"Evander!" bentak seorang wanita setengah baya pada seorang putranya yang masih tertidur pulas di ranjang.
Anaknya itu langsung terbangun saat mendengar suara ibunya yang keras. Matanya yang masih dalam keadaan mengantuk berusaha membuka mata lebar-lebar untuk menatap ibunya."Ada apa, Mom? Malam-malam begini membangunkan, Evan," rengek anak manjanya itu."Kau tidak boleh terus-terusan begini, Evan! Kau tidak lihat sekarang apa yang sudah direncanakan Levis, anak gundik itu?"Evander ingin mendengar, namun matanya terus ditarik untuk tidur. Dia tidak menghiraukan ucapan ibunya yang sedang marah. Wanita itu tidak tinggal diam saat melihat putranya sendiri tidak mendengarkannya. Dia merasa kesal dan menjewer kupingnya."Arggh, sakit Mom..." Evan meringis kesakitan. Kupingnya terasa panas. Sudah pasti memerah akibat jeweran ibunya yang terlalu kuat."Makanya dengarkan ibu!" tegasnya.Evan yang tak punya pilihan lain, terpaksa melebarkan matanya dan mendengarkan ibunya berbicara."Iya, ada apa, Mom?" tanyanya memutar bola mata malas."Aku ingin kau lakukan sesuatu,""Iya apa, Mom?""Kau tidak dengar kalau anak tiriku itu mau menikahi gadis itu?""Jadi?" Evan menatap bingung."Apa kaitannya dengan semuanya?" lanjut Evan yang masih ngelantur."Kau masih mengantuk?" Wanita itu kembali menjewer kupingnya. Evan langsung menjerit kesakitan."Mom, tolong lepasin Mom. Iya-iya, aku akan dengarkan Mom," janji Evan yang kemudian melebarkan mata. Kali ini dia akan serius menanggapi."Pokoknya, aku mau kau gagalkan rencana dia untuk menikah. Aku tidak ingin dia sampai menghasilkan keturunan dan membuat kita jadi terancam!" perintah ibunya."Baik, Mom. Aku akan gagalkan rencananya," Evan melirik ibunya. "Apa aku sudah boleh tidur?"Ibunya hanya menggangguk. Berarti dia sudah bisa untuk tidur. Disaat dia menutup matanya, dia kembali membuka matanya karena teringat sesuatu. "Bukannya dulu Mom juga yang telah membunuh mantan istrinya? Dan sekarang Mom juga ingin aku melakukan hal yang sama?" lirih pria itu yang kemudian disusul mimpi indah.***"Tuan, saya baru saja diberitahukan oleh petugas Club kalau semalam Nona Arin pulang bersama seorang pria. Wajah pria itu seperti tidak asing ketika saya melihatnya," beritahu Rehan sesudah sampai di apartemen Levis.Di sana tuannya itu sedang duduk di sofa balkon sambil memandang. Sudah seharusnya dia beristirahat jam segini, namun karena belum mendapat jawaban dari anak buahnya, dia terus menunggu sampai akhirnya Rehan datang memberitahu dimana keberadaan gadis itu. Levis bangkit berdiri dan menghampiri Rehan yang enggan untuk menemuinya."Kenapa tidak masuk? Masuklah!" titah Levis dengan suara yang berat. Dia menatap Rehan dengan penuh arti. Rehan langsung mengerti dan langsung memberitahukan informasi yang sudah didengarnya langsung dari petugas Club."Kamu bilang, petugas Club itu memberikan informasi tentang bagaimana gadis itu keluar dari sana? Jadi, kalian sudah menemukannya?"Mata Rehan yang tadinya ke bawah terangkat dan menatapnya lurus sejajar dengan tuannya itu. "Maaf, Tuan. Saya datang cuma bilang itu saja. Saya juga tidak tahu dimana sekarang mereka dan siapa yang telah membawanya."Rehan mengusahakan dirinya agar tetap tenang. Meskipun dia tahu yang sebenarnya bahwa tuannya pasti akan sangat marah. Namun, apa yang boleh dia lakukan sekarang, kalau bukan memberitahu yang sebenarnya. Dia juga tidak mau anak buahnya mendapat masalah dari emosi tuannya yang meluap-luap.Prangg!Sebuah vas bunga hancur. Levis melemparkannya ke arah Rehan, hanya melesat beberapa senti di samping kepala sebelum menghantam dingding di belakangnya. Rehan terperanjat, membulatkan mata."Bukankah aku sudah bilang kau tidak boleh datang ke sini sebelum membawa