Aksi kejar-kejaran Vale dan anak buah Alan seperti di film. Driver online yang membawanya ke bandara tak kalah keren seperti pembalap international.
Sampai di bandara Vale memberikan uang 30 juta kepada driver itu yang kaget di bayar mahal tanpa henti driver itu memuji Vale dan banyak mengucapkan terima kasih. Tapi sebelum uang itu masuk ke dalam jaketnya seseorang datang mengambilnya dan menahan tangannya kebelakang. Vale yang buru-buru tidak memperhatikan lagi nasib driver itu. Setelah itu dia berjalan cepat untuk memesan tiket ke dalam. Rambut yang acak-acakan jangan lupakan alas kaki berupa sandal tidur hello kitty yang dia pakai. Membuat salah satu pria tampan yang berdiri tak jauh dari petugas check in counter menatap datar sambil menyilangkan tangan di dada menatapnya tanpa berkedip. Vale yang tak sadar melewati pria itu tanpa menaruh curiga kalau sebenarnya keadaan bandara begitu sepi hanya ada dia dan pegawai ticket dan dua pria yang berdiri tak jauh di belakangnya dan beberapa pengawal. "Permisi, saya ingin memesan penerbangan ke London," ucapnya dengan nafas terengah-engah. "Tanggal berapa anda ingin pergi Nona?" "Bisakah saya memilih penerbangan siang ini?" "Tidak bisa," jawab seseorang dengan suara berat berbisik di telinganya membuat tengkuk leher Vale merinding. Vale mematung badannya kaku mengenali suara seseorang yang berada di belakangnya. "Kenapa kau gemar sekali kabur sayang. Bukannya kau sudah berjanji akan menjadi wanita penurut, hem?" tanya Alan yang terdengar lembut tapi menakutkan bagi Vale. "Alan... Apa yang kau lakukan di sini," sahut Vale gelagapan melihat Alan yang selalu saja bisa menemukannya. Tak menjawab pertanyaan Vale, Alan langsung mengangkat tubuh Vale kepunggungnya. "Yak! Lepas Alan, kau sudah keterlaluan. Aku mau kembali ke London!" teriak Vale kencang dengan kaki menendang-nendang ke udara. Alan yang kesal menepuk bokong Vale, wanita itu malah menjerit-jerit seperti anak kecil yang dihukum orangtuanya. "Ahk! Tolong siapapun aku mau diculik sama pria gila. Tolong! Hey, tolong aku," pintanya kepada Abizar yang berjalan di belakang mereka dengan wajah datar. Beberapa para pegawai staf di bandara tak ada yang berani menolong Vale karena kekuasaan dua pria itu yang sangat berpengaruh di negeri ini. Vale dibawa ke jet pribadi milik Alan, wanita itu masih teriak dan mengomeli Alan. Alan masuk ke dalam kamar pribadi khusus di dalam jet pribadinya. Hanya Valeria orang pertama yang memasuki kamar itu. Violet sebagai kekasih Alan tidak pernah diizinkan menumpangi apalagi memasuki kamar khusus di dalam jet pribadi milik Alan karena memang Alan begitu menjaga privasinya. Sedangkan Abizar yang ikut dengannya duduk dengan tenang sambil menikmati wine yang sudah disediakan. Di dalam kamar jet pribadi milik Alan yang didesain dengan mewah sepasang manusia itu saling menatap tajam tanpa ada yang mau berkedip. "Aku tidak mau ikut denganmu apalagi tinggal denganmu hubungan kita sudah berakhir sejak tiga tahun yang lalu. Tolong mengerti aku Alan, aku lelah." "Tidak! Kau akan tetap bersamaku meskipun dunia ini kiamat kita akan selalu bersama." "Are you crazy!" "Yeah... I'm crazy because I'm crazy love with You." "it's a lie that the proof is that you divorced me, Alan! Kau berbohong! Kau hanya dikhianati kekasihmu saja makanya pergi mencariku. Kau pikir aku tidak tahu kalau kekasihmu itu selingkuh!" "Aku tidak berbohong aku ingin kita kembali seperti dulu Vale." "Lalu bagaimana dengan kekasihmu itu!" Apa kau mau membuangnya seperti dulu kau membuangku!" Tak ada jawaban dari mulut Alan pria itu bungkam membuat Vale tertawa sinis kemudian berkata. "Aku tetap tidak mau kembali denganmu