“Mas, bisa aku minta waktunya sebentar? Aku mau ngomong penting.” Suara Navya terdengar begitu tegas, tapi tak bergetar.
Pandangannya lurus menatap pria berstatus suaminya yang ada di hadapannya, tak sedikit pun ia menunduk atau merasa ragu. Aldevaro Mahendra, yang biasa dipanggil Al, enggan untuk menatapnya, dia masih saja berfokus pada laptop di hadapannya. “Ya, ngomong aja, Nav.” “Mas, tolong tutup laptop kamu dulu. Aku mau ngomong serius sama kamu!” Suara Navya mulai meninggi. Kesal karena merasa diabaikan. “Ya ngomong tinggal ngomong aja, Navya. Biasanya juga begitu,” balas Al masih serius mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptopnya. Navya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya, lalu dengan penuh keyakinan ia berkata dengan tegas, “Kita cerai aja, Mas!” Al seketika menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard. Kedua alisnya berkerut sambil mengangkat wajahnya, menatap Navya yang berdiri di depan meja kerjanya, sedang menatapnya dengan tatapan tegas, tapi sendu. Wajahnya menunjukkan ketidakpercayaan yang begitu kentara. “Apa?” Suaranya rendah, hampir seperti bisikan, namun penuh dengan ketegangan. “Aku mau kita cerai, Mas,” ulang Navya, kali ini lebih dingin. Tak ada sedikitpun keraguan di wajahnya. Al menutup laptopnya sedikit kasar, menatap tajam istrinya. “Kenapa tiba-tiba? Apa salahku? Selama ini aku selalu kasih kamu kebebasan. Aku nggak pernah melarang apa pun yang kamu mau, Navya." "Aku selalu memberikan nafkah untuk kamu. Aku bahkan menepati janji aku untuk berdonasi setiap bulannya di panti asuhan Kasih Bunda seperti yang kamu mau. Apa itu semua masih kurang?” Navya adalah seorang gadis yang berasal dari panti, karena sejak bayi dia sudah ditinggalkan oleh orang tua kandungnya di depan gerbang panti. Panti asuhan Kasih Bunda adalah tempat Navya dirawat dan dibesarkan hingga menjadi seorang perawat yang bekerja di rumah sakit milik keluarga Mahendra. Namun, saat Al menikahinya, Al mengatakan bahwa dia tidak ingin Navya bekerja lagi sebagai asistennya. Dia ingin Navya fokus merawat kedua buah hatinya dari pernikahan sebelumnya dengan mantan istrinya, dan dia menjanjikan Navya untuk tidak perlu mengkhawatirkan tentang panti tempatnya tinggal sebelum menikah dengannya, karena dia akan memenuhi segala kebutuhan panti setiap bulannya, asal Navya menjadi istri yang baik dan patuh padanya. “Kebebasan? Nafkah?” Navya tertawa kecil, tapi tak ada tawa dalam matanya. “Apa artinya kebebasan kalau aku cuma peran figuran dalam hidup kamu, Mas? Aku ... aku capek, Mas. Aku capek selalu dibayang-bayangi Zoya. Selama ini, kamu nggak pernah menganggap aku sebagai istri kamu, aku cuma kamu anggap sebagai pengasuh untuk Axel dan Lexa.” “Jadi benar kata Zoya, kamu beneran cemburu sama dia? ... Navya, kamu tau situasinya nggak sesederhana itu.” Al berusaha menahan emosi yang mendesak dadanya. “Zoya cuma butuh waktu sama anak-anak karena sakitnya. Apa kamu benar-benar berpikir kalo aku lebih memilih dia daripada kamu?” “Tentu!” jawab Navya tajam. “Istri mana yang nggak akan memiliki pemikiran sama seperti aku di saat suaminya selalu ada di sisi mantan istrinya. Setiap dia telfon kamu, kamu langsung lari. Setiap dia nangis, kamu yang hapus air matanya. Sementara aku? Aku hanya kamu anggap sebagai patung yang selalu menyaksikan kamu dan Zoya berperan sebagai pasangan sempurna yang seharusnya sudah berakhir bertahun-tahun lalu.” “Zoya lagi sakit, Navya! Tolong mengerti!” Al akhirnya meninggikan suaranya, tak bisa lagi menahan. “Dia mungkin akan mati! Kamu mau aku mengabaikannya begitu aja?” “Kalo dia memang sakit, aku bakalan ngerti,” kata Navya dengan tenang, tetapi matanya penuh luka yang dalam. “Tapi aku tau banget, Mas. Zoya nggak sakit, dia cuma