Aksi kejar-kejaran Vale dan anak buah Alan seperti di film. Driver online yang membawanya ke bandara tak kalah keren seperti pembalap international.
Sampai di bandara Vale memberikan uang 30 juta kepada driver itu yang kaget di bayar mahal tanpa henti driver itu memuji Vale dan banyak mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum uang itu masuk ke dalam jaketnya dua orang mengambilnya dan menahan tangannya kebelakang. Vale yang buru-buru tidak memperhatikan lagi nasib driver itu. Setelah itu dia berjalan cepat untuk memesan tiket ke dalam. Rambut yang acak-acakan jangan lupakan alas kaki berupa sandal tidur hello kitty yang dia pakai. Membuat seorang dua pria tampan yang berdiri tak jauh dari petugas check in counter sambil menyilangkan tangan di dada menatapnya tanpa berkedip. Vale yang tak sadar melewati pria itu tanpa menaruh curiga kalau sebenarnya keadaan bandara begitu sepi hanya ada dia dan pegawai ticket dan pria yang berdiri tak jauh di belakangnya dan beberapa pengawal. "Permisi, Saya ingin memesan penerbangan ke London," ucapnya dengan nafas terengah-engah. "Bisa ... tanggal berapa Anda ingin pergi Nona?" "Sekarang, bisakah Saya memilih penerbangan siang ini?" "Tidak bisa," jawab seseorang dengan suara berat berbisik di telinganya membuat tengkuk leher Vale merinding. Vale mematung badannya kaku mengenali suara seseorang yang berada di belakangnya. "Kenapa Kau gemar sekali kabur sayang. Bukannya Kau sudah berjanji akan menjadi wanita penurut, hem?" tanya Alan yang terdengar lembut tapi menakutkan bagi Vale. "Alan ... apa yang Kau lakukan di sini," sahut Vale gelagapan melihat Alan yang selalu saja bisa menemukannya. Tak menjawab pertanyaan Vale, Alan langsung mengangkat tubuh Vale kepunggungnya. "Yaaaakk! Lepas Alan, Kau sudah keterlaluan. Aku mau kembali ke London!" teriak Vale kencang dengan kaki menendang-nendang ke udara. Alan yang kesal menepuk bokong Vale, wanita itu malah menjerit-jerit seperti anak kecil yang dihukum orangtuanya. "Aaahk! Tolong siapapun Aku mau diculik sama pria gila. Tolong! Hey tolong Aku," pintanya kepada Biza yang berjalan di belakang mereka dengan wajah datar. Beberapa para pegawai staf di bandara tak ada yang berani menolong Vale karena kekuasaan dua pria itu yang sangat berpengaruh di negeri ini. Vale dibawa ke jet pribadi milik Alan wanita itu masih teriak dan mengomeli Alan. Alan masuk ke dalam kamar pribadi khusus di dalam jet pribadinya. Hanya Valeria orang pertama yang memasuki kamar itu. Violet sebagai kekasih Alan tidak pernah diizinkan menumpangi apalagi memasuki kamar khusus di dalam jet pribadi milik Alan karena memang Alan begitu menjaga privasinya. Sedangkan Biza yang ikut dengannya duduk dengan tenang sambil menikmati wine yang sudah disediakan. Di dalam kamar jet pribadi milik Alan yang didesain dengan mewah sepasang manusia itu saling menatap tajam tanpa ada yang mau berkedip. "Aku tidak mau ikut denganmu apalagi tinggal denganmu hubungan Kita sudah berakhir sejak tiga tahun yang lalu. Tolong mengerti Aku Alan, Aku lelah." "Tidak! Kau akan tetap bersamaku meskipun dunia ini kiamat Kita akan selalu bersama." "Are