dan aku akan tetap berhubungan dengan Gerald." Alan yang mendengar nama Gerald tiba-tiba langsung mengambil tas Vale yang berada di kasur mengambil paspor wanita itu. Dia merogoh pematik di sakunya kemudian membakar paspor Vale. "Alan apa yang kau lakukan!" teriak Vale dengan mulut terbuka lebar melihat paspornya sudah terbakar habis. "Ahk... Pasporku! Brengsek!" Vale memukuli Alan seperti orang kesetanan karena syok dengan tingkah Alan. Pukulan, cakaran, tendangan dia layangkan ke semua tubuh Alan yang tak melawan sedikitpun. Vale berteriak dan menangis suaranya terdengar lirih di dalam kamar setelah ditinggalkan Alan keluar. Alan meminum winenya dengan penampilan yang kacau semua pengawal yang ikut serta awak kabin tak ada yang berani menatapnya. Abizar pun hanya diam tanpa mengatakan apa-apa melihat aura temannya yang sangat marah dan kacau dari atas rambut sampai ujung kaki. Jangan lupakan wajahnya yang tampan itu ada bekas cakaran dan tamparan. Rupanya Vale menampar begitu kuat ke pipinya. Setelah meredakan segala gejolak di dalam dadanya. Alan kembali masuk ke kamar melihat Vale yang sedang tidur dengan sisa air mata di pipinya yang mulus tanpa cela. Alan mendekati Vale yang sedang tidur dengan sisa air mata di pipinya yang masih basah. Diapun menaiki ranjang itu setelah membuka kemeja dan celana panjang bahannya. Tubuh yang gagah dengan gambar tato naga dari leher sampai betisnya dengan otot perut yang kencang membuat Alan sangat menggairahkan kalau saja Vale tidak sedang merajuk wanita itu pasti mengomel dan menghindarinya. Alan mengecup bibir Vale dan membawanya kepelukannya. Vale sedikit membuka matanya tapi Dia hanya diam karena sudah lelah dan pasrah dengan mantan suaminya yang gila itu. Vale pastikan Dia tidak bisa pergi darinya. "Tidurlah masih ada lima jam lagi kita tiba di London. Aku akan mengantarmu ke sana mengambil semua apa yang ingin kau bawa, tidurlah." "Fuck you," sahut Vale pelan. Alan yang mendengar umpatan Vale menyunggingkan senyumnya mendekatkan wajahnya lalu melumat bibir Vale yang merah merekah. Dari ciuman pelan lama-lama menjadi lumatan yang begitu menuntut dan dalam. Vale hanya pasrah karena percuma dia melawan kalau pada akhirnya dia juga yang kalah. Mereka melakukan making out di dalam kamar jet pribadinya setelah bertengkar hebat.Britania Raya - London wilayah metropolitan berlokasi disepanjang sungai Thames. Pemukiman utama yang di dirikan oleh romawi pada abad ke-1. Disinilah selama tiga tahun Vale menenangkan hati dan pikiran setelah diceraikan Alan. Thames Residences Hyde Park, apartemen mewah tempat di mana Vale tinggal selama di London. Sebagai ibu kota Inggris, kota ini selalu menawarkan kehidupan yang sibuk dan penuh gairah, tempat di mana keinginan dan kenyataan sering bertabrakan dengan cara yang tidak terduga. Di tengah segala hiruk-pikuk ini, Vale telah menemukan kedamaian yang ia cari selama bertahun-tahun. Di dalam kamar apartemen milik Vale, Alan memandangi wajah Vale yang sedang duduk di sofa dengan mulut tertutup rapat tanpa mau menjawab pertanyaannya sejak keluar dari jet pribadi miliknya. "Kau masih tak mau jawab juga." "Untuk apa? Aku mendapatkan itu semua darinya secara cuma-cuma. I think... Dia berhak dapat perhatian dariku," jawab Vale akhirnya setelah bungkam selama 30 menit yang
