"Kau habis dari mana Vale?" tanya Cathy yang sejak tadi menunggunya.
"Maaf ... Aku tadi ada urusan sedikit, kenapa belum tidur?" "Owh Aku belum mengantuk saja. Emm ... Vale tadi Ibuku telpon memintaku pergi ke rumah Tante Nana. Tanteku sakit tak ada yang mengurusnya. Bisakah Aku pinjam mobilmu kesana?" "Kau itu bagaimana pakai saja jangan sungkan. Apa Aku boleh ikut?" "Ah ... tidak jangan Aku hanya sebentar saja. Kamu di rumah saja tidak apa-apakan?" "Ok baiklah, ini kunci mobilnya Kamu hati-hati di jalan." Tanpa curiga kepada Cathy, Vale mengantarnya keluar rumah sampai wanita itu pergi mengendarai mobilnya. Vale masuk ke dalam rumah Dia berjalan menaiki tangga menuju kamar. Sudah tiga hari wanita itu menginap di rumah temannya. Vale mempunyai harta gono gini dari mantan suaminya tapi Dia tidak pernah menghuni rumah mewah yang diberikannya. Beberapa mobil mewah pun berdebu digarasi rumah itu. Dan beberapa aset seperti properti dan restoran tidak pernah Dia urus. Meskipun begitu Alan tidak diam saja. Dia selalu memerintahkan orang kepercayaannya untuk mengawasi semua aset yang sudah Dia berikan kepada mantan istrinya. Kekecewaan Vale kepada Alan begitu besar hingga Dia sulit untuk memaafkannya. Tak jauh dari rumah Cathy ada dua mobil yang sedang mengawasinya. Alan yang menunggu kepergian Cathy kini bersiap-siap keluar dari mobil menekan earphone lalu berbicara. "Kalian berjaga di sini biar Aku dan Abizar yang akan masuk ke dalam." "Baik Tuan!" ucap dua orang pengawal yang berada di depan kemudi dan satu mobil di belakangnya. Alan turun bersama temannya tampak suasana di jalan begitu sepi karena memang sudah jam 22.00 malam di sekitaran komplek itu sudah sangat sepi. Alan meminta Biza membuka pintu rumah yang terkunci dari dalam. Tanpa kesulitan pria itu membukanya. Mereka masuk dengan langkah pelan menelusuri setiap sudut ruangan. Pandangan Alan tertuju ke lantai atas tepatnya di kamar yang pintunya terbuka sedikit. Wajahnya berpaling ke arah Biza yang juga mendongakkan kepalanya ke lantai atas. Ditatap seperti itu membuat Biza terkekeh geli melihat temannya yang melototinya. Biza pun langsung menepuk bahu Alan kemudian berkata sambil mengejek. "Kau pastikan di dalam sana mantan istrimu jangan Kau ulangi kejadian tiga tahun yang lalu membuatmu menceraikannya," ejek Biza. "Cih! Urus saja masalah percintaanmu itu yang tidak jelas," ujar Alan kesal melihat temannya yang sok menasihati. Alan berjalan menaiki tangga ke lantai atas menuju pintu kamar yang sedikit terbuka. Setelah sampai di depan pintu kamar pelan-pelan Alan mendorong pintu tubuhnya masuk ke dalam kamar yang berwarna pink. Sungguh hatinya sedikit geli ingin tertawa dengan nuansa kamar temannya yang serba pink. Mengingat temannya itu sangat tomboy yang tidak ada manis-manisnya. Cathy manager keuangan di perusahaannya yang dikenal Alan sejak dia bercerai dengan Vale pasca sebulan setelah bercerai. Tanpa sepengatahuan Vale, Alan mempekerjakan Cathy di perusahaannya. Suara gemericik air terdengar begitu deras. Alan pastikan ada Vale yang belum selesai mandi. Karena dia melihat ada baju yang tadi siang bekas wanita itu pakai tergeletak di atas ranjang. Alan berdiri di sudut ruangan sambil tangannya bersedekap di dada bidangnya menunggu Vale. Pandangannya tak lepas dari pintu kamar mandi. Vale yang sudah selesai mandi keluar dengan memakai handuk yang hanya menutupi bagian dada sampai bokongnya saja. Terlihat begitu seksi di mata