you crazy!" "Yeah ... I'm crazy because I'm crazy love with You." "it's a lie that the proof is that you divorced me, Alan!" Kau berbohong Kau hanya dikhianati kekasihmu saja makanya pergi mencariku. Kau pikir Aku tidak tahu kalau kekasihmu itu selingkuh hah!" "Aku tidak berbohong Aku ingin Kita kembali seperti dulu Vale." "Lalu bagaimana dengan kekasihmu itu!" Apa Kau mau membuangnya seperti dulu Kau membuangku!" Tak ada jawaban dari mulut Alan pria itu bungkam membuat Vale tertawa sinis kemudian berkata. " Aku tetap tidak mau kembali denganmu dan Aku akan tetap berhubungan dengan Bram." Alan yang mendengar nama Bram tiba-tiba langsung mengambil tas Vale yang berada di kasur mengambil paspor wanita itu. Dia merogoh pematik di sakunya kemudian membakar paspor Vale. "Alan apa yang Kau lakukan!" teriak Vale dengan mulut terbuka lebar melihat paspornya sudah terbakar habis. "Aaaaaaaa ... pasporku! Brengsek!" Vale memukuli Alan seperti orang kesetanan karena syok dengan tingkah Alan. Pukulan, cakaran, tendangan Dia layangkan ke semua tubuh Alan yang tak melawan sedikitpun. Vale berteriak dan menangis suaranya terdengar lirih di dalam kamar setelah ditinggalkan Alan keluar. Alan meminum winenya dengan penampilan yang kacau semua pengawal yang ikut serta awak kabin tak ada yang berani menatapnya. Biza pun hanya diam tanpa mengatakan apa-apa melihat aura temannya yang sangat marah dan kacau dari atas rambut sampai ujung kaki. Jangan lupakan wajahnya yang tampan itu ada bekas cakaran dan tamparan. Rupanya Vale menampar begitu kuat ke pipinya. Setelah meredakan segala gejolak di dalam dadanya. Alan kembali masuk ke kamar melihat Vale yang sedang tidur dengan sisa air mata di pipinya yang mulus tanpa cela. Alan mendekati Vale yang sedang tidur dengan sisa air mata di pipinya yang masih basah. Diapun menaiki ranjang itu setelah membuka kemeja dan celana panjang bahannya. Tubuh yang gagah dengan gambar tato naga dari leher sampai betisnya dengan otot perut yang kencang membuat Alan sangat menggairahkan kalau saja Vale tidak sedang merajuk wanita itu pasti mengomel dan menghindarinya. Alan mengecup bibir Vale dan membawanya kepelukannya. Vale sedikit membuka matanya tapi Dia hanya diam karena sudah lelah dan pasrah dengan mantan suaminya yang gila itu. Vale pastikan Dia tidak bisa pergi darinya. "Tidurlah masih ada 5 jam lagi Kita tiba di London. Aku akan mengantarmu ke sana mengambil semua apa yang ingin Kau bawa, tidurlah." "Fuck you," sahut Vale pelan. Alan yang mendengar umpatan Vale menyunggingkan senyumnya mendekatkan wajahnya lalu melumat bibir Vale yang merah merekah. Dari ciuman pelan lama-lama menjadi lumatan yang begitu menuntut dan dalam. Vale hanya pasrah karena percuma dia melawan kalau pada akhirnya dia juga yang kalah. Alan melakukan making out di dalam kamar jet pribadinya setelah bertengkar hebat.Britania Raya - London wilayah metropolitan berlokasi disepanjang sungai Thames. Pemukiman utama yang di dirikan oleh romawi pada abad ke-1. Disinilah selama 3 tahun Vale menenangkan hati dan pikiran setelah diceraikan Alan. Thames Residences Hyde Park, apartemen mewah tempat di mana Vale tinggal selama di London. Sebagai ibu kota Inggris, kota ini selalu menawarkan kehidupan yang sibuk dan penuh gairah, tempat di mana keinginan dan kenyataan sering bertabrakan dengan cara yang tidak terduga. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, Vale telah menemukan kedamaian yang ia cari selama bertahun-tahun. Di dalam kamar apartemen milik Vale, Alan memandangi wajah Vale yang sedang duduk di sofa dengan mulut tertutup rapat tanpa mau menjawab pertanyaannya sejak keluar dari jet pribadi miliknya. "Kau masih tak mau jawab juga." "Untuk apa? Aku mendapatkan itu semua darinya secara cuma-cuma. I think ... dia berhak dapat perhatian dariku," jawab Vale akhirnya setelah bungkam selama 30 menit yang lal
Alan menatap Vale, perasaan marah bercampur cemas merayapi hatinya. Di hadapan Vale, ia merasa tak berdaya, tak mampu mengendalikan dirinya lagi. Namun, di dalam dirinya ada perasaan yang lebih besar: bahwa Gerald Ludwig adalah ancaman nyata yang harus segera dihadapi, jika ia ingin kembali merebut hati Vale. Tiba di Jakarta ... Di ruang tamu Vale berdiri, membalikkan tubuhnya dengan langkah pelan. "Aku setuju," ujarnya, memecah kesunyian yang sudah lama menyesakkan. Alan mengangkat alisnya, ekspresinya berubah. "Kau serius?" tanyanya, tak percaya dengan kata-kata Vale. Vale mengangguk perlahan. "Tapi ada syarat. Kau harus menghentikan hubunganmu dengan Violet," tegasnya, matanya tak terlepas dari Alan. Alan menelan ludah, terkejut dengan permintaan itu. Violet, kekasihnya yang berasal dari Jerman, adalah sosok yang membuatnya melupakan Vale, setidaknya itu yang dia percayai. Namun, Vale tak memberi kesempatan untuk mempertimbangkan lagi. "Apa yang kamu maksud?" Alan menger
Pagi yang tenang itu terasa penuh dengan kesunyian yang memekakkan telinga. Alan mencoba mengalihkan perhatian dari pikiran yang mengganggunya dengan menatap dokumen yang tergeletak di meja. Dokumen yang seharusnya ia baca beberapa hari lalu, yang diserahkan Abizar dengan begitu serius. Alan menarik tumpukan kertas dan membuka lembar demi lembar dengan perasaan yang tidak menentu. Setelah beberapa halaman berlalu, matanya berhenti pada sesuatu yang menarik perhatian sebuah foto. Foto yang cukup mengejutkan untuk membuat napasnya tercekat. Di sana Violet kekasihnya yang telah ia putuskan untuk ditinggalkan terlihat sedang berdiri di samping seorang pria muda dengan wajah tampan, di sebuah pesta di Italia. Ia melirik foto lainnya. Di foto berikutnya, Violet dan Boy tampak lebih intim lebih dari sekedar rekan kerja. Mereka berdua saling berpegangan tangan, tersenyum mesra. Alan merasakan kepalanya berputar, tubuhnya seakan membeku sejenak. Ada perasaan yang sulit dijelaskan ketika me