gadis itu?!"Di tempatnya berdiri, wajah Rehan berubah pucat. Namun, sebagai pria yang bertanggungjawab dan pemberani, dia tidak perlu merasa takut.Dia tahu bagaimana yang sebenarnya perasaan dari tuannya itu. Kemarahannya saat ini tidak bisa dia kendalikan. Jika dia berusaha bicara dan menjelaskan lagi tentang sesuatu yang belum dia tuntaskan, itu akan membuat tuannya semakin bertambah marah. Dan pastinya dia akan kehilangan nyawanya hari itu juga. Meskipun dia pernah mengatakan nyawanya sudah sepenuhnya milik tuannya itu, namun dia masih belum siap untuk mati dan membiarkan orang lain menghancurkan hidup dari tuan kesayangannya itu.Dengan keberanian mendalam, Rehan pun mendekatinya. "Maaf, Tuan. Saya telah gagal melakukan perintah Tuan. Kalau saya berjanji lagi, pasti Tuan sudah tidak mempercayainya lagi. Maka dari itu, saya hanya bisa mengatakan, saya pasti bisa menemukannya Tuan."Levis menoleh. Tatapannya lebih seram dari yang dibayangkan. Tangannya yang terkepal menandakan bahwa emosinya yang semakin naik dan tidak ada harapan lagi untuk mendapatkan ampunan. Rehan menutup mata seakan-akan pasrah atas apa yang akan dilakukan tuannya kepadanya."Kenapa kau menutup mata?" tanya Levis saat melihat Rehan memejamkan mata."Saya pasrah dengan apa yang akan Tuan lakukan pada saya. Saya sudah gagal dalam misi saya untuk mencari keberadaan Nona Arin. Dan sepantasnya saya mendapatkan hukuman dari Anda, Tuan," jawab Rehan, matanya masih terpejam. Dia hanya berdiam di tempat supaya tuannya tepat melakukan hukuman padanya.Seperti biasanya yang diketahuinya, bilamana seseorang telah gagal dalam melakukan tugas yang diperintahkan oleh Levis, mereka semua akan diangkat senjata, dan kemudian menembaknya. Rehan berpikir bahwa pria itu akan melakukan hal yang sama untuknya. Levis hanya tersenyum miring saat melihatnya."Kau tidak akan kubunuh," mata Rehan mendelik, "Jika aku membunuhmu sekarang, bagaimana kau bisa membalas semuanya padaku. Dengan arwahmu? Yang benar saja," kata Levis."Jadi, Tuan ti-tidak jadi menghukum saya?" tanya Rehan terbata-bata namun ada perasaan legah di dalamnya."Jangan senang dulu! Aku hanya tidak ingin kau cepat mati," timpal Levis. Dia mengedarkan pandangannya ke langit. Kedua tangannya saling menggenggam erat.Tadinya Rehan berpikir tuannya itu memang berubah. Tapi, setelah didengarnya dari mulut tuannya itu, dia menarik pikiran positif terhadap tuannya itu dan akan selamanya menilainya sebagai pria yang tak berperasaan. Sungguh di luar nalar bila terus menganggapnya baik!Selang beberapa menit kemudian, diantara perdebatan antara tuan dan sekretaris itu, terdengar dering telpon. Mereka sama-sama mencari keberadaan ponselnya masing-masing. Karena mereka mencari ponsel bersamaan, kemudian mereka saling memandang sebentar, namun tidak lama, karena pandangan mereka langsung teralihkan saat ponsel yang terus berbunyi."Ternyata ponselmu," tunjuk Levis pada kantong celana Rehan.Rehan menepuk jidatnya sendiri. Sejak kapan dia menjadi grogi di depan tuannya. Dirinya tampak bodoh saat itu. Rehan langsung mengangkatnya dan mendengar seseorang yang ada di balik telpon tersebut."Siapa?" tanya Levis penasaran."Pemilik Club, Tuan," beritahu Rehan.Dia juga memberitahu tuannya itu kalau mereka sudah tahu siapa pria yang telah membawa Arin dari sana. Informasi itu langsung disampaikannya supaya semua jelas. Dia menyerahkan ponselnya saat pemilik Club mengirim foto pria tersebut."Tuan, ini dia...""Sial!" umpat Levis dengan nada tinggi. "Dia itu adalah musuh yang menghilang 5 tahun yang lalu, mengapa gadis itu bersamanya?"Rehan menjelaskan semua tentang pria itu dan apa hubungannya dengan Arin. Sontak wajah Levis berubah jadi panas. Rahangnya