Alan. Sambil bernyanyi-nyanyi Vale membuka lemari pakaian mencari piyama dan pakaian dalam. Dia membuka handuk lalu memakai pakaian dalam. Vale yang sibuk membuka kancing piyama dibuat terkejut dengan siulan seseorang di dalam kamar. Seketika Dia terkejut histeris melihat Alan yang sedang berdiri tak jauh darinya. "Aaaaaaa! Se ... sedang apa Kau di sini kenapa bisa masuk ke rumah ini!" ucap Vale yang sangat terkejut dengan sosok pria di dalam kamarnya. "Mudah bagiku masuk ke sini Vale. Apa Kau lupa dulu Aku pernah diam-diam masuk ke kamarmu ... hem." "Brengsek! Keluar Kau! Dasar gila! Berani-beraninya masuk ke rumah orang lain. Pergi!" usirnya. "Syuut ... tenang sayang, Kau harus ikut bersamaku mulai sekarang jangan menumpang di rumah orang lain. Terima tawaranku atau Kita akan melakukan apa yang dulu pernah Kita lalui sejak Kita masih menjadi pasangan suami istri, hem." "No! Never!" sentak Vale yang berusaha kabur dari Alan. Tapi sayang gerakannya sudah terbaca oleh Alan. Pria tampan itu langsung menyeret Vale ke ranjang lalu menindih tubuhnya dan mengunci kedua tangan Vale yang berusaha melawan ke atas kepalanya. "Ikut denganku atau Aku akan meminta Kau melayaniku di sini," ancam Alan dengan wajahnya yang begitu dekat dengan wajah Vale. "Minggir ... Kau itu sudah keterlaluan! Hubungan Kita sudah berakhir jangan ganggu hidupku lagi!" "Jangan membuatku bertambah kesal. Apa Kau tidak merasa malu dengan tuntutan hutang Ayahmu yang menggunung, Nona Vale. Bahkan tubuhmu saja tak cukup untuk membayarnya." "Ambil semua apa yang Aku miliki tapi tidak dengan tubuhku!" "Ha ha ha ... lucu sekali Kau pikir berapa banyak uang yang Kau miliki hah!" "Aku akan membayarmu tenang saja teman dekatku di London akan membantuku jadi lepaskan Aku sialan!" Mendengar kata teman dekat dari London dari mulut Vale langsung membuat hati Alan panas dan murka. Tanpa diduga Alan menggigit leher putih Vale dan memberikan banyak tanda hickey di lehernya. "Aaaaa lepas! Jangan!" Vale berusaha berontak dalam cengkraman Alan. Dengan susah payah tangannya menarik rambut Alan sampai pria itu meringis. Tak mau kalah Alan mencium bibir berbentuk love itu dengan buas. Setelah puas mencium Vale pria itu berdiri tegap sambil menatap lapar tubuh Vale tangannya membuka satu persatu kancing kemejanya. "Stop! Baik! Aku akan ikut tolong jangan lakukan ini. Aku mohon ... please," mohon Vale sambil meneteskan air mata. 'Oh shit!' maki Alan kepada dirinya sendiri. Dari dulu Dia begitu lemah dengan air mata mantan istrinya itu. Setelah menenangkan dirinya yang sudah menegang Alan menatap Vale lalu berkata. "Pakailah pakaianmu ikut Aku. Ku tunggu dibawah kalau sampai Kau berniat kabur dariku, ku pastikan Kau tidak akan pernah lagi bertemu dengan Ayah dan temanmu itu," ancam Alan yang memutar tubuhnya lalu pergi meninggalkan Vale yang melipat bibir menahan tangisnya. Alan menuruni tangga berjalan ke arah Biza dengan kemeja bagian atas masih terbuka yang memperlihatkan tato naga terpampang jelas di dalamnya. Biza yang menunggunya di sofa sambil menikmati rokok menatapnya remeh. "Ck ... kenapa sebentar saja apa senjatamu itu sudah tidak berfungsi lagi, payah!" "Shut up!" Jangan membuatku ingin menghajarmu sekarang juga." "Ha ha ha ... dasar pemarah! Di mana dia kenapa belum turun juga, jangan sampai wanita itu berbuat nekat, Alan." Belum sempat Alan menjawab dari atas tangga sudah terlihat Vale yang sedang menuruni tangga. Walaupun wajah wanita