Alan melumat bibir Vale dan menahan tengkuk Vale yang terus saja memberontak. Vale berusaha keras untuk mendorong Alan, namun tak bergeser sedikitpun. Tangan berurat dan kekar Alan begitu lihai saat menyentuh tubuh Vale. "Ah, jangan, Alan," desis Vale ketika ciuman itu terlepas. Namun, Alan tidak berhenti. Dia mengangkat tubuh Vale lalu melemparnya ke atas kasur. Vale yang panik mencoba untuk bangkit, namun Alan dengan santainya membuka satu persatu pakaiannya. "Apa yang ingin kau lakukan, Alan? Jangan seperti ini," desis Vale dengan raut wajah yang penuh ketakutan. Alan hanya tersenyum mesum dan mengabaikan ucapan Vale. "Jangan seperti ini, dasar mesum," umpat Vale dengan geram melihat Alan yang tak mendengar protesnya. Alan menatap Vale dengan sorot mata yang penuh nafsu. Dia meraih tubuh Vale dengan kasar, membuat Vale semakin kalut dan ketakutan. Vale terus mencoba melawan, namun usahanya sia-sia tenaga Alan begitu kuat. "Kau tidak bisa melarikan diri dari aku,
"Bolehkan aku bertanya sekali lagi padamu, Alan?" tanya Vale sambil menatap mata Alan dengan tatapan penuh ketegasan. Alan mengangguk pelan. "Ya, tentu saja, apa yang ingin kau tanyakan, Vale?" "Kau benar-benar ingin aku kembali kesisimu?" tanya Vale dengan suara bimbang. Alan menganggukkan kepalanya. "Dan kau tidak menginginkanku dekat dengan Gerald, bukan?" tanya Vale lagi, mencoba memastikan. "Nope!" Vale menarik nafas dalam-dalam. "Kau yakin tak menyesali keputusanmu mengajakku rujuk kembali?" Alan menatap wanita didepannya dengan dalam. "Tidak, aku tidak menyesali keputusan itu." Vale manggut-manggut lalu bibirnya tersenyum miring kemudian berkata. "Kalau begitu, aku mau kembali denganmu. Tapi aku tidak ingin dipoligami, Alan. Aku ingin menjadi istri sahmu satu-satunya. Are you ready?" Alan tersenyum tipis mendengar ucapan Vale. "Ok, I'm ready!." "Tolong bawa berkas itu," ucap Alan pada salah satu pengawal yang berdiri di dekatnya. Pengawal itu segera
"Ahk..." Desah Vale saat Alan menambah kecepatan gerakannya di bawah sana sambil menggoda dengan sentuhan di tubuhnya membuat akal sehatnya hilang begitu saja. Vale merasakan sensasi yang luar biasa saat tubuhnya berpadu dengan Alan, dan tanpa sadar dia terhanyut oleh permainan cinta Alan. "Kau hanya milikku, Vale, selamanya," ucap Alan tanpa menghentikan gerakannya yang semakin cepat. Alan terus meningkatkan ritme gerakannya, menggoda Vale dengan lembut namun penuh gairah. Vale merasa seperti tenggelam dalam kenikmatan yang tak terhingga, tanpa bisa berpikir jernih lagi. "Tidak, Alan, hentikan," teriak Vale ketika bagian sensitifnya di bawah sana merasakan gelombang hebat yang membuatnya tak berdaya. Namun, belum hilang dari rasa yang memabukkan, Alan telah mengangkat tubuhnya ke atas tanpa melepaskan penyatuan mereka. "Enjoy it baby... Oh damn you're tight!" ucap Alan merasa seperti terbang di langit. Alan terus bergerak sambil menahan pinggul Vale, saling menyatu dalam ci
Boy dibawa ke ruang interogasi di markas Abizar dengan tangan dan kakinya dirantai. Ruang interogasi itu dipenuhi dengan berbagai senjata berbahaya seperti samurai, pisau lipat, dan benda-benda lain yang membuatnya merasa ketakutan. "Apakah kau yang memasukkan obat laknat itu ke dalam minuman Mr. Alan?" tanya Yash sambil menatap tajam kepada Boy. "Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan," jawabnya pelan. Tapi setelah tahu maksud pria itu dia tertawa. "Dasar binatang mau saja menurutinya," gumam Boy lagi dengan senyuman mengejeknya kepada Yash. Yash tersenyum sinis. "Kami memang anjing setia kepada tuannya, tapi kami tidak akan menggigit tuan kami sendiri," balasnya dengan tajam. Boy merasa kesal mendengar jawaban Yash. "Kau ini!" kesalnya, tapi kemudian ia tertawa dengan keras. Laura, yang sedang memperhatikannya lewat monitor dari ruangannya, merasa geram melihat tingkah Boy. Laura segera menyusul Yash keruang interogasi. Tatapannya saling bertemu dengan Boy. Dan tanpa b