Pagi itu, hujan turun deras di luar mengaburkan jendela-jendela rumah besar yang dulunya selalu ramai oleh tawa dan canda. Alan Chester berdiri di jendela, menatap langit yang mendung, seakan ingin menutupi seluruh kenyataan pahit yang harus dia hadapi. Di meja, selembar surat yang ia tulis dengan tangan sendiri terbuka, tergeletak begitu saja, tanpa ada yang menyentuhnya. Itu adalah surat yang berisi ultimatum kepada Tuan Satia, Ayah dari mantan istrinya, Valeria. "Vale." Suara Alan memecah keheningan, membuat Valeria menoleh. Alan tampak serius, bahkan lebih serius dari biasanya. "Aku sudah menulis surat untuk ayahmu. Aku akan mengambil semua saham Vale Group jika dia tidak segera kembali ke Indonesia dan menyelesaikan masalahnya. Aku ingin dia bertanggung jawab." Valeria menatapnya dengan tatapan kosong. Sudah berapa kali Alan mengancam untuk melakukan hal yang sama? Berapa kali dia menggunakan Vale Group sebagai alat untuk memaksanya kembali ke kehidupannya? Namun, kali in
Bagi Alan Chester Clark, hari ini tampaknya tidak akan berakhir dengan tenang. Lantai marmer di ruang kerja pribadinya terasa lebih dingin dari biasanya, seolah mencerminkan ketegangan yang melingkupi dirinya. Di meja kerjanya, tumpukan berkas dan laptop yang terbuka menunjukkan kekacauan. Semua ini akibat satu kejadian yang mengejutkan, keuangan bank miliknya, Alan CC, diretas oleh hacker. Kerugiannya bukan main—tiga triliun rupiah hilang begitu saja. Alan menatap layar laptopnya, mencoba mencari celah, mencari penjelasan, namun tidak ada yang bisa menjelaskan dengan gamblang apa yang terjadi. Kecanggihan hacker yang menyerang banknya terlalu luar biasa untuk dilawan hanya dengan teknologi biasa. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, menarik napas panjang, berusaha meredam amarah yang hampir meledak. 'Apa ini? Kenapa aku bisa sebodoh ini?' gumam Alan pada dirinya sendiri, dengan tangan mengepal di meja. Violet, mantan kekasihnya yang sudah dia campakkan, tidak tampak belakangan ini
Abizar duduk dengan tenang di ruangannya, menunggu dengan sabar kedatangan Alan temannya yang telah dia beri tahu bahwa Boy dan Violet telah ditangkap dan dibawa ke markasnya. Matanya bersinar dengan niat jahat, siap untuk memberikan hukuman kepada kedua pengkhianat itu. Sementara itu, di ruang sebelah, Boy dan Violet diseret masuk dengan kasar oleh anak buah Abizar. Mata mereka ditutup dan tangan mereka diikat rapat, membuat mereka tidak bisa bergerak atau melihat apa pun di sekeliling mereka. Violet mencoba untuk tetap tenang meskipun hatinya berdebar kencang, namun Boy tidak bisa menahan diri. Dia berontak dan mencoba melawan, namun hanya mendapat pukulan oleh anak buah Abizar. "HEY! Bangun, kau masih kuat?" suara pria plontos yang tersenyum jahat di sampingnya. Boy merasakan dirinya diangkat dengan kasar dan dilemparkan ke lantai. Ia merasakan beberapa pukulan mengenai tubuhnya, membuatnya menjerit kesakitan. "Berhenti! Jangan lakukan itu!" caci Violet, yang sedari tadi
"Benar, Nyonya Valeria Rush dengan sadar sudah menandatangani surat rujuk, Tuan Gerald." Kata Abizar suara tegasnya menggema di ruang yang penuh ketegangan. Gerald menatap Abizar dengan mata yang lebar, tak percaya. Langkahnya terhenti seketika, seolah tubuhnya terkunci dalam ruang sempit. "Benarkah?!" ujar Gerald. "Ya, Tuan Gerald semuanya sudah tertulis. Nyonya Vale menandatanganinya sendiri," jawab Abizar dengan nada yang sepertinya tak mengindahkan rasa kecewa Gerald. "Dia memilih Tuan Alan," tambahnya lagi. Alan, yang sejak tadi berdiri dengan sikap begitu percaya diri, tersenyum penuh kemenangan. "Apa yang aku katakan, Tuan Gerald? Akhirnya, Vale kembali ke sisiku. Tidak ada yang bisa menghalau jalanku. Kamu lihat, kan? Semua yang kamu coba lakukan sia-sia." Gerald menatap Alan dengan pandangan dingin. "Kau pikir kau pemenangnya?" suaranya terdengar lebih rendah, penuh ancaman. "Aku belum selesai dengan ini." Tapi Alan hanya tertawa sinis, seperti menganggap semuanya s