itu terlihat sedih tapi aura kecantikannya tetap memancar. Rambut brown indah bergelombang, alis tebal tanpa sulam, hidung mancung sempurna, wajah oval dengan lesung pipit dipipinya yang merona. Memakai dres jingga selutut membuat wanita berusia 26 tahun itu semakin cantik. Hebatnya seorang Biza yang tak gampang mengagumi wanita sampai bersiul sempat terpesona melihatnya. "Jaga matamu kalau tak ingin ku colok," ancam Alan yang hanya dilirik malas oleh Biza. "Ku pastikan kali ini Kau tak akan melepaskannya. Jangan sampai Kau menyesalinya. Dan jangan sampai Aku sendiri yang akan mendatangi kekasih manifulatifmu itu. Kau pergilah berdua biar Aku pergi bersama pengawalmu," tukas Biza yang beranjak dari duduknya menatap sekilas Vale tanpa menyapa lalu pergi meninggalkan mereka berdua. "Kau akan membawaku kemana?" tanya Vale yang sudah berdiri di hadapan Alan. Alan masih diam tak bergeming di sofa melihat Vale yang berdiri di hadapannya. Dengan gaya angkuhnya Dia berkata yang terdengar ambigu di telinga Vale. "Ke tempat yang membuat Kita melayang.""Kau mau membawaku kemana? Sepertinya jalan ini ke rumah utama. Hey apa Kau sudah gila! Aku mau turun di sini saja ... berhenti ku bilang!" Ckit ... ! Suara bunyi rem mendadak terdengar jelas di telinga mereka. Alan melirik Vale yang ingin keluar dari mobil BMW mewahnya. "Coba saja Kau keluar Aku pastikan Kita akan melakukannya di sini." "Apa Kau tuli hah! Aku tidak mau ke rumah itu dan berhenti mengancamku, Alan." "Kita akan tetap ke sana karena itu rumahmu!" tanpa menghiraukan caci maki Vale. Alan tetap membawa Vale ke rumah utama mereka yang dulu pernah mereka tinggali bersama. Menempuh perjalanan selama 30 menit dengan banyak drama akhirnya sampai di depan pintu mewah pagar hitam sudah ada penjaga yang membukanya menyambut mereka. Alan turun dari mobil tanpa Vale yang masih betah bertahan diam di dalam mobil. Tanpa memaksa Vale turun Alan bersandar ke tiang kokoh rumahnya dengan menghisap rokok sambil melihat Vale yang masih tetap bertahan di dalam mobilnya. Beberapa p
Suara cuitan burung di luar balkon terdengar riuh cahaya yang menembus ke dalam kamar cukup membuat Vale mengerjapkan matanya yang baru bangun dari mimpinya. Tak jauh darinya ada sosok pria yang sedang memandangnya tanpa berkedip. Kedua mata mereka saling berpandangan dan Vale lah yang pertama memutus pandangan tersebut. "Mandilah ikut bersamaku ke kantor." "Untuk apa bukannya sekarang Kamu yang akan menjadi bosnya." "Kau akan mengetahuinya setelah tiba di sana. Bersiap-siaplah Aku menunggumu di bawah Kita sarapan bersama." Setelah melihat Alan pergi dari kamar Vale bergegas mandi dengan cepat karena dia juga penasaran dengan ucapan pria itu. Di atas ranjang ada stelan pakaian kantor untuknya. Blouse berwarna biru dan rok span berwarna hitam. Terlihat sangat sopan karena itu yang diinginkan Alan. Setelah mengecek beberapa riasan di wajahnya Vale keluar dan turun menghampiri Alan yang sejak tadi sudah menunggunya. Tapi baru beberapa langkah kakinya tertahan tanpa mau digerakk
