Al bersandar pada kursi kerjanya dengan kedua mata yang terpejam sambil memijat pelipisnya, sementara pikirannya bergemuruh.
"Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumamnya. Dia ingat setiap detail hubungannya dengan Navya. Dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan kasar, bahkan tadi adalah pertama kalinya dia membentak Navya. Egonya berkata bahwa dia selalu memperlakukan Navya dengan baik. Dia memberi kebebasan, memenuhi kebutuhan materi, dan memastikan Navya tidak pernah merasa kekurangan. Hanya satu kesalahannya, nafkah batin yang tidak pernah dia berikan. Apakah benar itu satu-satunya masalah? Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apa mungkin Navya benar-benar merasa dirinya tidak dianggap hanya karena hal itu? Dia menolak untuk percaya. “Aku nggak bersalah. Sejak awal aku udah bilang kalo aku akan memberikan nafkah batin di saat aku udah bisa cinta sama dia, dan dia sendiri setuju tentang hal itu,” batinnya, mencoba meyakinkan diri. Namun di balik itu, dia tahu, ada bagian dari dirinya yang menyadari bahwa segala yang Navya katakan tadi mungkin bukan sekadar ledakan emosi. "Aku harus segera menyelesaikan masalah ini," gumamnya. Akhirnya, Al bangkit dari kursinya. Dengan langkah berat, ia meninggalkan ruang kerjanya dan menuju kamar. Pintu kamar terbuka saat dia menekan handle pintunya, dan dia bisa melihat sosok istrinya yang sudah membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Tubuhnya meringkuk, terbungkus selimut dari ujung kepala hingga ujung kaki. Navya memunggunginya, seakan menegaskan bahwa dia tak ingin berbicara lagi. Al menghela napas panjang, merasa sesak. Dia duduk di tepi tempat tidur, lalu berbaring perlahan di sampingnya. Dengan hati-hati, Al mencoba memeluk Navya dari belakang, lengannya terulur untuk membuka selimut yang menutupi kepala istrinya. Namun, tiba-tiba, Navya memberontak tanpa suara, menendang tubuh Al sekuat tenaga hingga pria itu terjatuh dari ranjang. "Akh! Sakit Nav!" Al memekik, berpura-pura kesakitan, berharap tindakannya akan menarik perhatian Navya. Tapi istrinya itu tetap bergeming, tak bergerak sedikitpun. Dia tetap terbungkus rapat di balik selimut. "Tolong bantu aku! Pinggang aku sakit nih!" Al terus mencoba mencari perhatian istrinya itu. Akan tetapi, alih-alih khawatir dan membantunya, justru Navya berkata dengan ketus dari balik selimutnya, "Minta bangunin sana sama selingkuhan kamu! Ngapain minta bantuin aku yang nggak pernah kamu anggap ada!" Perasaan kesal mulai menguasai Al mendengar tuduhan Navya, dan tanpa berpikir panjang, dia bangkit berdiri, menarik selimut itu dengan kasar. Selimut terlepas, menampakkan wajah Navya yang basah oleh air mata. Bahkan kedua matanya memerah dan sembab. Al terdiam, entah mengapa hatinya terasa hancur melihat wajah sendu Navya. Dia jarang, atau bahkan selama ini belum pernah melihat Navya menangis hingga seperti ini. “K-kamu nangis, Nav?” Al bertanya, suaranya lebih lembut, dipenuhi rasa bersalah yang tak mampu dia sembunyikan. “Selama kita menikah, aku nggak pernah lihat kamu nangis sampai seperti ini," imbuhnya dengan tatapan heran, karena dia hanya pernah melihat istrinya itu menangis di saat Axel demam hingga mengalami kejang tiga tahun lalu, ketika dia baru satu bulan menikahinya. Navya terlihat sangat menyayangi kedua anaknya. Hal itulah yang