Abizar memasuki ruangan dengan langkah yang tenang dan dingin. Dia melihat Boy yang tergeletak di lantai, tubuhnya lemah dan berlumuran darah dengan rantai yang masih mengikatnya. "Kau masih belum mau mengakui?" tanya Abizar dengan suara yang datar. Boy mengangkat kepalanya dan melihat Abizar dengan mata yang berisi kebencian. "Aku tidak akan pernah mengakui," jawab Boy dengan suara yang lemah tapi penuh dengan keberanian. Abizar tersenyum dan berjalan mendekati Boy. "Kau pikir kau bisa menahan rahasia itu selamanya?" tanya Abizar dengan suara yang menantang. Boy tidak menjawab, tapi Abizar bisa melihat ketakutan di dalam matanya. "Kita lihat saja," kata Abizar dengan suara yang dingin sebelum memerintahkan anak buahnya untuk melanjutkan penyiksaan terhadap Boy. Anak buah Abizar kemudian melanjutkan penyiksaan terhadap Boy. Mereka memukul dan menendangnya hingga Boy tidak bisa bergerak lagi. "Berhenti!" teriak Abizar tiba-tiba. "Aku ingin dia masih bisa berbicara."
Valeria mendengar suara Alan yang meninggi ketika dia ingin menemuinya dan dia bingung dengan kehadiran seorang wanita paruh baya. Dia berjalan mendekati ruangan dan melihat Alan yang terlihat marah, serta wanita paruh baya yang terlihat ketakutan. "Apa yang terjadi?" Valeria bertanya dengan suara yang lembut, mencoba untuk menenangkan situasi. Alan menatap Valeria dengan mata yang marah, tapi kemudian dia mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya. "Tidak apa-apa, Valeria," Alan menjawab dengan suara yang masih terdengar marah. "Wanita ini hanya datang untuk mencari seseorang." Valeria melihat wanita paruh baya itu dengan rasa penasaran. "Siapa yang dia cari?" Valeria bertanya. Wanita paruh baya itu melihat Valeria dengan mata yang berisi harapan. "Aku mencari Boy, anakku nona" dia menjawab dengan suara yang bergetar. Valeria terkejut mendengar nama Boy. "Apa hubungan Anda dengan Boy?" Valeria bertanya dengan suara yang penasaran. Dia jelas mengena
Enam bulan kemudian Abizar mengetuk kamar Alan berkali-kali. "Vale, cepatlah buka pintunya!" Vale muncul dengan wajah lelah dan penuh pertanyaan. "Ada apa, Abizar? Kenapa mengetuk kamar berkali-kali seperti itu?" "Aku membawa Alan pulang dalam keadaan kacau. Aku butuh bantuanmu untuk membawanya ke kamar." Vale terkejut. "Kenapa Alan dalam keadaan seperti itu? Ada apa dengannya?" "Kau tanyakan saja besok kepadanya setelah dia sadar. Aku pamit dulu, Vale." Vale membantu Abizar membawa Alan ke kamarnya. Setelah Abizar pergi, Vale duduk di samping tempat tidur dengan menatap Alan kesal. Vale menggoyangkan bahu Alan. "Alan, bangunlah. Apa yang terjadi denganmu?" Alan yang masih merem melek, tiba-tiba menarik Vale untuk mencium bibirnya. "Aku tidak tahan lagi, Vale. Aku ingin kamu, sekarang juga." Vale kaget dengan tindakan Alan. "Kau itu kenapa, kau habis minum-minum." Alan berbicara dengan nafas tersengal-sengal. "Ya aku hanya minum sedikit tapi ada yang menaruh se
Boy merasa sangat sedih dan kecewa karena Alan tidak mau melihatnya. Boy hanya ingin mencari tahu tentang keadaan Laura, tapi malah dihalangi oleh pengawal-pengawal kakaknya. Boy memutuskan untuk tidak memaksa Alan untuk berbicara dengannya. Dia tidak ingin membuat situasi menjadi lebih buruk. Boy memutuskan untuk pergi dan mencari tahu tentang keadaan Laura dari sumber lain. Saat Boy berjalan pergi, dia melihat seorang perawat yang sedang keluar dari ruang ICU. Boy segera mendekati perawat tersebut dan bertanya tentang keadaan Laura. "Maaf, saya ingin tahu tentang keadaan Nona Laura. Apakah lukaanya parah?" tanya Boy dengan suara yang khawatir. Perawat tersebut memandang Boy dengan simpati sebelum menjawab. "Maaf, tuan. Nona Laura masih dalam keadaan kritis. Kami masih berusaha untuk menyelamatkan nyawanya."