Berkali-kali Alan menghubungi Violet setelah bertemu dengan kolega bisnisnya meeting bersama membicarakan projek iklan untuk brand miliknya. Alan menginginkan Violet untuk kembali ke Indonesia secepat mungkin. Dia sudah membayar penalti perusahaan lain yang terlibat kontrak dengan kekasihnya itu. "Come on Dude, Kau hanya membuang-buang waktumu saja. Kekasihmu itu sedang tidak ingin diganggu," sarkas Biza yang sedang berkunjung ke kantornya karena ada dokumen penting yang harus dia berikan kepada temannya itu. "Shut up! Kenapa belum pergi dari ruanganku. Kau itu bukan penganggurankan?" sahut Alan menyipitkan matanya ke arah Biza. "Yah sejak memutuskan keluar dari perusahanmu dan bekerja dengan Tuan Darwin Aku lebih santai. Tapi tetap saja selalu direpotkan Kamu," sarkas Biza. "Jelas saja kerjamu santai yang Kamu jaga itu wanita yang tidak menyulitkan dibanding diriku. Hey, Abi jangan permainkan Adik iparnya Darwin sepertinya Dia sangat mencintaimu. Perlu Kau ingat,, Kau akan ber
Aksi kejar-kejaran Vale dan anak buah Alan seperti di film. Driver online yang membawanya ke bandara tak kalah keren seperti pembalap international. Sampai di bandara Vale memberikan uang 30 juta kepada driver itu yang kaget di bayar mahal tanpa henti driver itu memuji Vale dan banyak mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum uang itu masuk ke dalam jaketnya dua orang mengambilnya dan menahan tangannya kebelakang. Vale yang buru-buru tidak memperhatikan lagi nasib driver itu. Setelah itu dia berjalan cepat untuk memesan tiket ke dalam. Rambut yang acak-acakan jangan lupakan alas kaki berupa sandal tidur hello kitty yang dia pakai. Membuat seorang dua pria tampan yang berdiri tak jauh dari petugas check in counter sambil menyilangkan tangan di dada menatapnya tanpa berkedip. Vale yang tak sadar melewati pria itu tanpa menaruh curiga kalau sebenarnya keadaan bandara begitu sepi hanya ada dia dan pegawai ticket dan pria yang berdiri tak jauh di belakangnya dan beberapa pengawal. "Perm
Britania Raya - London wilayah metropolitan berlokasi disepanjang sungai Thames. Pemukiman utama yang di dirikan oleh romawi pada abad ke-1. Disinilah selama 3 tahun Vale menenangkan hati dan pikiran setelah diceraikan Alan. Thames Residences Hyde Park, apartemen mewah tempat di mana Vale tinggal selama di London. Sebagai ibu kota Inggris, kota ini selalu menawarkan kehidupan yang sibuk dan penuh gairah, tempat di mana keinginan dan kenyataan sering bertabrakan dengan cara yang tidak terduga. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, Vale telah menemukan kedamaian yang ia cari selama bertahun-tahun. Di dalam kamar apartemen milik Vale, Alan memandangi wajah Vale yang sedang duduk di sofa dengan mulut tertutup rapat tanpa mau menjawab pertanyaannya sejak keluar dari jet pribadi miliknya. "Kau masih tak mau jawab juga." "Untuk apa? Aku mendapatkan itu semua darinya secara cuma-cuma. I think ... dia berhak dapat perhatian dariku," jawab Vale akhirnya setelah bungkam selama 30 menit yang lal
Alan menatap Vale, perasaan marah bercampur cemas merayapi hatinya. Di hadapan Vale, ia merasa tak berdaya, tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Namun, di dalam dirinya ada perasaan yang lebih besar: bahwa Gerald Ludwig adalah ancaman nyata yang harus segera dihadapi, jika ia ingin kembali merebut hati Vale. Tiba di Jakarta ... Di ruang tamu Vale berdiri, membalikkan tubuhnya dengan langkah pelan. "Aku setuju," ujarnya, memecah kesunyian yang sudah lama menyesakkan. Alan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah. "Kau serius?" tanyanya, tak percaya dengan kata-kata Vale. Vale mengangguk perlahan. "Tapi ada syarat. Kau harus menghentikan hubunganmu dengan Violet," tegasnya, matanya tak terlepas dari Alan. Alan menelan ludah, terkejut dengan permintaan itu. Violet, kekasihnya yang berasal dari Jerman, adalah sosok yang membuatnya melupakan Vale, setidaknya itu yang dia percayai. Namun, Vale tak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan lagi. "Apa yang kamu maksud?" Alan menger