membuatnya merasa bahwa keputusannya untuk menikahi Navya adalah sebuah keputusan yang terbaik, meskipun dia tidak mencintainya, dan pernikahannya ditentang oleh ibu kandungnya karena latar belakang Navya yang tidak memiliki orang tua dan hanya berasal dari panti asuhan. Navya seketika menutup wajahnya dengan guling yang ia peluk erat, air mata terus mengalir tanpa bisa ditahan. “Setiap malam juga aku nangis, Mas,” jawabnya dengan suara bergetar. “Sejak mantan istri kamu itu masuk ke dalam pernikahan kita, aku selalu nangis. Tapi kamu aja yang nggak pernah liat, karena kamu nggak pernah peduli sedikitpun sama aku. Kamu selalu lebih peduli sama dia di banding aku!” Kata-kata Navya menampar Al dengan keras. Dia tidak tahu bahwa istrinya telah menderita dalam diam selama ini. Karena Navya selalu bersikap ceria dan tidak pernah menunjukkan rasa sakitnya. Tapi tunggu ... Al teringat akan sikap Navya beberapa hari belakangan ini yang nampak berbeda. Navya nampak dingin dan cuek padanya. Bahkan istrinya itu tidak pernah lagi memasangkan dasi saat ia hendak pergi bekerja, juga tidak pernah lagi menuangkan makanan ke atas piringnya seperti yang biasa dilakukannya. Justru Zoya lah yang menggantikan perannya melakukan hal yang selama ini selalu Navya lakukan setiap harinya. Rasanya seperti ada beban besar yang tiba-tiba menindih dadanya saat dia menyadarinya, membuatnya sulit bernapas. Al mengulurkan tangan, mencoba mengambil guling yang menutupi wajah Navya. Namun, Navya mencengkeramnya begitu erat, hingga Al merasa kesulitan melepaskannya. “Nav, tolong ... aku ngerti sekarang. Kalau memang kedekatan aku sama Zoya bikin kamu sakit hati, aku akan coba jaga jarak,” ucap Al lembut, berusaha menenangkan suasana. Ada ketulusan dalam suaranya, tapi itu belum cukup bagi Navya. Navya tak bergeming, tubuhnya kaku, tetap memeluk gulingnya erat-erat. Suara tangisannya pelan, namun jelas terdengar di dalam kamar yang sunyi. “Kamu udah pernah bilang begitu, Mas,” bisik Navya lemah. “Tapi setiap kali Zoya atau orang tuanya telepon, bilang Zoya nggak mau kemoterapi, bilang Zoya nggak mau makan, kamu pasti langsung datang menemuinya." "Kamu ninggalin aku, Mas ... selalu. Kamu selalu kayak gitu. Aku capek, Mas! Aku capek sampe rasanya aku pengen mati setiap lihat kamu jauh lebih peduli dan perhatian sama dia! Bahkan aku nggak pernah dapetin perhatian kamu sedikit pun selama tiga tahun pernikahan kita!" Al terdiam. Kata-kata Navya menelusup dalam hati, menimbulkan rasa bersalah yang lebih besar. Dia ingat, beberapa waktu belakangan ini Zoya memang sering kali menolak pengobatan dan menolak makan hingga butuh bujukan darinya. Tapi dia tak pernah berpikir jika ternyata dampaknya pada Navya begitu dalam. “Nav, aku nggak tau kalo kamu ngerasa se-” Al mencoba menjelaskan, namun Navya memotongnya. “Kamu nggak tau karena kamu nggak pernah peduli sama perasaan aku, Mas!” Navya berteriak lirih dan melempar gulingnya ke lantai, lalu bangkit duduk dengan air matanya semakin deras mengalir. Kedua matanya menatap penuh kebencian pada suaminya itu. “Kamu tau aku nggak nyaman setiap kali Zoya ada di rumah kita, tapi kamu nggak pernah peduli tentang itu setiap kali aku coba buat protes sama kamu." "Bahkan saat aku tersiram air panas, Zoya menuduh aku yang menyiramkan air itu ke dia, dan kamu ... kamu malah lebih percaya dan belain