mengeras dan tangannya terkepal."Jadi, dia adalah kekasihnya?" Levis tersenyum. "Berarti aku tidak salah menargetkan musuh," lanjutnya."Carilah dia sekarang juga dan bawa gadis itu ke hadapanku! Aku ingin lihat dia bagaimana caranya dia melarikan diri dariku," perintah Levis.Rehan mengangguk. Dia melangkah memutar tubuhnya dan pergi dari sana. Sedangkan Levis, dia merasa diuntungkan. Bukan hanya satu orang yang akan dia balaskan dendam, namun dua orang atau bahkan bisa lebih."Aku ingin lihat seberapa kuat kau bertahan denganku, Arin," batinnya, dengan munculnya semua musuh-musuhnya, dia tidak perlu repot-repot lagi mencari keberadaan mereka untuk balas dendam."Aku harus keluar dari sini," tekad Arin. Dia melihat sebuah pisau yang tidak jauh darinya. Dia berusaha berdiri, mengangkat tubuhnya yang terikat dengan kursi hingga sampai dekat pisau yang akan dia ambil. Tanpa berpikir banyak lagi, dia pun berusaha memutuskan tali yang mengikat tangannya di belakang.Sangat susah dilakukannya hal itu, namun dia tak boleh menyerah begitu saja. Dia terus memotong tali itu sampai akhirnya putus. Dia merasakan tubuhnya terasa agak lebih longgar saat tali-tali yang mengikat tubuhnya satu-persatu putus. Dan sekarang yang tersisa hanya pengikat kakinya. Arin melepaskan tali itu cepat sebelum Kinan datang."Huff," Arin menghela napas. Jantungnya berdegup kencang, dia merasakan tubuhnya tidak sanggup untuk berjalan lagi.Di tengah kepergiannya, Kinan yang tengah menyadari Arin tidak ada disana, dia pun segera mencarinya. Dia memanggil nama Arin di sela-sela Arin yang tengah berlari tergopoh-gopoh."ARIN," panggil Kinan dengan keras.Arin yang tengah mendengar suara Kinan yang tengah memanggilnya, memperkuat jalannya, meskipun sebenarnya dia sudah tidak sanggup lagi. Jika dia menyerah, mantan kekasihnya itu akan mengurungnya lagi di tempat gelap itu. Dia mengumpulkan semangatnya. Dia berlari tertatih tanpa henti."Aku dimana ini?" Arin melihat sekelilingnya. Dia sepertinya sedang tersesat. Tempat itu dikelilingi dengan kegelapan yang tidak bisa menunjukkan arah kemana dia sebenarnya.Dia sangat bingung saat melihat pintu yang sama terus dia dapati. "Apa aku mungkin tersesat," pikirnya."Tidak. Pasti ada jalan pintas dari semua jalan ini," tekad Arin melihat satu-satu setiap pintu yang sangat mencurigakan."ARIN, DIMANA KAU, SAYANG?" teriak Kinan sembari mengikuti jejak kaki Arin di atas lantai putih. Debu di lantai tersebut bisa menggambarkan sesuatu yang tak pernah terpikirkan bisa terjadi. Siapa yang akan kepikiran soal jejak kakinya disaat kepanikan yang telah berkuasa?"Kemanapun kau pergi, aku akan tetap mendapat dirimu lagi denganku, Arin tersayang," sebut Kinan sambil tersenyum miring.Langkahnya yang terlalu cepat akan membuat dirinya bisa ketemu langsung dengan Arindinita. Sedangkan Arindinita telah berusaha untuk lari. Tak membiarkan waktu kembali berlengah, walaupun rasanya sangat sulit untuk melakukannya."Arin, kau tidak bisa lari dariku!!! Aku tidak akan melepaskan dirimu," ancam Kinan yang masih terus mencari keberadaan Arin."Ya Tuhan, berilah aku hidup sekali lagi, kalau aku memang tiada, tidak apa-apa Tuhan. Aku hanya ingin meminta maaf denganmu, apabila aku memang telah menyakiti hatinya. Namun, aku juga kebetulan sudah menjelaskan dan bertanggungjawab, apakah itu masih tidak cukup, Tuhan???" Kata-kata yang teramat menyedihkan.Dia menyakinkan diri lagi kalau dia pasti sanggup melewati pintu aneh tersebut. Karena pikirannya yang kacau sekalipun tak akan menghalau jalannya. Sesampainya di tepi jalan, Arin terus melangkah gontai dengan napasnya yang memburu terus berusaha sekuatnya untuk menjauh. Tubuhnya terasa lelah dan dia merasa haus, dia tidak tahu