pura-pura.” “Apa?” Al terlihat terguncang, seakan tidak bisa menerima apa yang baru saja dikatakan Navya. “Apa maksud kamu?” “Dia cuma pura-pura sakit, Mas! Dia itu bohong!” tegas Navya lagi. “Stop, Navya! Berhenti menuduh Zoya begitu! Aku muak setiap kamu berusaha memfitnah Zoya dengan pikiran-pikiran jelek kamu itu!” bentak Al yang berhasil meruntuhkan pertahanan Navya yang sejak tadi berusaha menahan air matanya. Cairan bening itu luruh di kedua pipinya. Namun, dia menghapusnya cepat dengan usapan kasar. “Aku nggak pernah fitnah dia, Mas! Justru dia yang selalu memfitnah aku di depan kamu! Selama setahun ini aku berusaha membuktikannya, tapi kamu nggak pernah mau dengerin aku. Kamu selalu berpihak sama dia, selalu lebih percaya sama dia.” Navya menatap Al, menantang suaminya dengan tatapan yang menusuk. “Aku nggak bisa lagi hidup kayak gini. Aku udah coba buat bertahan, tapi ... aku capek, Mas. Keputusan aku udah bulat. Aku yang bakal pergi dari hidup kamu.” Al menggelengkan kepalanya keras-keras, matanya berkilat penuh amarah. “Kamu salah besar kalo kamu pikir aku akan melepaskan kamu begitu aja. Kamu milik aku, Navya. Aku nggak akan membiarkan kamu pergi hanya karena kamu merasa cemburu sama Zoya. Semua ini akan selesai begitu dia ... begitu dia ....” “Begitu dia apa? Begitu dia mati? Iya?” Navya menyelesaikan kalimat Al dengan suara dingin. “Sampai kapan aku harus nunggu, Mas? Sampai kapan aku harus menyaksikan dia memonopoli perhatian kamu?" "Sampai aku benar-benar hancur dan memutuskan untuk mengakhiri nyawaku sendiri? Dia nggak akan pernah mati karena dia nggak pernah sakit kanker, Mas. Justru aku yang bakal mati perlahan kalo terus memilih bertahan di rumah ini!” Al terdiam. Pikirannya berputar liar, mencoba mencari jawaban yang bisa membuat Navya mengurungkan niatnya untuk bercerai, dan tetap berada di sisinya. Tapi semua alasan yang dulu terasa masuk akal, kini terdengar hampa. Zoya memang sakit, atau itulah yang dia percayai. Namun, apa benar dia sudah terlalu buta untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi pada pernikahannya dengan Navya? “Aku nggak akan pernah menceraikan kamu, Nav,” kata Al akhirnya, suaranya tegas, memotong kebisuan yang mencekam. “Apapun alasannya, kita nggak akan pernah bercerai!” Navya menghela napas kasar dan untuk kedua kalinya, air mata kembali menggenang di matanya. “Ini bukan tentang apa kamu setuju atau nggak, Mas. Ini tentang aku. Aku udah capek nunggu kamu bisa cinta sama aku." "Dan, luka di hati aku udah terlalu dalam, Mas. Aku sekarang ngerti kenapa kamu nggak pernah sentuh aku selama tiga tahun pernikahan kita." "Aku tau kamu masih mencintai Zoya, Mas. Jadi, tolong ceraikan aku, dan rujuklah sama Zoya. Aku akan mengalah untuk kebahagiaan kamu dan anak-anak." "Walau bagaimanapun, Zoya adalah ibu kandung Axel dan Lexa. Mereka pasti akan jauh lebih bahagia kalo kalian rujuk. Aku nggak mau jadi penghalang kebahagiaan kamu, Axel, dan Lexa.” Al menatap Navya, bingung antara kemarahan dan ketakutan. Ia tak pernah berpikir bahwa Navya benar-benar akan berpikir untuk meninggalkannya. Bagi Al, semuanya hanya masalah waktu, bahwa semua ini akan kembali normal begitu Zoya tak ada lagi di dalam hidup mereka. Tapi kenyataannya sekarang memukulnya begitu keras. “Aku nggak bisa cerai sama kamu,” ulang Al, nadanya seperti ancaman. “Kamu milikku. Selamanya kamu cuma akan jadi istri aku. Aku akan coba memperbaiki hubungan kita. Zoya tidak akan jadi masalah lagi. Aku akan menjaga jarak dengan dia. Dan aku akan memberikan nafkah batin yang kamu mau.” Navya menatap Al dengan tatapan penuh kesedihan, seolah ia tahu bahwa janji itu hanyalah kata-kata kosong. “Udah terlambat, Mas. Aku nggak butuh lagi. Aku cuma mau bebas dari kalian ... dari Zoya, dari semua kesakitan yang kamu torehkan setiap harinya sama aku.” Dengan satu langkah mundur, Navya berbalik, meninggalkan Al yang masih duduk terpaku di tempat. Sementara Al hanya bisa menatap kepergian istrinya, tiba-tiba merasa seolah ia kehilangan segalanya.Al bersandar pada kursi kerjanya dengan kedua mata yang terpejam sambil memijat pelipisnya, sementara pikirannya bergemuruh."Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumamnya.Dia ingat setiap detail hubungannya dengan Navya. Dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan kasar, bahkan tadi adalah pertama kalinya dia membentak Navya. Egonya berkata bahwa dia selalu memperlakukan Navya dengan baik. Dia memberi kebebasan, memenuhi kebutuhan materi, dan memastikan Navya tidak pernah merasa kekurangan. Hanya satu kesalahannya, nafkah batin yang tidak pernah dia berikan.Apakah benar itu satu-satunya masalah? Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apa mungkin Navya benar-benar merasa dirinya tidak dianggap hanya karena hal itu? Dia menolak untuk percaya. “Aku nggak bersalah. Sejak awal aku udah bilang kalo aku akan memberikan nafkah batin di saat aku udah bisa cinta sama dia, dan dia sendiri setuju tentang hal itu,” batinnya, mencoba meyakinkan diri. Namun di balik itu, dia ta
Navya tiba-tiba bangkit dengan kasar sambil mendorong dada bidangnya, membuat Al tersentak. Tanpa kata-kata, Navya menancapkan tumitnya keras-keras ke kaki Al sebelum berlari ke toilet."Akh! Nav! Kenapa kamu injak kaki aku?" Al memekik kesakitan sambil memegangi kakinya. Rasa nyeri menjalar dari telapak kakinya ke seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan tersisih yang mulai merayap di hatinya."Itu pelajaran buat laki-laki buaya kayak kamu, Mas!" teriak Navya dari dalam toilet.Perempuan itu mengunci pintu toilet, menutup telinga dari segala keributan di luar. Di dalam, dia berdiri mematung di depan cermin, air matanya kembali mengalir tanpa henti.Dengan tangan gemetar, dia meremas bagian dadanya yang sesak, berusaha menenangkan diri."Aku nggak boleh kemakan rayuannya," batinnya berbisik tegas. "Ingat, Nav! Dia itu cuma anggap kamu baby sitter. Nggak akan pernah lebih dari itu! Cinta dia cuma buat Zoya!"Di luar, Al tak henti-hentinya mengetuk pintu toilet. "Na
Perlahan, Al melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur Axel. Dia melihat Navya yang masih memeluk putranya dengan erat, seperti mencari perlindungan dari kesakitan yang dia rasakan. Al menelan ludah, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya, tetapi wajah Navya yang penuh kelelahan dalam tidurnya membuat dadanya semakin sesak."Navya," bisik Al pelan, meski dia tahu istrinya tidak bisa mendengarnya.Hati Al mencelos saat melihat air mata tiba-tiba mengalir di kedua belah sudut mata Navya, bahkan dalam tidurnya.Dia berlutut di samping tempat tidur, kakinya terasa lemas, seluruh darahnya berdesir dan menghantam dadanya. Ia menatap wajah perempuan yang dulu dia pikir hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya, wanita yang akan menjadi pusat dunianya. Namun, kini ... menyadari bahwa Navya adalah lebih dari sekadar pengasuh anak-anaknya, lebih dari apa yang pernah dia pikirkan, lebih dari dunianya. Dia adalah sosok yang telah memberikan hatinya sepenuh-penuhnya untuknya dan ju