Abizar menekan bel apartemen Vale berkali-kali. "Vale, cepatlah buka pintunya!" Vale muncul dengan wajah polos dan penuh pertanyaan. "Ada apa, Abizar? Kenapa menekan bel berkali-kali seperti itu?" "Aku membawa Alan pulang dalam keadaan kacau. Aku butuh bantuanmu untuk membawanya ke kamar." Vale terkejut. "Kenapa Alan dalam keadaan seperti itu? Ada apa dengannya?" "Kau tanyakan saja besok kepadanya setelah dia sadar. Aku pamit dulu, Vale." Vale membantu Abizar membawa Alan ke kamarnya. Setelah Abizar pergi, Vale duduk di samping tempat tidur Alan yang gelisah. Vale menggoyangkan bahu Alan. "Alan, bangunlah. Apa yang terjadi malam ini?" Alan yang masih merem melek, tiba-tiba menarik Vale untuk mencium bibirnya. "Aku tidak tahan lagi, Vale. Aku ingin kamu, sekarang juga." Vale kaget dengan tindakan Alan. "Kita tidak boleh melakukan ini, Alan. Ini tidak benar." Alan berbicara dengan nafas tersengal-sengal. "Tidak benar apanya kita ini suami istri. Tolong bantu aku m
Darwin menghela napas panjang, melihat adiknya yang semakin terpuruk dalam kebingungannya. Ia tidak ingin Elsa merasa tertekan, tetapi ia juga tidak bisa begitu saja menerima hubungan ini tanpa memahami lebih dalam siapa Abizar sebenarnya.“Elsa, aku hanya ingin melindungimu,” kata Darwin dengan suara yang lebih lembut, meskipun masih penuh kekhawatiran. “Aku tidak ingin kau terjebak dalam bahaya. Tapi jika kau memilihnya, aku tidak bisa melarangmu. Aku hanya berharap kau tidak menyesal nantinya.”Elsa menunduk, matanya mulai berembun. “Aku... aku perlu waktu untuk memikirkannya,” ujarnya pelan.Abizar merasakan keputusasaannya, namun ia tetap berusaha tegar. “Elsa, aku akan menunggu. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Keputusan ada padamu.”Darwin menatap keduanya, wajahnya kaku, seolah menahan perasaan yang bergejolak di dalam dada. “Aku berharap kau tahu apa yang kau lakukan, Abizar. Karena jika kau menyakiti Elsa, aku tidak akan segan-segan un
Elsa hanya mengangguk, tangannya menggenggam erat ujung gaun putih yang ia kenakan. Sesuatu dalam hatinya berkata bahwa Abizar tulus. Tetapi ketakutan tetap membayang. Masa depan mereka, tantangan yang menanti, semuanya terasa begitu besar.Pintu ruang tamu terbuka dengan keras, dan masuklah Darwin, diikuti oleh Maya. Wajah Darwin terlihat gelap, lebih serius dari biasanya. Maya, yang selalu menjadi penengah, kali ini tampak hanya mengamati, duduk di salah satu kursi tanpa mengatakan apa-apa. Elsa merasakan perbedaan pada dirinya—sebuah ketegangan yang baru, yang tak pernah ada sebelumnya.Darwin menatap Abizar dengan tatapan yang sangat tajam. “Abizar, aku sudah memberi kamu kesempatan. Tapi sekarang, aku ingin mendengarnya langsung darimu. Apa yang sebenarnya terjadi antara kau dan adikku?” Suara Darwin rendah namun penuh ancaman, dan Elsa merasakan getaran di dalam dadanya. Ini bukan pertemuan biasa.Abizar menghela napas, matanya berseri-seri, namun je