apakah tubuhnya masih sanggup untuk berjalan dan menemukan kendaraan yang bisa membawanya pergi. Hingga akhirnya pandangannya terasa gelap dan dia pun terjatuh.Keesokan harinya, Arin bangun saat mendengar bunyi jam beker. Tangannya meraihnya di atas nakas dan segera mematikannya. Dia melihat sudah pukul tujuh. Matanya yang masih mengantuk mau tidak mau harus membuka matanya, "ssshhh, aww," dia mendesis kesakitan saat bagian kepalanya masih terasa sakit, dia melihat tempat itu sangat berbeda dari kamarnya. Dimanakah dia? Arin mengelilingi setiap sudut kamar, ingin melihat kamar siapakah yang sangat indah itu yang tersusun rapi. Jauh dari kata berantakan yang sering dia lakukan di kamarnya sendiri.Dia berjalan menelusuri bingkai yang ada pada nakas di sebelah kiri ranjang. Dari jaraknya yang beberapa meter sedang mengerutkan kening seakan-akan dia pernah melihatnya. Karena rasa penasaran yang tinggi dia pun mendekatinya. Dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa orang di balik foto tersebut."Dia? Apa ini adalah kamarnya?" batin Arin saat tercengang melihatnya.Bagaimana mungkin dia bisa berada di tempat pria itu, sedangkan dia baru sa
"Semalam kau darimana?" tanya Arin dengan raut wajah polos yang masih sungkan terhadap suaminya itu. "Apa urusanmu?" tekan Levis Mouse, suami yang baru satu hari saja bersama setelah pernikahan mereka. Arin mengangkat kepalanya, awalnya dia tak berani menatap, namun dirinya tidak lemah. Dia membusungkan dadanya dan mendekat seolah tak merasakan takut. "Aku adalah istrimu, tentu saja aku berlagak seperti istri di matamu. Meski aku tahu status ku di hidupmu tak pernah ada artinya. Namun, gelar yang kudapat saat menjadi istrimu tentu aku tak akan sia-siakan," ucap Arin tersenyum menantang. "Dan kamu pikir dengan dirimu yang bergemilang harta, aku akan diam, begitu maksudmu?" lanjut gadis itu sangat lantang. Levis Mouse sangat marah. Dia kembali mendekati gadis itu dan mencengangkan erat tangannya. Sedangkan Arin hanya membola, menatap lekat wajah suaminya itu. Perasaannya bertambah kalut. "Apa maksud dari ucapanmu itu gadis jalang? Aku bukan saja seorang suami untukmu, tet
"Apa yang kurang dariku, Arin? Bukankah kau melihat semua yang ada padaku tidak ada pada yang lain?" Sorot mata yang tajam sedang menghadang tatapan gadis cantik yang tengah gemetar menghadapinya."Anda memang memiliki segalanya, tapi aku tidak tertarik sama sekali!" Keberanian macam apa itu? Bisa-bisanya Arin mengatakan langsung pada pria yang hanya memiliki kesabaran setipis tisu."Menikah denganku atau kuserahkan pada mereka!"Arin semakin takut. Dia melihat banyak pria di arena club seperti zombie yang kehausan darah. Manik mata Arin hanya menatap nanar pada sosok pria yang tengah mengancam dirinya."Apa maumu, Tuan Levis Mouse?!" tegas Arin semakin berani. Jika memilih diam dan membiarkan pria itu menginjak-injak harga dirinya tentu bukan namanya Arin."Aku tidak akan mengulang perkataan ku lagi setelah ini. Aku ingin kau jadi milikku sampai aku nantinya tidak memerlukan dirimu lagi. Kau hanya perlu berbalas budi padaku!"Deg!Jantung Arin mendadak berhenti. Dia merasakan napasny
Arin memperbaiki rambut dan juga penampilannya yang telah hancur. Dia melihat sekelilingnya, matanya tengah mencari keberadaan sahabatnya itu. Tak lama kemudian seseorang yang ditunggu-tunggu pun datang dan menghampirinya. Dia sangat terkejut saat melihat sahabatnya dengan kondisi yang kacau."Kau tidak apa-apa, Rin? Siapa yang telah berbuat hal ini padamu?" tanya sahabatnya yang bernama Lala itu. Wajahnya memperlihatkan bagaimana perasaannya saat ini. Ya khawatir. Dia sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya yang hancur.Dia mengelap keringat yang bercucuran di wajah Arin dengan tisu. Kemudian dia mengambil segelas air putih yang terletak di meja dan memberinya pada Arin. Arin pun meminumnya. Dia pastinya sangat haus. Sejak tadi pria yang telah memperlakukan dirinya sangat kasar tidak membiarkannya bebas melawan, apalagi sampai memberinya minum. Mustahil!"Kenapa kau tidak panggil aku tadi, Rin? Aku bisa datang membantumu cepat," ucap Lala sambil merapikan rambut sahabatnya itu."Ak