dia!" "Kamu langsung urusin dia yang cuma kena tetesan doang di kakinya, sementara aku ... aku yang tangannya tersiram sampe melepuh, cuma berdiri di sana sambil merhatiin kamu yang lagi mengkhawatirkan perempuan lain, Mas! Sakit, Mas! Sakit!" Navya menangis histeris, suaranya penuh kepedihan. Al merasa seperti dihantam palu besar. Setiap kata yang keluar dari mulut Navya membuat hatinya semakin hancur. Sudah terlalu banyak hal menyakitkan yang Navya alami selama ini. Al tidak pernah benar-benar menyadari betapa dalam luka yang ia torehkan di hati istrinya. “Tiga tahun ini ... sejak hari pertama kita menikah, aku nggak pernah merasa benar-benar punya suami, Mas. Aku selalu sendiri. Setiap aku sakit, mana pernah kamu yang lagi kerja atau perjalanan bisnis ke luar kota, buru-buru pulang cuma karena mengkhawatirkan aku? Nggak pernah, kan, Mas?" "Awalnya aku nggak pernah mempermasalahkan hal itu, Mas. Tapi, setelah Zoya ada di tengah kita dan melihat semua sikap dan perhatian kamu sama dia ... aku baru sadar kalo kamu selama ini bersikap cuek sama aku bukan karena karakter kamu yang kayak gitu, tapi emang karena kamu nggak pernah anggap aku ada, Mas." "Aku capek, aku nggak sanggup lagi. Jadi ... ayo kita cerai aja, Mas. Aku mengalah. Aku nggak mau jadi penghalang kebahagiaan kamu dan anak-anak,” lanjut Navya dengan suara yang hampir tak terdengar. Al merasakan hantaman terakhir saat mendengar pernyataan itu. Dia ingin memeluk Navya, menghapus semua rasa sakit yang telah ia sebabkan. Tapi entah mengapa, setiap kali dia mendekat, jarak di antara mereka terasa semakin jauh. Navya bangkit dari tempat tidur, hendak menuju kamar mandi untuk membasuh wajahnya yang basah oleh air mata. Namun, dengan gerakan cepat, Al tiba-tiba meraih pergelangan tangannya dan menariknya hingga jatuh di pangkuannya. Spontan saja, Navya terkejut saat tatapan mereka bertemu. Sejenak, keheningan menyelimuti kamar itu. Jantung keduanya berdebar kencang. Al merasakan hangatnya tubuh Navya di pelukannya, dan tanpa sadar, tatapannya tertuju pada bibir ranum istrinya. Seolah terhipnotis, Al perlahan mendekatkan wajahnya ke arah Navya, niat untuk menyesap bibir mungil nan lembut berwarna pink alami itu muncul di benaknya. Embusan napas mereka saling beradu dengan ujung hidung mancung Al yang saling menyentuh ujung hidung sang istri. "Nav ...."Navya tiba-tiba bangkit dengan kasar sambil mendorong dada bidangnya, membuat Al tersentak. Tanpa kata-kata, Navya menancapkan tumitnya keras-keras ke kaki Al sebelum berlari ke toilet."Akh! Nav! Kenapa kamu injak kaki aku?" Al memekik kesakitan sambil memegangi kakinya. Rasa nyeri menjalar dari telapak kakinya ke seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan tersisih yang mulai merayap di hatinya."Itu pelajaran buat laki-laki buaya kayak kamu, Mas!" teriak Navya dari dalam toilet.Perempuan itu mengunci pintu toilet, menutup telinga dari segala keributan di luar. Di dalam, dia berdiri mematung di depan cermin, air matanya kembali mengalir tanpa henti.Dengan tangan gemetar, dia meremas bagian dadanya yang sesak, berusaha menenangkan diri."Aku nggak boleh kemakan rayuannya," batinnya berbisik tegas. "Ingat, Nav! Dia itu cuma anggap kamu baby sitter. Nggak akan pernah lebih dari itu! Cinta dia cuma buat Zoya!"Di luar, Al tak henti-hentinya mengetuk pintu toilet. "Na