Abizar menghela napas panjang, seolah sudah menyiapkan diri untuk jawaban ini sejak lama. “Aku siap kehilangan segalanya. Selama aku tidak kehilangan dirimu.” Suaranya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. “Aku tak peduli apa yang akan terjadi. Aku tak peduli berapa banyak musuh yang akan datang, atau betapa sulitnya hidup kita nanti. Aku hanya ingin kamu, hanya kamu, Elsa.”Kata-kata Abizar menggema di hati Elsa. Ia bisa merasakan ketulusan dalam setiap kalimat yang diucapkannya, dan seketika itu juga, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Ketakutannya tak lagi bisa menahan langkahnya. Meski perasaan takut itu masih ada, ada juga sebuah keberanian yang mulai tumbuh. Keberanian untuk memilih kebahagiaannya, meskipun itu berarti harus melawan segala yang sudah ia kenal.“Abizar...” Elsa menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air matanya yang sudah hampir jatuh. “Aku memilihmu. Aku memilih kita.”Abizar terdiam sejenak, lalu sebuah senyuman yang tulus mun
Suasana semakin memanas ketika Maya Agatha, istri Darwin, tiba-tiba muncul di ruang tamu. Ia memandang situasi itu dengan cemas, lalu mendekati Elsa.“Elsa, apa yang sebenarnya terjadi di sini?” tanyanya dengan lembut.Elsa menatap Maya dengan mata yang penuh air mata. “Aku mencintai Abizar, Maya. Tapi Darwin tidak akan membiarkan aku bersamanya.”Maya memandang Darwin dengan tatapan penuh kekecewaan. “Darwin, kau tidak bisa terus-menerus mengontrol hidup Elsa. Kau harus membiarkannya membuat keputusannya sendiri.”“Dia tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya!” balas Darwin dengan frustrasi.Abizar menarik napas dalam-dalam sebelum berbicara. “Darwin, aku tahu kau hanya ingin melindungi Elsa. Tapi kau harus sadar bahwa dengan mencoba mengontrol hidupnya, kau justru menyakitinya. Biarkan dia memilih.”---Puncak EmosiSuasana di ruangan itu terasa semakin tegang. Elsa berdiri di tengah-tengah mereka, merasa ter
Saat tiba di ruang tamu, ia menemukan Abizar berdiri di tengah ruangan. Basah kuyup karena hujan, tetapi sorot matanya tetap tajam, penuh tekad. Elsa berhenti beberapa langkah darinya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.“Kenapa kau di sini?” tanyanya pelan, tetapi nada suaranya sarat dengan emosi.“Aku ingin kau mendengar semuanya,” jawab Abizar. “Tentang aku, tentang Darwin, dan tentang alasan kenapa aku tidak akan pernah berhenti memperjuangkanmu.”Elsa terdiam. Kata-kata itu mengguncang hatinya, tetapi ia tidak ingin terlihat lemah. “Darwin tidak akan membiarkan kita bersama, Abizar. Dia sudah memutuskan. Dan aku … aku tidak bisa melawan keluargaku.”Abizar melangkah mendekat, jarak mereka kini hanya beberapa langkah. “Kau bisa melawan, Elsa. Aku tahu kau bisa. Aku tahu kau lebih kuat dari yang kau kira.”Elsa menggeleng, air matanya mulai menggenang. “Aku tidak sekuat itu. Dan aku tidak ingin melihatmu terluka karenaku.”
