand miliknya. Alan menginginkan Violet untuk kembali ke Indonesia secepat mungkin. Dia sudah membayar penalti perusahaan lain yang terlibat kontrak dengan kekasihnya itu. "Come on Dude, Kau hanya membuang-buang waktumu saja. Kekasihmu itu sedang tidak ingin diganggu," sarkas Biza yang sedang berkunjung ke kantornya karena ada dokumen penting yang harus dia berikan kepada temannya itu. "Shut up! Kenapa belum pergi dari ruanganku. Kau itu bukan penganggurankan?" sahut Alan menyipitkan matanya ke arah Biza. "Yah sejak memutuskan keluar dari perusahanmu dan bekerja dengan Tuan Darwin Aku lebiih santai. Tapi tetap saja selalu direpotkan Kamu," sarkas Biza. "Jelas saja kerjamu santai yang Kamu jaga itu wanita yang tidak menyulitkan dibanding diriku. Hey, Abi jangan permainkan Adik iparnya Darwin sepertinya Dia sangat mencintaimu. Perlu Kau ingat,, Kau akan b
Aksi kejar-kejaran Vale dan anak buah Alan seperti di film. Driver online yang membawanya ke bandara tak kalah keren seperti pembalap international. Sampai di bandara Vale memberikan uang 30 juta kepada driver itu yang kaget di bayar mahal tanpa henti driver itu memuji Vale dan banyak mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum uang itu masuk ke dalam jaketnya dua orang mengambilnya dan menahan tangannya kebelakang. Vale yang buru-buru tidak memperhatikan lagi nasib driver itu. Setelah itu dia berjalan cepat untuk memesan tiket ke dalam. Rambut yang acak-acakan jangan lupakan alas kaki berupa sandal tidur hello kitty yang dia pakai. Membuat seorang dua pria tampan yang berdiri tak jauh dari petugas check in counter sambil menyilangkan tangan di dada menatapnya tanpa berkedip. Vale yang tak sadar melewati pria itu tanpa menaruh curiga kalau sebenarnya keadaan bandara begitu sepi hanya ada dia dan pegawai ticket dan pria yang berdiri tak jauh di belakangnya dan beberapa pengawal. "Perm
Britania Raya - London wilayah metropolitan berlokasi disepanjang sungai Thames. Pemukiman utama yang di dirikan oleh romawi pada abad ke-1. Disinilah selama 3 tahun Vale menenangkan hati dan pikiran setelah diceraikan Alan. Thames Residences Hyde Park, apartemen mewah tempat di mana Vale tinggal selama di London. Sebagai ibu kota Inggris, kota ini selalu menawarkan kehidupan yang sibuk dan penuh gairah, tempat di mana keinginan dan kenyataan sering bertabrakan dengan cara yang tidak terduga. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, Vale telah menemukan kedamaian yang ia cari selama bertahun-tahun. Di dalam kamar apartemen milik Vale, Alan memandangi wajah Vale yang sedang duduk di sofa dengan mulut tertutup rapat tanpa mau menjawab pertanyaannya sejak keluar dari jet pribadi miliknya. "Kau masih tak mau jawab juga." "Untuk apa? Aku mendapatkan itu semua darinya secara cuma-cuma. I think ... dia berhak dapat perhatian dariku," jawab Vale akhirnya setelah bungkam selama 30 menit yang la
Alan menatap Vale, perasaan marah bercampur cemas merayapi hatinya. Di hadapan Vale, ia merasa tak berdaya, tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Namun, di dalam dirinya ada perasaan yang lebih besar: bahwa Bram Ludwig adalah ancaman nyata yang harus segera dihadapi, jika ia ingin kembali merebut hati Vale.Tiba di Jakarta ... Di ruang tamu Vale berdiri, membalikkan tubuhnya dengan langkah pelan. "Aku setuju," ujarnya, memecah kesunyian yang sudah lama menyesakkan. Alan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah. "Kau serius?" tanyanya, tak percaya dengan kata-kata Vale. Vale mengangguk perlahan. "Tapi ada syarat. Kau harus menghentikan hubunganmu dengan Violet," tegasnya, matanya tak terlepas dari Alan. Alan menelan ludah, terkejut dengan permintaan itu. Violet, kekasihnya yang berasal dari Jerman, adalah sosok yang membuatnya melupakan Vale, setidaknya itu yang dia percayai. Namun, Vale tak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan lagi. "Apa yang kamu maksud?" Alan mengernyit