Vale mencoba menghubungi Alan melalui telepon, karena Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Sementara itu, Alan yang menunggu lama Laura yang tak datang-datang juga menghubungi istrinya, Vale. 'Halo, sayang. Kamu sedang apa?' tanya Alan melalui telepon. 'Alan, aku khawatir. Laura tidak kembali setelah beberapa jam. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak ada jawaban,' jawab Vale dengan suara yang khawatir. Alan terdiam sejenak, kemudian menjawab. 'Aku juga menunggu Laura, tapi dia tidak datang-datang. Aku sudah mencoba menghubunginya juga, tapi tidak ada jawaban. Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya.' Vale merasa lega karena Alan akan mencari tahu apa yang terjadi pada Laura. 'Terima kasih, Alan. Aku sangat khawatir tentang Laura,' kata Vale.
Vale duduk di dalam mobil dengan wajah yang tidak senang. Dia merasa bahwa Boy telah melebih-lebihkan dengan mengatakan bahwa ada pengawal yang menjaganya. Laura memulai mesin mobil dan memandang ke belakang untuk memastikan bahwa Vale sudah siap untuk berangkat. "Maaf, Nyonya," kata Laura dengan suara yang lembut. "Saya akan mengantar anda pulang sekarang." Vale tidak menjawab, tetapi hanya mengangguk dengan wajah yang masih tidak senang. Laura memahami bahwa Vale masih marah dengan Boy, jadi dia tidak berbicara lagi dan hanya fokus pada mengemudi. Saat mereka pergi, Boy masih berdiri di luar restoran, memandang mobil yang pergi dengan wajah yang sedikit gelisah. Dia merasa bahwa perasaannya tak tenang, tetapi dia tidak tahu apa itu. Sampai di mansion... Vale duduk di sofa yang empuk, mengelus perutnya yang sedang hamil besar. Dia masih terlihat marah dan frustras
Boy memasuki apartemennya dengan langkah yang berat, emosi yang masih menggelora di hatinya membuatnya merasa tidak tenang. Dia memang menyukai Laura, tapi hanya sebatas suka, tidak sampai mencintainya. Dia merasa bahwa Laura adalah wanita yang cantik dan baik, tapi dia tidak merasakan adanya hubungan yang lebih dalam dengan Laura. Boy berjalan ke arah jendela dan memandang ke luar, mencoba untuk menenangkan dirinya. Dia merasa bahwa dia telah membuat keputusan yang tepat dengan menolak perjodohan dengan Laura dan memilih Cloe sebagai kekasihnya. Tapi, dia juga merasa bahwa dia telah menyakiti Laura dan keluarganya. Boy mengambil napas dalam-dalam dan mencoba untuk membuang pikiran-pikiran yang mengganggu dirinya. Dia tahu bahwa dia harus fokus pada hubungannya dengan Cloe dan tidak boleh membiarkan perasaan-perasaan yang tidak diinginkan mengganggu dirinya. Dua ming
Boy memandang Alan dengan mata yang marah dan sedih. "Kamu tidak adil, Kak! Cloe bukanlah anak pelakor! Dia adalah wanita yang aku cintai!" teriak Boy dengan nada keras. Alan memandang Boy dengan mata yang tajam. "Kau tidak tahu siapa dia! Yang aku peduli adalah keluarga ini! Dan aku tidak akan membiarkan kamu merusaknya dengan wanita seperti Cloe!" bentak Alan. Boy memandang Alan dengan mata yang penuh kecewa. "Kamu tidak mengerti, Kak! Aku mencintai Cloe! Dan aku akan melakukan apa saja untuk membuatnya bahagia!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak akan membiarkan kamu melakukan itu, Boy! Aku tak menyutujuinya!" bentak Alan. "Kamu tidak adil, Kak! Aku hanya ingin bahagia! Lalu apa bedanya dengan Laura wanita yang tak jelas asal usulnya!" teriak Boy dengan nada keras. "Aku tidak peduli apa yang kamu inginkan, Boy! Asal kau t