Perlahan, Al melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur Axel. Dia melihat Navya yang masih memeluk putranya dengan erat, seperti mencari perlindungan dari kesakitan yang dia rasakan. Al menelan ludah, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya, tetapi wajah Navya yang penuh kelelahan dalam tidurnya membuat dadanya semakin sesak."Navya," bisik Al pelan, meski dia tahu istrinya tidak bisa mendengarnya.Hati Al mencelos saat melihat air mata tiba-tiba mengalir di kedua belah sudut mata Navya, bahkan dalam tidurnya.Dia berlutut di samping tempat tidur, kakinya terasa lemas, seluruh darahnya berdesir dan menghantam dadanya. Ia menatap wajah perempuan yang dulu dia pikir hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya, wanita yang akan menjadi pusat dunianya. Namun, kini ... menyadari bahwa Navya adalah lebih dari sekadar pengasuh anak-anaknya, lebih dari apa yang pernah dia pikirkan, lebih dari dunianya. Dia adalah sosok yang telah memberikan hatinya sepenuh-penuhnya untuknya dan ju
Navya tertegun di tangga, menyaksikan Zoya memasangkan dasi di leher Al dengan kelembutan yang terkesan sengaja dipertontonkan.Saat mata Zoya bertemu dengannya, Navya bisa melihat senyum licik yang penuh arti di wajah perempuan itu. Tanpa basa-basi, Zoya tiba-tiba terhuyung mundur, tubuhnya bergetar seakan kehilangan keseimbangan."Ahh!" pekik Zoya dengan suara manja, berpura-pura hampir jatuh.Dengan refleks, Al langsung meraih pinggang Zoya, menariknya ke dalam pelukan. "Zoya! Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir, menatap dalam matanya.Zoya tersenyum kecil, berbisik pelan, "Aku nggak apa-apa, Al, makasih."Axel yang melihat adegan itu dari sudut matanya langsung menoleh ke arah tangga, di mana Navya berdiri. Wajahnya tampak tidak terkejut, tapi matanya penuh kepedihan. Axel segera berlari kecil mendekati Navya, memanggilnya dengan suara lembut, "Mama!"Navya yang sebelumnya terpaku, langsung tersenyum hangat saat Axel mendekat dan memeluknya. "Axel, Sayang," sambutny
Di belakangnya, Zoya menyandarkan diri di kursi, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang tadinya tampak kesakitan, karena Al gagal mengejar Navya. Dia menatap punggung Al yang masih terpaku di depan pintu, menikmati momen di mana perlahan, benih-benih keretakan dalam rumah tangga Al dan Navya semakin jelas terlihat. Al kembali ke dalam rumah, dengan raut wajah lelah dan putus asa. Dia menatap Zoya yang tampak sedang mencoba bangkit dengan raut wajah menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa? Aku antar kamu ke rumah sakit aja, ya?" tawarnya. Zoya menggeleng pelan, berusaha tersenyum lemah. "Nggak usah, Al. Aku udah mendingan kok. Maaf, aku selalu bikin kamu khawatir ... dan maaf juga karena kehadiran aku selalu bikin masalah buat hubungan kamu sama Navya. Sebentar lagi aku bakal pergi dan nggak akan ganggu hubungan kalian lagi kok, Al." "Ssst, kamu ngomong apa sih? Kamu harus bertahan dan sembuh. Tolong lakukan itu demi anak-anak kita, hum?" kata Al sambil menyeka lembut wajah Zoya y