Pagi yang tenang itu terasa penuh dengan kesunyian yang memekakkan telinga. Alan mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggunya dengan menatap dokumen yang tergeletak di meja. Dokumen yang seharusnya ia baca beberapa hari lalu, yang diserahkan Abizar dengan begitu serius. Alan menarik tumpukan kertas dan membuka lembar demi lembar dengan perasaan yang tidak menentu. Setelah beberapa halaman berlalu, matanya berhenti pada sesuatu yang menarik perhatian sebuah foto. Foto yang cukup mengejutkan untuk membuat napasnya tercekat. Di sana Violet kekasihnya yang telah ia putuskan untuk ditinggalkan terlihat sedang berdiri di samping seorang pria muda dengan wajah tampan, di sebuah pesta di Italia. Ia melirik foto lainnya. Di foto berikutnya, Violet dan Boy tampak lebih intim lebih dari sekedar rekan kerja. Mereka berdua saling berpegangan tangan, tersenyum mesra. Alan merasakan kepalanya berputar, tubuhnya seakan membeku sejenak. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika me
Pagi itu, hujan turun deras di luar mengaburkan jendela-jendela rumah besar yang dulunya selalu ramai oleh tawa dan canda. Alan Chester berdiri di jendela, menatap langit yang mendung, seakan ingin menutupi seluruh kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Di meja, selembar surat yang ia tulis dengan tangan sendiri terbuka, tergeletak begitu saja, tanpa ada yang menyentuhnya. Itu adalah surat yang berisi ultimatum kepada Tuan Satia, Ayah dari mantan istrinya, Valeria. "Vale." Suara Alan memecah keheningan, membuat Valeria menoleh. Alan tampak serius, bahkan lebih serius dari biasanya. "Aku sudah menulis surat untuk ayahmu. Aku akan mengambil semua saham Vale Group jika dia tidak segera kembali ke Indonesia dan menyelesaikan masalahnya. Aku ingin dia bertanggung jawab." Valeria menatapnya dengan tatapan kosong. Sudah berapa kali Alan mengancam untuk melakukan hal yang sama? Berapa kali dia menggunakan Vale Group sebagai alat untuk memaksanya kembali ke kehidupannya? Namun, kali in
"Baik Tuan, kalau begitu Saya akan menyiapkan mobil dan menunggu Anda di lobi setelah Anda sudah siap.""Hem ... pergilah." Dengan gerakan tangan dari Tuannya Tian pergi meninggalkan Juan yang membelakanginya sambil menikmati pemandangan kota Jogjakarta yang begitu terkenal dengan kuliner tradisional dan keramah tamahan warganya.'Sudah setahun Kau pergi kemana Dokter Marsya. Begitu sulit menemukanmu. Apa Kau baik-baik saja diluar sana. Semua negara sudah Aku cari tak ada satupun tanda-tanda kehadiranmu,' monolognya dengan perasaan yang begitu hampa.***Juan pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini."Kau menikmati perjalanan ini Tian.""Sangat Tuan, bagaimana dengan Anda.""Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau.""Banyak masyarakat awam