"Kau sudah mencarinya ke seluruh kota ini?" tanya Levis.Pria itu sangat marah saat mendengar nama Arin menghilang. Baru saja dia kepikiran untuk memberinya pelajaran dan sekarang semua yang sudah dia rencanakan gagal sepenuhnya. Dia menatap sekretaris pribadinya itu dengan tatapan sengit. Mana mungkin dia akan membiarkan gadis itu pergi tanpa izinnya. Maka, kemanapun gadis itu pergi, dia akan tetap bisa menemukannya. Inilah janji nyata seorang Levis Mouse yang tak terkalahkan."Saya sudah berusaha mencari, Tuan. Namun, keberadaan Nona Arin memang tidak bisa dilacak. Kemungkinan seseorang telah merencanakan ini semua dengan baik, Tuan.""Sialan!"Levis Mouse tidak akan menyangka bahwa gadis itu benar-benar membuat kesalahan yan akan memberinya pelajaran hidup. Entah apa yang sudah dipikirkannya sampai berani melakukan itu. Dan inilah yang ingin dilakukan olehnya, membuat gadis itu sampai sengsara dan tidak ada harapan baginya untuk hidup."Kalian harus mencarinya! Kalau sampai hari in
"Semalam kau darimana?" tanya Arin dengan raut wajah polos yang masih sungkan terhadap suaminya itu. "Apa urusanmu?" tekan Levis Mouse, suami yang baru satu hari saja bersama setelah pernikahan mereka. Arin mengangkat kepalanya, awalnya dia tak berani menatap, namun dirinya tidak lemah. Dia membusungkan dadanya dan mendekat seolah tak merasakan takut. "Aku adalah istrimu, tentu saja aku berlagak seperti istri di matamu. Meski aku tahu status ku di hidupmu tak pernah ada artinya. Namun, gelar yang kudapat saat menjadi istrimu tentu aku tak akan sia-siakan," ucap Arin tersenyum menantang. "Dan kamu pikir dengan dirimu yang bergemilang harta, aku akan diam, begitu maksudmu?" lanjut gadis itu sangat lantang. Levis Mouse sangat marah. Dia kembali mendekati gadis itu dan mencengangkan erat tangannya. Sedangkan Arin hanya membola, menatap lekat wajah suaminya itu. Perasaannya bertambah kalut. "Apa maksud dari ucapanmu itu gadis jalang? Aku bukan saja seorang suami untukmu, tet
Keesokan harinya, Arin bangun saat mendengar bunyi jam beker. Tangannya meraihnya di atas nakas dan segera mematikannya. Dia melihat sudah pukul tujuh. Matanya yang masih mengantuk mau tidak mau harus membuka matanya, "ssshhh, aww," dia mendesis kesakitan saat bagian kepalanya masih terasa sakit, dia melihat tempat itu sangat berbeda dari kamarnya. Dimanakah dia? Arin mengelilingi setiap sudut kamar, ingin melihat kamar siapakah yang sangat indah itu yang tersusun rapi. Jauh dari kata berantakan yang sering dia lakukan di kamarnya sendiri.Dia berjalan menelusuri bingkai yang ada pada nakas di sebelah kiri ranjang. Dari jaraknya yang beberapa meter sedang mengerutkan kening seakan-akan dia pernah melihatnya. Karena rasa penasaran yang tinggi dia pun mendekatinya. Dan betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa orang di balik foto tersebut."Dia? Apa ini adalah kamarnya?" batin Arin saat tercengang melihatnya.Bagaimana mungkin dia bisa berada di tempat pria itu, sedangkan dia baru sa
