"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya.
"Maaf ... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh Aku belum mengantuk saja. Emm ... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa Aku boleh ikut?" "Ah ... tidak jangan Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya Kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah Dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi Dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikannya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah Dia urus. Meskipun begitu Alan tidak diam saja. Dia selalu memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengawasi semua aset yang sudah Dia berikan kepada mantan istrinya. Kekecewaan Vale kepada Alan begitu besar hingga Dia sulit untuk memaafkannya. Tak jauh dari rumah Cathy ada dua mobil yang sedang mengawasinya. Alan yang menunggu kepergian Cathy kini bersiap-siap keluar dari mobil menekan earphone lalu berbicara. "Kalian berjaga di sini biar Aku dan Abizar yang akan masuk ke dalam." "Baik Tuan!" ucap dua orang pengawal yang berada di depan kemudi dan satu mobil di belakangnya. Alan turun bersama temannya tampak suasana di jalan begitu sepi karena memang sudah jam 22.00 malam di sekitaran komplek itu sudah sangat sepi. Alan meminta Biza membuka pintu rumah yang terkunci dari dalam. Tanpa kesulitan pria itu membukanya. Mereka masuk dengan langkah pelan menelusuri setiap sudut ruangan. Pandangan Alan tertuju ke lantai atas tepatnya di kamar yang pintunya terbuka sedikit. Wajahnya berpaling ke arah Biza yang juga mendongakkan kepalanya ke lantai atas. Ditatap seperti itu membuat Biza terkekeh geli melihat temannya yang melototinya. Biza pun langsung menepuk bahu Alan kemudian berkata sambil mengejek. "Kau pastikan di dalam sana mantan istrimu jangan Kau ulangi kejadian tiga tahun yang lalu membuatmu menceraikannya," ejek Biza. "Cih! Urus saja masalah percintaanmu itu yang tidak jelas," ujar Alan kesal melihat temannya yang sok menasihati. Alan berjalan menaiki tangga ke lantai atas menuju pintu kamar yang sedikit terbuka. Setelah sampai di depan pintu kamar pelan-pelan Alan mendorong pintu tubuhnya masuk ke dalam kamar yang berwarna pink. Sungguh hatinya sedikit geli ingin tertawa dengan nuansa kamar temannya yang serba pink. Mengingat temannya itu sangat tomboy yang tidak ada manis-manisnya. Cathy manager keuangan di perusahaannya yang dikenal Alan sejak dia bercerai dengan Vale pasca sebulan setelah bercerai. Tanpa sepengatahuan Vale, Alan mempekerjakan Cathy di perusahaannya. Suara gemericik air terdengar begitu deras. Alan pastikan ada Vale yang belum selesai mandi. Karena dia melihat ada baju yang tadi siang bekas wanita itu pakai tergeletak di atas ranjang. Alan berdiri di sudut ruangan sambil tangannya bersedekap di dada bidangnya menunggu Vale. Pandangannya tak lepas dari pintu kamar mandi. Vale yang sudah selesai mandi keluar dengan memakai handuk yang hanya menutupi bagian dada sampai bokongnya saja. Terlihat begitu seksi di mata Alan. Sambil bernyanyi-nyanyi Vale membuka lemari pakaian mencari piyama dan pakaian dalam. Dia membuka handuk lalu memakai pakaian dalam. Vale yang sibuk membuka kancing piyama dibuat terkejut dengan siulan seseorang di dalam kamar. Seketika Dia terkejut histeris melihat Alan yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Aaaaaaa! Se ... sedang apa Kau di sini kenapa bisa masuk ke rumah ini!" ucap Vale yang sangat terkejut dengan sosok pria di dalam kamarnya. "Mudah bagiku masuk ke sini Vale. Apa Kau lupa dulu Aku pernah diam-diam masuk ke kamarmu ... hem." "Brengsek! Keluar Kau! Dasar gila! Berani-beraninya masuk ke rumah orang lain. Pergi!" usirnya. "Syuut ... tenang sayang, Kau harus ikut bersamaku mulai sekarang jangan