Pagi yang tenang itu terasa penuh dengan kesunyian yang memekakkan telinga. Alan mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggunya dengan menatap dokumen yang tergeletak di meja. Dokumen yang seharusnya ia baca beberapa hari lalu, yang diserahkan Abizar dengan begitu serius. Alan menarik tumpukan kertas dan membuka lembar demi lembar dengan perasaan yang tidak menentu. Setelah beberapa halaman berlalu, matanya berhenti pada sesuatu yang menarik perhatian—sebuah foto. Foto yang cukup mengejutkan untuk membuat napasnya tercekat. Di sana, Violet—kekasihnya yang telah ia putuskan untuk tinggalkan—terlihat sedang berdiri di samping seorang pria muda dengan wajah tampan, di sebuah pesta di Italia. Ia melirik foto lainnya. Di foto berikutnya, Violet dan Boy tampak lebih intim—lebih dari sekedar rekan kerja. Mereka berdua saling berpegangan tangan, tersenyum mesra. Alan merasakan kepalanya berputar, tubuhnya seakan membeku sejenak. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika melih
Pagi itu, hujan turun deras di luar mengaburkan jendela-jendela rumah besar yang dulunya selalu ramai oleh tawa dan canda. Alan Mendes berdiri di jendela, menatap langit yang mendung, seakan ingin menutupi seluruh kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Di meja, selembar surat yang ia tulis dengan tangan sendiri terbuka, tergeletak begitu saja, tanpa ada yang menyentuhnya. Itu adalah surat yang berisi ultimatum kepada Tuan Satia, Ayah dari mantan istrinya, Valeria. "Vale." Suara Alan memecah keheningan, membuat Valeria menoleh. Alan tampak serius, bahkan lebih serius dari biasanya. "Aku sudah menulis surat untuk ayahmu. Aku akan mengambil semua saham Vale Group jika dia tidak segera kembali ke Indonesia dan menyelesaikan masalahnya. Aku ingin dia bertanggung jawab." Valeria menatapnya dengan tatapan kosong. Sudah berapa kali Alan mengancam untuk melakukan hal yang sama? Berapa kali dia menggunakan Vale Group sebagai alat untuk memaksanya kembali ke kehidupannya? Namun, kali ini,
Bagi Alan Mendes, hari ini tampaknya tidak akan berakhir dengan tenang. Lantai marmer di ruang kerja pribadinya terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mencerminkan ketegangan yang melingkupi dirinya. Di meja kerjanya, tumpukan berkas dan laptop yang terbuka menunjukkan kekacauan. Semua ini akibat satu kejadian yang mengejutkan, keuangan bank miliknya, Alan CC, diretas oleh hacker. Kerugiannya bukan main—tiga triliun rupiah hilang begitu saja. Alan menatap layar laptopnya, mencoba mencari celah, mencari penjelasan, namun tidak ada yang bisa menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi. Kecanggihan hacker yang menyerang banknya terlalu luar biasa untuk dilawan hanya dengan teknologi biasa. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menarik napas panjang, berusaha meredam amarah yang hampir meledak. 'Apa ini? Kenapa aku bisa sebodoh ini?' gumam Alan pada dirinya sendiri, dengan tangan mengepal di meja. Violet, mantan kekasihnya yang sudah dia campakkan, tidak tampak belakangan ini.. Sej
Marsya yang sibuk melamun dikejutkan oleh Siska yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Hei, Dokter Marsya! Apa yang kamu pikirkan sampai begitu serius?" tanya Siska ramah. Marsya tersentak dan memalingkan wajahnya dari lamunan. "Oh, maaf Sis. Aku hanya sedang memikirkan laporan keuangan klinik saja," jawab Marsya sambil tersenyum tipis. Siska mengangguk mengerti, lalu melanjutkan. "Dokter, katanya mau jalan-jalan ke taman komplek. Mau aku temani?" tanya Siska. Marsya terkekeh. "Ya, sebentar. Aku sedang bersiap-siap. Kamu mau menemaniku, Sis?" Siska tersenyum lebar. "Boleh. Kebetulan pekerjaanku juga sudah selesai. Ayo, Dokter. Kita ke taman!" ajak Siska semangat. Mereka berdua meninggalkan rumah dan berjalan menuju taman komplek yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Di tengah perjalanan, mereka berbincang-bincang ringan tentang pekerjaan, hobi, dan rencana masa depan.