"Evander!" bentak seorang wanita setengah baya pada seorang putranya yang masih tertidur pulas di ranjang.Anaknya itu langsung terbangun saat mendengar suara ibunya yang keras. Matanya yang masih dalam keadaan mengantuk berusaha membuka mata lebar-lebar untuk menatap ibunya."Ada apa, Mom? Malam-malam begini membangunkan, Evan," rengek anak manjanya itu."Kau tidak boleh terus-terusan begini, Evan! Kau tidak lihat sekarang apa yang sudah direncanakan Levis, anak gundik itu?"Evander ingin mendengar, namun matanya terus ditarik untuk tidur. Dia tidak menghiraukan ucapan ibunya yang sedang marah. Wanita itu tidak tinggal diam saat melihat putranya sendiri tidak mendengarkannya. Dia merasa kesal dan menjewer kupingnya."Arggh, sakit Mom..." Evan meringis kesakitan. Kupingnya terasa panas. Sudah pasti memerah akibat jeweran ibunya yang terlalu kuat."Makanya dengarkan ibu!" tegasnya.Evan yang tak punya pilihan lain, terpaksa melebarkan matanya dan mendengarkan ibunya berbicara."Iya, ad
"Kau sudah mencarinya ke seluruh kota ini?" tanya Levis.Pria itu sangat marah saat mendengar nama Arin menghilang. Baru saja dia kepikiran untuk memberinya pelajaran dan sekarang semua yang sudah dia rencanakan gagal sepenuhnya. Dia menatap sekretaris pribadinya itu dengan tatapan sengit. Mana mungkin dia akan membiarkan gadis itu pergi tanpa izinnya. Maka, kemanapun gadis itu pergi, dia akan tetap bisa menemukannya. Inilah janji nyata seorang Levis Mouse yang tak terkalahkan."Saya sudah berusaha mencari, Tuan. Namun, keberadaan Nona Arin memang tidak bisa dilacak. Kemungkinan seseorang telah merencanakan ini semua dengan baik, Tuan.""Sialan!"Levis Mouse tidak akan menyangka bahwa gadis itu benar-benar membuat kesalahan yan akan memberinya pelajaran hidup. Entah apa yang sudah dipikirkannya sampai berani melakukan itu. Dan inilah yang ingin dilakukan olehnya, membuat gadis itu sampai sengsara dan tidak ada harapan baginya untuk hidup."Kalian harus mencarinya! Kalau sampai hari in
Arin memperbaiki rambut dan juga penampilannya yang telah hancur. Dia melihat sekelilingnya, matanya tengah mencari keberadaan sahabatnya itu. Tak lama kemudian seseorang yang ditunggu-tunggu pun datang dan menghampirinya. Dia sangat terkejut saat melihat sahabatnya dengan kondisi yang kacau."Kau tidak apa-apa, Rin? Siapa yang telah berbuat hal ini padamu?" tanya sahabatnya yang bernama Lala itu. Wajahnya memperlihatkan bagaimana perasaannya saat ini. Ya khawatir. Dia sangat khawatir dengan keadaan sahabatnya yang hancur.Dia mengelap keringat yang bercucuran di wajah Arin dengan tisu. Kemudian dia mengambil segelas air putih yang terletak di meja dan memberinya pada Arin. Arin pun meminumnya. Dia pastinya sangat haus. Sejak tadi pria yang telah memperlakukan dirinya sangat kasar tidak membiarkannya bebas melawan, apalagi sampai memberinya minum. Mustahil!"Kenapa kau tidak panggil aku tadi, Rin? Aku bisa datang membantumu cepat," ucap Lala sambil merapikan rambut sahabatnya itu."Ak
"Apa yang kurang dariku, Arin? Bukankah kau melihat semua yang ada padaku tidak ada pada yang lain?" Sorot mata yang tajam sedang menghadang tatapan gadis cantik yang tengah gemetar menghadapinya."Anda memang memiliki segalanya, tapi aku tidak tertarik sama sekali!" Keberanian macam apa itu? Bisa-bisanya Arin mengatakan langsung pada pria yang hanya memiliki kesabaran setipis tisu."Menikah denganku atau kuserahkan pada mereka!"Arin semakin takut. Dia melihat banyak pria di arena club seperti zombie yang kehausan darah. Manik mata Arin hanya menatap nanar pada sosok pria yang tengah mengancam dirinya."Apa maumu, Tuan Levis Mouse?!" tegas Arin semakin berani. Jika memilih diam dan membiarkan pria itu menginjak-injak harga dirinya tentu bukan namanya Arin."Aku tidak akan mengulang perkataan ku lagi setelah ini. Aku ingin kau jadi milikku sampai aku nantinya tidak memerlukan dirimu lagi. Kau hanya perlu berbalas budi padaku!"Deg!Jantung Arin mendadak berhenti. Dia merasakan napasny