Juan memeluk erat Marsya Dia mencium lama rambut Marsya yang wangi bunga rose."Tidak, Kau sudah mengacaukan hidupku berjanjilah tak akan pergi lagi, Marsya."Deg! Detak jantung Marsya begitu cepat ketika Juan tiba-tiba mengungkapakan perasaannya."Kau ... Kau sudah memiliki kekasih Juan, jangan seperti ini. Jangan buat kekasihmu bersedih, Aku bukan perebut kekasih orang."Dekapan Juan menegang matanya terbuka mendengar ucapan Marsya. Ya dia memang mempunyai kekasih tapi wanita inilah yang belakangan ini menjadi pemilik hati sebenarnya. Wanita ini sudah membuat dia membohongi kekasihnya.Juan melepas pelukannya tangannya menangkup wajah cantik Marsya dengan sorot mata lembut. "Kau yang ku inginkan tunggulah sebentar lagi Kita akan bersama.""Apa Kau tidak mengerti, Aku nggak cinta sama Kamu Juan. Kita hanya sepasang manusia yang baru bertemu belum lama yang tak sengaja bertemu dalam hubunganku bersama Bima temanmu. Kau tahu betul
Deg! Detak jantung Marsya begitu cepat ketika Juan tiba-tiba mengungkapakan perasaannya."Kau ... Kau sudah memiliki kekasih Juan, jangan seperti ini. Jangan buat kekasihmu bersedih, Aku bukan perebut kekasih orang."Dekapan Juan menegang matanya terbuka mendengar ucapan Marsya. Ya dia memang mempunyai kekasih tapi wanita inilah yang belakangan ini menjadi pemilik hati sebenarnya. Wanita ini sudah membuat dia membohongi kekasihnya.Juan melepas pelukannya tangannya menangkup wajah cantik Marsya dengan sorot mata lembut. "Kau yang ku inginkan tunggulah sebentar lagi Kita akan bersama.""Apa Kau tidak mengerti, Aku nggak cinta sama Kamu Juan. Kita hanya sepasang manusia yang baru bertemu belum lama yang tak sengaja bertemu dalam hubunganku bersama Bima temanmu. Kau tahu betul siapa yang selalu mengisi hatiku sampai saat ini. Tolong ijinkan Aku pergi Dokter Juan.''Juan memandang sinis Marsya tatapannya berubah dingin membuat Marsya sedikit
"Baik Tuan, kalau begitu Saya akan menyiapkan mobil dan menunggu Juan pergi bersama asistennya Tian dengan pakaian santai. Menikmati perjalanan di kota Jogja untuk menghilangi rasa penat belakangan ini."Kau menikmati perjalanan ini Tian.""Sangat Tuan, bagaimana dengan Anda.""Hem ... sedikit menikmati tapi kenapa malam ini agak berbeda. Lihatlah dilangit banyak bintang-bintang bersinar dan berkilau.""Banyak masyarakat awam bilang pandanglah langit yang gelap seandainya ada bintang jatuh maka mintalah sesuatu kepada bintang itu agar menyampaikan kepada Tuhan supaya doa Kita terkabul Tuan.""Itu mitos Tian buktinya setiap malam Aku selalu memandang langit bertabur bintang tapi tak ada satu pun permintaanku didengarnya.""Anda ingin bertemu dengan seseorang pandanglah langit disana pasti akan ada bintang jatuh malam ini. Saya yakin doa Anda didengar Tuhan malam ini."Juan hanya tersenyum mendengar saran asisten
"Besok Kau ikut Aku ke markas Abizar. Apa tujuannya sampai harus bersitegang dengan Kita, pergilah!" "Baik Tuan Dominic." Ahmad membungkukkan punggungnya melangkah mundur dan keluar dari ruangan ketua mafia Clan. Seperginya Ahmad, Dominic mengetuk-ngetuk meja dengan pisau lipatnya. "Sudah ku duga wanita itu bukan keturunan orang sembarangan. Aku pernah melihat mendiang Ibunya menghajar pencuri yang mengganggu Julia sampai tumbang. Juan Kau benar-benar bodoh meninggalkan wanita istimewa itu," gumamnya. Disisi lain didalam club malam diruangan VIP ada dua sosok pria tampan sedang menikmati minumannya. " Loe nggak pulang sejak tadi ponsel loe bergetar. Gue lihat nama tunangan loe." "Berisik! Diamlah Tom ... Loe saja yang pulang anak istri nanti cari Loe," balas Juan. "Istri sama anak gue sedang berada di Jepang Kakeknya kangen cucunya. Kami barusan selesai video call. Gue sudah ijin temani Lo