menumpang di rumah orang lain. Terima tawaranku atau Kita akan melakukan apa yang dulu pernah Kita lalui sejak Kita masih menjadi pasangan suami istri, hem." "No! Never!" sentak Vale yang berusaha kabur dari Alan. Tapi sayang gerakannya sudah terbaca oleh Alan. Pria tampan itu langsung menyeret Vale ke ranjang lalu menindih tubuhnya dan mengunci kedua tangan Vale yang berusaha melawan ke atas kepalanya. "Ikut denganku atau Aku akan meminta Kau melayaniku di sini," ancam Alan dengan wajahnya yang begitu dekat dengan wajah Vale. "Minggir ... Kau itu sudah keterlaluan! Hubungan Kita sudah berakhir jangan ganggu hidupku lagi!" "Jangan membuatku bertambah kesal. Apa Kau tidak merasa malu dengan tuntutan hutang Ayahmu yang menggunung, Nona Vale. Bahkan tubuhmu saja tak cukup untuk membayarnya." "Ambil semua apa yang Aku miliki tapi tidak dengan tubuhku!" "Ha ha ha ... lucu sekali Kau pikir berapa banyak uang yang Kau miliki hah!" "Aku akan membayarmu tenang saja teman dekatku di London akan membantuku jadi lepaskan Aku sialan!" Mendengar kata teman dekat dari London dari mulut Vale langsung membuat hati Alan panas dan murka. Tanpa diduga Alan menggigit leher putih Vale dan memberikan banyak tanda hickey di lehernya. "Aaaaa lepas! Jangan!" Vale berusaha berontak dalam cengkraman Alan. Dengan susah payah tangannya menarik rambut Alan sampai pria itu meringis. Tak mau kalah Alan mencium bibir berbentuk love itu dengan buas. Setelah puas mencium Vale pria itu berdiri tegap sambil menatap lapar tubuh Vale tangannya membuka satu persatu kancing kemejanya. "Stop! Baik! Aku akan ikut tolong jangan lakukan ini. Aku mohon ... please," mohon Vale sambil meneteskan air mata. 'Oh shit!' maki Alan kepada dirinya sendiri. Dari dulu Dia begitu lemah dengan air mata mantan istrinya itu. Setelah menenangkan dirinya yang sudah menegang Alan menatap Vale lalu berkata. "Pakailah pakaianmu ikut Aku. Ku tunggu dibawah kalau sampai Kau berniat kabur dariku, ku pastikan Kau tidak akan pernah lagi bertemu dengan Ayah dan temanmu itu," ancam Alan yang memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Vale yang melipat bibir menahan tangisnya. Alan menuruni tangga berjalan ke arah Biza dengan kemeja bagian atas masih terbuka yang memperlihatkan tato naga terpampang jelas di dalamnya. Biza yang menunggunya di sofa sambil menikmati rokok menatapnya remeh. "Ck ... kenapa sebentar saja apa senjatamu itu sudah tidak berfungsi lagi, payah!" "Shut up!" Jangan membuatku ingin menghajarmu sekarang juga." "Ha ha ha ... dasar pemarah! Di mana dia kenapa belum turun juga, jangan sampai wanita itu berbuat nekat, Alan." Belum sempat Alan menjawab dari atas tangga sudah terlihat Vale yang sedang menuruni tangga. Walaupun wajah wanita itu terlihat sedih tapi aura kecantikannya tetap memancar. Rambut brown indah bergelombang, alis tebal tanpa sulam, hidung mancung sempurna, wajah oval dengan lesung pipit dipipinya yang merona. Memakai dres jingga selutut membuat wanita berusia 26 tahun itu semakin cantik. Hebatnya seorang Biza yang tak gampang mengagumi wanita sampai bersiul sempat terpesona melihatnya. "Jaga matamu kalau tak ingin ku colok," ancam Alan yang hanya dilirik malas oleh Biza. "Ku pastikan kali ini Kau tak akan melepaskannya. Jangan sampai Kau menyesalinya. Dan jangan sampai Aku sendiri yang akan mendatangi kekasih manifulatifmu itu. Kau pergilah berdua biar Aku pergi bersama pengawalmu," tukas Biza yang beranjak dari duduknya menatap sekilas Vale tanpa menyapa lalu pergi meninggalkan mereka berdua. "Kau akan membawaku kemana?" tanya Vale yang sudah berdiri di hadapan Alan. Alan masih diam tak bergeming di sofa melihat Vale yang berdiri di hadapannya. Dengan gaya angkuhnya Dia berkata yang terdengar ambigu di telinga Vale. "Ke tempat yang membuat Kita melayang.""Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa Kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja ... berhenti ku bilang!" Ckit ... ! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja Kau keluar Aku pastikan Kita akan melakukannya di sini." "Apa Kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa p
Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang Kamu yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah Aku menunggumu di bawah Kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau digerakk
Berkali-kali Alan menghubungi Violet setelah bertemu dengan kolega bisnisnya meeting bersama membicarakan projek iklan untuk brand miliknya. Alan menginginkan Violet untuk kembali ke Indonesia secepat mungkin. Dia sudah membayar penalti perusahaan lain yang terlibat kontrak dengan kekasihnya itu. "Come on Dude, Kau hanya membuang-buang waktumu saja. Kekasihmu itu sedang tidak ingin diganggu," sarkas Biza yang sedang berkunjung ke kantornya karena ada dokumen penting yang harus dia berikan kepada temannya itu. "Shut up! Kenapa belum pergi dari ruanganku. Kau itu bukan penganggurankan?" sahut Alan menyipitkan matanya ke arah Biza. "Yah sejak memutuskan keluar dari perusahanmu dan bekerja dengan Tuan Darwin Aku lebiih santai. Tapi tetap saja selalu direpotkan Kamu," sarkas Biza. "Jelas saja kerjamu santai yang Kamu jaga itu wanita yang tidak menyulitkan dibanding diriku. Hey, Abi jangan permainkan Adik iparnya Darwin sepertinya Dia sangat mencintaimu. Perlu Kau ingat,, Kau akan b
Aksi kejar-kejaran Vale dan anak buah Alan seperti di film. Driver online yang membawanya ke bandara tak kalah keren seperti pembalap international. Sampai di bandara Vale memberikan uang 30 juta kepada driver itu yang kaget di bayar mahal tanpa henti driver itu memuji Vale dan banyak mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum uang itu masuk ke dalam jaketnya dua orang mengambilnya dan menahan tangannya kebelakang. Vale yang buru-buru tidak memperhatikan lagi nasib driver itu. Setelah itu dia berjalan cepat untuk memesan tiket ke dalam. Rambut yang acak-acakan jangan lupakan alas kaki berupa sandal tidur hello kitty yang dia pakai. Membuat seorang dua pria tampan yang berdiri tak jauh dari petugas check in counter sambil menyilangkan tangan di dada menatapnya tanpa berkedip. Vale yang tak sadar melewati pria itu tanpa menaruh curiga kalau sebenarnya keadaan bandara begitu sepi hanya ada dia dan pegawai ticket dan pria yang berdiri tak jauh di belakangnya dan beberapa pengawal. "Perm
Britania Raya - London wilayah metropolitan berlokasi disepanjang sungai Thames. Pemukiman utama yang di dirikan oleh romawi pada abad ke-1. Disinilah selama 3 tahun Vale menenangkan hati dan pikiran setelah diceraikan Alan. Thames Residences Hyde Park, apartemen mewah tempat di mana Vale tinggal selama di London. Sebagai ibu kota Inggris, kota ini selalu menawarkan kehidupan yang sibuk dan penuh gairah, tempat di mana keinginan dan kenyataan sering bertabrakan dengan cara yang tidak terduga. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, Vale telah menemukan kedamaian yang ia cari selama bertahun-tahun. Di dalam kamar apartemen milik Vale, Alan memandangi wajah Vale yang sedang duduk di sofa dengan mulut tertutup rapat tanpa mau menjawab pertanyaannya sejak keluar dari jet pribadi miliknya. "Kau masih tak mau jawab juga." "Untuk apa? Aku mendapatkan itu semua darinya secara cuma-cuma. I think ... dia berhak dapat perhatian dariku," jawab Vale akhirnya setelah bungkam selama 30 menit yang la