Juan duduk di kursi di ruang kerja kantornya. Pikirannya kacau memikirkan mantan istrinya, Marsya. Yang menurut informasi dari anak buahnya masih tinggal di Bandung, tepatnya di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Juan masih belum bisa melupakan kenangan indah bersama Marsya, meskipun sudah lama mereka berpisah. Juan menimbang-nimbang untuk menemui Marsya langsung, namun ia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk kembali bersama dengan wanita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan seseorang untuk memata-matai Marsya dan memberinya informasi terbaru tentang kehidupan mantan istrinya tersebut. Juan pun segera menghubungi salah satu bawahannya, seorang pria bernama Ardi. “Ardi, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu memata-matai mantan istriku, Marsya yang katanya masih tinggal di Bandung. Bisakah kamu melakukan tugas itu untukku?” pinta Juan kepada Ardi. Ardi meng
Tok! Tok! "Selamat malam, bumil, sudah waktunya makan malam." Siska membawa nampan berisi makanan kesukaan Dokter Marsya sejak hamil, Caramel, dan udang rebus saos Thailand. "Terima kasih, Siska. Maafkan aku yang selalu merepotkan," ujar Marsya sambil tersenyum lembut. "Haduh, jangan gitu dong. Tentu saja saya sangat senang merawat Anda," balas Siska ramah. "Oh ya, terima kasih banyak, Siska sudah mau merawatku," ucap Marsya dengan senyum tulus. "Hem, sama-sama. Ayo, saya bantu duduk. Eleh-eleh Dede bayinya kayaknya manja nih. Apa masih mual, Dokter?" tanya Siska sambil mengelus lembut perut Marsya yang sudah terlihat buncit di usia empat bulan. "Sedikit mual, tapi tidak terlalu parah seperti kemarin," jawab Marsya sambil menikmati hidangan di depannya. "Ha ha ha, dasar masih di dalam perut saja sudah kesal sama Ayahnya, gimana kalau sudah lahir. Maka
"Vale, Alva kelihatan sehat ya saat bersama Dokter Marsya tadi." "Iya, Alva memang senang sekali saat berada dekat dengan Dokter Marsya." "Mungkin karena Dokter Marsya begitu perhatian dan lembut saat memeriksa Alva. Aku senang kita memilihnya sebagai dokter pribadi keluarga kita." "Ya, aku juga senang meskipun dia sedang hamil tanpa suami Dokter Marsya begitu mandiri dan kuat." "Yang ku tahu mantan suaminya itu pengusaha dan Dokter juga." "Oh begitu, aku selalu berdoa semoga Dokter Marsya mendapatkan kebahagiaan." "Ya, semoga," ucap Alan tersenyum kepada Vale sambil menoel-noel pipi gembul Alva. Malam hari tiba, Alva terus menangis sejak beberapa jam yang lalu. Alan dan Vale cemas melihat kondisi bayi mereka yang rewel. "Apa yang seharusnya kita lakukan, Alan? Alva terus menangis dan tidak mau dihibur." "Aku akan menghubungi Dokter Marsya. Mungkin dia bisa memberikan saran atau datang ke rumah untuk memeriksa Alva." "Tapi ini sudah malam nanti mengganggunya."