Suatu malam, Juan masuk ke kamar Marsya yang mau tidur di kamarnya tanpa seizinnya. "Kenapa kamu di sini, Juan?" tanya Marsya, yang telah memasuki delapan bulan kehamilannya. "Kenapa? Ini kamar kamukan dan aku ingin berada dekat anakku," ucap Juan sambil menatap perut Marsya yang telihat sudah membesar. Marsya menatap Juan dengan heran. "Ck, jangan aneh-aneh. Aku memberikanmu kesempatan, tapi tidak sebebas ini. Keluarlah, aku mau istirahat," ujar Marsya, mencoba mengusir Juan dari kamarnya. "Besok lusa kita akan menikah, aku sudah menyiapkan semuanya," kata Juan dengan suara mantap. Marsya terdiam sejenak, tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa katamu, menikah?" tanyanya dengan wajah terkejut. "Ya, kita akan menikah," jawab Juan dengan tegas. "Aku tidak mau, kau jangan memaksaku, Juan!" "Aku tidak perlu persetujuanmu, yang jelas besok lusa kita akan menikah atau... ," ucap Juan menggangtung sam
"Nyonya Marsya mohon maaf, Saya dan semua pengawal akan pergi meninggalkan klinik. Apa suster Siska bisa menemani Anda?" tanya salah satu seorang pengawal yang Marsya ketahui ketua dari para pengawal lainnya. Marsya kaget mendengar ucapan pengawal Juan yang berdiri menatapnya iba. "Kalau Dia sudah berkata seperti itu kalian boleh meninggalkan Aku. Tenang saja Aku biasa sendiri, Tuan pengawal," jawab Marsya tersenyum hangat. Deg! Hati Ahmad bergetar mendengar ucapan wanita yang berdiri dihadapannya. Meskipun wanita itu habis menangis tapi bibirnya masih bisa tersenyum. "Nyonya ini nomer telepon Saya, Anda bisa menghubungi Saya. Kami hanya khawatir meninggalkan Anda disini sendiri." "Tidak apa-apa Tuan pengawal sekarang masih sore nanti Siska pasti datang sebaiknya Anda pergi secepatnya nanti Juan bisa marah." "Ya sudah Saya pergi Nyonya Anda hati-hati di klinik kalau ada apa-apa hubungi Saya. Na
"Ck ...sudahlah Aku lelah hari ini ada pasienku mau melahirkan." "Sudah ku atasi tenang saja klinikmu libur hari ini. Semua pasien sudah dibawa ke rumah sakit lain." "Apa! Apa maksudmu?" kaget Marsya mendengar ucapan Juan. Badannya sampai setengah duduk membuat kesenangan Juan terganggu. Juan bangun dari kasur lalu berdiri dihadapan Marsya dengan senjata yang masih menegang. Tangannya memegang dagu Marsya kepalanya menunduk menatap istrinya yang terlihat marah tapi seksi dimatanya. "Benar, semua pasienmu sudah Aku pindahkan ke rumah sakit milikku. Penghasilan rumah sakit hari ini tetap masuk kerekening Kamu sayang. Kau tak usah khawatir mereka ditangani dengan baik. Dan Kau hanya menangani Aku saja, hem." "Tapi ... hph," Belum sampai melanjutkan ucapannya Juan mencium bibir Marsya yang membengkak tangannya terulur mengendong tubu
Kedua bola matanya terbelalak melihat Juan yang sedang melumat bibirnya dengan mata memandangnya. "Hph ... uh ... Juan hentikan." Bukannya berhenti Juan semakin melesakkan lidahnya ke dalam mulut Marsya melumat dan menghisap saling merasakan saliva masing-masing. Tangannya mencekal pergelangan tangan Marsya ke atas kepala dan mengunci kakinya dengan menindihnya. "Juan apa yang Kau lakukan?" "Kenapa, Aku meminta hak Aku sebagai suami." "Enak saja! Aku nggak mau, minggir berat nih!" "Ck ... jangan merusak suasana istriku!" "Aku belum siap Juan, Aku ... Aku lagi datang bulan. Ah ya! Benar datang bulan." "Yakin? Apa hanya alasan Kamu saja?" "Aku tidak bohong Juan, awas ih berat Kamunya!" Juan tersenyum menyeringai jahat sambil memainkan lidahnya ke bibir. "Kenapa wajahmu sepertii itu? Jangan aneh-aneh deh!" Tiba-tiba tangan kiri Juan menyentuh dua bulatan Marsya yang padat pas digenggamannya. "Kau tidak memakai bra? Sepertinya istriku ini sudah biasa tidur seperti ini, hem?"