Alan menatap Vale, perasaan marah bercampur cemas merayapi hatinya. Di hadapan Vale, ia merasa tak berdaya, tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Namun, di dalam dirinya ada perasaan yang lebih besar: bahwa Bram Ludwig adalah ancaman nyata yang harus segera dihadapi, jika ia ingin kembali merebut hati Vale.Tiba di Jakarta ... Di ruang tamu Vale berdiri, membalikkan tubuhnya dengan langkah pelan. "Aku setuju," ujarnya, memecah kesunyian yang sudah lama menyesakkan. Alan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah. "Kau serius?" tanyanya, tak percaya dengan kata-kata Vale. Vale mengangguk perlahan. "Tapi ada syarat. Kau harus menghentikan hubunganmu dengan Violet," tegasnya, matanya tak terlepas dari Alan. Alan menelan ludah, terkejut dengan permintaan itu. Violet, kekasihnya yang berasal dari Jerman, adalah sosok yang membuatnya melupakan Vale, setidaknya itu yang dia percayai. Namun, Vale tak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan lagi. "Apa yang kamu maksud?" Alan mengernyit
Pagi yang tenang itu terasa penuh dengan kesunyian yang memekakkan telinga. Alan mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggunya dengan menatap dokumen yang tergeletak di meja. Dokumen yang seharusnya ia baca beberapa hari lalu, yang diserahkan Abizar dengan begitu serius. Alan menarik tumpukan kertas dan membuka lembar demi lembar dengan perasaan yang tidak menentu. Setelah beberapa halaman berlalu, matanya berhenti pada sesuatu yang menarik perhatian—sebuah foto. Foto yang cukup mengejutkan untuk membuat napasnya tercekat. Di sana, Violet—kekasihnya yang telah ia putuskan untuk tinggalkan—terlihat sedang berdiri di samping seorang pria muda dengan wajah tampan, di sebuah pesta di Italia. Ia melirik foto lainnya. Di foto berikutnya, Violet dan Boy tampak lebih intim—lebih dari sekedar rekan kerja. Mereka berdua saling berpegangan tangan, tersenyum mesra. Alan merasakan kepalanya berputar, tubuhnya seakan membeku sejenak. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika melih
Pagi itu, hujan turun deras di luar mengaburkan jendela-jendela rumah besar yang dulunya selalu ramai oleh tawa dan canda. Alan Mendes berdiri di jendela, menatap langit yang mendung, seakan ingin menutupi seluruh kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Di meja, selembar surat yang ia tulis dengan tangan sendiri terbuka, tergeletak begitu saja, tanpa ada yang menyentuhnya. Itu adalah surat yang berisi ultimatum kepada Tuan Satia, Ayah dari mantan istrinya, Valeria. "Vale." Suara Alan memecah keheningan, membuat Valeria menoleh. Alan tampak serius, bahkan lebih serius dari biasanya. "Aku sudah menulis surat untuk ayahmu. Aku akan mengambil semua saham Vale Group jika dia tidak segera kembali ke Indonesia dan menyelesaikan masalahnya. Aku ingin dia bertanggung jawab." Valeria menatapnya dengan tatapan kosong. Sudah berapa kali Alan mengancam untuk melakukan hal yang sama? Berapa kali dia menggunakan Vale Group sebagai alat untuk memaksanya kembali ke kehidupannya? Namun, kali ini,
Marsya yang sibuk melamun dikejutkan oleh Siska yang tiba-tiba berdiri di sampingnya. "Hei, Dokter Marsya! Apa yang kamu pikirkan sampai begitu serius?" tanya Siska ramah. Marsya tersentak dan memalingkan wajahnya dari lamunan. "Oh, maaf Sis. Aku hanya sedang memikirkan laporan keuangan klinik saja," jawab Marsya sambil tersenyum tipis. Siska mengangguk mengerti, lalu melanjutkan. "Dokter, katanya mau jalan-jalan ke taman komplek. Mau aku temani?" tanya Siska. Marsya terkekeh. "Ya, sebentar. Aku sedang bersiap-siap. Kamu mau menemaniku, Sis?" Siska tersenyum lebar. "Boleh. Kebetulan pekerjaanku juga sudah selesai. Ayo, Dokter. Kita ke taman!" ajak Siska semangat. Mereka berdua meninggalkan rumah dan berjalan menuju taman komplek yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Di tengah perjalanan, mereka berbincang-bincang ringan tentang pekerjaan, hobi, dan rencana masa depan.