“Mas, bisa aku minta waktunya sebentar? Aku mau ngomong penting.” Suara Navya terdengar begitu tegas, tapi tak bergetar.Pandangannya lurus menatap pria berstatus suaminya yang ada di hadapannya, tak sedikit pun ia menunduk atau merasa ragu.Aldevaro Mahendra, yang biasa dipanggil Al, enggan untuk menatapnya, dia masih saja berfokus pada laptop di hadapannya. “Ya, ngomong aja, Nav.”“Mas, tolong tutup laptop kamu dulu. Aku mau ngomong serius sama kamu!” Suara Navya mulai meninggi. Kesal karena merasa diabaikan.“Ya ngomong tinggal ngomong aja, Navya. Biasanya juga begitu,” balas Al masih serius mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptopnya.Navya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya, lalu dengan penuh keyakinan ia berkata dengan tegas, “Kita cerai aja, Mas!”Al seketika menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard. Kedua alisnya berkerut sambil mengangkat wajahnya, menatap Navya yang berdiri di depan meja kerjanya,
Di belakangnya, Zoya menyandarkan diri di kursi, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang tadinya tampak kesakitan, karena Al gagal mengejar Navya. Dia menatap punggung Al yang masih terpaku di depan pintu, menikmati momen di mana perlahan, benih-benih keretakan dalam rumah tangga Al dan Navya semakin jelas terlihat. Al kembali ke dalam rumah, dengan raut wajah lelah dan putus asa. Dia menatap Zoya yang tampak sedang mencoba bangkit dengan raut wajah menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa? Aku antar kamu ke rumah sakit aja, ya?" tawarnya. Zoya menggeleng pelan, berusaha tersenyum lemah. "Nggak usah, Al. Aku udah mendingan kok. Maaf, aku selalu bikin kamu khawatir ... dan maaf juga karena kehadiran aku selalu bikin masalah buat hubungan kamu sama Navya. Sebentar lagi aku bakal pergi dan nggak akan ganggu hubungan kalian lagi kok, Al." "Ssst, kamu ngomong apa sih? Kamu harus bertahan dan sembuh. Tolong lakukan itu demi anak-anak kita, hum?" kata Al sambil menyeka lembut wajah Zoya y
Navya tertegun di tangga, menyaksikan Zoya memasangkan dasi di leher Al dengan kelembutan yang terkesan sengaja dipertontonkan.Saat mata Zoya bertemu dengannya, Navya bisa melihat senyum licik yang penuh arti di wajah perempuan itu. Tanpa basa-basi, Zoya tiba-tiba terhuyung mundur, tubuhnya bergetar seakan kehilangan keseimbangan."Ahh!" pekik Zoya dengan suara manja, berpura-pura hampir jatuh.Dengan refleks, Al langsung meraih pinggang Zoya, menariknya ke dalam pelukan. "Zoya! Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir, menatap dalam matanya.Zoya tersenyum kecil, berbisik pelan, "Aku nggak apa-apa, Al, makasih."Axel yang melihat adegan itu dari sudut matanya langsung menoleh ke arah tangga, di mana Navya berdiri. Wajahnya tampak tidak terkejut, tapi matanya penuh kepedihan. Axel segera berlari kecil mendekati Navya, memanggilnya dengan suara lembut, "Mama!"Navya yang sebelumnya terpaku, langsung tersenyum hangat saat Axel mendekat dan memeluknya. "Axel, Sayang," sambutny
Perlahan, Al melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur Axel. Dia melihat Navya yang masih memeluk putranya dengan erat, seperti mencari perlindungan dari kesakitan yang dia rasakan. Al menelan ludah, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya, tetapi wajah Navya yang penuh kelelahan dalam tidurnya membuat dadanya semakin sesak."Navya," bisik Al pelan, meski dia tahu istrinya tidak bisa mendengarnya.Hati Al mencelos saat melihat air mata tiba-tiba mengalir di kedua belah sudut mata Navya, bahkan dalam tidurnya.Dia berlutut di samping tempat tidur, kakinya terasa lemas, seluruh darahnya berdesir dan menghantam dadanya. Ia menatap wajah perempuan yang dulu dia pikir hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya, wanita yang akan menjadi pusat dunianya. Namun, kini ... menyadari bahwa Navya adalah lebih dari sekadar pengasuh anak-anaknya, lebih dari apa yang pernah dia pikirkan, lebih dari dunianya. Dia adalah sosok yang telah memberikan hatinya sepenuh-penuhnya untuknya dan ju