Laura berjalan dengan langkah cepat ke dalam markas, tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekitarnya. Dia masuk ke dalam ruang senjata, tempat dia biasa melatih diri dan menguji kemampuan tempurnya. Tapi kali ini, Laura tidak datang untuk melatih diri. Dia datang untuk meluapkan amarahnya. Dia mengambil peluru dari tempat penyimpanan dan memasukkannya ke dalam senjatanya. Dengan mata yang berapi-api, Laura menatap beberapa patung boneka yang berada di ruangan itu. Dia menganggap patung-patung itu sebagai Boy, tuan mudanya yang telah menolak perjodohannya dengannya. Dengan gerakan yang cepat dan tepat, Laura menembaki patung-patung itu berkali-kali. Peluru-peluru menghantam patung-patung itu, membuatnya hancur dan berantakan. Laura terus menembaki patung-patung itu, tidak peduli deng
Laura merasa tidak nyaman ketika melihat pesan tersebut. Dia tidak ingin berbicara dengan orang itu, karena dia tahu bahwa percakapan mereka hanya akan membuatnya semakin sakit hati. 'Aku tidak ingin bicara denganmu,' kata Laura dalam hati, sambil menatap ponselnya. Tapi, ponselnya kembali bergetar. Orang itu tidak mau menyerah. {'Aku tahu kamu sedang online, tapi aku harus bicara denganmu. Tolong, Laura angkat teleponku'} kata pesan tersebut. Laura merasa malas. Dia tahu apa yang ingin dikatakan oleh orang itu, tapi dia tahu bahwa dia tidak bisa menghindarinya. Terpaksa dia mengangkat panggilan itu. ['Dengan siapa aku bicara?'} tanya Laura, sambil mengambil napas dalam-dalam. {'Jangan pura-pura lupa ingatan,'} jawab Boy. Laura diam dan menebak dalam hati. 'Apa dia ingin bicara dengannya tentang perjodoh
Laura keluar dari toilet dengan langkah ringan, ia terkejut ketika melihat seorang lelaki tampan bersandar di dinding, menyilangkan tangan dengan wajah datar. Boy, mendekatinya dengan langkah mantap hingga wajah mereka hanya berselisih beberapa sentimeter saja. Laura bisa merasakan hembusan nafas lelaki itu di wajahnya, membuatnya terdiam. "Kau cemburu, hem?" tanya Boy dengan suara yang menggoda, sambil menatap lurus mata hijau Laura. Laura hanya bisa membalas tatapan tajam Boy sambil tersenyum tipis. "Apa maksud Anda, tuan muda?" tanyanya dengan nada dingin, mencoba menyembunyikan kecanggungannya di balik senyumnya. "Jangan pura-pura kau cemburukan kalau aku dekat dengan wanita lain," ucap Boy sambil menggerakkan jari-jarinya di samping wajah Laura, membuatnya semakin merasa tidak nyaman.
Vale tersenyum melihat pemandangan di depannya. Laura, pengawalnya yang dingin, sedang digoda oleh adik iparnya, Boy. Meskipun terlihat dingin, Vale tahu bahwa di balik sikapnya yang keras, Laura sebenarnya adalah sosok yang lembut dan penuh kasih. Vale yang sedang hamil begitu senang melihat kedua manusia tersebut. Ia berharap agar Laura dan Boy bisa menjadi sepasang kekasih. "Laura, Boy, kenapa kalian selalu bertengkar? Kalian tidak sadar bahwa sebenarnya kalian saling menyukai," ujar Vale sambil tersenyum lembut. Laura menatap Vale dengan tatapan datar. "Apa yang anda bicarakan, Nyonya Vale?" Boy menimpali sambil tersenyum jail. "Kak Vale benar, Laura. Jika kita selalu bertengkar karena saling menyukai. Ayo berikan kesempatan padaku untuk menjadiknmu kekasihku." Laura hanya tersenyum tipis mendengar