Juan duduk di kursi di ruang kerja kantornya. Pikirannya kacau memikirkan mantan istrinya, Marsya. Yang menurut informasi dari anak buahnya masih tinggal di Bandung, tepatnya di sebuah klinik kecil di pinggiran kota. Juan masih belum bisa melupakan kenangan indah bersama Marsya, meskipun sudah lama mereka berpisah. Juan menimbang-nimbang untuk menemui Marsya langsung, namun ia sadar bahwa tidak mungkin baginya untuk kembali bersama dengan wanita itu. Akhirnya, ia memutuskan untuk meminta bantuan seseorang untuk memata-matai Marsya dan memberinya informasi terbaru tentang kehidupan mantan istrinya tersebut. Juan pun segera menghubungi salah satu bawahannya, seorang pria bernama Ardi. “Ardi, aku butuh bantuanmu. Aku ingin kamu memata-matai mantan istriku, Marsya yang katanya masih tinggal di Bandung. Bisakah kamu melakukan tugas itu untukku?” pinta Juan kepada Ardi. Ardi meng
Tok! Tok! "Selamat malam, bumil, sudah waktunya makan malam." Siska membawa nampan berisi makanan kesukaan Dokter Marsya sejak hamil, Caramel, dan udang rebus saos Thailand. "Terima kasih, Siska. Maafkan aku yang selalu merepotkan," ujar Marsya sambil tersenyum lembut. "Haduh, jangan gitu dong. Tentu saja saya sangat senang merawat Anda," balas Siska ramah. "Oh ya, terima kasih banyak, Siska sudah mau merawatku," ucap Marsya dengan senyum tulus. "Hem, sama-sama. Ayo, saya bantu duduk. Eleh-eleh Dede bayinya kayaknya manja nih. Apa masih mual, Dokter?" tanya Siska sambil mengelus lembut perut Marsya yang sudah terlihat buncit di usia empat bulan. "Sedikit mual, tapi tidak terlalu parah seperti kemarin," jawab Marsya sambil menikmati hidangan di depannya. "Ha ha ha, dasar masih di dalam perut saja sudah kesal sama Ayahnya, gimana kalau sudah lahir. Maka
"Vale, Alva kelihatan sehat ya saat bersama Dokter Marsya tadi." "Iya, Alva memang senang sekali saat berada dekat dengan Dokter Marsya." "Mungkin karena Dokter Marsya begitu perhatian dan lembut saat memeriksa Alva. Aku senang kita memilihnya sebagai dokter pribadi keluarga kita." "Ya, aku juga senang meskipun dia sedang hamil tanpa suami Dokter Marsya begitu mandiri dan kuat." "Yang ku tahu mantan suaminya itu pengusaha dan Dokter juga." "Oh begitu, aku selalu berdoa semoga Dokter Marsya mendapatkan kebahagiaan." "Ya, semoga," ucap Alan tersenyum kepada Vale sambil menoel-noel pipi gembul Alva. Malam hari tiba, Alva terus menangis sejak beberapa jam yang lalu. Alan dan Vale cemas melihat kondisi bayi mereka yang rewel. "Apa yang seharusnya kita lakukan, Alan? Alva terus menangis dan tidak mau dihibur." "Aku akan menghubungi Dokter Marsya. Mungkin dia bisa memberikan saran atau datang ke rumah untuk memeriksa Alva." "Tapi ini sudah malam nanti mengganggunya."
flasback masa lalu Bela dan Alan adalah pasangan yang sangat serasi di sekolah. Mereka diidolakan oleh banyak teman karena hubungan mereka yang begitu manis dan harmonis. Alan sangat mencintai Bela, begitu pula sebaliknya. Mereka sering dikatakan sebagai pasangan yang paling romantis di sekolah mereka. Namun, segalanya mulai berubah ketika Bela mulai dekat dengan teman Alan, Mike. Alan tidak merasa curiga atau khawatir, karena dia telah percaya sepenuhnya pada Bela dan persahabatan mereka. Namun, tanpa sepengetahuan Alan, Bela dan Mike sering bertemu tanpa sepengetahuannya. Suatu hari, Alan dan Bela berencana untuk makan bersama di restoran favorit mereka. Alan sangat antusias. Namun, Alan terkejut ketika tiba di restoran melihat Mike dan bela. Mereka tertawa, bercanda, dan terlihat sangat dekat satu sama lain. Alan menatap Bela dengan wajah penuh kekecewaan. "Apa yang kalian lakukan di sini, Bela? Dan kenapa bisa bersamanya?" tanyanya, menunjuk ke arah Mike yang duduk di s