Livia menyandarkan punggungnya di sofa, menatap sahabatnya penuh empati. “Tapi apa Darwin tahu bagaimana perasaanmu? Apa kau pernah memberitahunya?” Elsa mendesah panjang. “Percuma, Liv. Darwin tidak mendengarkan. Baginya, aku hanyalah seseorang yang harus dia lindungi, meskipun itu berarti mengabaikan apa yang aku inginkan.” “Tapi ini hidupmu, Elsa,” balas Livia dengan nada lebih tegas. “Kau tidak bisa membiarkan Darwin terus mengontrol keputusanmu.” Elsa memandang Livia, matanya dipenuhi keraguan dan rasa takut. “Dan bagaimana kalau dia benar? Bagaimana kalau Abizar benar-benar berbahaya?” Livia menggeleng perlahan. “Aku tidak percaya itu. Dari caranya memperjuangkanmu, aku bisa lihat dia tulus. Mungkin kau harus percaya padanya, Elsa.” Hening sejenak melingkupi mereka, hanya suara hujan yang terdengar. Elsa tahu Livia mungkin benar, tetapi rasa takutnya pada masa lalu Abizar dan ancaman Darwin membuatnya s
Elsa bangkit dari sofa, terkejut melihat kakak iparnya berdiri di pintu. “Darwin, ada apa?” Darwin melangkah masuk, tatapannya tajam seperti biasa. “Kita perlu bicara.” Elsa ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk. “Di ruang tamu.” Saat mereka duduk, Darwin langsung memulai pembicaraan tanpa basa-basi. “Kudengar Abizar mendekatimu lagi.” “Darwin, aku—” “Aku tidak datang untuk mendengar alasanmu,” potong Darwin. “Aku hanya ingin memperingatkanmu. Abizar bukan pria yang tepat untukmu. Dia berbahaya, Elsa.” “Berbahaya?” Elsa menatap Darwin dengan alis terangkat. “Darwin, kau tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia sudah membuktikan semuanya. Semua itu adalah jebakan Natasya!” “Tapi itu tidak mengubah siapa dia,” kata Darwin dengan nada yang semakin tegas. “Dia masih seseorang yang terkait dengan mafia. Kau tahu apa yang akan terjadi jik
"Aku tidak memintanya membuat keputusan sekarang," jawab Abizar. "Aku hanya ingin berbicara dengannya."Livia menatap Abizar sejenak sebelum mempersilakannya masuk. Elsa muncul dari ruang tengah, dan ekspresinya tak bisa ditebak. Ia terlihat ragu, tetapi tidak mengusir Abizar."Apa yang kau inginkan, Abizar?" tanyanya pelan.Abizar menyerahkan salinan dokumen dan rekaman itu. "Ini salinan semua bukti yang kutemukan. Aku ingin kau tahu bahwa aku akan terus berjuang untuk membersihkan namaku dan memenangkan kembali kepercayaanmu."Elsa memandang dokumen itu tanpa mengambilnya. "Apa kau pikir semua ini akan membuatku langsung memaafkanmu?""Tidak," jawab Abizar, suaranya tegas. "Aku tidak berharap kau langsung memaafkanku. Aku hanya ingin kau tahu kebenarannya. Apa pun keputusanmu, aku akan menghormatinya."Elsa terdiam lama, lalu akhirnya mengambil dokumen itu. "Aku akan memikirkannya," katanya singkat.Abizar mengangguk,
Hatinya yang sudah terlanjur hancur kini dipenuhi oleh keraguan yang tak berujung. Ia ingin percaya pada Abizar, tetapi luka itu terlalu dalam."Elsa..." Abizar memanggilnya dengan suara yang hampir bergetar. "Aku tak peduli seberapa sulitnya ini. Aku hanya ingin kau tahu aku mencintaimu. Dan aku akan melakukan apa pun untuk membuktikan itu."Elsa menggenggam dokumen di tangannya erat-erat. "Kau bilang mencintaiku, tapi selama ini kau selalu menutup dirimu dariku. Kau selalu menjauh, membuatku merasa aku hanya seorang asing di hidupmu. Bagaimana aku bisa percaya itu cinta?"Abizar terdiam. Kata-kata Elsa seperti tamparan keras yang membangunkannya dari semua kebodohannya. Ia ingin menjelaskan, tetapi tak tahu harus mulai dari mana.---Di sisi lain kota, di sebuah lounge mewahNatasya memutar gelas anggurnya dengan gerakan santai, menikmati setiap detik kemenangannya. Senyum puas tak pernah lepas dari wajahnya. Baginya, Abizar su