flasback masa lalu Bela dan Alan adalah pasangan yang sangat serasi di sekolah. Mereka diidolakan oleh banyak teman karena hubungan mereka yang begitu manis dan harmonis. Alan sangat mencintai Bela, begitu pula sebaliknya. Mereka sering dikatakan sebagai pasangan yang paling romantis di sekolah mereka. Namun, segalanya mulai berubah ketika Bela mulai dekat dengan teman Alan, Mike. Alan tidak merasa curiga atau khawatir, karena dia telah percaya sepenuhnya pada Bela dan persahabatan mereka. Namun, tanpa sepengetahuan Alan, Bela dan Mike sering bertemu tanpa sepengetahuannya. Suatu hari, Alan dan Bela berencana untuk makan bersama di restoran favorit mereka. Alan sangat antusias. Namun, Alan terkejut ketika tiba di restoran melihat Mike dan bela. Mereka tertawa, bercanda, dan terlihat sangat dekat satu sama lain. Alan menatap Bela dengan wajah penuh kekecewaan. "Apa yang kalian lakukan di sini, Bela? Dan kenapa bisa bersamanya?" tanyanya, menunjuk ke arah Mike yang duduk di s
Beberapa hari yang lalu Vale mulai berubah menjadi manja dan sering merasa mual-mual. Alan pun merasa bingung dengan perubahan sikap istrinya. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Vale. Dengan cemas, Alan menghubungi dokter pribadi mereka, Dokter Marsya, untuk memeriksa kondisi Vale. Keesokan harinya, Dokter Marsya datang ke rumah mereka untuk memeriksa Vale. Setelah melakukan pemeriksaan yang cermat, Dokter Marsya tersenyum dan berkata. "Tuan Alan, saya mempunyai berita baik untukmu. Gejala yang istrimu alami sebenarnya disebabkan oleh sindrom kehamilan." Alan begitu terkejut mendengarnya. "Apakah itu mungkin? Aku kira cuma masuk angin biasa, tapi ternyata kamu hamil, sayang," ucapnya lembut kepada Vale. Dokter Marsya mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Tuan Alan. Nyonya Vale sedang hamil. Anda akan menjadi seorang calon ayah sekarang." Vale tersenyum bahagia. "Tentu saja, sayang. Aku bahagia sekali mendengar berita ini." Alan pun langsung mencium keni
Abizar sedang duduk santai di balkon sambil menghisap rokok. Malam itu, udara di Jakarta begitu sejuk dan angin bertiup lembut. Tiba-tiba, anak buahnya mengetuk pintunya yang memang dibiarkan terbuka. "Maaf mengganggu, Tuan. Tampaknya ada masalah dengan Tuan Alan. Kode sinyal beliau sudah berkedip selama 45 menit, lokasi berada di sebuah Villa.""Sialan! Bagaimana bisa dia berada di sana tanpa memberi tahu saya? Siapkan pesawat, kita harus segera pergi untuk menyelamatkannya. Dimana titik terakhir keberadaannya?" "Mereka berada di Maladewa, Tuan. Di sebuah villa milik Dori. Sepertinya Tuan Alan dan istrinya disandera."Abizar menghembuskan asap rokoknya. "Sialan! Baik, segera persiapkan semua perlengkapan. Kita harus segera menolongnya." "Kami siap, Tuan. Kami akan mengumpulkan tim secepat mungkin." Abizar segera meninggalkan rokok yang masih menyala di tangan dan bergegas menuju markas untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan. Di pesawat dalam perjalanan menuju Malad
Alan menggenggam tangan Vale dengan erat, mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya terus berdebar kencang. Pesan yang diterima tadi dan kemunculan dua pria besar yang tiba-tiba menghadang mereka membuat perasaan cemas semakin menguasai dirinya. Alan menggenggamnya lebih kuat, seolah memberikan kekuatan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Alan... apa yang sedang terjadi?" Vale berbisik, suaranya terengah, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di matanya. Pria yang menghadang mereka itu, dengan tubuh kekar dan pakaian gelap, memandangi mereka berdua dengan tatapan tajam. "Kalian berdua, ikuti kami," katanya dengan suara yang rendah, namun tegas. "Ada orang yang ingin berbicara dengan kalian." Alan berdiri tegak, menatap dua pria itu dengan intens. "Siapa yang mengirim pesan itu?" tanyanya, nada suaranya begitu tegas, meskipun di dalam dirinya terasa ketegangan yang luar biasa. Salah satu pria itu tersenyum tipis, namun senyuman itu penuh ancaman. "Tanyakan
Lima bulan kemudian ...Alan dan Vale sudah lama bermimpi untuk pergi ke Maladewa. Mereka akhirnya bisa mewujudkan impian mereka setelah sempat berpisah selama bertahun-tahun. Saat mereka tiba di pulau yang indah itu, mata mereka terpana oleh keindahan alamnya. "Vale, lihatlah keindahan Maladewa ini. Sungguh luar biasa," ucap Alan sambil tersenyum. "Betul sekali, Alan. Tempat ini benar-benar seperti surga di bumi," jawab Vale sambil merasakan kebahagiaan yang mendalam. Mereka berdua langsung menuju pantai untuk menikmati matahari terbenam. Suasana di pantai begitu tenang dan damai. Pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, dan sinar matahari yang hangat membuat mereka betah berada di sana. "Sungguh romantis, bukan? Kita berdua di sini, menikmati keindahan alam bersama," ujar Alan sambil menggandeng tangan Vale. "Ya, ini benar-benar luar biasa. Aku tidak pernah membayangkan bisa datang ke tempat ini," balas Vale dengan senyum bahagia di wajahnya. Mereka duduk di