Beberapa hari yang lalu Vale mulai berubah menjadi manja dan sering merasa mual-mual. Alan pun merasa bingung dengan perubahan sikap istrinya. Ia mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan Vale. Dengan cemas, Alan menghubungi dokter pribadi mereka, Dokter Marsya, untuk memeriksa kondisi Vale. Keesokan harinya, Dokter Marsya datang ke rumah mereka untuk memeriksa Vale. Setelah melakukan pemeriksaan yang cermat, Dokter Marsya tersenyum dan berkata. "Tuan Alan, saya mempunyai berita baik untukmu. Gejala yang istrimu alami sebenarnya disebabkan oleh sindrom kehamilan." Alan begitu terkejut mendengarnya. "Apakah itu mungkin? Aku kira cuma masuk angin biasa, tapi ternyata kamu hamil, sayang," ucapnya lembut kepada Vale. Dokter Marsya mengangguk sambil tersenyum. "Ya, Tuan Alan. Nyonya Vale sedang hamil. Anda akan menjadi seorang calon ayah sekarang." Vale tersenyum bahagia. "Tentu saja, sayang. Aku bahagia sekali mendengar berita ini." Alan pun langsung mencium keni
Abizar sedang duduk santai di balkon sambil menghisap rokok. Malam itu, udara di Jakarta begitu sejuk dan angin bertiup lembut. Tiba-tiba, anak buahnya mengetuk pintunya yang memang dibiarkan terbuka. "Maaf mengganggu, Tuan. Tampaknya ada masalah dengan Tuan Alan. Kode sinyal beliau sudah berkedip selama 45 menit, lokasi berada di sebuah Villa.""Sialan! Bagaimana bisa dia berada di sana tanpa memberi tahu saya? Siapkan pesawat, kita harus segera pergi untuk menyelamatkannya. Dimana titik terakhir keberadaannya?" "Mereka berada di Maladewa, Tuan. Di sebuah villa milik Dori. Sepertinya Tuan Alan dan istrinya disandera."Abizar menghembuskan asap rokoknya. "Sialan! Baik, segera persiapkan semua perlengkapan. Kita harus segera menolongnya." "Kami siap, Tuan. Kami akan mengumpulkan tim secepat mungkin." Abizar segera meninggalkan rokok yang masih menyala di tangan dan bergegas menuju markas untuk menyiapkan segala perlengkapan yang diperlukan. Di pesawat dalam perjalanan menuju Malad
Alan menggenggam tangan Vale dengan erat, mencoba menenangkan dirinya, meskipun hatinya terus berdebar kencang. Pesan yang diterima tadi dan kemunculan dua pria besar yang tiba-tiba menghadang mereka membuat perasaan cemas semakin menguasai dirinya. Alan menggenggamnya lebih kuat, seolah memberikan kekuatan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata. "Alan... apa yang sedang terjadi?" Vale berbisik, suaranya terengah, kebingungan dan ketakutan bercampur aduk di matanya. Pria yang menghadang mereka itu, dengan tubuh kekar dan pakaian gelap, memandangi mereka berdua dengan tatapan tajam. "Kalian berdua, ikuti kami," katanya dengan suara yang rendah, namun tegas. "Ada orang yang ingin berbicara dengan kalian." Alan berdiri tegak, menatap dua pria itu dengan intens. "Siapa yang mengirim pesan itu?" tanyanya, nada suaranya begitu tegas, meskipun di dalam dirinya terasa ketegangan yang luar biasa. Salah satu pria itu tersenyum tipis, namun senyuman itu penuh ancaman. "Tanyakan
Lima bulan kemudian ...Alan dan Vale sudah lama bermimpi untuk pergi ke Maladewa. Mereka akhirnya bisa mewujudkan impian mereka setelah sempat berpisah selama bertahun-tahun. Saat mereka tiba di pulau yang indah itu, mata mereka terpana oleh keindahan alamnya. "Vale, lihatlah keindahan Maladewa ini. Sungguh luar biasa," ucap Alan sambil tersenyum. "Betul sekali, Alan. Tempat ini benar-benar seperti surga di bumi," jawab Vale sambil merasakan kebahagiaan yang mendalam. Mereka berdua langsung menuju pantai untuk menikmati matahari terbenam. Suasana di pantai begitu tenang dan damai. Pasir putih yang lembut, air laut yang jernih, dan sinar matahari yang hangat membuat mereka betah berada di sana. "Sungguh romantis, bukan? Kita berdua di sini, menikmati keindahan alam bersama," ujar Alan sambil menggandeng tangan Vale. "Ya, ini benar-benar luar biasa. Aku tidak pernah membayangkan bisa datang ke tempat ini," balas Vale dengan senyum bahagia di wajahnya. Mereka duduk di