Navya tiba-tiba bangkit dengan kasar sambil mendorong dada bidangnya, membuat Al tersentak. Tanpa kata-kata, Navya menancapkan tumitnya keras-keras ke kaki Al sebelum berlari ke toilet."Akh! Nav! Kenapa kamu injak kaki aku?" Al memekik kesakitan sambil memegangi kakinya. Rasa nyeri menjalar dari telapak kakinya ke seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan tersisih yang mulai merayap di hatinya."Itu pelajaran buat laki-laki buaya kayak kamu, Mas!" teriak Navya dari dalam toilet.Perempuan itu mengunci pintu toilet, menutup telinga dari segala keributan di luar. Di dalam, dia berdiri mematung di depan cermin, air matanya kembali mengalir tanpa henti.Dengan tangan gemetar, dia meremas bagian dadanya yang sesak, berusaha menenangkan diri."Aku nggak boleh kemakan rayuannya," batinnya berbisik tegas. "Ingat, Nav! Dia itu cuma anggap kamu baby sitter. Nggak akan pernah lebih dari itu! Cinta dia cuma buat Zoya!"Di luar, Al tak henti-hentinya mengetuk pintu toilet. "Na
Al bersandar pada kursi kerjanya dengan kedua mata yang terpejam sambil memijat pelipisnya, sementara pikirannya bergemuruh."Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumamnya.Dia ingat setiap detail hubungannya dengan Navya. Dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan kasar, bahkan tadi adalah pertama kalinya dia membentak Navya. Egonya berkata bahwa dia selalu memperlakukan Navya dengan baik. Dia memberi kebebasan, memenuhi kebutuhan materi, dan memastikan Navya tidak pernah merasa kekurangan. Hanya satu kesalahannya, nafkah batin yang tidak pernah dia berikan.Apakah benar itu satu-satunya masalah? Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apa mungkin Navya benar-benar merasa dirinya tidak dianggap hanya karena hal itu? Dia menolak untuk percaya. “Aku nggak bersalah. Sejak awal aku udah bilang kalo aku akan memberikan nafkah batin di saat aku udah bisa cinta sama dia, dan dia sendiri setuju tentang hal itu,” batinnya, mencoba meyakinkan diri. Namun di balik itu, dia ta
“Mas, bisa aku minta waktunya sebentar? Aku mau ngomong penting.” Suara Navya terdengar begitu tegas, tapi tak bergetar.Pandangannya lurus menatap pria berstatus suaminya yang ada di hadapannya, tak sedikit pun ia menunduk atau merasa ragu.Aldevaro Mahendra, yang biasa dipanggil Al, enggan untuk menatapnya, dia masih saja berfokus pada laptop di hadapannya. “Ya, ngomong aja, Nav.”“Mas, tolong tutup laptop kamu dulu. Aku mau ngomong serius sama kamu!” Suara Navya mulai meninggi. Kesal karena merasa diabaikan.“Ya ngomong tinggal ngomong aja, Navya. Biasanya juga begitu,” balas Al masih serius mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptopnya.Navya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya, lalu dengan penuh keyakinan ia berkata dengan tegas, “Kita cerai aja, Mas!”Al seketika menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard. Kedua alisnya berkerut sambil mengangkat wajahnya, menatap Navya yang berdiri di depan meja kerjanya,