Navya tertegun di tangga, menyaksikan Zoya memasangkan dasi di leher Al dengan kelembutan yang terkesan sengaja dipertontonkan.Saat mata Zoya bertemu dengannya, Navya bisa melihat senyum licik yang penuh arti di wajah perempuan itu. Tanpa basa-basi, Zoya tiba-tiba terhuyung mundur, tubuhnya bergetar seakan kehilangan keseimbangan."Ahh!" pekik Zoya dengan suara manja, berpura-pura hampir jatuh.Dengan refleks, Al langsung meraih pinggang Zoya, menariknya ke dalam pelukan. "Zoya! Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir, menatap dalam matanya.Zoya tersenyum kecil, berbisik pelan, "Aku nggak apa-apa, Al, makasih."Axel yang melihat adegan itu dari sudut matanya langsung menoleh ke arah tangga, di mana Navya berdiri. Wajahnya tampak tidak terkejut, tapi matanya penuh kepedihan. Axel segera berlari kecil mendekati Navya, memanggilnya dengan suara lembut, "Mama!"Navya yang sebelumnya terpaku, langsung tersenyum hangat saat Axel mendekat dan memeluknya. "Axel, Sayang," sambutny
Di belakangnya, Zoya menyandarkan diri di kursi, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang tadinya tampak kesakitan, karena Al gagal mengejar Navya. Dia menatap punggung Al yang masih terpaku di depan pintu, menikmati momen di mana perlahan, benih-benih keretakan dalam rumah tangga Al dan Navya semakin jelas terlihat. Al kembali ke dalam rumah, dengan raut wajah lelah dan putus asa. Dia menatap Zoya yang tampak sedang mencoba bangkit dengan raut wajah menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa? Aku antar kamu ke rumah sakit aja, ya?" tawarnya. Zoya menggeleng pelan, berusaha tersenyum lemah. "Nggak usah, Al. Aku udah mendingan kok. Maaf, aku selalu bikin kamu khawatir ... dan maaf juga karena kehadiran aku selalu bikin masalah buat hubungan kamu sama Navya. Sebentar lagi aku bakal pergi dan nggak akan ganggu hubungan kalian lagi kok, Al." "Ssst, kamu ngomong apa sih? Kamu harus bertahan dan sembuh. Tolong lakukan itu demi anak-anak kita, hum?" kata Al sambil menyeka lembut wajah Zoya y
Di belakangnya, Zoya menyandarkan diri di kursi, senyum tipis muncul di sudut bibirnya yang tadinya tampak kesakitan, karena Al gagal mengejar Navya. Dia menatap punggung Al yang masih terpaku di depan pintu, menikmati momen di mana perlahan, benih-benih keretakan dalam rumah tangga Al dan Navya semakin jelas terlihat. Al kembali ke dalam rumah, dengan raut wajah lelah dan putus asa. Dia menatap Zoya yang tampak sedang mencoba bangkit dengan raut wajah menahan sakit. "Kamu nggak apa-apa? Aku antar kamu ke rumah sakit aja, ya?" tawarnya. Zoya menggeleng pelan, berusaha tersenyum lemah. "Nggak usah, Al. Aku udah mendingan kok. Maaf, aku selalu bikin kamu khawatir ... dan maaf juga karena kehadiran aku selalu bikin masalah buat hubungan kamu sama Navya. Sebentar lagi aku bakal pergi dan nggak akan ganggu hubungan kalian lagi kok, Al." "Ssst, kamu ngomong apa sih? Kamu harus bertahan dan sembuh. Tolong lakukan itu demi anak-anak kita, hum?" kata Al sambil menyeka lembut wajah Zoya y
Navya tertegun di tangga, menyaksikan Zoya memasangkan dasi di leher Al dengan kelembutan yang terkesan sengaja dipertontonkan.Saat mata Zoya bertemu dengannya, Navya bisa melihat senyum licik yang penuh arti di wajah perempuan itu. Tanpa basa-basi, Zoya tiba-tiba terhuyung mundur, tubuhnya bergetar seakan kehilangan keseimbangan."Ahh!" pekik Zoya dengan suara manja, berpura-pura hampir jatuh.Dengan refleks, Al langsung meraih pinggang Zoya, menariknya ke dalam pelukan. "Zoya! Kamu nggak apa-apa?" tanyanya dengan nada khawatir, menatap dalam matanya.Zoya tersenyum kecil, berbisik pelan, "Aku nggak apa-apa, Al, makasih."Axel yang melihat adegan itu dari sudut matanya langsung menoleh ke arah tangga, di mana Navya berdiri. Wajahnya tampak tidak terkejut, tapi matanya penuh kepedihan. Axel segera berlari kecil mendekati Navya, memanggilnya dengan suara lembut, "Mama!"Navya yang sebelumnya terpaku, langsung tersenyum hangat saat Axel mendekat dan memeluknya. "Axel, Sayang," sambutny
Perlahan, Al melangkah mendekat, berdiri di samping tempat tidur Axel. Dia melihat Navya yang masih memeluk putranya dengan erat, seperti mencari perlindungan dari kesakitan yang dia rasakan. Al menelan ludah, mencoba menenangkan kegelisahan di hatinya, tetapi wajah Navya yang penuh kelelahan dalam tidurnya membuat dadanya semakin sesak."Navya," bisik Al pelan, meski dia tahu istrinya tidak bisa mendengarnya.Hati Al mencelos saat melihat air mata tiba-tiba mengalir di kedua belah sudut mata Navya, bahkan dalam tidurnya.Dia berlutut di samping tempat tidur, kakinya terasa lemas, seluruh darahnya berdesir dan menghantam dadanya. Ia menatap wajah perempuan yang dulu dia pikir hanya akan menjadi ibu dari anak-anaknya, wanita yang akan menjadi pusat dunianya. Namun, kini ... menyadari bahwa Navya adalah lebih dari sekadar pengasuh anak-anaknya, lebih dari apa yang pernah dia pikirkan, lebih dari dunianya. Dia adalah sosok yang telah memberikan hatinya sepenuh-penuhnya untuknya dan ju
Navya tiba-tiba bangkit dengan kasar sambil mendorong dada bidangnya, membuat Al tersentak. Tanpa kata-kata, Navya menancapkan tumitnya keras-keras ke kaki Al sebelum berlari ke toilet."Akh! Nav! Kenapa kamu injak kaki aku?" Al memekik kesakitan sambil memegangi kakinya. Rasa nyeri menjalar dari telapak kakinya ke seluruh tubuh, tetapi yang lebih menyakitkan adalah perasaan tersisih yang mulai merayap di hatinya."Itu pelajaran buat laki-laki buaya kayak kamu, Mas!" teriak Navya dari dalam toilet.Perempuan itu mengunci pintu toilet, menutup telinga dari segala keributan di luar. Di dalam, dia berdiri mematung di depan cermin, air matanya kembali mengalir tanpa henti.Dengan tangan gemetar, dia meremas bagian dadanya yang sesak, berusaha menenangkan diri."Aku nggak boleh kemakan rayuannya," batinnya berbisik tegas. "Ingat, Nav! Dia itu cuma anggap kamu baby sitter. Nggak akan pernah lebih dari itu! Cinta dia cuma buat Zoya!"Di luar, Al tak henti-hentinya mengetuk pintu toilet. "Na
Al bersandar pada kursi kerjanya dengan kedua mata yang terpejam sambil memijat pelipisnya, sementara pikirannya bergemuruh."Ada apa sebenarnya? Kenapa semuanya jadi serumit ini?" gumamnya.Dia ingat setiap detail hubungannya dengan Navya. Dia tak pernah memperlakukan istrinya dengan kasar, bahkan tadi adalah pertama kalinya dia membentak Navya. Egonya berkata bahwa dia selalu memperlakukan Navya dengan baik. Dia memberi kebebasan, memenuhi kebutuhan materi, dan memastikan Navya tidak pernah merasa kekurangan. Hanya satu kesalahannya, nafkah batin yang tidak pernah dia berikan.Apakah benar itu satu-satunya masalah? Pikirannya mulai dipenuhi keraguan. Apa mungkin Navya benar-benar merasa dirinya tidak dianggap hanya karena hal itu? Dia menolak untuk percaya. “Aku nggak bersalah. Sejak awal aku udah bilang kalo aku akan memberikan nafkah batin di saat aku udah bisa cinta sama dia, dan dia sendiri setuju tentang hal itu,” batinnya, mencoba meyakinkan diri. Namun di balik itu, dia ta
“Mas, bisa aku minta waktunya sebentar? Aku mau ngomong penting.” Suara Navya terdengar begitu tegas, tapi tak bergetar.Pandangannya lurus menatap pria berstatus suaminya yang ada di hadapannya, tak sedikit pun ia menunduk atau merasa ragu.Aldevaro Mahendra, yang biasa dipanggil Al, enggan untuk menatapnya, dia masih saja berfokus pada laptop di hadapannya. “Ya, ngomong aja, Nav.”“Mas, tolong tutup laptop kamu dulu. Aku mau ngomong serius sama kamu!” Suara Navya mulai meninggi. Kesal karena merasa diabaikan.“Ya ngomong tinggal ngomong aja, Navya. Biasanya juga begitu,” balas Al masih serius mengetikkan sesuatu di atas keyboard laptopnya.Navya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan air matanya, lalu dengan penuh keyakinan ia berkata dengan tegas, “Kita cerai aja, Mas!”Al seketika menghentikan gerakan tangannya yang sejak tadi jemarinya menari dengan lincah di atas keyboard. Kedua alisnya berkerut sambil mengangkat wajahnya, menatap Navya yang berdiri di depan meja kerjanya,